Selasa, 23 Mei 2017

Hiperrealitas Karakter Generasi Y



MENELAAH HIPERREALITAS KARAKTER GENERASI Y

 
Hiperrealitas merupakan salah satu indikator karakteristik pemikiran atau filsafat yang muncul pada masa post – modern. Hiperrealitas merupakan re – produk gabungan antara realitas fisik dan realitas maya, kecerdasan otak kiri dan kanan manusia, yang asli dan buatan[1]. Pada bagian ini, penulis lebih memfokuskannya pada produk hiperrealitas karakter manusia sebagai efek dari penggunaan internet. Oleh sebab itu, bab V dari penelitian ini akan menelaah situasi – situasi dan perkembangan paradigma internet yang menimbulkan ketegangan – ketegangan antara generasi baby boomers, X, dan Y sehingga berakibat para hiperrealitas karakter generasi Y dan upaya implementasi formula Qohelet bagi generasi ini.

Latar Belakang Pemikiran
Strauss menggambarkan sejarah perjalanan dunia seumpama sebuah lingkaran yang akan kembali lagi pada titik semula. Dalam bukunya, ia menggambarkan keberadaan empat generasi dalam sejarah dunia yang mewakili empat tipe macam karakter manusia berdasarkan waktu lahir. Keempat karakteristik generasi manusia ini akan  selalu berulang sesuai dengan perputaran bumi, dalam sejarah dunia, meski telah berevolusi dalam wajah yang baru[2]. Jika masa keempat generasi manusia ini selesai, sejarah karakteristik manusia akan kembali ke titik awal[3]. Keempat generasi itu antara lain:
The first turning is a high, an upbeat era of strengthening institutions and weakening individualism, when a new civic order implants and the old value regime decays. The second turning is an awakening, a passionate of spiritual upheaval, when the civic order comes under attack from a new values regime. The third turning is an unraveling, a downcast era of strengthening individualism and weakening institutions, when the old civic order decays and the new rules regime implants. The fourth turning is a crisis, a decisive era of secular upheaval, when the values regime propels the replacement of old civic order with a new one[4].

Perang Dunia II menandai berakhirnya empat generasi terdahulu dan mengulangi lahirnya generasi tipe pertama yaitu baby boomers, gen X, gen Y dan gen Z. Saat buku ini ditulis, penulisnya belum memiliki bayangan spesifik tentang gen Z. Namun penulisnya meyakini bahwa masing – masing generasi yang ada ini mewakili keempat rotasi karakteristik generasi dalam sejarah dunia.
Di lain pihak, manusia diperhadapkan dengan situasi sosial yang terus berubah. Perubahan merupakan hal mutlak yang tidak mungkin ditolak. Tiga dekade ini merupakan masa jaya digital dengan gen Y sebagai “digital natives”nya. Permasalahannya adalah, hal yang disimulasikan oleh dunia maya atau digital seringkali dianggap lebih benar daripada fakta sesungguhnya. Inilah yang disebut dengan hiperrealitas. Karena itu, perlu dicari formula efektif agar terjadi keseimbangan antara dunia realitas dan dunia hiperrealitas agar gen Y memiliki karakter tajam yang baik demi masa depan dunia yang lebih cerah[5].

Generasi Y
Untuk menyatukan pemahaman tentang generasi Y, maka pada bagian ini penulis menguraikan tentang definisi generasi Y dan life of setting dari generasi Y (bisa juga disebut dengan gen Y) itu sendiri.

5.2.1        Definisi Generasi Y
Generasi Y merupakan label yang diberikan kepada satu generasi dalam sejarah dunia setelah era milenium. Generasi ini memiliki nama lain yaitu gen why, gen search, gen next, the net generation, the digital natives, the dot.com generation, the Einstein generation, echo boomers, dll[6]. Generasi Y merupakan sebuah fenomena baru dalam peradaban manusia[7]. Nama ini menjadi sebutan bagi anak – anak yang lahir berbarengan dengan kemunculan digital. Ada yang memperkirakan bahwa generasi ini lahir pada tahun 1978[8] namun ada juga yang menyebut tahun 1980[9]. Menurut Fields dkk, dinamakan digital natives karena generasi ini merupakan generasi manusia yang tidak pernah lepas dari seluler dan internet[10]. Generasi ini merupakan generasi yang aktif menggunakan internet. Tapscott yang pertamakali menamai kelompok ini dengan generasi Y dan melakukan penelitian terhadap gejala – gejala sosial yang muncul pada beberapa dekade terakhir, menyatakan bahwa generasi ini merupakan generasi paling unik di antara semua generasi yang pernah ada karena lahir berbarengan dengan kelahiran media digital[11].
Ada perubahan drastis dan nyata dalam sejarah perkembangan dunia sejak tahun 1980-an. Gen Y yang diperkirakan sebagai populasi terbesar saat ini, telah membawa perubahan pada paradigma manusia baik itu budaya, standar – standar etika, dan segi – segi kehidupan lain[12] terutama dalam dunia kerja. Data menunjukkan bahwa di Amerika saja, orang – orang dalam usia ini mencapai angka 74 juta jiwa[13] pada tahun 2008. Menurut Tapscott, gen Y merupakan populasi  terbesar dan bisa ditemui hampir di setiap sudut dunia baik di tempat kerja, pasar tradisional, pusat – pusat perbelanjaan modern, wahana olahraga, tempat wisata, gedung ibadah, dll. Gen Y merupakan otot demografi dunia, orang – orang pintar dalam media, memiliki kemampuan dagang tinggi, mampu memberikan model – model baru dalam kerjasama dan  parenting, memiliki kemampuan berwirausaha dan punya kekuatan politik[14].
Secara umum, gen Y adalah orang – orang yang memiliki kesadaran sosial tinggi. Hal ini tentu merupakan hasil bentukan dari orang tua mereka yang merupakan kaum baby boomers[15]. Kebanyakan gen Y bersedia melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan sosial sejak usia SMA, universitas dan bersedia menjadi tenaga sukarelawan di berbagai bidang sosial. Gen Y memimpikan suatu bentuk pemerintahan yang bersih, menghargai hak setiap orang dan peduli terhadap isu – isu dunia.

Latar Belakang Sosial yang menyebabkan Lahirnya Hiperrealitas Karakter pada Generasi Y
Dalam pendahuluan artikelnya, Twenge menuliskan bahwa dari perspektif kultural, situasi di mana seseorang lahir dan bertumbuh memiliki pengaruh besar bagi keberadaan orang tersebut kelak[16]. Menurut Plowmann, gen Y lahir antara tahun 1978 – 1979 dan pada tahun 1979 ini lahir pula piranti seluler dengan teknologi Touch Screen yang memusatkan perangkatnya pada komunikasi internet, podcasting, layanan video dan TV, tab, dll[17]. Generasi inilah yang disebut oleh Tapscott sebagai “Net Generation”[18]. Tapscott sendiri mengklaim bahwa kemampuan motorik halus dan kasar, bahasa, sosial, kognitif, nilai – nilai, personalitas, berotonomi pada masa remaja gen Y dihasilkan melalui interaksi dengan internet. Sehingga semua usaha orang tua atau para pendidik untuk mendidik anak – anak generasi Y ini tanpa pendekatan media akan menjurus kepada tindakan yang sia – sia[19]. Anak – anak pada masa ini memakai media – media yang berhubungan dengan situs internet dan atau digital untuk bahan pembelajaran mereka hampir pada setiap lini kehidupan dan membentuk sebuah paradigma baru[20]. Dengan bantuan media digital, generasi ini juga dikenal dengan orang – orang dengan kemampuan multitasking tinggi dibandingkan dengan generasi lain yang pernah ada. Gen Y mampu menonton siaran televisi sambil terus berinteraksi dengan selular di tangan kiri dan komputer atau koran di tangan kanan seraya makan dan minum kopi[21].
Generasi Y didahului oleh dua generasi yang secara tidak langsung telah membentuk karakteristik mereka, antara lain:Generasi Baby Boomers
Generasi Y lahir dari orang tua yang merupakan generasi baby boomers. Baby boomers sendiri lahir antara tahun 1946 – 1964. Di negara – negara besar, kelompok ini sedang memiliki suara paling keras dan merupakan pemimpin dunia masa kini. Namun demikian, situasi awal kehidupan mereka tidak seluruhnya mudah. Baby boomers lahir pada masa setelah perang dunia (selanjutnya disingkat PD) II. Pada masa PD II, ada banyak keluarga memutuskan untuk menunda memiliki anak karena alasan perang.  Ratusan bahkan ribuan perempuan yang sudah terlanjur memiliki anak harus menerima kenyataan pahit ketika suami mereka “gugur” dalam medan perang.
Para laki – laki dewasa yang tetap hidup pasca perang harus kembali dengan tantangan pekerjaan yang tidak kalah berat. Kehancuran berbagai fasilitas dunia pasca perang membuat para laki – laki dan perempuan dewasa harus bekerja keras demi perbaikan fasilitas negara dan kehidupan pribadi. Setelah perang usai, terjadi ledakan perekonomian dan  penduduk karena kelahiran meningkat dan jumlah imigran yang datang ke negara – negara besar. Di Amerika, dari jumlah kelahiran 2,9 juta pertahun di tahun 1945 berubah menjadi rata – rata 4 juta kelahiran pertahun sampai 1964 dengan jumlah kelahiran tertinggi pada tahun 1957 yaitu 4,3 juta[22]. Kebanyakan mereka ini muncul dengan penampilan baru dan menghasilkan keterkejutan bagi generasi pendahulunya yang tradisional. 
Carolyn A. Martin seorang pemimpin dari Rainmaker Thinking Inc, melihat adanya perubahan karakteristik pekerja dari masa – kemasa.  Dan indikator paling utama adalah keamanan kerja. Ketika kaum tradisionalis[23] dan baby boomers[24] memasuki dunia kerja, mereka berpikir bahwa jika memberi kontribusi, menaiki tangga karir dengan sungguh - sungguh,  memberikan loyalitas tinggi pada pekerjaan akan dipertahankan dalam perusahaan[25]. Namun sekitar pertengahan tahun 1990 – an terjadi krisis moneter sehingga banyak perusahaan besar bangkrut dan sebagian lagi melakukan “perampingan” karyawan secara besar – besaran. Dan target “perampingan” ini adalah baby boomers tua dengan alasan sudah tidak produktif lagi dalam pekerjaan. Gen Y yang menjadi saksi mata loyalitas orang tua pada pekerjaan dan atasan sekaligus menjadi saksi kekecewaan orangtua mereka karena di PHK oleh perusahaan beranggapan bahwa loyalitas pada satu pekerjaan dan satu tuan bukanlah ukuran kesuksesan. Karena itu, kebanyakan gen Y sebagai generasi muda masa kini menggunakan kemampuan mereka untuk bekerja dalam lebih dari satu bidang pekerjaan.
Di sisi lain, menurut Bergh, gen Y lahir dari baby boomers yang baru menikah dan mempunyai anak di atas 30 tahun sehingga berperan baik sebagai orangtua maupun tutor bagi gen Y[26]. Baby boomers membesarkan gen Y layaknya seorang pelatih yang memusatkan mereka pada perkembangan individu. Karena itu, mereka menganggap bahwa setiap hal yang ada di sekitarnya merupakan hal penting untuk mengembangkan diri. Para boomers melibatkan anak mereka dalam berdiskusi dan mengambil keputusan penting dan memberikan mereka kesempatan untuk belajar hal apapun seluas – luasnya. Inilah yang menyebabkan gen Y terkesan kritis, sinis, dingin dan sulit untuk mengucapkan “wow” terhadap peristiwa dan atau permasalahan di sekitarnya[27]. Namun demikian, ini juga yang membuat gen Y sangat menjaga relasi, networking, kejujuran, otentifikasi, integritas, kehidupan, pekerjaan, dll. Mereka mencari suatu situasi di mana mereka dianggap sangat berarti. Jika gen Y memiliki ide, mereka ingin sesegera mungkin mewujudkannya[28].  


 Generasi X
Generasi X (bisa juga disingkat gen X) atau biasa disebut juga baby busters, post boomers, slacker generation,indifferent, shadow atau invisible generation, atau the lost generation merupakan generasi kedua setelah baby boomers. Sering dinamakan demikian karena generasi ini dianggap sebagai percepatan atau persiapan bagi masuknya babak baru dalam sejarah dunia yaitu kelahiran generasi Y dan Z; karena itu generasi ini dikenal sebagai generasi yang pesimis[29].   Pada masa kini, gen Y mulai aktif dalam dunia ekonomi, sosial, politik, agama, dll bertemu dengan gen X, yang pesimis, tetapi sedang aktif bekerja pada masa kini.  Berbeda dari gen Y yang memiliki jumlah populasi cukup banyak dalam dunia kerja, gen X  yang menjadi pemimpin – pemimpin vokal hanya sedikit[30].
Tahun 1965 – 1977 diperkirakan sebagai tahun kelahirarn gen X. Ketika gen X memasuki dunia kerja, mereka melihat baby boomers sebagai orang – orang setia dalam pekerjaan mengalami frustasi akibat di PHK oleh perusahaan – perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif. Karena itu, mereka mulai memikirkan keamanan dalam pekerjaan mereka. Pengalaman pahit yang terjadi pada generasi baby boomers menjadi pelajaran tersendiri. Gen X adalah generasi orang – orang yang giat bekerja sekaligus juga memiliki security system  sangat baik untuk kehidupan jangka panjang. Mereka mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, bagi mereka pribadi dan keturunan mereka. Hal ini dilakukan dengan kegiatan – kegiatan menabung, mengikuti berbagai jenis asuransi, memperbanyak dan melakukan jual – beli  aset, dll[31].

5.2.3   Pro – Kontra Pandangan Terhadap Generasi Y
Ada dua kelompok berbeda pandangan terhadap generasi Y, yang satu berpandangan positif sementara yang lain berpikiran negatif terhadap kehadiran generasi ini.

5.2.3.1  Kelompok  yang Berpandangan Negatif terhadap Generasi Y
Pada awal kemunculan gen Y dalam dunia sosial dan ekonomi, kebanyakan generasi Baby Boomers dan gen X berpandangan negatif terhadap kehadiran kelompok ini. Hal ini terlihat tidak hanya dalam praktis kehidupan sehari – hari di dunia kerja, sekolah, masyarakat, lingkungan keagamaan, namun juga dikemas dalam artikel – artikel akademis, jurnal, dll. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa:
Pertama, generasi ini dianggap sebagai generasi paling “bodoh” di antara semua generasi yang pernah ada. Mark Baurlein sebagaimana dikutip Tapscott dalam artikelnya “The Dumbest Generation: How The Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future” menyatakan bahwa:
“Digital ternyata telah menciptakan satu generasi yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan gadget-nya sehingga mereka menjadi orang yang “tidak tahu apa – apa” pada dunia sekitarnya. Gen Y sangat dangkal dan tidak bisa fokus pada apapun namun sering melakukan pemberontakan. Media internet telah menciptakan generasi malas membaca, prestasi buruk, komunikator yang jelek, berperilaku jelek, tanpa nilai – nilai dan budaya[32].

Gen Y tidak peduli apapun; Mereka hidup tanpa nilai – nilai. Gen Y hanya tertarik pada budaya – budaya popular, selebriti, dan teman – teman. Mereka tidak membaca koran atau menonton berita namun lebih tertarik pada komedi; tidak ikut kegiatan pemilu dan sosial masyarakat. Gen Y merupakan model masyarakat yang  buruk[33].
Kedua, kecanduan gen Y pada digital dan internet sejenis dengan kecanduan alkohol atau obat – obatan sehingga mereka kehilangan kemampuan sosial, keinginan untuk berolahrarga dan beraktifitas di lapangan, sehingga menjadi gemuk.
Ketiga, gen Y merupakan generasi yang tidak tahu malu dan narsis. Dalam bukunya, M. Gigi Durham berjudul “The Lolita Effect”, menyatakan bahwa, gen Y tidak segan menampilkan foto – foto pribadi mereka yang sebenarnya kurang layak jika ditampilkan untuk umum. Mereka juga tidak segan – segan membagi biodata mereka ke hadapan umum padahal tindakan ini dapat saja disalahgunakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan tertentu[34].
Keempat, kebiasaan orangtua memanjakan gen Y membuat generasi ini “terapung – apung” di dunia sehingga mereka kuatir dalam menentukan langkah hidup selanjutnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh William Damon, pengarang buku “The Path To Purpose”, anak muda dalam pola asuh seperti ini berubah menjadi orang – orang yang takut berkomitmen. Mereka tidak yakin dengan karir yang mereka miliki dan takut mengambil keputusan berrumah tangga[35].
Kelima, gen Y merupakan generasi pencuri dan pelaku tindak kriminal yang “berdarah dingin”. Secara tidak sadar, gen Y telah melakukan pencurian hak cipta, mengunduh file secara gratis dan mengganti dengan namanya, tanpa izin menyebarkan berita dari media, dll. Mudahnya akses informasi dari internet telah menciptakan generasi yang lemah daya juang. Penggunaan internet tanpa disadari telah menciptakan generasi yang plagiat, hanya tingga meng – “copy – paste” informasi dari internet, mengedit, lalu membubuhkan namanya pada tulisan tersebut[36]. Mereka juga melakukan tindakan bullying  terhadap teman – teman online  mereka, bertindak brutal karena mencontoh game – game yang mereka mainkan di internet[37]. Hal yang memprihatinkan karena tindakan – tindakan yang sebenarnya kurang etis ini dianggap sesuatu yang biasa oleh kaum digital natives.
Keenam, dalam dunia pekerjaan, gen Y memiliki citra yang buruk. Generasi Y tidak memiliki etika kerja mulai dari disiplin waktu, cara berpakaian buruk, penghargaan terhadap pemimpin kurang, memberontak, suka membolos dari pekerjaan, tidak fokus, dll. Mereka adalah generasi yang bertindak “seenaknya” dan tidak memiliki loyalitas serta etos kerja baik sehingga sering berpindah – pindah tempat kerja[38].  
Menurut Baurlein, generasi ini memang memiliki kemampuan interconnected dan multitasking, otonomi pemikiran, dll. Namun demikian, gen Y bukanlah generasi yang mampu membuat lompatan – lompatan dalam sejarah pemikiran, bukan pemikir global, dan tidak berorientasi pada masyarakat atau kepentingan umum. Gen Y memang belajar banyak hal, download dan upload data, surfing dan chatting, post – repost dan design, namun tidak memiliki kemampuan analisis terhadap teks yang kompleks. Isi otak gen Y adalah berbelanja (konsumerisme), lebih suka terhadap cara – cara orang asing mengambil keputusan ketimbang cara – cara tradisional, tidak mengambil pelajaran dari sejarah, suka sembarang mengeja bahkan mengacaubalaukan ejaan, mengaburkan budaya tradisional bahkan menghilangkannya. Semua hal negatif ini merupakan gambaran negatif masa depan dunia di tangan gen Y[39].




 Kelompok  yang Berpandangan Positif terhadap Generasi Y
Menurut Topscott, jika dugaan kaum tesis negatif benar, maka masa depan dunia akan hancur. Untuk itu, Topscott dkk telah melakukan riset kepada lebih dari 4 juta pemuda sejak tahun 2006 – 2008. Juga telah melakukan wawancara terhadap 6.000 gen Y dari seluruh dunia dengan menggunakan media dan menghasilkan 40 laporan. Melalui laporan ini diketahui karakteristik gen Y.
Gen Y merupakan generasi yang lebih pintar, cepat, toleransi dan atau terbuka terhadap perbedaan ketimbang para pendahulunya. Mereka sangat peduli terhadap keadilan dan masalah – masalah sosial masyarakat bahkan sejak usia sekolah, di lingkungan kerja maupun komunitas. Khusus di Amerika Serikat, generasi ini berkaitan erat dengan dunia politik, memandang positif dan memberi warna baru dalam demokrasi dan pemerintah sebagai alat mengembangkan dunia. Pemerintah AS sendiri yaitu Obama,  menggunakan bantuan inovasi gen Y untuk melakukan transformasi dalam setiap sisi kehidupan masyarakat Amerika karena kecepatan dan inovasi bagi gen Y merupakan habit [40].
Diakui memang bahwa gen Y berbeda dari orang tuanya. Mereka ingin mendapat kebebasan, mencintai kebebasan dan menghadiahkan kebebasan kepada sesamanya.  Jika pada masa sebelumnya seseorang harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat diterima dalam lingkungan tersebut, gen Y justru menjadikan lingkungan sebagai bagian dari hidupnya. Karena itu lingkungan, baik itu rumah, sekolah, tempat kerja, dll harus menyenangkan, nyaman dan melahirkan rasa aman bagi mereka. Dalam bidang pendidikan, gen Y merupakan kolaborator alami, menyukai percakapan bukan kuliah. Gen Y menyimak seseorang dan meneladaninya, karena itu mereka sangat bersikeras terhadap integritas[41].

Karakteristik Generasi Y 
Gen Y merupakan generasi yang sangat kreatif dan mengekspresikan kreatifitas mereka dalam cara berbeda dari generasi lain. Gen Y menyampaikan informasi dalam cara yang lebih lunak. Mereka mengemas ulang informasi dalam bentuk baru dan cara yang menyenangkan. Untuk menyampaikan satu informasi tertentu, gen Y akan mengkombinasikannya dengan musik, gambar – gambar, film – film tertentu, dll[42]. Karakteristik generasi Y dapat terlihat dalam dua hal besar berikut:

Dari Sudut Ekonomi
Kaum Y percaya bahwa tidak ada hal yang mustahil untuk diselesaikan di dunia ini dan mereka telah membuktikannya bahkan ketika mereka masih di usia SMP atau SMA. Kemampuan natural generasi Y untuk mengakses informasi apapun dari internet melebihi generasi pendahulunya menyebabkan gen Y dengan cepat dapat sukses dalam dunia bisnis[43]. Dalam dunia pekerjaan, gen Y terkenal dengan orang – orang yang sukses dengan cepat dalam menjalankan bisnis mereka melalui internet.
Dengan kemampuan multi – tasking yang mereka miliki serta dukungan internet, gen Y dapat mengambil beberapa jenis pekerjaan berbeda sekaligus. Banyak kali ditemukan kaum Y yang memutuskan untuk bekerja pada satu organisasi tertentu, mampu bekerja paruh waktu di tempat – tempat lain sambil menyelesaikan studi mereka[44]. Hal seperti ini jarang terjadi pada generasi sebelum dan sesudah generasi Y. Kebanyakan gen X dan generasi lain yang lebih tua akan menilai bahwa generasi ini adalah populasi orang – orang yang “gagal fokus” dalam dunia kerja. Namun pendapat ini  perlu ditinjau ulang.
Umumnya, gen Y tidak terlalu suka mengikat dan menyetir orang lain dengan berbagai macam peraturan begitupun sebaliknya.  Karena itu, bisnis on-line merupakan salah satu cara paling baik untuk generasi ini karena dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja. Konsumerisme yang dulunya menjadi salah satu penyebab kurang majunya perekonomian, sekarang menjadi salah satu faktor pendukung bagi perkembangan bisnis yang mereka bangun[45]. Generasi Y melakukan kegiatan berbelanja untuk dapat mencicipi, memperbandingkan, merumuskan formula dan memberi citra baru pada produk yang mereka perkenalkan di pasar. Lalu dengan bantuan media digital, gen Y akan mensimulasi barang “re – produk” semenarik mungkin agar mampu menarik konsumen dari berbagai belahan dunia, semua tingkat ekonomi, dengan harga terjangkau dan akses cepat. 
Ada beberapa alasan penting, menurut Rebecca, yang dijadikan bahan pertimbangan generasi Y dalam memilih pekerjaan, antaralain: pertama, Vitalitas. Vitalitas berkaitan dengan lingkungan kerja mereka. Gen Y lebih mengutamakan tempat kerja yang nyaman dan berdekatan dengan taman – taman kota, tempat – tempat wisata, mall – mall atau pusat – pusat perbelanjaan, daerah – daerah yang berdekatan dengan pasar – pasar buah dan sayur, dll.  Dari sini juga dapat dilihat bahwa posisi dalam pekerjaan bukan merupakan hal yang penting bagi gen Y. Gen Y dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan pekerjaan apapun, sesuai dengan tempat di mana mereka ingin tinggal. Dalam suatu wawancara ditanyakan kepada gen Y tentang di mana mereka akan bekerja, namun tiga dari empat orang responden akan menjawab nama kota tertentu sebagai tempat tinggal dan bekerja bukan nama perusahaan yang ingin mereka masuki[46]. Tempat atau kota tertentu merupakan salah satu motivasi utama gen Y dalam memilih pekerjaan. Kedua, index pendapatan. Jumlah pendapatan dan suasana kantor merupakan pertimbangan khusus seorang generasi Y dalam bekerja dan kenyamanan dalam lingkungan kerja dengan orang – orang atau teman sekerjanya. Ketiga, index pembelajaran. Program kesempatan belajar merupakan tantangan penting yang dicari oleh generasi Y karena ini berkaitan juga dengan kesempatan promosi kenaikan pangkat. Keempat, waktu bekerja. Kriteria ini tidak kalah penting bagi generasi Y. Karena melalui index waktu kerja, mereka dapat menentukan target – target tertentu yang ingin mereka capai di luar waktu kerja entahkah itu bersenang – senang atau melakukan pekerjaan sampingan. Kelima, berada di dalam kota. Bekerja di pusat – pusat kota tidak hanya demi kepentingan akses dan pendapatan UMR yang tinggi melainkan juga mampu menaikkan harga diri para generasi Y. Keenam, gaya hidup. Tempat di mana generasi Y bekerja dipercaya juga telah  membentuk identitas dan gaya hidup mereka. ketujuh, komunitas sosial. Ini merupakan salah satu kriteria penting gen Y dalam memilih pekerjaan. Komunitas sosial membantu mereka mengenal dunia pekerjaan dengan lebih baik, menjadi identitas, harga diri dan membuat mereka berarti[47].
Gen Y memiliki kemampuan untuk memasarkan satu produk barang atau jasa tertentu dengan baik. Jika mereka merasa cocok dengan satu produk tertentu, mereka akan menggunakan sosial media yang mereka miliki[48]. Mereka juga dapat memproduksi ulang suatu produk tertentu sesuai dengan citra mereka masing – masing dan mensimulasikannya melalui kecanggihan media. Berbeda dengan generasi terdahulu yang merahasiakan bahan dan proses pembuatan dari produk mereka, gen Y justru tidak ragu untuk berbagi informasi melalui blog atau website yang mereka buat di internet. Bahkan, justru dari informasi yang mereka berikan lewat media ini, gen Y bisa meraup keuntungan[49]. Menurut Bergh, yang paling penting bagi gen Y adalah “brand”, baik itu pada diri mereka sendiri, orang lain, barang, jasa, institusi, dll. Bahkan, istilah “generasi Y” merupakan brand yang diciptakan untuk menyebut mereka yang lahir berbarengan dengan konsumerisme media digital. Brand gen Y ditandai dengan orang – orang muda yang dingin, unik, apa adanya, bahagia, dan selalu mengidentifikasikan diri mereka dengan brand tertentu[50]. Brand inilah yang akan mereka pasarkan melalui media. Mereka akan meyakinkan orang – orang dengan kemampuan mereka agar ada konsumen yang mau membeli “brand” tersebut[51].


Dari Sudut Sosial
Menurut Fields dkk, gen Y merupakan generasi yang unik. Waktu lahir mereka berbarengan dengan kemunculan paradigma internet  menjadikan gen Y pribadi yang luntur budaya[52]. Twenge percaya bahwa perubahan menjadi “kelunturan budaya” dari perspektif budaya merupakan bentuk budaya baru yaitu budaya “manusia tanpa budaya”. Perubahan budaya menghantarkan seseorang pada perubahan karakter personal sesuai dengan masing – masing tempat, waktu, situasi, dll[53]. Namun demikian, di antara berbagai kelebihan dan percaya diri tinggi yang dimiliki oleh generasi ini, kedekatan mereka dengan internet ternyata telah menciptakan generasi yang kurang peka terhadap dunia realitas. Keberadaan sistem komunikasi internet ternyata telah mereduksi banyak kemampuan sosial dan atau interpersonal gen Y[54].  Secara moral, pada masa ini, muncul manusia – manusia penuh ambisi untuk satu target tertentu dalam waktu singkat dengan berbagai cara sehingga menciptakan manusia – manusia yang tidak sabar[55].  Generasi Y kurang menyukai relasi sosial berhadapan muka atau face to face. Generasi ini menurut Twenge merupakan orang – orang yang kurang sabar, terlalu percaya diri dan memiliki fantasi – fantasi yang tidak realistis[56].
Bagi Topscott, umumnya gen Y merupakan anak – anak dari generasi Baby Boomers namun memiliki “gema” yang lebih kuat ketimbang orangtuanya. Mereka berbeda dengan orang tua mereka dalam hal belajar, berkomunikasi, bekerja, bergabung dan membuat komunitas,  dll. Gen Y berbeda tampilan dari orang tua mereka karena terlihat lebih tenang, berpengetahuan luas, terpelajar, dan memiliki berbagai inovasi baru dalam segala bidang sehingga memiliki kemungkinan besar untuk melakukan transformasi di segala bidang kehidupan termasuk masyarakat. Mereka berpikiran terbuka sehingga bisa menerima dan mengembangkan diri terhadap setiap informasi yang diperoleh melalui media.  Internet bagi gen Y merupakan “natur” hidup sementara di masa mudanya, orang tua mereka hanya bisa bertemu dengan DVD, VCD atau televisi hitam putih. Internet membuat aktivitas kehidupan menjadi serba cepat. Di zaman Baby Boomers dan Gen X, walaupun internet sudah ada, kecepatan data masih sangat lambat. Laju internet yang lambat seperti itu akan menghasilkan stress bagi gen Y. Semua kegiatan baik surat menyurat, komunikasi, informasi, musik, permainan, dll menggunakan internet berkecepatan tinggi. Mereka berkomunikasi cepat dengan media sosial yang adalah salah satu indikator zaman di mana gen Y bertumbuh[57].
Gen Y merupakan generasi multitasking. Mereka dapat melakukan setidaknya lima macam pekerjaan secara bersamaan. Dengan seluler yang terhubung dengan internet, TV kabel dan komputer di hadapan mereka. Karena itu, mereka dapat menelpon, menonton, cek email, chatting via FB, Twitter, Line, BBM, WA, Skype, mendengarkan musik di Youtube sambil terus belajar dan atau bekerja sambil makan dan minum. Para generasi terdahulu memang bisa menyesuaikan diri dengan hal ini, jika mereka ingin berusaha sungguh – sungguh, namun bagi gen Y, hal ini merupakan habit. Jika ada pertanyaan, kasus, kejadian, dll, insting mereka secara otomatis akan mengkonfirmasi kebenaran informasi yang ada lewat internet saat itu juga[58].
Namun demikian, perbedaan antara generasi terdahulu dengan gen Y tidak hanya masalah cara menggunakan teknologi. Tapscott menguraikan bahwa,
Gen Y is not just about how they use technology. They seem to behave, and even to be, different. As a manager, you notice that new recruits collaborate very differently than you do. They seem to have new motivations and don’t have the same concept of a career that you do. As a marketer, you notice that the television advertising is for the most part ineffective with young people, who seem to have mature BS detectors. As a teacher or professor, you are finding that young people seem to lack attention spans, at least when it comes to listening to your lectures. Indeed, they show signs of learning differently, and the best of them make yesterday’s cream of crop look dull. As a parent, you see your children becoming adults and doing things you never would have dreamed of, like wanting to live at home after graduation. As a politician, you’ve noticed for some time that they are not interested in the political process, yet you marvel at how Barack Obama was able to engage them and ride their energy to became a presidential candidate[59].
 
Tidak hanya teknologi, karakter gen Y juga berbeda dari generasi – generasi lain yang pernah ada dan ini berpengaruh pada cara berpikir, bertindak, menilai, dll.

Hiperrealitas Karakter Generasi Y
Penolakan – penolakan, tekanan – tekanan, upaya pengekangan terhadap kebebasan, disiplin berlebihan, bullying, menghasilkan ketegangan dalam diri gen Y dan menghantarkan mereka pada hiperrealitas karakter.

5.3.1        Sebab – sebab Munculnya Ketegangan Antara Generasi Baby Boomers, X dan Y yang menghasilkan Hiperrealitas Karakter Gen Y
Karakter gen Y dibentuk dan dipengaruhi oleh pertemuan mereka dengan generasi baby boomers dan gen X. Ketika anak – anak gen Y lahir, pada orang tua yang adalah baby boomers mengalami keterkejutan. Ada banyak baby boomers yang bersikap defensive terhadap hal – hal baru, dingin atau bahkan memberontak terhadap perubahan yang terjadi dalam diri  anak – anak mereka. Saat baby boomers lahir, mereka muncul dengan gaya pakaian “cut bray” mereka, rambut gondrong dan tebal serta keriting, musik rock and roll, sering melakukan aksi pemberontakan, dll membuat orang tua mereka terkejut dan sulit menerima perubahan yang ada. Namun saat baby boomers menikah dan memiliki anak yaitu gen Y dan lahir berbarengan dengan media digital, baby boomers terkejut dan sulit juga menerima kenyataan perubahan ini. Para orang tua yang terbuka, berusaha keras dengan perubahan yang ada untuk membimbing anak mereka. Namun ada juga yang menolak perubahan dan menerapkan sistem pendidikan lama sehingga melahirkan ketegangan dengan generasi Y yang berujung pada hiperrealitas karakter anak – anak mereka[60].
Hiperrealitas karakter sebenarnya lahir bukan faktor kesengajaan orang tua. Menurut Palfrey, penyebab ketegangan antara orang tua dan guru yang baby boomers dengan anaknya gen Y adalah karena faktor kecemasan orangtua dan guru yang terlalu tinggi terhadap efek penggunaan media internet. Ketakutan ini beralasan, karena kebanyakan gen Y lebih memilih menghabiskan waktu dalam dunia maya ketimbang berkumpul dengan komunitasnya di dunia nyata. Ada harga mahal yang harus dibayar untuk kecenderungan ini baik dari segi fisik maupun psikis[61]. Secara fisik, mereka yang aktif dalam penggunaan media dapat mengalami masalah dengan kesehatan sebagai efek dari radiasi seluler, komputer, jaringan WiFi, mobile broadband hotspot yang mereka gunakan di mata khususnya retina mata, darah, tulang punggung, dll. Selain itu, bahaya penggunaan Touch Screen berbarengan dengan pengecasan juga ada. Kebanyakan gen Y memiliki sifat tidak sabar sehingga mereka akan tetap menggunakan internet sambil mengecas seluler mereka. Mesin yang panas dan tersambung dengan listrik dapat menghasilkan percikan api disertai dengan ledakan dan ini membahayakan penggunanya.  Secara psikis, para pecandu internet yang bersifat desktruktif seperti kecanduan film porno akan mengaktifkan hormon dopamin dalam otak belakang mereka yang menimbulkan rasa tidak tenang atau frustasi jika tidak menggunakan internet dan ini lebih parah daripada kecanduan narkoba atau alkohol. Belum lagi berbagai alasan norma, budaya, sosial, dll. Di lain pihak, guru – guru cemas dengan kemampuan gen Y dalam mencari informasi membuat pengajaran yang mereka berikan dan metode yang digunakan menjadi “barang” usang bagi gen Y. Pengkomunikasian yang buruk terhadap kecemasan orangtua dan guru ini membuat ketegangan antara baby boomers dan gen Y yang berujung pada hiperrealitas karakter gen Y.
Dunia kerja masa kini didominasi oleh dua generasi yaitu generasi X dan Y. Dua generasi ini yang menjadi penggerak perekonomian dunia masa kini. Namun demikian, pola tingkah laku generasi X dan Y sering saling bertolak belakang dan menimbulkan pertentangan satu sama lain. Perubahan yang terjadi dari masa ke masa berefek pada perubahan paradigma. Dalam dunia kerja, gen X yang hidup dalam keteraturan – keteraturan dan sistem keamanan – keamanan jangka panjang merupakan orang – orang yang terkejut dengan kehadiran gen Y. Gen Y yang mereka kenal adalah generasi yang sangat menikmati hidup hari ini tanpa berpikir tentang keharusan mempersiapkan hidup di masa depan. Gen X adalah generasi yang berfokus pada masa depan atau kehidupan jangka panjang sementara gen Y adalah orang – orang yang berfokus pada hari ini atau kehidupan jangka pendek. Bagi gen Y, “present is reality”. Perbedaan ini sering menghantarkan dua generasi ini dalam frustasi[62].
Saat dua generasi ini terlibat dalam sebuah proyek kerja, gen Y tidak tertarik untuk melakukan perancangan kerja seperti gen X. Mereka ingin langsung melakukan pekerjaan dengan cepat dan menuntut semua perlengkapan untuk bekerja ada di depan mereka “saat itu juga” sehingga mereka dapat bekerja dengan baik.  Contoh kasus, jika generasi X dan Y membuat program untuk gotong royong, gen Y tidak akan menghabiskan waktu untuk membuat rencana kerja tentang wilayah – wilayah mana yang perlu dibersihkan, alat – alat apa saja yang diperlukan, dll. Jikapun mereka hadir dalam rapat, mereka akan menghabiskan waktu dengan seluler mereka. Gen Y akan datang pada waktu yang ditentukan tanpa membawa peralatan apapun dan berpikir bahwa semua perlengkapan gotong royong sudah ada di sana dan hanya tinggal bekerja.  Dari sini, gen X akan beranggapan bahwa generasi Y tidak sungguh – sungguh dalam bekerja sementara gen Y akan menjadikan kesempatan ini sebagai kesempatan untuk tidak bekerja.
Pendidikan bagi gen Y bukanlah hal utama. Bagi gen Y, tidak setiap orang perlu memasuki universitas. Universitas hanyalah gelar akademis dan tidak akan memberi banyak sumbangsih bagi kehidupan mereka. Kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi dapat membuat seseorang belajar berbagai materi tanpa perlu memasuki universitas tertentu. Gen Y mempertanyakan ulang pentingnya gelar akademis. Dan jika tujuan dari akademis ini hanya demi kepentingan ekonomi dan sosial di masa depan, maka gen Y dapat melakukannya sejak usia dini tanpa perlu gelar universitas[63].
Sebenarnya, dari kalangan gen X sendiri, terdapat perbedaan pandangan tentang gen Y. Ada pemimpin yang memiliki kemampuan leadership dan managerial  baik sehingga memandang gen Y sebagai orang – orang berpotensi dan mampu mengelola setiap potensi yang ada pada mereka. Namun ada juga dari gen X yang menganggap negatif gen Y sehingga tidak memberi kepercayaan kepada mereka dalam dunia pekerjaan.

5.3.2      Hiperrealitas Karakter Generasi Y
Hiperrealitas terjadi ketika yang fantasi dianggap lebih benar dan atau lebih nyata ketimbang realitas. Hiperrealitas terjadi ketika seseorang atau satu organisasi tertentu mensimulasi sesuatu lebih dari fakta sesungguhnya. Menurut Lane berdasarkan pendapat Baudrillard, ada macam urutan dalam simulasi sebelum mencapai bentuk hiperrealitas. Simulasi pertama terjadi ketika representasi itu real. Misalnya novel, lukisan, peta. Simulasi kedua terjadi ketika antara realitas dan representasi mulai menjadi kabur. Misalnya gambar peta yang diambil dari satelit. Dan simulasi ketiga terjadi ketika seseorang mereproduksi sesuatu yang “hiperreal” yaitu suatu mode penyajian yang nyata atau real namun tanpa kenyataan atau realitas. Hiperrealitas menurut Baudrillard umumnya diproduksi oleh rumusan matematika seperti yang terdapat dalam dunia maya atau kode komputer[64].  
Namun demikian, menurut Baudrillard, untuk dapat mengidentifikasi simulasi dengan baik, orang – orang perlu memahami tentang disimulasi. Disimulasi merupakan pernyataan seseorang yang “berpura – pura” tidak memiliki “suatu keahlian, barang atau jasa tertentu” padahal sebenarnya ia memilikinya. Sebaliknya, simulasi merupakan merupakan pernyataan seseorang yang “berpura – pura” memiliki “suatu keahlian, barang atau jasa tertentu” padahal sebenarnya ia tidak memilikinya. Dengan kata lain, disimulasi mengidentifikasikan ketiadaan semu sedangkan simulasi mengidentifikasikan keadaan semu[65]. Para imperialis modern mensimulasikan tujuan fakta keberadaan mereka disuatu negara namun sebenarnya berisi pesona yang abstrak[66].
Hiperrealitas ini ada dalam setiap aspek hidup manusia[67]. Pemerintah dan atau elit politik mensimulasi data statistik peningkatan ekonomi rakyat, penghapusan jurang antara si miskin dan si kaya, survey peningkatan pendidikan, dll, namun hasil ini sebenarnya hanya pesona yang abstrak[68]. Pesona abstrak ini yang disebut juga dengan “tanda” atau “sign” bisa juga “simbol” atau lebih dikenal sebagai simulacrum. Misalnya, saat seorang anak enggan untuk berangkat ke sekolah, maka ia akan mensimulasi diri dengan beristirahat sepanjang hari di kasur sehingga baik orang tua maupun orang – orang yang berkunjung akan menganggap bahwa anak ini sakit. Contoh lain, orang – orang dengan kasus psikosomatis mensimulasi diri menjadi orang – orang sakit; namun ketika diperiksa ke medis maka tidak akan ditemukan masalah dalam tubuhnya yang perlu mendapat perawatan dan penanganan medis. Orang seperti ini harus dibawa ke psikoanalisis atau psikolog atau psikiater[69].
Sistem “tanda” ini ada dalam berbagai kehidupan manusia. Sejarah Kekristenan juga mencatat adanya simulacrum ini. Bagi sebagian ahli antropologi seperti Baudrillard, Shields, Lane, dll; design lukisan – lukisan atau seni Barok di dinding dan atap gereja, penggunaan patung – patung suci[70], ulasan berita tentang kebangkitan Yesus[71], substansi ekaristi darah dan air dalam Perjamuan Kudus, isi protes Marthin Luther[72], dll merupakan simulacrum yang sifatnya virtual. Simulacrum juga dapat terjadi karena adanya kesepakatan, misalnya; Malaikat digambarkan sebagai manusia berbaju putih dengan sayap dipunggungnya; Iblis digambarkan sebagai sosok hitam dengan tanduk, bermata merah menyala, dan memiliki ekor, dll; Kebaikan digambarkan dengan burung merpati dan kejahatan digambarkan dengan ular, dll. Pada masa sekarang, muncul emoji – emoji tertentu untuk menggambarkan perasaan seseorang. Misalnya, sukacita digambarkan dengan tawa, sedih digambarkan dengan tangis, dll. Hiperrealitas ini bukan tentang masalah “benar” atau “salah” melainkan “real” atau “semu”[73].
Menurut Chiff O’Malley dan Taylor dari Issues in Socio – Technical Change for UK Education, selama tiga puluh tahun belakangan terjadi transformasi dalam peradaban kehidupan yaitu perkembangan trend penggunaan alat penghubung berteknologi Brain – Machine, psychopharmocology, kecerdasan artifisial, kemajuan dalam bioteknologi untuk kehidupan sintetis[74].  Orang – orang pada generasi ini berusaha untuk tetap berhubungan dengan sesama temannya yang seusia, lebih tua ataupun lebih muda sebagai kehidupan sosial mereka. Namun perubahan paradigma yang ada antara generasi baby boomers, X dan Y menyebabkan ketegangan dalam hubungan mereka.
Kaum Y mencoba menemukan cara agar mereka dapat membangun hubungan baik dengan generasi tua. Namun hubungan yang terjalin antar kedua belah pihak sangat jarang sesuai dengan hubungan ideal yang mereka ciptakan dalam imajinasi dan atau fantasi gen Y. Ada banyak penolakan – penolakan, penilaian – penilaian negatif terhadap sikap dan cara hidup, prestasi kerja, kepercayaan – kepercayaan untuk menyelesaikan proyek – proyek tertentu, dll. Ada banyak hal – hal membingungkan dalam cara berpikir dan bertindak sehingga berpengaruh dalam cara berhubungan generasi tua dan muda[75].
Di lain pihak, dunia media atau dunia maya merupakan kehidupan kedua bagi gen Y. Dalam dunia inilah mereka menemukan segala hal yang mereka inginkan termasuk menemukan diri mereka sendiri[76]. Anak – anak gen Y lebih memilih menyampaikan aspirasi dan kreatifitas melalui dunia maya[77]. Selain itu, peluang untuk dapat diterima atau direspon oleh orang lain memang lebih banyak didapat dari lingkungan sosial media atau dunia maya. Ada sisi positif negatif yang akan mereka terima. Gen Y bisa membawa transformasi positif dalam setiap bidang kehidupan melalui media hanya jika mereka menggunakannya dalam cara yang benar. Dunia maya juga menyajikan hal – hal konstruktif dan destruktif dalam satu kali “klick” dan ini bergantung pada kepentingan penggunanya. Mereka yang mampu membuat pilihan bijak akan membawa perubahan positif begitu sebaliknya. Pilihan yang dibuat masa kini akan berpengaruh pada kehidupan di masa depan[78].
Hanya saja, sebagai mentor, kebanyakan baby boomers dan gen X melakukan beberapa kesalahan kecil yang berakibat fatal bagi perkembangan gen Y. Alih – alih menghindarkan gen Y dari bahaya desktruktif dunia virtual, orangtua, pendidik, badan hukum, pengusaha, bekerjasama mendukung program pemerintah untuk melakukan blockir terhadap situs – situs tertentu yang dianggap membahayakan gen Y. Upaya pemerintah untuk membatasi gerak gen Y terhadap dunia virtual justru menjadi seperti sebuah pernyataan perang, karena bagi gen Y inilah “habitat asli” mereka[79]. Gen  Y menggunakan kemampuan mereka untuk lebih “liar” lagi dalam mengakses internet, menimbulkan kecanduan internet dan ini sifatnya desktruktif.
Di Indonesia, sekitar satu dekade ini diberlakukan kebijakan polisi internet dan pemblokiran akses terhadap situs – situs tertentu yang berbau kekerasan dan pornografi atau pornoaksi. Namun demikian, kebanyakan gen Y yang sudah kecanduan akan selalu memiliki cara agar dapat mengakses data atau informasi dari website atau situs yang sudah diblokir. Pencipta situs – situs pencari berita dunia dan media sosial seperti Facebook dan Twitter dan blog – blog bisnis lain umumnya adalah gen Y. Selain itu, dalam hasil survey pengguna internet dunia, terdapat beberapa kelompok mafia pembobol internet atau hacker paling berbahaya di dunia yang kebanyakan anggotanya adalah gen Y[80]. Hanya ada sedikit sekali kemungkinan bahwa upaya memisahkan gen Y dari dunia maya berhasil. Upaya ini malahan bisa membuat gen Y masuk dalam tekanan dan atau ketegangan yang membuat gen Y terjebak dalam hiperrealitas karakter.
Menurut Palfrey, manusia dalam lingkup yang paling kecil setidaknya  memiliki dua identitas yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi berasal dari atribut – atribut yang membuatnya unik yaitu karakteristik personal, kesukaan atau minat terhadap pekerjaan, pelajaran, kegiatan – kegiatan atau bakat – bakat tertentu dan aktivitas – aktivitas favorit. Sebaliknya, identitas sosial diperoleh dari lingkungan di luar dirinya yaitu keluarga, teman, lingkungan pendidikan dan atau pekerjaan, dll. Komunitas di mana seseorang menjadi bagian di dalamnya dapat mencirikan identitas sosial orang tersebut yang juga dapat diidentifikasikan melalui cara berbicara, berbusana, dan berkomunikasi dalam lingkungan sosialnya. Namun demikian, identitas ini bukanlah yang statis, bisa berubah kapan saja sesuai dengan keinginan pemiliknya. Seseorang dapat berubah gaya berpakaian, cara berbicara, berekspresi dalam cara baru, ketika ia memutuskan untuk pindah lingkungan sosial. Perubahan identitas terjadi secara alami baik status keluarga, gosip di antara tetangga, dan setiap elemen kehidupan lain ketika seseorang memutuskan untuk pindah tempat dan lingkungan sosial. Jika perpindahan terjadi di daerah pedesaan maka perubahan sosial tidak terlalu terasa. Perubahan kompleks terjadi ketika seseorang memutuskan untuk tinggal di kota besar atau kota – kota industri[81].
Pada masa digital, perubahan identitas ini berbeda jauh dan lebih kompleks ketimbang masa pertanian dan industri di masa lampau. Proses pengidentifikasian diri ini dilakukan melalui lingkungan media sosial berupa Facebook, Twitter, Line, WA, BBM, Path, blog, Kakaotalk, Youtube, Pinterest, Ask Fm dll.  Identitas para digital natives dibangun berdasarkan tindakan teman – teman dan upaya pembangunan reputasi dalam dunia sosial medianya.  Namun, meskipun digital natives dapat mengubah tampilan karakter pribadinya kapan saja dan sesuai impiannya, ia sesungguhnya sedang kehilangan karakter asli dan sosialnya. Media sosial ternyata telah merusak kemampuan digital natives untuk mengontrol identitas sosialnya dan cara pandang orang – orang dalam komunitas sosial terhadap dirinya[82]. Secara tidak sadar, sementara digital natives mencoba untuk menjadi manusia yang multikarakter dalam dunia maya, mereka sedang mengarahkan diri pada satu kesatuan karakter baru yaitu karakter yang hiperreal atau hiperrealitas karakter. Seseorang yang terjebak dalam hiperrealitas karakter dalam identitas pribadi asli dan sosialnya ini tetap adalah orang yang sama namun secara dramatis telah merepresentasikan dirinya dalam satu bentuk yang lain yang disebut oleh Palfrey sebagai multiple – representasi identitas[83].
Para digital natives menciptakan satu identitas baru tentang dirinya dalam lingkungan sosial medianya yaitu kepada orang – orang yang tidak mengenali siapa dia sesungguhnya. Identitas baru ini sering juga disebut dengan “brand” baik  yang diberikan kepada manusia maupun sebagai re – produk  sosial atau kepada barang atau jasa sebagai re – produk  dalam bidang ekonomi.  Di Indonesia, dalam bidang sosial, fenomena “brand” pada gen Y sering diartikan sebagai “pencitraan”. Orang – orang umumnya, suka “mencap” orang lain yang “berbeda tampilan” dengan istilah “pencitraan” dan memandang hal ini dalam cara yang negatif. Padahal, “pencitraan” merupakan produk dari simulasi  atau re – produk dengan tujuan menghasilkan daya tarik agar dapat diterima oleh orang lain atau menghasilkan daya jual. Inilah yang dimaksud dengan hiperrealitas.
Literatur – literatur Sosiologi menyebut hiperrealitas karakter ini dengan “multiple selves” dan atau “multiple forms of representation” karakter atau identitas.  Namun dalam penelitian yang dilakukan, kebanyakan gen Y menunjuk diri mereka sebagai orang – orang dengan “multiple self – representation” karakter[84]. Pada masa sebelumnya, hal ini sering terjadi pada orang – orang yang melakukan perpindahan atau migrasi lingkungan sosial dan atau komunitas. Para imigran sosial ini akan membentuk karakter baru berbeda dari karakter aslinya di lingkungan lama agar dapat diterima dalam komunitas baru tersebut[85], namun untuuk gen Y, perpindahan ini tidak terjadi karena dunia sosial mereka adalah media digital. Perjalanan dalam hiperrealitas ini bagi Eco seperti sebuah pencarian antara karakter imajinasi dan karakter asli[86].
Gen Y dapat membuat profil tentang dirinya sendiri dalam jaringan sosial. Mereka merepresentasikan diri dalam cara atau sebagai pribadi dalam dunia online dan offline yang sangat berbeda dari presentasi diri di dunia  nyata. Hal ini dilakukan oleh mayoritas pengguna media sosial terutama gen Y. Melalui internet, digital natives tidak perlu bersusah payah ke dunia nyata untuk menunjukkan karakter impian yang ada dalam dirinya. Gen Y dapat menciptakan beberapa karakter imajinatif di tempat tidur, sambil tidur – tiduran atau tempat tertentu secara bersamaan dan simultan lalu memperkenalkannya ke seluruh dunia lewat jaringan media sosial di Internet. Melalui penggunaan media sosial ini, digital natives dapat mengubah aspek – aspek karakter dan atau identitas pribadi dan sosialnya  secara tetap. Mereka sering meng “update” ekspresi – ekspresi tertentu dalam bentuk emoji ke dunia nyata dan maya, mengubah gaya busana dan rambut lalu meng“upload”nya melalui media sosial, menerima pertemanan dari semua orang yang sebenarnya malah tidak pernah mereka kenal, menghapus pertemanan dari orang – orang yang dirasa tidak memberi respon dan atau memberi respon negatif pada keberadaan mereka dalam media sosial, dll[87].  Proses simulasi dapat dilakukan dengan bantuan media seperti photoshop, coreldraw, aplikasi – aplikasi tambahan lain yang sekarang bisa didapat dengan mudah diinternet. Hal ini dapat dilakukan Formasi karakter gen Y ini berbeda secara total dengan generasi – generasi lainnya sebelum masa digital. Hasil studi tentang formasi karakter dan atau identitas onliner gen Y menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara identitas mereka di media sosial dan di kehidupan nyata[88]. Karena itu, baik orang tua, guru, leader, manager, perlu paham betul hiperrealitas karakter ini.
Gen Y merupakan generasi yang menyukai eksprerimen dan proses re – produk suatu barang, jasa atau pribadi. Mereka dapat membuat suatu “skenario” tertentu dalam media sosial dan menempatkan dirinya sebagai pelaku utama dalam “drama” tersebut.  Karena itu, ada banyak digital natives yang merepresentasikan dirinya sebagai Suparman, Batman, Spiderman atau tokoh – tokoh Superhero lain idamannya. Kebanyakan perempuan tertarik untuk merepresentasikan diri mereka seperti tokoh – tokoh anime, cartoon, barbie, dll melalui tutorial – tutorial make up. Ada yang nekat melakukan operasi plastik, kelamin, untuk merepresentasikan diri mereka sesuai dengan imajinasinya masing – masing. Kasus paling rumit saat ini adalah kasus lesbian (homoseksual) – gay (homoseksual)[89] – biseksual – transgender atau LGBT dan menjadi gila. Orang – orang seperti ini bahkan membentuk satu komunitas, lalu mengumumkan eksistensi mereka ke media sosial sehingga mengaburkan batas kebenaran suatu realitas dan hiperrealitas.
Hiperrealitas berkomodifikasi dalam karakter manusia. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Komodifikasi hiperrealitas karakter ini terjadi pada generasi Y. Karena itu, simulasi karakter dalam media sosial ditujukan untuk mendapat pengakuan atau penerimaan terhadap keberadaan mereka. Digital natives yang mencoba eksperimen ini baik secara “online” maupun “offline”[90]. Semua kegiatan ini memiliki aspek positif – negatif, kesempatan diterima atau di “bully. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya melukai gen Y. Jumlah penerimaan atau penolakan dalam media sosial dapat diukur dari kuantitas follower atau pengikut, subscriber, jumlah share, jumlah akses, aplikasi like dan dislike, komentar, jumlah view, dll dan semua ini mampu mendongkrak popularitas dan berpotensi besar dalam kehidupan ekonomi gen Y[91]. Blog dan Website yang dibuat oleh gen Y dapat menghasilkan uang terus menerus tanpa perlu kerja keras.


[1] John Tiffin dan Nobuyoshi Terashima ed al, Hiperreality Paradigm for the Third Millenium (London and NY : Routledge, 2001), 1.
[2] William Strauss dan Neil Home, The Fourth Turning : An American Prophecy  (New York : Broadway Books, 1997), 1 – 2. 
[3] Tulisan senada juga ditulis oleh beberapa ahli untuk kepentingan berbeda yaitu untuk kepentingan agama Budha oleh Ken Wilber, The Fourth Turning : Imagining the Evolution of an Integral Buddhism (Boston : Shambhala Publication. 2014) dan komunitas Hasidism Yahudi dalam melihat evolusi manusia oleh Netanel Miles – Yepez dan Zalman Schacter – Shalomi, Foundation of the Fourth Turning of Hasidism : A Manifesto (Boulder : Albion – Andalus Book, 2014).
[4] Ibid.,3
[5] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First Generation if Digital Natives (New York : Basic Book. 2008), 15.
[6] Joeri Van den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 7.
[7] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 3.
[8] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children Learning In A Digital World  (New York : Routledge, 2010), 17.
[9] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 3.
[10] Ibid.
[11] DonTapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your World (New York : McGraw Hill Professional, 2008), 2.
[12] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 3.
[13] Ibid.
[14] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World (New York : McGraw Hill Professional. 2008), 2.
[15] Carroline A. Marthin, Rainmaker Thinking Dalam  Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 33.
[16] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 7.
[17] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children Learning In A Digital World  (New York : Routledge, 2010), 17.
[18] Biasa juga disebut dengan N – Generations atau N – Geners. Disebut dengan gelar ini karena memang generasi ini adalah generasi pertama yang lahir dalam era digital yang berkaitan langsung dengan internet (Ibid.), 17 – 18 
[19] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children Learning In A Digital World  (New York : Routledge, 2010), 18.
[20] Ibid,. 28
[21] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 4.
[22] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World (New York : McGraw Hill Professional, 2008), 12.
[23] Kaum tradisionalis merupakan generasi yang lahir sebelum tahun 1946. Lihat dalam Carroline A. Marthin, Rainmaker Thinking Dalam  Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 28.
[24] Baby Boomers merupakan generasi yang lahir antara tahun 1946 – 1964 (Ibid.),  28.
[25] Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan – perusahaan di tahun 1990-an yang harus mengeluarkan banyak dana bagi pensiunan sekaligus mengeluarkan (PHK) karyawan mereka yang dianggap sudah kurang produktif bagi perusahaan. (Ibid.), 28.
[26]Joeri Van den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 7.
[27] Ibid., Di Indonesia, sikap dingin gen Y terhadap situasi di sekitarnya diformulasikan dalam istilah “biasa saja”, “biasa aja tuh”, “apa sih”, “emang gue mesti bilang wow gitu”, dll.
[28] Ibid., 8
[29] Ibid.
[30]Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 18.
[31] A. Martin Carolyn, Rainmaker Thingking dalam Y : Millennial Leaders (NY : MJ Publishing, 2008), 28 – 29.
[32] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World (New York : McGraw Hill Professional, 2008), 3.
[33] Ibid., 5
[34] Ibid., 3
[35] Ibid.
[36] Ibid., 4
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid.,5
[40] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World (New York : McGraw Hill Professional, 2008), 7.
[41] Ibid.
[42] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 6.
[43] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 4.
[44] Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 18
[45] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 6.
[46] Rebbeca  Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 21.
[47] Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders. (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 21- 23.
[48] Joeri Van den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 1.
[49] Ibid., 2 – 3
[50] Ibid., 2
[51] Ibid., 3
[52] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 5.
[53] Jeans Twenge, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 8.
[54]  Bea Fields dkk. Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 4.
[55]  Ibid., 4
[56] Jeans Twenge, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 7.
[57] Don Tapscott. Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World. New York : McGraw Hill Professional. 2008. 2
[58] Ibid., 9
[59] Ibid., 10
[60] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations is Changing Your  World (New York : McGraw Hill Professional, 2008), 7.
[61] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First Generation of Digital Natives (New York : Basi Book, 2008), 6.
[62] Carolyn A. Martyn, Rainmaker Thinking dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 29
[63] Ibid., 33
[64] Richard. J. Lane, Jean Baudrillard (London & NY : Roudledge, 2000), 86
[65] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulacrum (USA : Michigan Press, 1994), 3
[66] Ibid., 2
[67] Ibid.
[68] Ibid., 14
[69] Ibid., 3
[70] Ibid., 3 – 6
[71] Ibid., 7 – 14
[72] Rob Shields, Virtual : Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta : Jalasutra, 2003), 5 – 6
[73] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulacrum (USA : Michigan Press, 1994), 4
[74] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children Learning In A Digital World  (New York : Routledge, 2010), 17.
[75] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 5.
[76] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 6.
[77] Ibid., 7
[78] Ibid., 8
[79] Ibid., 9
[80] http://tekno.liputan6.com/read/2212024/4-kelompok-hacker-paling-ditakuti-di-dunia. Dalam salah satu artikel, terdapat beberapa nama gen Y yang adalah hacker paling berbahaya di dunia saat ini. https://www.wartainfo.com/2015/02/4-hacker-hebat-paling-terkenal-dan.html. Diunduh 12 April 2016 pukul 19.57
[81] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 17 – 19.
[82] Ibid., 19
[83] Ibid., 20
[84] Ibid., 22
[85] Ibid., 23
[86] Bagi Eco, hidup dalam dunia hiperrealitas seperti sedang berhadapan dengan Hologram. Hologram membuat hal yang tidak nyata, ilusi, fatamorgana, utopia,  3D menjadi nyata padahal tidak pernah ada. Lihat dalam Umberto Eco, Travels In Hyperreality. (USA : Harcourt, 1986), 8.
[87] Ibid.
[88]Ibid., 21
[89] Baudrillard mengatakan bahwa homoseksual, orang gila atau sakit jiwa, merupakan bentuk dari hiperrealitas akibat dari suatu tekanan tertentu. Lihat dalam Jean Baudrillard, Simulacra and Simulacrum (USA : Michigan Press, 1994), 4.
[90] Ibid., 22
[91] Lihat buku Tapscott, Don. David Ticoll dan Alex Lowy. Digital Capital:Harnessing The Power of Business Webs (Boston : Harvard Business School Press. 2000)