Kamis, 19 November 2015

Etika Kerajaan Berdasarkan Mazmur 110

Dalam kitab Ibrani, raja merupakan sumber perhatian. Pada mereka ada harapan dan ketakutan, pemujaan, keadilan dan masa depan. Dan dalam Mazmur 72 dan 101 terdapat isu etis tentang standar terbaik bagi raja-raja. Lebih dari itu, Mazmur 101 menggambarkan tentang tanggung jawab moral orang Israel. Mazmur, kitab yang terkenal dengan kitab puisi, selama tiga sampai empat dekade terakhir, oleh para ahli lebih diselidiki sebagai kitab etika. Kitab ini juga ternyata memiliki kontribusi besar bagi dunia Kristen masa kini. Agar dapat diperoleh konstruksi dan relevansi yang jelas tentang teks Alkitab dan dunia moral di dalamnya, Nein menyarankan untuk terlebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan hal ini, yaitu apa itu dunia moral, mengapa hal ini diperlukan dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Kata “what” (apa) merupakan identifikasi norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam teks secara eksplisit tepatnya tentang sikap yang benar atau salah. Namun, sikap ‘benar’ atau ‘salah’ ini justru tidak muncul secara eksplisit, hanya bersifat buram atau sindiran. John Barton memberi definisinya tentang etika dalam Yesaya dengan mengaitkan etika dengan dosa yaitu kejahatan, dosa, dan kesalahan secara spesifik. Dengan kata lain, etika merupakan sikap dan cara berpikir seseorang yang dapat membawanya kepada dosa, serta rangkuman baik formulasi eksplisit, metafora dan analogi yang menjadi dasar dalam melakukan dosa atau sikap yang salah. Yang menjadi perhatian mendasar dari Barton adalah tentang mengapa norma etika begitu mengikat dan seberapa baikkah sistem moral dilaksanakan? Ide utama pikirannya adalah ketaatan kepada pewahyuan Allah, hukum alam dan pencitraan Allah. Anderson mengkritisi tulisan Barton dengan mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan Barton, kurang membebaskan. Barton telah melanjutkan marginalisasi kaum perempuan, miskin dan orang asing. Apapun itu, sebenarnya bagi Mein, Barton telah memberi perhatian khusu bagi pentingnya kelompok sosial bagi etika. Lepas dari Barton, Mein membagi Mazmur 101 dengan tiga pertanyaan: apa norma etika yang ditemukan secara eksplisit pada bagian tersebut, apa dasar rasionalnya, apa nilai yang dipromosikan? Mazmur 101 sebagai mazmur kerajaan merupakan mazmur yang paling konsisten dalam menjawab pertanyaan moral. Mazmur ini mengatur standar bersikap raja bagi pemerintahan yang baik. Penulis dari Mazmur ini kelihatannya merupakan seseorang yang memiliki kekuatan hukum kuat di Yerusalem, selain karena, suasana yang digambarkan dalam teks ini sepertinya mengarah kepada upacara kerajaan Yehuda. Terdapat beberapa penafsiran penting secara leksikal terhadap teks ini yang mengindikasikan beberapa hal; bahwa Mazmur ini dibuka dengan pengertian bahwa penulisnya memiliki sebuah pemahaman yang sangat baik terhadap kemuliaan ilahi yang tercermin dalam peraturan-peraturan manusia. Mazmur ini dibuka dengan pemahaman antara kualitas moral yang diperlihatkan oleh raja dan ekspektasinya terhadap orang-orang yang melayaninya. Dilanjutkan dengan penekanan bahwa raja adalah orang yang memiliki integritas hati dan pikiran. Ayat 3 menghasilkan sedikit kebingungan tentang siapa sesungguhnya yang tidak ingin dilihat raja, orang yang melakukan pelanggaran atau mereka yang jatuh secara tidak sengaja dalam kesalahan. Ayat 4 menggambarkan tentang pandangan raja terhadap dirinya sendiri yang tidak mentolerir orang-orang jahat (orang-orang yang tidak murni hatinya). Ayat 5 menggambarkan tentang tindakan yang salah secara spesifik. Ayat 6 dan 7 memberi penekanan tentang kejujuran dan integritas. Ia menolak orang-orang yang munafik atau pendusta. Ayat 8 memberikan dua penekanan penting yaitu tentang keadilan sebagaimana klaim raja bahwa ia akan menghancurkan semua kejahatan di daratan dan memotong semua pelaku kejahatan dari kota dan tanah itu yang dimulai dari dalam rumahnya sendiri, lalu ke luar. Penafsiran singkat tersebut merupakan bukti dari kedalaman etika yaitu cara untuk menjadi murni, hati yang jahat, dll. Mazmur 101 ini memiliki keprihatinan terhadap keadilan sosial. Menjabarkan tentang integritas dan kejujuran. Dosa digambarkan sebagai membicarakan orang di belakang dan menipu, dan orang-orang yang melakukan ini ditolak sebagai anggota dewan dalam pengadilan. Orang-orang yang diterima sebagai anggota dewan adalah mereka yang jujur dan berintegritas. Dari sini, jawaban tentang siapa pelaku etika dalam konteks pasal ini terjawab sudah. Beberapa komentator melihat teks ini sebagai komitmen raja kepada Taurat. Moller mendasarkan tesisnya pada ketaatan terhadap kehendak ilahi. Dibanding pasal paralelnya, Mazmur 18, ada perbedaan menarik di antara keduanya. Pasal ini merupakan bentuk ucapan syukur karena kekalahan musuh, namun di pertengahan pasal diselingi dengan salah satu contoh moral dimana kesuksesan keadilan raja ditentukan oleh kebajikannya. Dalam hal ini kebajikan raja dihubungkan langsung dengan ketaatannya. Namun dalam pasal 110, tanggungjawab secara resmi dituliskan lebih eksplisit. Sulit untuk mengetahui substansi jelas, yang dimaksud dengan “ketaatan kepada pewahyuan keinginan Allah”. Mazmur sendiri hanya sedikit memuat pengajaran yang memimpin kepada kehidupan secara legalitas dan sesuai dengan peraturan berlaku. Sikap dari pemimpin dalam pemerintahannya merupakan hal penentu bagi kepemimpinan dalam pemerintahan mereka. Ada juga yang menghubungkan raja sebagai gerbang liturgi (Ps 15 dan 24), penjaga gerbang Taurat (Krauss), pengatus administrasi yang benar dalam kenegaraan (Gunkel), dan imitasi dari Allah (Wenham). Sejalan dengan itu, maka Mazmur memberikan pula penekanan terhadap cara untuk menjadi murni. Namun sepertinya, integritas atau kemurnian tetap merupakan karakteristik ilahi. Pasal 18 ayat 30 menunjukkan bahwa kemurnian Allah itu ditransferkan kepada raja. Kraus menafsirkan bahwa Mazmur 110, Allah juga merepresentasikan sistem keadilan-Nya. Jadi, raja merupakan model bagi moral yaitu model kebajikan bagi dewan pengadilannya, dan menjadi model refleksi karena sifat keilahiannya. Dalam rumah tangga kerajaannya sebagai kaum elit di Yehuda, ia juga menerapkan kejujuran dan kebenaran bagi para anggota kerajaan, baik dari segi administrasi dan birokrasi kerajaan. Agak sedikit aneh jika pasal 110 ini tidak menyinggung tentang tindakan yang patut diambil bagi kaum miskin. Bukan tidak, namun sepertinya kemiskinan telah dikaitkan dengan tindakan keliru atau pelanggaran, sehingga mereka berada dalam keadaan itu. Penekanan hanya diberikan kepada karakteristik moral kerajaan. Pasal ini memberi gambaran tentang raja sebagai figur ideal Allah di dunia, namun juga bersifat sebagai pelayan Allah bagi sesamanya. Raja merupakan simbol utama antara Allah dan manusia. Allah merupakan model bagi raja yang adalah model bagi dewan pengadilannya dan dewan ini merupakan model bagi orang Israel secara keseluruhan. Ada perbedaan antara dunia kerajaan dan dunia luar. Kerajaan digambarkan sebagai dunia yang penuh dengan norma moral dan kemurnian sementara dunia luar digambarkran sebagai dunia yang tidak bermoral dan penuh kejahatan (p.66). Tetap masih ada sedikit kebingungan tentang cara menangani kejahatan. Secara teoritis, raja dengan kemurniannya menolak setiap pelaku kejahatan, meski pada praktisnya tidak menyeluruh. Raja berharap bahwa ia dapat mempertahankan integritasnya, walaupun terdapat perbedaan antara hareapan dengan fakta di lapangan. Mein mengutip penjelasan Lasine tentang sifat paradoks dalam kitab kehidupan raja-raja tentang “siapa” sesungguhnya yang ada dalam pengadilan kerajaan. Menurut Lasine terdapat sifat paradoks yang fundamental dalam diri seorang raja antara dia sebagai figur yang selalu sendiri dan tidak pernah sendiri. Raja, mungkin memiliki kekuatan pribadi yang unik, namun ia hanya dapat melatih kekuatan itu melalui orang lain. Dan orang-orang itu pertama-tama adalah anggota dari dewan pengadilan atau kerajaan itu sendiri. Dari sini harus diakui bahwa, memang, mau tidak mau, kekuatan besar yang dimiliki oleh seorang raja ternyata berasal dari sugesti para pelayannya. Kesuksesan seorang raja berasal dari kesuksesan pegawai-pegawainya. Dia bisa saja adalah orang yang mengetahui segalanya, namun semuanya ini diperoleh, hanya apabila ia dapat merasa aman dan nyaman tinggal dalam kerajaannya itu. Seorang raja selalu mengetahui di mana menemukan kejahatan dan para pelaku kejahatan, baik di kota atau di tempat-tempat lain dengan kelebihan yang ia miliki (ay 8). Namun ia perlu memperhatikan tiga hal penting dari setiap informasi yang ia terima: Kejujuran, reliabilitas, dan transparansi. Disarikan dari tulisan Andrew Nein