KESALEHAN DALAM PERJANJIAN LAMA
DEFINISI
Secara etimologis kesalehan dalam bahasa Ibrani “Tamam[1]”
yang artinya menjadi lengkap, selesai, tanpa cela, semua, menyeluruh. kata ini
muncul 64 kali, digunakan dalam bahasa Aram, Siria, dan Arab. Kata ini menjadi
selesai atau lengkap (Kejadian 47:18)[2].
Kesalehan adalah kualitas utuh, tidak kurang, tidak bercela apa pun (dlm Im
23:15 tam bentuknya temimot dan dipakai dalam harfiah ”genap”). Kesalehan juga
mempunyai sinonim dengan kata “Kudus” yang secara etimologis berasal dari kata
Ibrani qadosy dan qodesy yang berarti ‘terpisah’ atau ‘terpotong dari’,
digunakan terhadap keadaan terlepasnya seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan
dapat memakainya, dan dengan demikian terhadap keadaan orang atau objek yang
dilepas itu)[3]. Makna dasar dari akar
kata Ibrani qdsy antara lain: menyendirikan, cemerlang. Arti pertama menekankan
kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata
itu diterjemahkan ‘terpotong’, ‘dipisahkan’, ‘disendirikan untuk penggunaan
khusus’, ‘diserahkan untuk’, atau ‘disucikan’, ‘dianggap keramat atau suci
lawan dari yang biasa’, tercemar atau sekuler’. Arti kedua mungkin menekankan
penggunaannya berkaitan dengan keadaan, atau proses, yang dalam PB mengarah ke
pemikiran tentang perubahan batin yang terjadi berangsur-angsur, yang
menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang
menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik menurut kehendak
Tuhan[4].
Jadi kesalehan secara etimologis berarti sempurna, komplit, selesai. Orang yang saleh adalah orang yang mempunyai
kualitas utuh atau tanpa cela di hadapan Allah. Orang yang saleh juga adalah
orang yang kudus dihadapan Allah, mereka ini terpisah dari kejahatan dunia dan
dikhususkan untuk Allah.
Secara Semantik kata kesalehan
menunjuk pada Imamat 11:44[5]
“Akulah TUHAN, Allahmu” dimana Allah umat Israel berbeda dengan semua dewa
lain; tidak ada yang serupa dengan Dia. Dia berkuasa, dan sanggup
menyelamatkan, membimbing dan menolong umat-Nya. Dia bersifat etis, dan merasa
tertarik terhadap penderitaan yang dialami umat. Semua ide demikian berhubungan
dengan sifat-Nya yang kudus. “Haruslah kamu menguduskan dirimu”: Sifat umat
yang mengalami hubungan khusus dengan TUHAN harus disesuaikan dengan sifat
TUHAN sendiri. Dia menurut kekudusan dari mereka, sebab itu mereka tidak bisa
menjadi jijik, dengan melanggar hukum-hukum-Nya. Kudus itu perlu sekali,
ditekankan dalam hubungannnya dengan memakan bagian korban-korban yang
diperuntukkan bagi imam dan umat, dan juga dalam hubungannya dengan seluruh
upacara penahbisan Harun dan anak-anaknya. Sekarang dalam bagian ini, perintah
yang sama itu diterapkan dengan cara yang paling mengesankan kepada kehidupan
sehari-hari. Kudus yang dimaksud disini ialah pada hakikatnya menyampaikan
pengertian “pemisahan” perkara-perkara sekular untuk pelayanan dan penyembahan
pada Yahweh, yang juga terpisah sama sekali dari ciptaan-Nya[6].
Banyak para tokoh Alkitab dalam PL yang memberikan suatu gambaran tentang
dirinya mengenai masalah kesalehan. Bagi Abraham menanggapi kasih Allah berarti
bahwa ia harus meninggalkan, mengikuti dan yang terpenting adalah hidup di hadapan
Allah tanpa cacat dan cela. Bagi Musa dan Israel kasih Allah itu berarti bahwa
ia harus bersedia meninggalkan Mesir, mendengarkan suara Tuhan dan berani
mengikuti Dia sesuai dengan jalan yang ditunjukkannya. “Saleh” menurut Baxter berarti
taat pada kehendak Allah yang diketahui, yaitu Taurat-Nya, dengan
sungguh-sungguh dan dengan segenap hati, batiniah dan lahiriah[7].
Sementara menurut Dyrness[8]
kesalehan dalam PL merupakan tanggapan hati atas penyingkapan diri Allah ketika
Ia menyatakan diri sebagai yang kudus dan penuh kasih. Jawaban yang diberikan,
bersifat tulus dan sepenuh hati dengan pertimbangan bukan saja jurang yang
menganga antara Allah yang kudus dengan orang berdosa tetapi juga suatu
sukacita akibat menemukan bahwa Allah yang kudus itu berkenan untuk mengasihi
dan memelihara ciptaan-Nya. Tanggapan seorang percaya dalam PL merupakan
tanggapan yang aktif karena meliputi seluruh hidupnya.
SIFAT TEOLOGIS DARI KESALEHAN
1. Takut akan Tuhan
Kitab Amsal
menyamakan hal takut akan Tuhan dengan pengetahuan akan Allah (Amsal 2:5-6).
Dalam PL, pengetahuan akan Allah dikaitkan dengan pengalaman hubungan
perjanjian dengan Yahweh. Karena hanya Allah yang memiliki hikmat dan
memberikan pengertian pada manusia, maka hanya orang-orang yang mengenal Allah
melalui pengalaman kesetiaan pada perjanjian akan mendapatkan harta tersembunyi
dari hikmat. Ketakutan orang Ibrani akan Tuhan adalah unik. Sebenarnya lebih
tepat untuk mengatakan bahwa ketakutan Israel akan Tuhan adalah kesadaran yang
penuh kekaguman bahwa Allah yang kudus telah berkenan menoleh kepada mereka
serta memilih mereka menjadi umat-Nya. Oleh karena itulah mereka harus hidup
dalam rasa takut, namun ketakutan yang menuntun pada keyakinan dan kepercayaan,
dan bukan kepada ketidakpastian yang mematahkan semangat. Paham hal takut akan Tuhan menghubungkan
warganegara manusiawi dengan raja ilahi sedemikian rupa sedemikian rupa
sehingga persediaan hikmat Allah dapat dinikmati oleh orang-orang saleh-Nya
(Amsal 2:7-10). Takut akan Tuhan dalam kitab Amsal adalah gabungan tanggapan dari
sikap dan kehendak yang membentuk perilaku manusia sesuai dengan
perintah-perintah Allah[9].
Takut akan Allah berarti mengakui keunggulan-Nya atas manusia, mengakui
keallahan-Nya, sehingga menanggapinya dengan rasa gentar, tunduk, sujud
menyembah, mengasihi, berserah, dan taat. Hal takut akan Allah, jika “dipahami
secara benar, bukan sekadar ‘sikap,’mencakup lingkup yang lengkap dari
tanggapan manusia terhadap Allah”. Tanggapan kepada Allah seperti itu
mendatangkan hikmat, kebijaksanaan, dan hidup yang berhasil[10].
Beberapa
nabi berbicara tentang takut akan Tuhan (Yes 50:10; Yer 5:22, 24; 10:7;
Hag1:12; Mal 3:16). Yesaya menceritakan bahwa sang Raja Damai atau Mesias yang
kesenangannya ialah takut akan Tuhan (Yes 11:2). Yang menarik, Mikha
mengkaitkan takut akan Allah dengan hikmat: “adalah bijaksana untuk takut
kepada nama-Nya” (Mi 6:9)[11].
Jadi, salah
satu sifat teologis dari kesalehan adalah takut akan Tuhan. Takut yang dimaksud
bukanlah dihubungkan dengan perasaan ngeri atau ketakutan pada umumnya. Takut
akan Tuhan di sini adalah ketakutan yang unik, berisi kekaguman kepada Allah
yang menuntun kepada keyakinan dan kepercayaan kepada Allah.
2. Iman kepada Tuhan
Iman PL
dirunut dalam perjanjian yang telah ditawarkan Allah kepada umat Israel di
Sinai. Sejak itulah umat Israel percaya bahwa Yahweh, pencipta dunia ini, telah
memberikan Taurat dan janji kepada mereka, bahwa kesetiaan mereka akan mendapat
ganjaran. Tanpa iman seperti itu umat Israel tidak akan bertahan hidup,
sebagaimana diingatkan oleh para nabi (Yes 30:15-16). Orang Israel secara
individu juga memiliki kepercayaan bahwa Allah itu baik kepada orang-orang yang
tulus hatinya (Mzm 73:1-3). Kadang-kadang iman individual dihubungkan dengan
nasib seluruh bangsa, sebagaimana yang terjadi dengan Abraham (Kej 15:6), yang
percaya kepada Allah ketika ia dipanggil untuk meninggalkan daerahnya, dan
ketika ia diberi janji keturunan, meskipun ia tidak lagi berada dalam usia
normal untuk mendapat keturunan, juga ketika ia menaati perintah untuk
mengorbankan keturunannya (Ishak). Melalui semua pencobaan itu Abraham beriman
bahwa Allah telah memenuhi setiap janji-Nya[12]. Iman adalah mempercayakan diri kepada Allah
Israel yang berpribadi dan membuang segala sesuatu yang lain-diri sendiri,
sekutu atau berhala-berhala[13].
3. Mengasihi Allah
Dalam
Ulangan 6:5, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Bahwa ini dapat dimengerti kalau
kasih menunjuk pada diri manusia seutuhnya kepada Tuhan Allah. Karena kasih
merupakan suatu ikatan batin yang melibatkan seluruh kepribadian dengan segala
tingkah lakunya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kasih mendorong seseorang
untuk melakukan berbagai perbuatan yang memuaskan keinginan-keinginan yang
telah timbul sebelumnya (Amsal 20:13)[14].
Hosea
menekankan bahwa kasih Allah merupakan tanggapan terhadap kasih-Nya yang telah
terlebih dahulu memilih Israel. Dengan perantaraan nabi ini Allah berfirman,
“Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih”(Hosea 11:4).
Satu-satunya alasan yang diberikan mengapa Allah memilih Israel ialah karena Ia
mengasihi mereka, pastilah bukan karena sesuatu yang dapat dibanggakan Israel
(Ulangan 7:7-8). Yeremia menambahkan bahwa kasih Allah yang tak berkesudahan
itulah yang merupakan dasar kesetiaan-Nya kepada mereka (Yeremia 31:3).
Kesukaan para nabi untuk memakai istilah “mengenal Tuhan” khusus dalam kaitan
dengan kerajaan Allah di masa mendatang harus dipahami dengan mengingat
tanggapan yang penuh kasih kepada Tuhan (Yeremia 24:7; 31:34)[15]
UNGKAPAN DARI KESALEHAN
Dalam bukunya Dyrness[16],
ungkapan dari kesalehan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Memuji Allah
Memuji Allah sering diperintahkan kepada manusia sebagai
kewajiban, dan jelas tidak bergantung pada suasana perasaan atau keadaan (bnd Ayb
1:21). “Bersukacita dihadapan Tuhan” adalah bagian dari upacara yang diatur
bagi kehidupan umum umat-Nya (Ul 12:7; 16:11-12), dimana orang saling membantu
dan menghibur untuk menaikkan pujian. Sekalipun ada mazmur-mazmur yang
mengungkapkan pujian perseorangan, namun senatiasa dirasakan bahwa pujian lebih
baik dinaikkan ditengah-tengah jemaat (Mzm 22:25; 34:3; 35:18). Dengan demikian
pujian itu bukan hanya memuji dan menyenangkan Allah saja (Mzm 50:23), tapi
juga menjadi kesaksian kepada umat Allah (Mzm 51:12-15)[17].
2. Doa
Doa sebagai perbuatan tertinggi yang dapat dilakukan oleh roh
manusia, dapat juga dipandang sebagai persekutuan dengan Allah, selama
penekanannya diberikan kepada prakarsa Ilahi. Seseorang berdoa karena Allah
telah menyentuh rohnya. Ajaran Alkitab mengenai doa menekankan sifat Allah,
perlunya seseorang berada dalam hubungan penyelamatan atau hubungan perjanjian
dengan Dia, lalu secara penuh masuk kedalam segala hak istimewa dan kewajiban
dari hubungan dengan Allah[18].
3. Memuliakan Tuhan
Memuliakan
Tuhan dalam pengertian alkitabiah dapat
diungkapkan sebagai membiarkan kelayakan
dan hakikat Tuhan sendiri menjadi nyata. Konteks gagasan ini dalam PL
ialah kepercayaan bahwa seluruh bumi merupakan tempat ditunjukkannya kemulian
Tuhan. Bukan saja langit yang menceritakan kemuliaan Allah (Mzm 19:2), tetapi
seluruh bumi juga penuh dengan kemuliaan Tuhan (Yesaya 6:3)[19].
MAKNA TEOLOGIS
Allah yang kita sembah adalah Allah yang
Kudus, oleh sebab itu, kita pun harus hidup saleh atau kudus di hadapan-Nya.
Meaning: 1) to be complete,
be finished, be at an end 1a) (Qal) 1a1) to be finished, be completed 1a1a)
completely, wholly, entirely (as auxiliary with verb) 1a2) to be finished, come
to an end, cease 1a3) to be complete (of number) 1a4) to be consumed, be exhausted,
be spent 1a5) to be finished, be consumed, be destroyed 1a6) to be complete, be
sound, be unimpaired, be upright (ethically) 1a7) to complete, finish 1a8) to
be completely crossed over 1b) (Niphal) to be consumed 1c) (Hiphil) 1c1) to
finish, complete, perfect 1c2) to finish, cease doing, leave off doing 1c3) to
complete, sum up, make whole 1c4) to destroy (uncleanness) 1c5) to make sound
1d) (Hithpael) to deal in integrity, act uprightly
Origin: a primitive root;
TWOT - 2522; v
Usage: AV - consume 26,
end 9, finished 4, clean 3, upright 3, spent 3, perfect 2, done 2, failed 2,
accomplish 2, misc 8; 64
[2] (from Vine's
Expository Dictionary of Biblical Words, Copyright (c)1985, Thomas Nelson
Publishers)
[3] A.
Murray, “Kudus, Kekudusan” dalam
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 617
[4] W.
Marsahl, “Kudus, Pengudusan” dalam
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 618
[5]
Robert M. Paterson, Kitab Imamat (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), 163
[10] Roy B. Zuck, A Biblical Theology
Of The Old Testament (Malang: Gandum Mas, 2005), 386
[11] Ibid, hal 387
[13] Harry Mowvley, Penuntun ke dalam
Nubuat PL (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 148
[14]
Ibid., 144
[15] Ibid.,
144-145
[16]
Ibid., 145-148
[17] H.
Ringgren, “Pujian ” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007),
284
[18] H.
Trevor, “doa” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 249
[19] Dyrness, Ibid. 148
like
BalasHapus