Rabu, 14 Februari 2018

Sisi Gelap Allah dalam Perjanjian Lama

The Dark Side Of God In The Old Testament By John Barton dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7


Ada beberapa kejadian tindakan Allah dalam PL yang menggambarkan Allah sebagai sosok yang kejam. Inilah yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai sisi gelap Allah dalam PL. Barton secara khusus mengkritisi tulisan Dietrich dan Link tentang fenomena ini. Beberapa pertanyaan muncul seputar tindakan Allah dalam kedaulatan-Nya bagi dunia. Jika Dia Allah, mengapa Ia mengizinkan manusia jatuh ke dalam dosa? Mengapa Allah membedakan kasih kepada satu orang dengan yang lain? Jika Dia Allah, mengapa Dia membiarkan umat-Nya menderita? Pertanyaan-pertanyaan sejenis merujuk sebuah pertanyaan sentral tentang hakikat Allah yang adil.
Paulus memandang hal ini sebagai bagian dari kedaulatan Allah (P.123) dan menekankan pada fakta bahwa Israel memang sebenarnya tidak layak untuk mendapat bagian dalam kasih Allah apalagi keselamatannya. Kasih merupakan identitas nyata kedaulatan Allah. Israel didampuk tugas untuk menjadi simbol hubungan Allah dengan dunia. Allah menolak mereka karena dosa yang mereka lakukan. Dalam hal ini, sebagaimana Amos katakan, Israel menjadi gambaran bagi orang-orang yang terpilih namun terbukti melakukan kejahatan. Allah sebagai pemilik kedaulatan dunia dan penilik sejarah perjalanan sejarah dunia sebenarnya bebas bertindak sesuai dengan kemauannya terhadap siapa saja. Namun karena Israel merupakan bangsa yang Ia pilih dan memiliki hubungan istimewa dengan Allah, maka Allah berhak untuk mengasihi, marah, dan menghukum mereka. Semua ini dilakukan justru karena Israel memiliki hubungan istimewa dengan Allah. Kecemburuan Allah merupakan indikasi utama adanya hubungan istimewa antara Allah dan manusia.
Tindakan nyata Allah seperti membiarkan Israel berada dalam penderitaan karena perang, penjajahan dan pembuangan karena kehangatan murka-Nya memang menimbulkan pertanyaan, khususnya bagi para pemikir masa kini. Kekejaman Allah yang meminta Israel untuk memusnahkan para musuh mereka juga menimbulkan pertanyaan. Mereka menganggap tindakan nyata-nyata Allah sebagai efek dari kemarahan-Nya ini merupakan sisi gelap dari pribadi Allah dalam PL. Ini juga yang menjadi alasan banyak teolog untuk memilih mengabaikan figur Allah PL. Von Rad memandang hal ini sebagai bukti keesklusivan Allah (p.125). Barton meniliknya dari rasa cemburu yang dimiliki oleh Allah dan menekankan bahwa perasaan cemburu ini timbul karena begitu besarnya kasih yang Allah miliki bagi Israel (p.125). Allah yang penuh kasih ini juga bahkan tidak segan-segan membalas dendam karena tangisan umat Israel dalam PL akibat ketidakadilan yang menimpa mereka. Memang sedikit membingungkan, Allah menurut pelapor seolah menjadi sosok yang serba tidak konsisten. Maksudnya, ketika Allah cemburu kepada Israel, Ia membiarkan Israel masuk dalam penderitaan hebat sampai mereka “merengek” kepada Allah. Lalu Allah datang membela mereka dan menghancurkan bangsa yang sudah memperlakukan Israel dengan buruk. Pertanyaannya, mengapa Allah tidak sejak awal saja mendidik mereka dengan “cara lain” tanpa perlu melibatkan bangsa lain? Atau jika Israel memang ditentukan untuk menjadi saksi Allah bagi bangsa lain, dan jika mereka gagal, dan mengadu kepada Allah, mengapa Allah harus menghukum bangsa Israel. Bukankah kegagalan itu terletak pada bangsa Israel. Allah dalam satu waktu meminta bangsa Israel untuk menjadi saksi, di lain waktu memaksa bangsa Israel untuk memusnahkan bangsa lain. Apa yang sesungguhnya Allah inginkan dari bangsa Israel? Kesetiaan mungkin?
Dietrich dan Link memberi penilaian terhadap kehangatan amarah Allah sebagai “sisi gelap” Allah ini dari sudut anthropomorpisme. Allah dalam sifat yang sama seperti manusia. Allah yang sama bisa menjadi Allah yang demikian romantis dan penuh cinta dalam tindakan-Nya namun bisa saja marah besar dan membalas dendam  karena kecemburuan-Nya. Inilah konsekuensi logis cinta. Allah yang sangat kejam bisa menjadi Allah yang rela menderita bagi orang-orang yang dikasihi-Nya. Tindakan Allah seperti dua sisi dalam mata uang. Allah bisa saja menyelesaikan semua masalah dan penderitaan Israel karena kekuatan dashyat yang Ia  miliki, namun Ia memilih untuk ikut menderita bersama Israel. Segala hal yang terjadi memang berada dalam perhatian Allah dan kawasan kedaulatan Allah, namun Allah siap masuk untuk terlibat langsung di dalamnya. Bukan karena Ia tidak mampu, namun karena Ia mau terlibat dalam sejarah hidup manusia. Inilah gambaran Allah yang monoteistik. Allah yang sama namun dengan sisi yang berbeda. Allah yang menciptakan semua kebaikan namun juga menciptakan setan, bapa dari segala kejahatan. Dalam banyak kasus, Allah jugalah yang kemudian dituduh dan diminta pertanggungjawaban atas semua kesulitan yang menimpa kehidupan manusia. Karena Allahlah pencipta segala sesuatunya, pemilik ide utama penciptaan dunia. Sulit dimengerti oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi, seperti yang dikutip Barton dalam tulisan Luther bahwa kita tidak bisa berharap untuk mengerti jalan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Bagaimanapun, kita terbatas. Dua sisi Allah ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah yang tadinya bisa demikian kejam, pada suatu waktu dapat menjadi Allah yang begitu baik bagi manusia. Ia bersama manusia melewati penderitaan yang ada dan merancangkan kebaikan bagi manusia. Kemahakuasaan-Nya ini sering muncul dalam tindakan yang tidak terprediksi oleh manusia (p. 129).
Tidak hanya digambarkan sebagai Allah yang Maha Kuasa dan berdaulat atas semua ciptaan, Dietrich dan Link  sebagaimana dilaporkan Barton berdasarkan teks Ibrani digambarkan juga sebagai Allah yang memiliki keterbatasan. Allah sering digambarkan sebagai Allah yang terbatas dalam menanggapi pengalaman hidup manusia, lamban dan seperti tidak punya kekuatan (p.129). Kontradiksi penggambaran karakteristik Allah ini bagi para pemikir masa kini tentu melahirkan polemik. Bagi penulis kitab-kitab Ibrani, ide tentang karakteristik Allah ini bukanlah hal yang  aneh jika dilihat dari sisi anthropomospisme. Masalahnya adalah bukan pada Allah yang terbatas, namun pada manusia yang terbatas dalam membahasakannya. Orang Israel tidak begitu saja menaruh kepercayaannya pada Allah karena kekuatan besar yang Ia miliki, namun juga pada hal-hal konkrit yang ada di hadapan mereka hari lepas hari . (p.129). Allah bagi orang Israel bukanlah Allah yang abstrak, Ia hidup di sepanjang perjalanan sejarah kehidupan umat-Nya. Kita dapat menyaksikan bagaimana Allah dapat saja “Menyesal” karena tindakan yang Ia lakukan kemudian mengubah pikiran-Nya dan membuat rencana baru bagi umat-Nya. Bagi para ahli, bisa saja ketidakkonsistenan Allah ini merupakan hal yang memalukan, namun seperti kata Barton, Allah dalam PL adalah Allah bagi Abraham, Ishak, dan Yakub, bukan Allah bagi para filsuf. (p.130). Keterbatasan Allah, kelemahan hati-Nya ini justru bukti betapa Ia begitu mengasihi Israel, umat-Nya. Kekuatan kasih terletak pada mengampuni, dan ini terjadi berkali-kali dalam perjalanan sejarah Israel.
Barton dalam tema ini secara khusus memberikan evaluasinya terhadap tulisan Dietrich dan Link tentang “Sisi Gelap Allah dalam PL”. Sepertinya judul ini memang menyudutkan Allah. Namun faktanya, bukan hanya dunia luar, Kristenpun bertanya tentang hal ini. Barton memberi penilaian positifnya bagi kedua penulis tersebut. Sebenarnya mereka sedang mengupayakan sebuah proyek apologetis bagi iman Kristen, bahwa Allah bertindak dalam cara yang seimbang. Tindakan Allah ini menunjukkan bahwa Ia bukanlah Tuhan yang pasif terhadap perjalanan hidup manusia. Selain itu, sebenarnya, bukan Allah yang memiliki keterbatasan, namun manusialah yang terbatas dalam upayanya menggambarkan Allah. Pengetahuan terbaik kita bagi Barton adalah dengan mengakui bahwa seberapa pun usaha kita, kita tetaplah tidak tahu apa-apa atau sangat terbatas tahu tentang Allah. Allah bukanlah Allah yang begitu mengkuatirkan penilaian manusia terhadap tindakan-Nya, karena apapun yang Dia lakukan dalam sejarah hidup manusia, Dia tetaplah Allah. 

Minggu, 11 Februari 2018

Perang Suci dalam Hakim-hakim

The Ethics Of Warfare and The Holy War Tradition In The Book Of Judges By Janet Tollington dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Dalam upaya mengirim bangsa Israel ke Kanaan, Allah sepertinya memang telah mempersiapkan mereka sebagai umat yang tangguh dalam berperang. Bahkan setelah Israel masuk ke negeri Kanaan, tetap saja sering terjadi peperangan antara Israel dan bangsa di sekitarnya, entah itu dalam upaya perebutan wilayah atau pertahanan. Kitab Hakim-hakim kebanyakan menggambarkan tentang kisah-kisah peperangan ini. Oleh para ahli, perang yang ditulis dalam kisah ini kebanyakan merupakan perang kudus karena dalam hal ini, Tuhanlah yang berperang bagi Israel. Perang yang dimaksud di sini tidak hanya memiliki arti tindakan penyerangan namun juga memiliki kesamaan arti dengan membinasakan (p.75).
Ini juga tidak juga secara keseluruhan, karena jika ditilik, terdapat begitu banyak peristiwa jatuh bangun bangsa Israel sebagai suatu bangsa. Tidak digambarkan sebuah peperangan yang mencakup bangsa Israel secara keseluruhan, hanya berupa suku-suku di Israel. Menurut Tollington sendiri, kitab ini kemungkinan sudah mengalami pengeditan oleh beberapa orang yang berkepentingan agar dapat dipakai menjadi kitab bagi komunitas orang percaya. Hal ini terlihat dari adanya dalam cara menggunakan bahasa dan mempresentasikan semua isu tentang peran Allah dalam dengan perang. Ada juga kemungkinan bahwa penulis kitab ini dengan sengaja telah menyembunyikan opini etisnya dan membiarkan para pembacanya untuk menarik kesimpulan pribadi dari tulisan mereka (p. 73).
Yang jelas, dari sudut etis, kejatuhan Israel ke dalam penjajahan dan penderitaan terjadi karena mereka melupakan Tuhan dengan menyembah berhala. Hal ini merupakan tindakan yang dipandang jahat oleh Allah. Kitab Hakim-hakim menghadirkan konsep tentang perang sebagai pengajaran Tuhan kepada Israel dalam konteks mereka sebagai suatu bangsa. Perang digunakan Tuhan untuk menguji apakah Israel taat atau tidak kepada-Nya.
Dilihat dari latarbelakangnya, Sosipater menjabarkan bahwa moralitas ini merupakan pengaruh dari bangsa-bangsa kafir. Pada masa kepemimpinan Yosua, Israel telah diperintahkan untuk mengusir bangsa-bangsa kafir dari negeri mereka. Namun mereka sepertinya tidak menganggap peringatan ini sebagai sebuah peringatan serius. Terjadi kawin campur, toleransi dengan kebudayaan kafir, dan inilah yang mengakibatkan kemarahan Allah (p.259). Zuck juga memberi pendapatnya bahwa akibat dari tindakan mereka, generasi baru yang berada di Kanaan tidak memiliki pengenalan yang jelas tentang Allah. Para tua-tua kurang memberi pengajaran kepada mereka, sehingga ada bagian sejarah yang hilang dari diri mereka. Ketidaktaatan awal yang kelihatan sederhana ini berujung kepada kemurtadan bangsa Israel. Kemurtadan ini tidak hanya berdampak pada sistem keagamaan, namun juga pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Perang bukan hanya terjadi karena mempertahankan diri dari bangsa lain namun juga perang saudara. Ketaatan dimulai dari hal yang terkecil. (P.199-202).
Tangisan mereka membuat Allah melepaskan mereka. (p.75). Penderitaan itu akan dilepaskan jika bangsa Israel berbalik lagi kepada Allah. Allah akan menolong dan berperang bagi mereka dengan memakai seorang hakim sebagai pemimpin. Intinya adalah, keamanan dan kenyamanan mereka sebagai suatu bangsa ditentukan melalui hubungan mereka dengan Tuhan.
Pertanyaannya adalah benarkah Allah yang memiliki hakikat penuh kasih ternyata merupakan Tuhan yang berperang? Jika perang identik dengan pembunuhan, dimanakah letak kasih Allah? Para Teolog sendiri sempat kebingungan untuk menemukan konsistensi ide tentang Allah yang penuh kasih dengan Tuhan yang memiliki Roh perang, merancang perang bahkan berkeingininan untuk menghancurkan musuh Israel demi membawa kedamaian bagi bangsa Israel (p. 72). Secara etis, tindakan Allah ini memiliki penekanan terhadap komitmen Allah terhadap umat pilihan-Nya dalam masa politeistik di zaman Hakim-hakim itu.  
Untuk itu, dalam berperang, Israel tidak membutuhkan mesin perang. Allah sendiri akan menggunakan senjata alam untuk menghalau musuh Israel. Israel hanya perlu bersifat pasif, tanpa menodai diri atau tangan mereka dengan darah. Konsekuensi etisnya, mereka harus bertanggung jawab secara moral kepada Allah.
Sayangnya, bangsa Israel tidak belajar dari kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya. Kejahatan mereka tetap sama, kembali, berulang-ulang jatuh dalam penyembahan berhala. Mereka kuat ketika pemimpin mereka ada. Mereka masuk dalam waktu tenang selama beberapa puluh tahun. Namun suasana tenang ini sepertinya telah menjadi pemicu kejatuhan mereka ke dalam penyembahan berhala.
Di lain pihak, Hakim yang dipilih Allah, bukanlah orang-orang yang memang berasal dari tua-tua atau kepala suku di Israel. Menurut Blommendaal, hakim ini dipilih dari satu atau dua suku untuk melakukan perang melawan bangsa-bangsa musuh mereka. Hal ini tidak bergantung pada kharisma mereka ataupun garis keturunan mereka (p.71). Mereka hadir dengan cirikhas dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Gideon yang meminta tanda, Yefta yang awalnya ditolak namun dipanggil kembali untuk menjadi pemimpin, Simson yang seorang nazir, namun dalam perjalanan ceritanya justru hanya melibatkan dia sebagai pelaku tunggal dalam alur cerita tersebut, dll. Dari kesemua hal ini dapat dilihat bahwa Allah bisa melakukan apa saja, melalui siapa saja, dengan cara apa saja, agar umat ini tetap bertahan. Masa ini bisa jadi memang merupakan masa kekosongan Teokrasi, atau masa gelap dalam keagamaan umat Israel. Sehingga berulang-ulang mereka dicap “melakukan segala sesuatu menurut pandangannya sendiri”, tanpa pedoman. Namun Allah tetap mempertahankan bangsa ini. Tujuan Allah tetap sama, Ia ingin mempersiapkan satu umat yang taat kepada-Nya, bagaimanapun caranya.
Prophecy, Ethics, and The Divine Anger By Ronald E. Clements
Pemakaian istilah tentang kemarahan Allah dalam buku nubuatan Yesaya (5:25 – 30) sepertinya telah menimbulkan pertanyaan khusus terlebih-lebih dengan bukti kedatangan Asyur untuk menyerang wilayah Israel dan Yehuda. Asyur dalam hal ini dipakai oleh Allah untuk menghajar Israel. Namun perjalanan ini tidak sampai di sini saja. Di balik pernyataan ini sepertinya telah menjadi tersisipi kepentingan. Dalam Nubuatan disampaikan berbagai macam pengajaan dan peringatan secara politis sebagai bentuk antisipasi dari pengalaman berikutnya.  Tujuan keilahian Allah bagi bangsa Israel sebenarnya adalah anugerah. Penderitaan, ketidakadilan, dan kematian karena peperangan merupakan konsekuensi kemarahan Allah yang disebabkan oleh sikap manusia. (p.89). Alasan sebenarnya simpel, Allah ingin agar melalui nubuatan yang disampaikan oleh para nabi, bangsa Israel mau memberi respon dengan berbalik kepada Allah.
Penjelasan tentang penyebab kemarahan Allah ini dapat dilihat dari beberapa segi, antaralain: karena ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di Israel dan penolakan Israel secara umum terhadap keadilan dan komitmen agama.  
Ada kemungkinan besar menurut beberapa ahli bahwa nubuatan tentang kemarahan Allah ini sebenarnya menekankan pada kasus kejahatan moral dan keadilan. Tidak heran jika diabad ke-19, nubuatan ini dianggap telah memberi penekanan yang besar pada isu etis yang berdampak pada semua umat manusia.
Harapan untuk hidup kudus sebagai suatu bangsa melahirkan masalah besar. Kejahatan dan keterpurukan struktural dalam bangsa Israel telah menyebabkan kemarahan Allah (p 90). Namun kita juga tidak boleh terlalu jauh masuk dalam ide bahwa kemarahan Allah merupakan faktor penyebab dari kondisi buruk yang dialami oleh manusia. Penjelasan ini malah menghasilkan kritik tersendiri. Yang paling jelas dari tulisan nubuatan para nabi tentang kemarahan Allah adalah bahwa kemarahan ini disebabkan oleh tindakan bangsa Israel yang meninggalkan Allah dengan melakukan penyembahan berhala. Allah menginginkan kehormatan dari manusia. Ia merancangkan satu umat yang memiliki kepercayaan monoteis, hanya menyembah kepada-Nya, bukan politeis yang beribadat kepada banyak dewa. Inilah yang sedang diusahakan oleh para nabi, yaitu agar bangsa Israel bahkan segala bangsa dapat datang dan menyembah Allah. Kemarahan Allah merupakan konsekuensi etis sebuah ketidaksetiaan kepada Allah (p.91).
Nabi-nabi merupakan pionir bagi etika monoteis di Israel. Peringatan tentang kemarahan Allah kepada orang Israel dan keluarga bangsa-bangsa secara umum sebagaimana diinterpretasikan oleh para nabi bermaksud untuk memberikan prioritas etika bagi agama dan juga bagi reformasi masyarakat.
Memang terdapat kontradiksi antara sifat Allah yang  penuh kasih karunia dengan Allah yang penuh amarah dan dendam atau cemburu bahkan dapat menghancurkan kehidupan manusia. Namun natur-natur Allah yang diterangkan dalam Alkitab ini merupakan bentuk dari tindakan kasih sekaligus keadilan Allah di dalam dunia. Para ahli teologi menggunakan pendekatan untuk menjembatani PL dan PB dengan dunia kita masa kini. Memang perlu diakui bahwa terdapat kesulitan dalam menganalogikan atau menjelaskan ulang natur Allah yang penuh amarah dalam bahasa manusia. Pengalaman-pengalaman buruk, luka, menghantarkan manusia pada pertanyaan tentang kasih Allah. Ini terjadi berulang-ulang dalam kehidupan manusia tanpa studi khusus. Namun pengkajian ulang mulai menemukan bahwa fenomena “buruk” dalam kehidupan manusia bisa jadi merupakan kejadian yang Allah izinkan terjadi, bisa jadi karena faktor diri sendiri atau memang karena tindakan Iblis. Apapun itu, para ahli modern percaya bahwa semuanya ada dalam providensia Allah (p.95).
Kemarahan Allah dalam PL pun bagaimanapun telah membawa ide tentang gambaran Allah PL yang penuh dengan kekejaman. Dan ini membuat pengakuan pada ke-Allahan PL sepertinya berkurang. Pihak-pihak tertentu bahkan menolak keAllahan PL. Banyak penafsir masa kini mencoba juga untuk menafsirkan sifat Allah yang satu ini dalam kaitannya dengan pengalaman-pengalaman buruk yang dialami oleh manusia. Mungkinkah Allah yang penuh kasih itu menjadi Allah yang demikian kejam atau penuh dengan kemarahan?
Satu hal menarik dapat penulis lihat dari kronologis lahirnya kemarahan Allah ini. Manusia berbuat jahat sehingga Allah marah. Kejahatan yang dimaksud adalah karena manusia telah tidak setia terhadap Allah dengan berpaling dan menyembah Allah lain. Allah yang merasa bahwa kehormatan-Nya sebagai Allah pencipta dan sebagai satu-satunya Oknum yang pantas untuk disembah, cemburu. Amarah itu muncul karena rasa cemburu yang berasa di dalam diri Allah. Inilah hukum pertama sampai keempat dan penekanannya dalam ayat ke-5 dan ke-6 dari Keluaran 20. 

Rabu, 07 Februari 2018

Intip Apa yang Dilakukan Oleh Yusuf dan Istri Potifar

Etika Nafsu atau Bernafsu dalam cara yang Etis?

Tulisan ini disarikan dari pemikiran Diana Lipton dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Dalam segala keterbatasan pemahaman bahasa, merupakan sebuah keterkejutan tersendiri bagi pelapor ketika membaca judul ini. Kata “desire” dalam judul ini memberi gambaran tentang adanya suatu keinginan kuat dari subjek terhadap sesuatu. Keinginan kuat bagi pelapor merujuk kepada sebuah pemikiran tentang nafsu. Tapi benarkah sub judul ini berkaitan dengan nafsu? Berdasarkan pemahaman ini pelapor memperoleh judul dari sub-bab ini yaitu nafsu untuk beretika atau etika nafsu. Lepas dari apakah penterjemahan judul ini salah atau benar, isi dari bagian ini sepertinya justru telah lebih mengejutkan pelapor.
Beban dari penulis judul ini adalah bagi pengajaran anak. Hal ini penting, mengingat perkembangan pengetahuan pada anak-anak dan pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari mereka tentang peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Menurut pelapor, tidak hanya anak, setiap orang yang membaca dan mengkaji pun bertanya. Tapi bagaimana cara menyesuaikan fakta konteks di balik narasi Alkitab terhadap setiap penanya dalam berbagai usia?
Lipton mendasarkan kasus untuk studinya tentang judul ini pada Kej 39. Bila kurang awas, kita akan terjebak pada perasaan aneh ketika membaca tema ini dan pelapor sendiri mengalaminya. Bisa jadi ini, masalah budaya.
Memasuki pembahasan awalnya, Lipton sendiri sudah memperingatkan bahwa ada perbedaan etika antara konteks masa lalu yang terdapat dalam narasi Alkitab dan para ahli kitab Ibrani dengan etika masa kini khususnya komunitas orang beriman. Bahkan jika pelapor boleh menambahkan, bagaimana dengan pembacanya dalam konteks Indonesia? Bahkan sebenarnya, narasi Alkitab sangat jarang memberikan model baku tentang etika dan kebanyakan hanya bersifat tipologi. Secara tipologis, ada berbagai macam pesan tersembunyi dalam narasi Alkitab dan inilah yang sedang dikupas. Terdapat juga berbagai macam metode untuk menginterpretasikan secara tipologis dan mereinterprasi narasi dalam Alkitab secara etis bagi dunia masa kini berdasarkan budaya asli Israel. Bukan suatu usaha yang mudah mengingat adanya celah budaya dan waktu antara kita dan Israel kuno sehingga menghasilkan makna yang kompleks bahkan bisa jadi ambigu. Selain itu, sepertinya, ada kaitan erat antara etika dan hukum yang berlaku secara legal dalam masyarakat. Orang yang masuk dalam satu komunitas tertentu harus juga taat terhadap norma atau hukum yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan kata lain, hukum bisa jadi merupakan tanda pengenal dan bentuk ideal suatu kebudayaan. Hukum merupakan tema sentral dalam narasi Alkitab meski dalam praktisnya sering bersifat fleksibel. Penerapan yang fleksibel ini sepertinya memang telah menurunkan derajat dari hukum tersebut, namun inilah bukti keterbatasan manusia. Apapun bentuknya, narasi Alkitab telah mencoba dengan berbagai karakter yang kompleks agar poin utama dari kitab Hukum tetap dapat tetap diterapkan.  
Ada berbagai isu penting yang muncul dalam narasi Alkitab tentang etika kehidupan bangsa Israel yang perlu diperhatikan oleh orang percaya di zaman sekarang, selain karena sepertinya bermakna yang ambigu, isu-isu yang dibahas dalam narasi Alkitab ternyata bukanlah hal yang cukup layak untuk dijadikan teladan. Hal ini terus dipertanyakan, dibahas dan diusahakan agar diperoleh aplikasi yang tepat secara etis. Pelapor sendiri sebenarnya, dan banyak orang lain juga mulai mempertanyakan tentang peran tokoh-tokoh Alkitab dalam PL yang memang dalam kasus-kasus mereka, tidak cukup layak untuk ditiru. Abraham yang diakui sebagai bapa orang beriman contohnya atau Daud yang namanya dikenang dan dibanggakan sampai saat ini. Secara moral apalagi dalam kaitannya dengan etika Kristen masa kini, bagaimana mungkin orang-orang ini dapat dijadikan model etika? Berbagai pertanyaan tentang PL diajukan dalam kaitannya dengan etika dan ini menuntut tidak hanya penerapannya bagi masa kini namun eksegesis berdasarkan konteks asli pada fakta Alkitab harus disampaikan tanpa perlu ditutup-tutupi. Manusia Kristen saat ini perlu bersikap lebih dewasa, bahwa bagaimanapun gelapnya, inilah fakta PL tentang perilaku normatif para tokohnya. Pertanyaannya adalah bagaimana Kristen masa kini menentukan tindakan apa yang harus ditempuh secara etis dalam menangani kasus yang serupa?
Contoh kasus yang digunakan oleh Lipton sangat menarik. Peristiwa yang terjadi antara Yusuf dan istri Potifar di rumah kediaman Potifar (Kej 39) ternyata memiliki kaitan erat dengan berbagai masalah lain, secara etis. Pelapor sendiri dan kebanyakan orang yang belum menyelidiki tentang hal ini dari sudut budaya Indonesia tentu akan menyudutkan istri Potifar karena tindakannya. Tindakan ini dalam benak pelapor, awalnya, tentu merupakan sebuah tindakan asusila; mengajak orang lain yang bukan suaminya untuk tidur bersama. Lipton sendiri menunjukkan tiga macam kesalahan dari nyonya Potifar dalam tindakannya itu; menggoda Yusuf untuk bersetubuh, berzinah atau membuat suaminya cemburu dengan menggoda Yusuf.
Sub judul ini sangat membuat pelapor pusing dan terkaget-kaget. Selama ini, bagian-bagian ini memang menimbulkan pertanyaan namun tanpa ada tindak lanjut dengan penelitian. Namun di lain pihak, Lipton mencoba mengungkap kemungkinan lain di balik kasus ini, mungkin dari sisi feminis, yaitu adanya keinginan istri Potifar untuk melanjutkan garis keturunan dari suaminya, Potifar. Dan ini sama dengan tindakan donasi sperma atau rahim agar memiliki keturunan. Nyonya Potifar dalam hal ini justru memiliki niat baik bagi suaminya, yaitu untuk mengamankan atau berniat melestarikan nama suaminya. Tamar juga melakukan hal yang sama agar garis keturunan dari sang suami tetap ada, maka ia tidur dengan Yehuda, mertuanya. Tindakan yang diambil kedua perempuan ini sama, namun hasilnya berbeda. Tamar berhasil mendekati Yehuda sementara Istri Potifar tidak,  karena pendekatan yang mereka lakukan juga berbeda. Ini juga yang terjadi pada Abraham dan Sarah saat mereka menantikan anak. Sarah yang tidak sabar akhirnya menyuruh Abraham suaminya untuk “tidur” dengan Hagar budak mereka untuk memakai rahim Hagar sebagai tempat penitipan Sperma sehingga dapat meneruskan garis keturunan mereka. Jadi titik fokus mereka terletak pada bagaimana garis keturunan mereka dapat berlanjut, bukan pada etis tidaknya tindakan yang mereka lakukan. Ini masalah budaya, bahwa nama atau silsilah memang sangat penting.
Selain itu, dari segi budaya, budaya kuno di Israel memakai budak tidak hanya sebagai pelayan mereka namun juga memiliki hak atas tubuh mereka. Jadi jika tuan mereka “tidak subur” dalam artian mandul, mereka dapat mengambil baik budak laki-laki maupun perempuan untuk “tidur” dengan mereka dan melanjutkan garis keturunan mereka. Sementara anak hasil dari hubungan tersebut, mutlak merupakan milik tuannya. Melihat sistem kebudayaan ini, Yusuf yang telah dijual oleh saudara-saudaranya itu merupakan budak di rumah Potifar dan tindakan istri Potifar mengindikasikan dua; Pengaduan istri Potifar atas tindakan Yusuf si “budak Ibrani” mengindikasikan hal ini (ay 14) bertujuan melindungi martabat suaminya sebagai tuan dan bermaksud untuk mengusir Yusuf dari rumah mereka. Memiliki kuasa dalam “rumah” mengarah tidak hanya kepada harta namun juga kepada si istri.
Mungkin awalnya tidak ada ketertarikan dari istri Potifar karena Yusuf ketika diambil menjadi budak masih muda belia. Namun pertambahan usia dan pertumbuhan tubuh Yusuf sepertinya telah mempesona nyonya Potifar ini. Dan ia menggoda Yusuf untuk tidur dengannya. Ajakan untuk tidur ini sendiri telah dilihat Lipton dari berbagai segi: ia menggunakan kekuasaannya sebagai nyonya rumah agar Yusuf mau memenuhi nafsunya atau ia hanya ingin mengajak Yusuf tidur dan membuat kesepakatan dengan Yusuf. Apapun itu, yang jelas adalah bahwa tindakan nyonya Potifar tidak hanya mengarah kepada tindakan asusila namun juga melibatkan kepentingan ras dan politik. Selain itu, timbul pertanyaan, kemana Potifar pergi? Mengapa ia meninggalkan istrinya? Mungkinkah istri Potifar ini kesepian, ditinggalkan dan karena itu sulit mendapatkan keturunan sehingga ia memutuskan untuk menggoda Yusuf?
Apapun alasannya, ada perbedaan budaya antara nyonya Potifar, Yusuf dan kita pada masa kini. Bisa jadi nyonya Potifar justru telah bertindak berdasarkan budayanya. Tapi kebanyakan kita menilai tindakan nyonya Potifar ini berdasarkan budaya kita dan inilah yang menimbulkan tanggapan negatif terhadap beliau. Dan menilai positif kepada Yusuf yang tetap bertahan pada budayanya dan menjadi orang asing di tanah Mesir. Namun masih ada kemungkinan tafsiran lain. Yusuf melakukan tugasnya sebagai budak berkaitan dengan upaya penerusan garis keturunan, namun di tengah jalan, ia teringat dengan budayanya sendiri. Dan inilah yang membuat Yusuf memutuskan untuk meninggalkan nyonya Potifar dan bajunya.
Lalu bagaimana dengan perasaan nyonya Potifar? Kata “mempermainkan” dalam bahasa Ibrani memiliki makna polisemi yang berarti tidak hanya mengejek, menertawakan, menari, tetapi juga memiliki makna lain dalam kaitannya dengan seks, yaitu bercumbu (peristiwa Ishak dan Ribka yang disaksikan oleh Abimelek dalam Kej 26:8). Dalam benak istri Potifar, bisa jadi Yusuf yang memang telah dibeli oleh Potifar memang dibeli bukan hanya untuk menjadi pelayan rumah, dalam hal ini makanan, namun juga seks. Ketika istri Potifar mengadukan tindakan Yusuf, ia telah memanipulasi kejadian yang sebenarnya. Bukan tentang budaya, namun tentang hasratnya, tentang alasan mengapa ia berteriak. Teriakan istri Potifar bukan karena ingin minta tolong kepada sida-sida lain karena kasus perkosaan yang dilakukan oleh Yusuf. Namun karena sukacita yang ia rasakan. Pirson mengkaji kata “teriakan” ini dan menemukan konotasi bahwa ternyata istri Potifar ini sedang berada dalam keadaan hampir orgasme atau malah orgasme. Atau tafsiran lain mengatakan bahwa tangisan ini terjadi karena istri Potifar malu dan marah terhadap penolakan Yusuf. Tangisannya bermakna ambigu, antara sakit hati atau sukacita. Bagaimanapun juga, untuk menutupi fakta ini, maka harus ada korban.  Kasus dimana Yusuf meninggalkan nyonya Potifar membuat dia dikeluarkan dari rumah Potifar dan masuk ke dalam penjara, karena ia telah menolak otoritas Potifar. Ini nafsu dalam beretika atau etika dalam bernafsu?

Makan Buah kok Dosa?

Etika Taman Eden: Menyibak Kebenaran dalam Kejadian 2-3
Diambil dari pemikiran Robert P. Gordon dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Apa letak masalah sebenarnya dalam Kej 3? Kunci masalah itu terletak pada “memakan buah yang dilarang”. Inilah bukti awal dari ketidaktaatan manusia dan menjadi manifestasi ketidaktaatan-ketidaktaatan selanjutnya. Cerita tentang sejarah kejatuhan manusia menyebar secara tradisi dalam masyarakat Yahudi. Ada berbagai ahli yang mencoba mengungkap cerita tentang kejatuhan ini dari segi etis. Bahkan tidak jarang timbul perdebatan tentang kebenaran dari kisah dalam Kej 2-3 ini. Dalam teks ini Gordon membahas tentang perdebatan teologi antara Barr dan Moberly tentang siapakah sesungguhnya “pembohong” dalam Kej 2-3 terutama tentang tulisan dalam Kej 2:17. Moberly berpandangan bahwa sebenarnya terdapat fungsi paradigmatis dalam Kej 2-3 atau penjelasan secara metafora terhadap peringatan “kematian” dalam Kej 2:17. Sedangkan Barr menjelaskan bahwa dosa atau kematian merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan. Ketidaktaatan hampir sama dengan tindakan tidak bermoral manusia. Berbeda dengan Moberly, Barr menganggap bahwa “kematian” yang dimaksud dalam teks ini merupakan kematian secara rohani. Barr menganggap bahwa Moberly telah menjerat dirinya sendiri dalam kesulitan dengan pernyataannya bahwa kematian yang dimaksud adalah kematian pikiran secara metafora. Pertanyaannya adalah, mungkinkah ada faktor kesengajaan Allah dalam peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa? Lalu siapa sesungguhnya yang berkata benar? Allah bisa jadi berkata dalam bahasa metafora kemudian mengurangi ancamannya. Namun ada kemungkinan bahwa ular juga mengatakan kebenaran namun hanya sebatas kualitas rasa yang tinggi. Lalu siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Hawa mempersalahkan ular karena sudah memperdayanya. Namun sebenarnya sudah sejak awal timbul niat di hatinya untuk menjadi sama dengan Allah. Sebagaimana penelitian Pitchard, dilihat dari namanya, “pohon Pengetahuan dan Kehidupan”, kedua pohon dalam taman Eden mewakili sifat ilah dalam kepercayaan Timur Dekat. Yaitu bahwa Allah memiliki kebijaksanaan dan kekekalan hidup. Allah menciptakan taman Eden dan manusia ditaruh ke dalamnya. Karena ada kehidupan dan pengetahuan dalam taman ini. Jadi seharusnya, jika Adam dan Hawa tidak menyentuh atau memakan buah itu, mereka tetap memiliki akses masuk ke taman dan untuk hidup selamanya. Ular memakai kata-kata Allah sendiri “kamu pasti tidak akan mati” (3:4) untuk mengelabui mereka yang memang telah menyimpan harapan lebih sebelumnya. Padahal sebenarnya, Allah berkata bahwa mereka akan mati. Tawaran menarik diberikan ular adalah bahwa mereka jauh dari kematian, mata mereka akan terbuka, dan akan memiliki pengetahuan seperti Allah. Kata-kata ular ini jika dilihat dari tinjauan Pitchard memang menunjukkan bahwa ular berhasil memberikan cara agar manusia menjadi sama dengan Allah atau istilahnya salah satu bagian dalam pengadilan Allah di surga.
Berbeda dengan Barr dan Moberly, Mettinger muncul dengan idenya sendiri. Mettinger menggunakan metode komparasi dalam studinya. Baginya, kebijaksanaan atau kekekalan hanyalah ide baru dalam kisah Eden. Allah mengatur Adam untuk masuk dalam sebuah tes dan memperhadapkan mereka dengan pilihan yang radikal. Jika Adam berhasil melaluinya, ia akan mendapat hadiah kekekalan. Keberadaan kedua pohon itu ternyata merupakan sarana untuk menguji ketaatan mereka. Adam gagal untuk mengerti hati dan suara Tuhan dengan lebih memilih untuk mendengar suara istrinya. Kematian dan kekekalan merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan (Kej 2-3). Ular hanyalah agen Allah untuk menguji manusia. Dalam seluruh PL tergambar jelas tentang “Ujian” dan “pilihan” yang menghasilkan ketaatan atau ketidaktaatan. 
Kita lihat, bagaimanapun juga, dosa selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Dan manusia acapkali begitu tidak berdaya dan terpikat olehnya. Anehnya, banyak pengalaman dalam Alkitab yang menggambarkan kelemahan atau tindakan salah manusia tidak disebutkan dengan kata “dosa”. Hal ini karena masyarakat Yahudi telah paham benar bahwa “tindakan salah” merupakan dosa tanpa perlu rekonfirmasi. Klaim bahwa manusia itu tidak sempurna  (Kej 2-3) sehingga mereka bisa saja jatuh perlu dipertanyakan. Sepertinya telah ada kontradiksi antara Kej 2-3 dengan Kej 1. Benarkah Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang “sungguh amat baik” dan Allah puas dengan ciptaan-Nya itu? Atau Allah telah gagal dalam menciptakan manusia sehingga manusia melawan kepada-Nya.
Di lain pihak sepertinya ular telah mengambil telah mengambil peran penting dalam kejatuhan manusia. Ular dengan manisnya menggunakan peringatan Allah kepada Adam tentang “kematian” menjadi memiliki makna yang kontradiksi dengan makna sebelumnya. Dalam hal ini ular memprovokasi Hawa bahwa sebenarnya Allah telah berbohong kepada mereka. Sikap seolah-olah netral yang ditampilkan ular antara Allah dan manusia ternyata telah menjerumuskan manusia kepada kejatuhan. Peringatan Allah dalam Kej 2:17 merupakan sebuah peringatan yang serius. Tidak hanya makan, menyentuh pun dapat mengakibatkan kematian. Keseriusan ini justru tergambar dalam kata-kata Hawa. Di lain pihak, sebenarnya, ketika Hawa diprovokasi, Allah bisa saja secara langsung menghentikan ular, namun di sinilah ketaatan Hawa diuji. Dan Hawa, terprovokasi.
Agustinus melihat tindakan ketidaktaatan Hawa ini sebagai bentuk rasa tidak puas manusia terhadap diri sendiri. Karena itu, tawaran untuk menjadi sama dengan Allah merupakan tawaran yang baik dan tentu sangat menyenangkan bagi mereka.
Kisah menyedihkan tentang efek dosa ini berlanjut. Dosa Adam dan Hawa memiliki konsekuensi pada semua keturunan manusia dan kesadaran akan keberdosaan disertai ratapan tergambar dalam seluruh PL. Mereka diusir dari taman, mengalami permusuhan dengan lingkungan, kehilangan kesenangan dan jaminan keamanan, lebih parah lagi mereka kehilangan harapan untuk dapat hidup selamanya. Harapan bahwa mata mereka akan “terbuka” justru membawa mereka pada fakta memalukan tentang ketelanjangan mereka. Yang jelas bahwa dalam PL, dosa dan kematian seolah merupakan dua hal yang tidak terpisahkan seperti yang tertera jelas dalam Kej 2-3. Banyak ahli menilai bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa ini terjadi karena Hawa. Levison bahkan menegaskan bahwa Istri yang bertabiat buruk akan membawa dampak buruk bagi suaminya. Bagi Breugmann, PL dari kacamata PB memiliki arti ganda karena kekayaan rasa dan kiasan yang ada di dalamnya. Karena itu kekayaan PL ini diterima walau mungkin dalam cara yang berbeda dari penafsiran tradisional.
Allah itu kasih. Tidak semua efek dari kejatuhan ini bersifat negatif bagi hubungan Allah dengan manusia. Ia sendiri yang mencari Adam dan memberi kesempatan mereka untuk mau mengakui kesalahan, Allah juga yang memberi pakaian dari kulit binatang bagi mereka. Apapun yang terjadi, Allah tetap bertindak dalam kasih. Allah sendiri sepertinya telah mengurangi efek dari ketidaktaatan ini. Allah mengambil inisiatif untuk membangun hubungan dengan manusia dalam cara yang baru yaitu ibadah. Ibadah merupakan cara Allah bersentuhan kembali dengan manusia (Kej 4:26).  Allah tetap membuktikan kasih-Nya kepada manusia dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ada sebuah istilah menarik yang digunakan oleh Gordon, “Justru semakin dosa menyebar, semakin menyebar pula kasih karunia Allah”.

Minggu, 04 Februari 2018

Hukuman yang Tepat bagi Anak Nakal

Belakangan ini sedang marak pemunculan anak-anak remaja yang dinilai “nakal” oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Para netizen yang menyaksikan aksi mereka di media sosial memberikan berbagai tanggapan negatif, kritikan pedas, nada yang miring, terhadap semua tindak-tanduk mereka dan mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak bermoral. Namun sayangnya, tidak ada yang mencoba terbuka untuk menyelidiki latarbelakang dari perbuatan mereka dan menolong mereka keluar dari permasalahan moral yang lebih parah. Memang ada banyak anak dibesarkan dalam lingkungan pergaulan dan pendidikan yang baik, keluarga yang rukun, teman-teman yang baik sehingga memiliki karakter baik di mata masyarakat umum. Namun pengalaman dan pendapat ini tentu akan berbanding terbalik untuk kasus anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal. Banyak anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal menganggap kejahatan sebagai sesuatu yang lumrah bahkan tidak mengerti yang mereka dan orang-orang di sekitarnya lakukan itu sebenarnya adalah suatu tindak kejahatan. Dan orang-orang seperti ini akan mengejutkan banyak orang dari latarbelakang sosial yang berbeda begitu pula sebaliknnya, saat dewasa mereka juga akan terkejut dengan kehidupan sosial di luar diri dan lingkungannya saat mereka memasuki lingkungan yang baru. Beberapa tinjauan dari pelaporan buku ini mungkin perlu dilampirkan.
Menurut Burt, rangsangan berlebihan untuk melakukan kejahatan seperti kenakalan, pencurian, serangan, dorongan seksual, ini muncul dan dikendarai oleh perluasan dalam naluri khusus manusia. Orang-orang dengan pengalaman khusus ini mampu mengkondisikan diri mereka dalam memberi reaksi terhadap setiap kebutuhan dengan ekspresi yang mentah; dan sering kali kejahatan dapat menjadi habit mereka. Namun demikian, dalam setiap kegagalan terdapat kesempatan untuk mengembangkan diri dalam menyeimbangkan antara bertahan dan medapat hadiah, sakit dan kesenangan, yang semuanya berkaitan dengan keadilan yang muncul dari dalam diri. Orang-orang dengan masalah seperti ini hanya dapat direhabilitasi dengan pengajaran yang keras dalam jangka panjang, dalam kehidupan sosial, penolakan terhadap perasaan cepat puas seringkali didahului dengan persetujuan atau hadiah. Namun proses untuk “dekondisi” ini mungkin akan memakan waktu yang lama. Ada orang-orang tertentu dalam masyarakat tertentu juga terbebani oleh faktor keturunan, hasrat, intelektual yang kurang menguntungkan, mungkin masuk dalam kelas “moral yang dungu”, atau orang-orang dengan kecenderungan bersifat ganas dan kriminal sejak awal dan tindakan hukum hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki pencegah apa-apa sama sekali. Perbedaan muncul dalam tingkat kenakalan disusun oleh hal-hal yang berkembang dari sisi “inner justice” yang telah dirugikan dalam cara yang berlawanan seperti kekurangan cinta dan penghargaan ketika berbuat baik, dan penekanan yang berlebihan terhadap kekerasan, kesalahan, dan hukuman. Dengan mereka, tidak ada bujukan yang dapat menahan rangsangan mereka, karena pengekangan akan mengusung mereka untuk tidak menjawab atau membalas apapun; mereka secara natural akan mengembangkan sikap demikian, jika tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk menghadirkan cinta seperti yang mereka butuhkan, mereka akan berusaha memperoleh kepuasan apapun dengan cara yang dapat mereka tempuh, entah itu melalui cara yang primitif dan penegasan diri secara egoistik.
Anak-anak seperti ini berada dalam keadaan putus asa. Pengobatan yang tepat bagi orang-orang seperti ini harus dilakukan dengan cara yang berlawanan. Hukuman dan tambahan hukuman yang berat tidak akan berguna bagi mereka; karena tindak kekerasan sudah menjadi gambaran dan habit dalam diri mereka. Yang paling mereka butuhkan adalah cinta kasih, toleransi, dan tidak adanya penolakan kebiasaan. Upaya ini tentu bukanlah upaya yang mudah. Pada masa sebelumnya, kasih dan toleransi umumnya digunakan untuk membalas kebaikan, dan sering dianggap sebagai sisi kelemahan manusia, namun saat ini para ahli menemukan bahwa kasih dan toleransi merupakan cara paling tepat untuk melumpuhkan kemarahan. Orang-orang dengan karakter keras dan dipenuhi rasa ingin merusak dan menyebabkan tangisan, pada sisi lain adalah orang-orang yang butuh kasih sayang dan tangan yang terbuka untuk menuntun dan melindunginya dari kebencian dan tindakan destruktif. Ketika orang-orang seperti ini sudah bisa dijangkau, mereka bisa dididik ulang dengan cara memberi hadiah atau penghargaan terhadap upaya mereka untuk mau menahan diri dan bekerjasama dengan orang lain, mengembangkan pribadinya dengan perasaan dibutuhkan dalam komunitas. Dengan demikian, “kebutuhannya untuk merasa dibutuhkan” terpenuhi dan menghapus perasaan penolakan terhadap masyarakat, dari orang-orang yang menganggap dan dianggapnya sebagai musuh. Penelitian modern dan lebih lunak dikenakan untuk orang-orang dengan kasus seperti ini dan terbukti sangat berhasil, meski untuk mempraktikkannya seringkali dihadapkan dengan ketegangan dengan orang yang menolong mereka, dan diperlukan usaha yang tinggi dan keahlian yang jarang, pandangan yang dalam, dan toleransi ketimbang orang-orang lain dengan tipe kenakalan yang berbeda, karena metode lama berupa kekerasan dan disiplin akan menjadi usaha yang sia-sia bagi kelompok ini. 

Sabtu, 03 Februari 2018

Hal yang Perlu Dicermati Ketika Mengalami Cinta Lintas Budaya


Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam suku, budaya, bahasa, dan agama. Di Indonesia, hasil penelitian Badan Pusat Statistik tahun 2010 melaporkan bahwa terhitung ada 1.340 suku dengan 746 bahasa. Perbedaan ini membuat Indonesia menjadi negara yang kaya dengan khasanah budaya.
Jika bicara tentang hubungan lintas agama, kita akan diperhadapkan dengan berbagai pro dan kontra. Namun tidak banyak orang akan mempermasalahkan tentang hubungan cinta lintas budaya, padahal pada faktanya, ada banyak cerita di balik kisah perbedaan beda budaya ini, mulai dari permasalahan komunikasi, cara pandang, dan tradisi. Yang ingin mencoba menjalin cinta dengan pasangan yang berbeda budaya perlu memperhatikan hal ini. Jika tidak, kita mungkin akan dianggap tidak beretiket.
Misalnya:
Etiket Bertamu
Jika anda bertamu ke rumah pasangan anda yang berasal dari suku Jawa dan anda di tawari minum oleh keluarganya, perhatikan, jangan sampai menghabiskan air yang ada di gelas minuman. Jika tidak, anda akan dianggap kehausan dan tuan rumah akan langsung menambahkan air di gelas anda berulang kali.
Jika anda bertamu ke rumah pasangan anda yang berasal dari suku Batak dan pihak keluarga menawari anda minum, perhatikan, bahwa sebaiknya, anda menghabiskan air yang ada di gelas, karena jika tidak, anda akan dianggap tidak sopan.

2. Etika Makan
Untuk orang-orang di Indonesia Timur, sesuatu kegiatan baru bisa dikatakan makan jika di dalam acara makan itu ada menu daging atau ikan. Di beberapa suku di Sumatera, meskipun hanya dengan sambal dan nasi, mereka sudah menganggap kegiatan ini sebagai kegiatan makan.

3. Etika Bergaul
Di daerah NTT, jika berada dalam pesta atau bertemu dengan kerabat dekat, mereka akan langsung melakukan prosesi cium hidung. Maksudnya, hidung satu orang akan bersentuhan dengan hidung temannya sebagai tanda salam. Di Indonesia bagian Barat, kebiasaan ini diangggap tabu. Jika ada orang yang berani melakukannya, orang ini akan dicap Mesum. Bisa dibayangkan jika seseorang dari Indonesia Barat menikah dengan seseorang dari Indonesia Timur dan melihat kejadian seperti ini tanpa mengerti terlebih dahulu budaya mereka?



Tentu ada banyak perbedaan lain yang kita miliki. Karena itu, sebaiknya kita memiliki kemampuan lintas budaya yang baik. Apa jadinya jika kita mencintai seseorang namun tidak paham dengan budayanya?