Minggu, 21 Mei 2017

Kesalehan dalam Perjanjian Lama



KESALEHAN DALAM PERJANJIAN LAMA
DEFINISI
   Secara etimologis kesalehan dalam bahasa Ibrani “Tamam[1]” yang artinya menjadi lengkap, selesai, tanpa cela, semua, menyeluruh. kata ini muncul 64 kali, digunakan dalam bahasa Aram, Siria, dan Arab. Kata ini menjadi selesai atau lengkap (Kejadian 47:18)[2]. Kesalehan adalah kualitas utuh, tidak kurang, tidak bercela apa pun (dlm Im 23:15 tam bentuknya temimot dan dipakai dalam harfiah ”genap”). Kesalehan juga mempunyai sinonim dengan kata “Kudus” yang secara etimologis berasal dari kata Ibrani qadosy dan qodesy yang berarti ‘terpisah’ atau ‘terpotong dari’, digunakan terhadap keadaan terlepasnya seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan dapat memakainya, dan dengan demikian terhadap keadaan orang atau objek yang dilepas itu)[3]. Makna dasar dari akar kata Ibrani qdsy antara lain: menyendirikan, cemerlang. Arti pertama menekankan kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata itu diterjemahkan ‘terpotong’, ‘dipisahkan’, ‘disendirikan untuk penggunaan khusus’, ‘diserahkan untuk’, atau ‘disucikan’, ‘dianggap keramat atau suci lawan dari yang biasa’, tercemar atau sekuler’. Arti kedua mungkin menekankan penggunaannya berkaitan dengan keadaan, atau proses, yang dalam PB mengarah ke pemikiran tentang perubahan batin yang terjadi berangsur-angsur, yang menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik menurut kehendak Tuhan[4]. Jadi kesalehan secara etimologis berarti sempurna, komplit, selesai.  Orang yang saleh adalah orang yang mempunyai kualitas utuh atau tanpa cela di hadapan Allah. Orang yang saleh juga adalah orang yang kudus dihadapan Allah, mereka ini terpisah dari kejahatan dunia dan dikhususkan untuk Allah.
Secara Semantik kata kesalehan menunjuk pada Imamat 11:44[5] “Akulah TUHAN, Allahmu” dimana Allah umat Israel berbeda dengan semua dewa lain; tidak ada yang serupa dengan Dia. Dia berkuasa, dan sanggup menyelamatkan, membimbing dan menolong umat-Nya. Dia bersifat etis, dan merasa tertarik terhadap penderitaan yang dialami umat. Semua ide demikian berhubungan dengan sifat-Nya yang kudus. “Haruslah kamu menguduskan dirimu”: Sifat umat yang mengalami hubungan khusus dengan TUHAN harus disesuaikan dengan sifat TUHAN sendiri. Dia menurut kekudusan dari mereka, sebab itu mereka tidak bisa menjadi jijik, dengan melanggar hukum-hukum-Nya. Kudus itu perlu sekali, ditekankan dalam hubungannnya dengan memakan bagian korban-korban yang diperuntukkan bagi imam dan umat, dan juga dalam hubungannya dengan seluruh upacara penahbisan Harun dan anak-anaknya. Sekarang dalam bagian ini, perintah yang sama itu diterapkan dengan cara yang paling mengesankan kepada kehidupan sehari-hari. Kudus yang dimaksud disini ialah pada hakikatnya menyampaikan pengertian “pemisahan” perkara-perkara sekular untuk pelayanan dan penyembahan pada Yahweh, yang juga terpisah sama sekali dari ciptaan-Nya[6]. Banyak para tokoh Alkitab dalam PL yang memberikan suatu gambaran tentang dirinya mengenai masalah kesalehan. Bagi Abraham menanggapi kasih Allah berarti bahwa ia harus meninggalkan, mengikuti dan yang terpenting adalah hidup di hadapan Allah tanpa cacat dan cela. Bagi Musa dan Israel kasih Allah itu berarti bahwa ia harus bersedia meninggalkan Mesir, mendengarkan suara Tuhan dan berani mengikuti Dia sesuai dengan jalan yang ditunjukkannya. “Saleh” menurut Baxter berarti taat pada kehendak Allah yang diketahui, yaitu Taurat-Nya, dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap hati, batiniah dan lahiriah[7]. Sementara menurut Dyrness[8] kesalehan dalam PL merupakan tanggapan hati atas penyingkapan diri Allah ketika Ia menyatakan diri sebagai yang kudus dan penuh kasih. Jawaban yang diberikan, bersifat tulus dan sepenuh hati dengan pertimbangan bukan saja jurang yang menganga antara Allah yang kudus dengan orang berdosa tetapi juga suatu sukacita akibat menemukan bahwa Allah yang kudus itu berkenan untuk mengasihi dan memelihara ciptaan-Nya. Tanggapan seorang percaya dalam PL merupakan tanggapan yang aktif karena meliputi seluruh hidupnya.
  
SIFAT TEOLOGIS DARI KESALEHAN
1.      Takut akan Tuhan
Kitab Amsal menyamakan hal takut akan Tuhan dengan pengetahuan akan Allah (Amsal 2:5-6). Dalam PL, pengetahuan akan Allah dikaitkan dengan pengalaman hubungan perjanjian dengan Yahweh. Karena hanya Allah yang memiliki hikmat dan memberikan pengertian pada manusia, maka hanya orang-orang yang mengenal Allah melalui pengalaman kesetiaan pada perjanjian akan mendapatkan harta tersembunyi dari hikmat. Ketakutan orang Ibrani akan Tuhan adalah unik. Sebenarnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa ketakutan Israel akan Tuhan adalah kesadaran yang penuh kekaguman bahwa Allah yang kudus telah berkenan menoleh kepada mereka serta memilih mereka menjadi umat-Nya. Oleh karena itulah mereka harus hidup dalam rasa takut, namun ketakutan yang menuntun pada keyakinan dan kepercayaan, dan bukan kepada ketidakpastian yang mematahkan semangat.  Paham hal takut akan Tuhan menghubungkan warganegara manusiawi dengan raja ilahi sedemikian rupa sedemikian rupa sehingga persediaan hikmat Allah dapat dinikmati oleh orang-orang saleh-Nya (Amsal 2:7-10). Takut akan Tuhan dalam kitab Amsal adalah gabungan tanggapan dari sikap dan kehendak yang membentuk perilaku manusia sesuai dengan perintah-perintah Allah[9]. Takut akan Allah berarti mengakui keunggulan-Nya atas manusia, mengakui keallahan-Nya, sehingga menanggapinya dengan rasa gentar, tunduk, sujud menyembah, mengasihi, berserah, dan taat. Hal takut akan Allah, jika “dipahami secara benar, bukan sekadar ‘sikap,’mencakup lingkup yang lengkap dari tanggapan manusia terhadap Allah”. Tanggapan kepada Allah seperti itu mendatangkan hikmat, kebijaksanaan, dan hidup yang berhasil[10].
Beberapa nabi berbicara tentang takut akan Tuhan (Yes 50:10; Yer 5:22, 24; 10:7; Hag1:12; Mal 3:16). Yesaya menceritakan bahwa sang Raja Damai atau Mesias yang kesenangannya ialah takut akan Tuhan (Yes 11:2). Yang menarik, Mikha mengkaitkan takut akan Allah dengan hikmat: “adalah bijaksana untuk takut kepada nama-Nya” (Mi 6:9)[11].
Jadi, salah satu sifat teologis dari kesalehan adalah takut akan Tuhan. Takut yang dimaksud bukanlah dihubungkan dengan perasaan ngeri atau ketakutan pada umumnya. Takut akan Tuhan di sini adalah ketakutan yang unik, berisi kekaguman kepada Allah yang menuntun kepada keyakinan dan kepercayaan kepada Allah.

2.      Iman kepada Tuhan
Iman PL dirunut dalam perjanjian yang telah ditawarkan Allah kepada umat Israel di Sinai. Sejak itulah umat Israel percaya bahwa Yahweh, pencipta dunia ini, telah memberikan Taurat dan janji kepada mereka, bahwa kesetiaan mereka akan mendapat ganjaran. Tanpa iman seperti itu umat Israel tidak akan bertahan hidup, sebagaimana diingatkan oleh para nabi (Yes 30:15-16). Orang Israel secara individu juga memiliki kepercayaan bahwa Allah itu baik kepada orang-orang yang tulus hatinya (Mzm 73:1-3). Kadang-kadang iman individual dihubungkan dengan nasib seluruh bangsa, sebagaimana yang terjadi dengan Abraham (Kej 15:6), yang percaya kepada Allah ketika ia dipanggil untuk meninggalkan daerahnya, dan ketika ia diberi janji keturunan, meskipun ia tidak lagi berada dalam usia normal untuk mendapat keturunan, juga ketika ia menaati perintah untuk mengorbankan keturunannya (Ishak). Melalui semua pencobaan itu Abraham beriman bahwa Allah telah memenuhi setiap janji-Nya[12].  Iman adalah mempercayakan diri kepada Allah Israel yang berpribadi dan membuang segala sesuatu yang lain-diri sendiri, sekutu atau berhala-berhala[13].

3.      Mengasihi Allah
Dalam Ulangan 6:5, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Bahwa ini dapat dimengerti kalau kasih menunjuk pada diri manusia seutuhnya kepada Tuhan Allah. Karena kasih merupakan suatu ikatan batin yang melibatkan seluruh kepribadian dengan segala tingkah lakunya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kasih mendorong seseorang untuk melakukan berbagai perbuatan yang memuaskan keinginan-keinginan yang telah timbul sebelumnya (Amsal 20:13)[14].
Hosea menekankan bahwa kasih Allah merupakan tanggapan terhadap kasih-Nya yang telah terlebih dahulu memilih Israel. Dengan perantaraan nabi ini Allah berfirman, “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih”(Hosea 11:4). Satu-satunya alasan yang diberikan mengapa Allah memilih Israel ialah karena Ia mengasihi mereka, pastilah bukan karena sesuatu yang dapat dibanggakan Israel (Ulangan 7:7-8). Yeremia menambahkan bahwa kasih Allah yang tak berkesudahan itulah yang merupakan dasar kesetiaan-Nya kepada mereka (Yeremia 31:3). Kesukaan para nabi untuk memakai istilah “mengenal Tuhan” khusus dalam kaitan dengan kerajaan Allah di masa mendatang harus dipahami dengan mengingat tanggapan yang penuh kasih kepada Tuhan (Yeremia 24:7; 31:34)[15]

UNGKAPAN DARI KESALEHAN
Dalam bukunya Dyrness[16], ungkapan dari kesalehan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Memuji Allah
      Memuji Allah sering diperintahkan kepada manusia sebagai kewajiban, dan jelas tidak bergantung pada suasana perasaan atau keadaan (bnd Ayb 1:21). “Bersukacita dihadapan Tuhan” adalah bagian dari upacara yang diatur bagi kehidupan umum umat-Nya (Ul 12:7; 16:11-12), dimana orang saling membantu dan menghibur untuk menaikkan pujian. Sekalipun ada mazmur-mazmur yang mengungkapkan pujian perseorangan, namun senatiasa dirasakan bahwa pujian lebih baik dinaikkan ditengah-tengah jemaat (Mzm 22:25; 34:3; 35:18). Dengan demikian pujian itu bukan hanya memuji dan menyenangkan Allah saja (Mzm 50:23), tapi juga menjadi kesaksian kepada umat Allah (Mzm 51:12-15)[17].



2.      Doa
      Doa sebagai perbuatan tertinggi yang dapat dilakukan oleh roh manusia, dapat juga dipandang sebagai persekutuan dengan Allah, selama penekanannya diberikan kepada prakarsa Ilahi. Seseorang berdoa karena Allah telah menyentuh rohnya. Ajaran Alkitab mengenai doa menekankan sifat Allah, perlunya seseorang berada dalam hubungan penyelamatan atau hubungan perjanjian dengan Dia, lalu secara penuh masuk kedalam segala hak istimewa dan kewajiban dari hubungan dengan Allah[18].

3.      Memuliakan Tuhan
Memuliakan Tuhan  dalam pengertian alkitabiah dapat diungkapkan sebagai membiarkan kelayakan  dan hakikat Tuhan sendiri menjadi nyata. Konteks gagasan ini dalam PL ialah kepercayaan bahwa seluruh bumi merupakan tempat ditunjukkannya kemulian Tuhan. Bukan saja langit yang menceritakan kemuliaan Allah (Mzm 19:2), tetapi seluruh bumi juga penuh dengan kemuliaan Tuhan (Yesaya 6:3)[19].

MAKNA TEOLOGIS
 Allah yang kita sembah adalah Allah yang Kudus, oleh sebab itu, kita pun harus hidup saleh atau kudus di hadapan-Nya.


[1] 8552 ~m;T' tamam {taw-mam'}
Meaning:  1) to be complete, be finished, be at an end 1a) (Qal) 1a1) to be finished, be completed 1a1a) completely, wholly, entirely (as auxiliary with verb) 1a2) to be finished, come to an end, cease 1a3) to be complete (of number) 1a4) to be consumed, be exhausted, be spent 1a5) to be finished, be consumed, be destroyed 1a6) to be complete, be sound, be unimpaired, be upright (ethically) 1a7) to complete, finish 1a8) to be completely crossed over 1b) (Niphal) to be consumed 1c) (Hiphil) 1c1) to finish, complete, perfect 1c2) to finish, cease doing, leave off doing 1c3) to complete, sum up, make whole 1c4) to destroy (uncleanness) 1c5) to make sound 1d) (Hithpael) to deal in integrity, act uprightly
Origin:  a primitive root; TWOT - 2522; v
Usage:  AV - consume 26, end 9, finished 4, clean 3, upright 3, spent 3, perfect 2, done 2, failed 2, accomplish 2, misc 8; 64
[2] (from Vine's Expository Dictionary of Biblical Words, Copyright (c)1985, Thomas Nelson Publishers)
[3] A. Murray, “Kudus, Kekudusan” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 617
[4] W. Marsahl, “Kudus, Pengudusan” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 618
[5] Robert M. Paterson, Kitab Imamat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 163
[6] Andrew Hill dan John H. Walton, Survei PL (Malang: Gandum Mas, 2008), 194
[7]  MM. Baxter, “Kesalehan” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II (Jakarta: YKBK, 2000),    340
[8] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1990), 141
[9] Ibid, 472
[10] Roy B. Zuck, A Biblical Theology Of  The Old Testament (Malang: Gandum Mas, 2005), 386
[11] Ibid, hal 387
[12] W.R.F Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 150
[13] Harry Mowvley, Penuntun ke dalam Nubuat PL (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 148
[14] Ibid., 144
[15] Ibid., 144-145
[16] Ibid., 145-148
[17] H. Ringgren, “Pujian ” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 284
[18] H. Trevor, “doa” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta: YKBK, 2007), 249
[19]  Dyrness, Ibid. 148

1 komentar: