Jumat, 16 Maret 2018

Gambaran Karakter dan Etika dalam Kitab Hikmat

Data Buku: Brown, William P. Character In Crisis : A Fresh Approach to the  Wisdom Literature of The Old Testament. Cambridge : William B. Eerdmans Publishing Company, 1996.  ISBN: 0-664-254101


Ada berbagai elemen kehidupan yang membentuk karakter manusia sehingga mempengaruhi dan atau membentuk karakteristik seorang anak manusia. Elemen itu bisa jadi budaya, sejarah atau pengalaman kehidupan, temperamen fisiologis, lingkungan tempat tinggal, suku, ras atau etnik, dll. Buku ini membahas tentang etika dalam kitab Kebijaksanaan yang berpusat pada penilaian tentang karakter manusia sebagai salah satu perangkat dalam bertindak etis dalam dunia.

Pendahuluan : Etika dan Etos Kitab Kebijaksanaan
Ada ahli yang mendefinisikan karakter sebagai seperangkat alat yang ada dalam diri individu yang membedakannya dengan individu lain. Ada kaitan erat antara karakter dan cara individu dalam bertindak serta menyikapi kehidupan. Bagi Aristoteles, karakter itu setara  dengan tindakan. Dan menurut Brown sendiri dalam kesimpulannya menyatakan bahwa karakter merupakan hasil donasi antara tubuh dan spektrum khusus yang ada dalam dirinya yang mengatur caranya untuk berhubungan satu dengan yang lain. Karakter seseorang yang tergambar secara morfologis muncul dalam bentuk tindakan,  pengaruh dan tanggung jawab. Ada juga yang menyebutnya sebagai tindakan, perasaan dan cacra berpikir secara konkrit. Sedikit berbeda dengan itu, maka karakter etis merupakan seluruh kualitas moral atau pembawaan yang dimiliki individu atau komunitas. Secara etistik diidentifikasikan dengan beberapa elemen dasar yang mempengaruhi kehidupan individu yang dipengaruhi oleh faktor kehidupan sosial dan psikologis. Birch dan Rasmussen dalam artikel tentang kebajikan menyebut bahwa persepsi dan intensi merupakan elemen struktural yang  membangun karakter seseorang. Persepsi merupakan internalisasi selektif dan integrasi dari peristiwa – peristiwa yang memberi bentuk kepada pengalaman – pengalaman pribadi seseorang dan memberikan mereka sumbangan maksud yang penuh. Intensi merupakan eskpresi karakter yang ditunjukkan sebagai maksud, arah, maupun tujuan dari karakter. Dalam derajat kesadaran individu, kehendak mengekspresikan tujuan dan memberi arah bagi pilihan. Kehendak membangun pilihan bebas dan mengembangkan dasar bagi kemampuan etis individu. Melalui kehendak ini juga bahasa karakter memiliki durasi dan bertumbuh dalam diri individu yang memberikan informasi tentang karakteristik orang itu sendiri. Di lain pihak, elemen karakter yang paling menjadi perhatian dalam dunia klasik dan kontemporer adalah kebajikan, ini juga yang menjadi tujuan utama formasi karakter. Kebajikan moral merupakan kebajikan karakter namun berbeda dengan kemampuan atau keahlian seseorang. Karena itu, kebajikan bukan jaminan kesuksesan seseorang karena sukses bukanlah indikator bagi kebajikan moral. Seorang bisa saja menjadi sangat jenius namun tidak bajik atau bijak. Kebajikan lahir dalam dalam, sifatnya personal, menyatu dengan hidup, alami dan elemen – elemen kebajikan ini tidak bisa diidentifikasikan dengan prinsip – prinsip moral. Kontras dengan kewajiban etis, kebajikan secara esensial merupakan bentuk etika atau sikap. Kewajiban etis dan kebajikan bersifat  kompleks namun saling berkaitan.
Kitab Kebijaksanaan yang paling banyak membahas tentang kebajikan juga memberikan deskripsi dan preskripsi tentang karakter manusia ini. Dalam kitab ini, baik karakter dalam pengertian literal maupun moral tidak dapat dipisahkan. Namun demikian tidak berarti bahwa kitab – kitab narasi tidak menuliskan tentang karakter – karakter manusia. Perkembangan karakter individu dalam komunitas Israel justru tergambar jelas dalam kitab – kitab narasi PL. Bagaimanapun juga, karakter kita dibentuk berdasarkan kisah – kisah atau pengalaman hidup dan metafora – metafora bukan hukum. Dalam kisah – kisah Alkitab biasanya tersirat persepsi – persepsi, kepercayaan – kepercayaan, praktik sosial individu dalam sejarah yang menjadi elemen pembentuk karakter. Pemodelan kebijaksanaan melalui kisah – kisah Alkitab ini sesuai dengan penelitian Janzen.

Formasi Karakter dalam Amsal; atau Kebijaksanaan dan Seni Mengatur Komunitas
Amsal 1 : 1 – 7 merupakan  pendahuluan tujuan Alkitab secara keseluruhan. Perikop ini diawali dengan deskripsi penulis meski keotentikannya masih harus ditinjau ulang, lalu dilanjutkan dengan litani nilai – nilai dan kebajikan – kebajikan dan ditutup dengan referensi tentang nilai – nilai dan instruksi – instruksi kebijaksanaan. Dalam teks ini juga terdapat penggambaran elemen – elemen kebajikan seperti instruksi – instruksi efektif, kebenaran, keadilan, dan hak, kebijaksanaan, jaminan keamanan, keahlian, dll. Bagi Harun, takut akan Tuhan yang dimaksud di dalam teks ini merupakan rasa takjub dan hormat yang mendalam, pengakuan akan kuasa dan ketaatan pada kehendak Allah. Orang yang takut akan Allah memiliki kemungkinan besar untuk memperoleh hikmat lebih dari yang lain (2010 : 24 – 25).
Setelah pendahuluan tentang hikmat ini terdapat pembicaraan serius seorang ayah kepada putranya. Di dalam teks tersebut ditampilkan pameran instruksi yang bernuansa displin berupa teguran dan atau peringatan. Ada hirarki yang jelas antara orang tua dan anak. Dalam pengajaran hikmat ini terlihat etos yang bersifat egaliter namun terbukti efektif dalam dan bila dipraktikkan. Sang ayah tidak berniat untuk mengambil keuntungan apapun dari pengajarannya kepada anaknya, ia hanya ingin mempersiapkan anaknya menjadi orang yang bijak dalam menghadapi realitas kehidupan. Hal ini berguna tidak hanya bagi pemeliharaan hidup pribadi sang anak namun berdampak juga bagi komunitas. Teks lanjutan berbicara tentang figur perempuan bijaksana. Pendekatan yang dilakukan oleh perempuan ini tidak bermaksud untuk memberi dakwaan kepada pemirsanya. Pendekatan Kebijaksanaan merupakan pendekatan yang jelas; kekuatan pengajarannya terletak dalam kemampuannya untuk membangkitkan kesadaran dari pendengarnya saat mengambil keputusan meskipun dalam keadaan krisis.  Selanjutnya, diperlihatkan juga hirarki pengajaran hikmat antara guru dan murid yang sifatnya lebih universal ketimbang ayah dan putranya. Dengan demikian,  dari personifikasi Amsal ini dapat dilihat ada hirarki antara  orang berhikmat dan tidak berhikmat. Lawan dari perempuan bijak yang anti komunitas ini adalah perempuan asing atau jalang atau bodoh. Personifikasi hubungan perjanjian umat dan Tuhan di sini diarahkan kepada bentuk perjanjian pernikahan. Dan tema pengajarannya tetap adalah keadilan, kebenaran dan kelayakan sehingga dampaknya tidak hanya kepada individu namun juga komunitas. Intstrumental kebajikan berupa sumber daya atau keahlian khusus berguna dalam memastikan kesuksesan seseorang, namun kehati-hatian dan pengertian berperan sebagai penjaga sikap agar seseorang tetap dalam jalan yang baik yaitu adil, benar dan pantas.
Hikmat itu umumnya terlihat dalam persimpangan atau silang sebuah masalah. Targetnya tetap adalah orang yang tidak bijaksana. Pengkarakteran Kebijaksanaan ini dimulai dari wacana tentang kosmos atau alam semesta. Dilanjutkan dengan pemberian peraturan dan sistem konstitusi. Nilai – nilai kebenaran menyusul di belakangnya. Bentuk formasi dari kata – kata hikmat adalah kata – kata yang lurus. Tujuannya tidak hanya mendatangkan keadilan bagi komunitas namun juga integritas sehingga terbangun hubungan yang kooperatif dalam komunitas tersebut. Antonim dari cerdas adalah lidah dua. Hikmat menempatkan diri dala permulaan tindakan penciptaan. Dibuat oleh Allah sebelum dunia diciptakan dan berada bersama – sama dengan Allah pada saat penciptaan. Ia merasa senang berada bersama – sama dengan Allah dan menyukai semua yang Allah perbuat dalam penciptaan. Rasa sukacita ini digambarkan seperti kegembiraan anak kecil. Menurut Harun, hikmat dalam pengertian Amsal merupakan gambaran penciptaan adalah perempuan bijak yang mendampingi Allah saat menciptakan bumi (heqet; bentuknya feminim). Perempuan ini senang dengan kreasi Allah dalam hikmat, senang dengan hasil kreasi tersebut dan senang tinggal di antara manusia yang mencari dia. Memiliki hikmat merupakan perkara hidup dan mati. Apapun, di manapun, kapanpun, bagaimanapun, jika ingin hidup bahagia dan sukses, seseorang memerlukan hikmat. Hikmat juga menggambarkan seorang perempuan yang membuka rumah makan dan mengundang semua orarng yang belum berpengalaman dan berakal budi untuk hadir di sana. Menu yang ditawarkan adalah makanan dan minuman yang memberantas kebodohan dan memberikan hidup. Kata yang digunakan untuk ini adalah hokmah berbentuk feminim. Hikmat dalam hal ini bertindak aktif mencari manusia yang penuh kebodohan, mencintai manusia dengan penuh kasih sayang (2010 : 16 – 55).
Manusia merupakan bukti hikmat Allah yang paling istimewa. Para orang bijak Israel pun memandang positif produk Allah dengan segala kelengkapan indra dan kemampuan rasionya. Melalui pengertian, manusia mengembangkan diri dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Untuk itu, manusia perlu melibatkan diri dengan realitas dunia agar memperoleh pengalaman, pengetahuan, tentang irama, keteraturan serta kaidah – kaidah yang berlaku dalam dunia. Orang bijak selalu memperhatikan apapun yang ada di sekelilingnya. Target pengajaran adalah anak – anak muda tapi tidak berarti bahwa pengajaran yang diberikan untuk orang muda dilakukan karena mereka rusak dan perlu reparasi. Pengajaran bertujuan untuk menjadikan mereka diri sendiri dan menjadikan mereka semakin manusiawi. Diharapkan dengan cara ini, manusia mampu mengembangkan bakat yang menjadi cirikhas manusia, dan inilah pengertian bijaksana. Orang dikatakan bijak karena dia mampu menampilkan rasio dan pengertian yang tajam. Orang yang berhikmat adalah orang yang rendah hati, menginsyafi keadaan sesungguhnya dan hidup dengan keadaan itu. Orang bijak adalah orang yang mau bersandar sepenuhnya kepada Allah dan menerima tempat sebagai ciptaan, mengakui bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Orang lain merupakan unsur hakiki yang perlu agar seseorang berkembang, namun tidak semua orang bisa mengarahkan orang menjadi lebih baik, karena itu perlu berhati – hati dengan pergaulan. Orang bijak adalah orang yang mau menerima koreksi, mencari dan menyimpannya. Orang tua yang rendah hati, berhubungan baik dengan Tuhan, keluarga, teman, adalah orang yang bisa mengendalikan diri dan disiplin dapat disebut orang bijak. Orang tua yang bijak ini telah mejalani seluruh hidupnya sebagai seorang manusia yang manusiawi, inilah yang memantaskan dia menjadi pengajar hikmat. Namun sayangnya, seberapapun baiknya hikmat manusia, ia masih memiliki keterbatasan. Orang yang bijak tahu bahwa dia memiliki keterbatasan. Pemahaman ini justru muncul karena pengalaman hidup, bukan semata – mata iman. Manusia bijak paham benar bahwa meskipun dalam sepanjang perjalanan hidupnya ia telah menyusun rencana sedemikian rupa, tetap Allahlah penentunya. Karena itu orang bijak perlu berserah pada Tuhan. Orang Israel kuno paham betul bahwa ada banyak kejadian – kejadian dalam realitas hidup mereka berjalan di luar rencana, dan hikmat manusia terbatas untuk menebak kejadian yang di luar rencana ini. Namun demikian, keterbatasan ini bukanlah menjadi poin lemah Allah dalam penciptaan manusia, justru karena keterbatasannya, dimensi keselamatan Allah  berlaku bagi mereka. Jadi antara hikmat, pengetahuan, dan iman kepada Tuhan, semuanya saling berdampingan dan saling melengkapi.
Selain itu, para penulis Amsal juga memberi perhatiannya terhadap jurang perbedaan antara orang kaya dan miskin. Sepertinya telah terjadi salah paham tentang cap ini dan berindikasi pada penilaian orang Israel tentang perihal miskin dan kaya. Sebagian orang mendeskreditkan kaum miskin dengan menganggap mereka sebagai pemalas,  padahal salah satu penyebab kemiskinan adalah kecurangan orang kaya. Sebagian lagi mencap orang kaya sebagai orang berdosa padahal, tidak semua kekayaan itu hasil dosa. Para penulis Amsal melihat ambiguitas dalam kemiskinan dan kekayaan, keduanya tidak selalu baik atau buruk. Orang bijak melihatnya dari berbagai sudut.
Bagian akhir dari kitab Amsal dibahas tentang Istri yang cakap atau kheset – hayil yang berarti seorang perempuan yang menunjukkan kekuatan, ketangkasan, kemampuan dan efisiensi. Dalam teks ini dijelaskan gambaran ideal seorang perempuan pada masa Palestina jauh sebelum revolusi industri. Tapi lepas dari semua penggambaran ini, Martin Harun berpendapat bahwa wanita yang dimaksud di sini adalah Nyonya Hikmat yang sejak awal Amsal sudah disinggung. Bagian ini dijadikan penutup Amsal untuk memberi kesimpulan tentang peran dan pekerjaan hikmat dalam dunia. Dan kunci hikmat itu adalah takut akan Allah. Dell dalam buku yang disuntingnya menampilkan kontras antara “Perempuan Asing” dan “Perempuan Bijak” ini. Pada kesimpulan etisnya, Estes sang penulis menggambarkan bahwa dua perempuan yang memiliki sifat berbanding terbalik ini merupakan metafora hikmat dan kebodohan. Target keduanya tetap adalah orang muda. Jadi, ini bergantung kepada siapa seorang muda itu mau mendengar dan datang ke situlah nasibnya kelak. “Perempuan Bijak” akan membawanya kepada kehidupan dan “Perempuan Asing” akan membawanya kepada kematian (2010 : 152 – 168). Sedikit aneh bila bagi Wahono yang menyikapi hal ini secara literal. Menganggap bahwa rayuan perempuang asing kepada anak muda merupakan fakta dan ini bertujuan sebagai pengajaran sopan santun (2013 : 224).
Ada hal yang perlu dicatat bahwa hikmat Israel tidak murni berasal dari Israel sepenuhnya. Hikmat ini juga ternyata banyak mengadopsi hikmat – hikmat dari negara sekitar. Hal ini dikarenakan fakta bahwa dalam keterlibatannya dengan dunia, seluruh manusia dunia memiliki kegelisahan, pergumulan, pengalaman  dan keprihatinan yang kalau tidak mau dibilang sama, setidaknya mirip satu sama lain. Selain itu, Wahono membagi kalimat – kalimat itu dalam tiga sasaran: hikmat duniawi yang diarahkan kepada individu dengan tujuan menjaga keberhasilan, kemakmuran dan kesejahteraan orang tersebut; kepada pribadi – pribadi namun yang berdampak luas kepada masyarakat sekitar; dan hikmat yang bertujuan memberi penekanan tentang kesalehan dan moral  (2013 : 225 – 226).  Hikmat yang ditulis dalam Amsal ini sebagian besar memang lebih tua dibanding kitab hikmat Ayub dan Pengkhotbah. Konsep utama hikmatnya adalah hubungan hubungan sebab akibat, karena itu dianggap sebagai hikmat yang ortodoks.

Deformasi Karakter (Ayub 1 – 31)
Kitab Ayub merupakan satu pekerjaan yang jarang dan bersifat radikal atau amat luar biasa. Radikal karena isinya yang secara tajam  mematahkan norma –norma konvensional dan gagasan – gagasan dari karakter etis, koherensi moral dari peraturan penciptaan dan natur Allah. Kitab ini bahkan dianggap sebagai satu – satunya kitab yang melawan Alkitab. Kitab Ayub membawa  satu nuansa baru dalam literatur kebijaksanaan Israel. Diawali dengan satu bentuk pertanyaan yang tidak terjawabkan dan memasukkan pembacanya dalam satu paradigma baru dalam model karakter.  Menurut Harun, kitab Ayub merupakan perkembangan dari tradisi hikmat yang sebelumnya telah lebih dahulu ada. Kitab ini ditulis sekitar abad ke 6 – 4 SM. Kisah tentang Ayub diangkat sebagai “model purba” bagi semua orang yang mengalami penderitaan yang tidak terpahami. Kisah ini juga bisa jadi bukanlah kisah asli Israel namun karena berkaitan dengan kebijaksanaan, maka diadopsi sebagai salah satu literatur kebijaksanaan. Kemungkinan lain pengadopsian dilakukan karena konteks penulisan di mana kesalehan pribadi di masa pembuangan lebih ditekankan ketimbang umat atau bangsa. Kisah Ayub merupakan gambaran kehidupan nyata dari berbagai zaman bahwa tidak semua orang baik, saleh, bernasib mujur seperti yang selama ini dikumandangkan oleh hikmat tradisional (2010 : 58 – 59).  Buku ini membuka jalan paradigma baru bagi kebijaksanaan. Hukum Kebijaksanaan tradisional yang mengusung konsep “sebab – akibat” sudah sangat tradisional dan perlu diperbaharui meski tidak dihilangkan. Paradigma penderitaan perlu diubah. Allah bebas melakukan apapun pada siapapun seturut hati-Nya tanpa intervensi manusia karena Ia tahu jalan-Nya sendiri. Hikmat manusia terbatas. Allah diam agar manusia berpikir. Allah berbicara agar manusia mengerti hati-Nya. Itu cukup, Allah tidak perlu membela diri-Nya di hadapan manusia, karena lebih dari itu, manusia tidak akan mampu menyelami pikiran Allah. Wahono berpendapat bahwa kitab ini menyajikan masalah teologis yang berat karena mengangkat masalah penderitaan yang dialami oleh orang yang benar dan jujur (2013 : 227). Hal ini juga sudah menjadi fenomena umum saat ini, namun masih terus dipertanyakan. Ada banyak orang yang masih memiliki konsep sebab akibat padahal konsep ini dalam kasus – kasus tertentu sudah tidak bisa diberlakukan lagi.
Dari segi seni, kitab ini cukup sulit dimengerti sehingga memiliki nilai tinggi. Menurut Groenen, kitab ini sebenarnya merupakan puncak Hikmat – Kebijaksanaan di Israel. Pemikiran yang dibuat oleh penulis kitab ini sangat mendalam (1992 : 192 – 195). Lasor dkk menganggap tulisan dalam kitab Ayub ini sebagai bagian dari seni sastra. Sebagian ahli menganggap tulisan ini merupakan ratapan, debat hukum, bahan kuliah umum, debat filsafat, tragedi, komedi, perumpamaan, epik, dll. Namun sepertinya jenis – jenis sastra ini telah  saling melengkapi dalam kitab Ayub (2013 : 125 – 138). Dari sudut Teologis, pertanyaan Ayub merupakan pertanyaan kebanyakan orang di seluruh dunia sampai saat ini yang merasa hidup benar  namun tetap menderita dan seolah – olah diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Kitab Ayub memuat pergumulan seorang anak manusia dengan Allah. Memperlihatkan keterbatasan manusia dalam memahami Allah. Bagaimanapun, Allah adalah Pribadi bebas dan pikiran serta tindakan-Nya tidak dapat dikotak – kotakkan oleh Manusia. Kebebasan Allah ini juga yang menyebabkan Allah mengizinkan Iblis untuk “mengerjai” Ayub, bukan karena Ayub berdosa. Menurut Lasor dkk, Iblis tahu akar permasalahan agar hubungan Ayub dan Allah rusak yaitu kesetiaan. Ayub pernah mengeluh, mengajukan protes, ragu akan dirinya sendiri, namun ia tidak pernah berubah setia dari Allah (2013 : 141).
Kisah tentang Ayub dimulai sejak kitab Amsal berakhir tentang seorang pria sukses dan saleh dari kaum patriakal bernama Ayub namun kemudian bernasib malang. Serangan setan terhadap Ayub dalam hal ini lebih kepada karakter Ayub yang dipandang saleh oleh Allah. Dengan mempertanyakan karakter Ayub, setan sedang menyinggung jantung hati karakter normatif sekaligus menuduh Allah telah dengan sengaja menciptakan seseorang dengan sejumlah besar materi dan kebahagiaan sehingga menjadi saleh. Setan dalam hal ini ingin melakukan evaluasi terhadap kemurnian karakter Ayub dan ini dilakukan dengan cara memusnahkan segala kemungkinan yang dapat membuat Ayub memiliki karakter saleh. Menurut Blommendal, kisah awal kehidupan Ayub memang banyak menimbulkan polemik dalam penelitian namun ini merupakan daya tarik yang ditimbulkan oleh tekhnis penulisan prosa. Bagian prosa Ayub dianggap lebih tua dibandingkan bagian syair atau puisinya. Sebagian orang bahkan menganggap prolog dan epilog Ayub merupakan kisah asli Ayub sementara dialog, pidato, merupakan bagian yang sengaja ditambahkan kemudian (2012 : 150).  
Pada bagian awal cerita, Allah memperkenalkan tokoh Ayub beserta kesalehannya. Anehnya, dalam bagian ini terdapat dialog antara Allah dan setan. Menurut Brown, penulis prosa pendahuluan ini dipengaruhi oleh style atau budaya keagamaan Timur Tengah  tentang sidang ilahi yang menganggap hubungan antara dewa, malaikat, penghuni – penghuni surga dan setan itu subordinat. Dalam hal ini, Allah memiliki hak baik itu moral atau etis untuk melaksanakan tes ilahi kepada umat atau manusia yang dianggap saleh. Tes ilahi yang dialami oleh Ayub ini juga pernah dialami oleh Abraham. Tidak hanya kemalangan fisik dan materi serta kehilanngan anak – anak yang ia kasihi yang dihadapi oleh Ayub, ujian itu sepenuhnya diarahkan pada integritas Ayub sebagai orang saleh di hadapan Allah. Ujian ini bukan hanya bersifat emosi namun juga rasio. Melalui istrinya, ujian rasio dilakukan untuk membuktikan integritas Ayub sebagai orang saleh.  
Karakter Ayub dibangun berdasarkan kesatuan cerita dan puisi dalam kitab Ayub. Di bagian awal cerita yang bersifat prosa, integritas Ayub seolah tidak tergoyahkan. Namun memasuki bagian puisi, integritas ini melemah dan bertransformasi menjadi berbagai bentuk keluhan. Keluhan ini merupakan bagian yang tidak terungkapkan dalam prosa yang menjadi bagian awal dan akhir dari hal ihwal Ayub. Mulai dari keluhannya tentang hari kelahirannya dan harapan tentang kematian yang keduanya berindikasi protes terhadap penciptaan. Dalam hal ini, keluhan Ayub sebenarnya memakai gaya bahasa pars pro toto. Protes dimulai ketika Ayub mulai percaya pada penderitaan yang dilakukan oleh setan padanya. Namun keluhan ini tidak diarahkan kepada Tuhan melainkan penyesalan tentang keberadaan dirinya. Komplain yang Ayub sampaikan kepada Allah secara etis merupakan bentuk protes karena segala hikmat yang berintegritas dalam dirinya selama ini sepertinya telah diblokir oleh Allah dan Ayub tinggal dan terisolasi dengan pikirannya yang terbatas. Ujian selanjutnya adalah ujian keagamaan oleh teman – teman Ayub.  Diceritakan bahwa dalam penderitaannya Ayub didatangi oleh empat temannya yang bijaksana. Ketiga temannya mewakili kaum bijaksana tradisional yang menganggap penderitaan sebagai konsekuensi pelanggaran terhadap Allah dan ini malah memperparah penderitaan Ayub. Elifas, Bildad dan Zofar tidak mau duduk mendengar perkara Ayub karena sejak awal kedatangan mereka, sudah tertanam dibenak mereka bahwa kemalangan  terjadi karena konsekuensi dosa. Sehingga kata – kata ketiga orang inipun walaupun disertai dengan hikmat yang baik bahkan membawa embel – embel hikmat Tuhan tetaplah terlalu ortodoks untuk kasus Ayub.  
Keluhan Ayub terjawab dengan pengkisahan hikmat Allah (Ayub 28). Sebijaksana apapun Ayub, tetap ada bagian dari hikmat Allah yang tidak dapat diselidiki dan atau diakses oleh manusia. Karena itu manusia perlu terus takut akan Allah. Awalnya Ayub dengan demikian radikal membela integritasnya di hadapan teman – temannya. Ayub juga memang berhasil membuktikan integritas karakternya di hadapan Iblis bahwa ia menjadi orang saleh tanpa terpengaruh oleh kondisi apapun. Namun pembelaan dirinya di hadapan  teman – temannya itu secara tidak sengaja telah memberi indikasi protesnya terhadap tindakan Allah. Ayub bahkan menantang Allah agar dapat langsung berhadapan muka untuk membela perkaranya.  Ketidaksabarannya menghadapi teman – temannya membuat Ayub mengeluarkan sisi negatif moralnya yaitu perlawanan terhadap Allah. Perubahan karakter Ayub ini digambarkan apik oleh penulis dalam bentuk puisi.

Reformasi Karakter (Ayub 32 – 42)
Teman yang keempat, yang lebih muda, Elihu, datang dengan sebuah bentuk hikmat yang lebih modern berdasarkan teorinya, namun hasil akhirnya sama saja. Hikmat Elihu bersifat Teosentris sehingga ia percaya ada peran Allah dalam  suatu peristiwa kehidupan manusia. Dalam wacana Elihu, hikmat tidak hanya dapat diajarkan secara horizontal namun pengajaran hikmat yang benar  bersifat vertikal dan kelihatannya, ia memang berhasil memukau banyak orang dengan hikmat yang ia miliki. Ia memang memperkenalkan pemahaman – pemahaman baru dari hikmatnya, namun inipun tidak berakhir sukses. Dari segi etis, bahasa yang digunakan oleh Elihu ini bersifak sarkastik selain itu, usianya yang muda membuat dia belum cukup matang dalam hal praktis. Selain itu, motivasinya dalam berkata – kata hikmat ini sebenarnya bagi Brown lebih mengarah kepada karakter aslinya yang pemberontak. Dengan menyatakan diri sebagai orang muda sebenarnya ia sedang melakukan pemberontakan terhadap tradisi hikmat yang lama. Hanya sayangnya, Elihu pun terjebak dalam hikmat lama, hikmat kausalitas; sebab – akibat.
Ayub kemudian membawa perkaranya ini  ke hadapan Allah. Ayub mempertanyakan dan mengangkat atau menuntut perkaranya pada Allah. Dalam hal inipun Ayub sebenarnya telah berpikir secara tradisional tentang keberadaannya. Lalu Ayub meminta Allah menjadi saksi dan penebus baginya. Ayub menuntut Allah sekaligus meminta Allah menjadi saksi bagi perkaranya. Waktu ini pikiran Ayub mulai berubah, ada dimensi baru dalam pikiran Ayub tentang Allah dan tindakan Allah dalam dunia. Tindakan Ayub yang mempertanyakan keadilan Allah sepertinya kurang tepat. Teori tentang pahala, retribusi tidak cocok diberlakukan pada Allah. Kesalehan dan kebaikan hati Ayub adalah fakta. Kesalahan Ayub menurut Martin Harun adalah karena dia membawa pembenaran dirinya di hadapan Allah dan dengan demikian ia telah mempersalahkan Allah atas kemalangannya. Allah bebas melakukan apapun yang Ia kehendaki di dunia untuk mendatangkan kebaikan bagi dunia, namun seringkali cara Allah ini tidak dapat terselami logika manusia. Diamnya Allah dalam kisah ini bisa jadi merupakan trik yang digunakan penulis untuk membuat pembacanya berpikir dan Ayub sendiri berpikir ulang tentang Allah. Hikmat tidak perlu terburu – buru namun juga tidak pernah terlambat. Kebisuan membuka jalan bagi dialog yang lebih serius, lebih mendalam dan lebih tepat sasaran. Dalam teks selanjutnya, Allah membuka dialog dengan Ayub. Allah tidak langsung mengajak Ayub untuk berdebat. Allah memperkenalkan diri-Nya ulang melalui kekayaan penciptaan, menjelaskan tentang fenomena  - fenomena alam berupa penyataan meteorologis, kerajaan binatang, sehingga tanpa tendensi apapun yang berkaitan dengan pembelaan diri-Nya. Baru pendahuluan ini saja, pikiran Ayub mulai berubah. Allah dalam tindakan-Nya pada dunia jauh lebih besar dari yang Ayub dapat pikirkan. Ayub menyadari diri-Nya terbatas; terbatas untuk memahami betapa besarnya Allah.  
Saat di mana Ayub diberi kesempatan untuk bicara; Ayub justru menarik semua tuntutannya. Ayub merupakan kriteria ideal orang benar, saleh dan berhikmat namun diakhir pengalaman spiritualnya dengan Allah, ia menyadari bahwa ia bersalah karena sudah membenarkan diri dan mempersalahkan Allah dalam penderitaan-Nya. Orang berhikmat tahu bahwa semakin dia berhikmat, dirinya semakin kecil di hadapan Allah sehingga harus semakin tunduk pada Allah (Harun, 2010 : 88 – 97).
Ayub merupakan kriteria atau model orang saleh dan ini sepertinya sudah mendarah daging dalam diri Ayub. Sepanjang hidupnya, Ayub terus menjaga integritas karakternya tidak hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Allah. Tidak hanya dalam hal afektik dan atau psikomotorik, ia juga ternyata memusatkan hikmat yang ia miliki dalam takut akan Tuhan. Ayub memenuhi semua kriteria orang berhikmat dalam hikmat tradisional. Tantangan setan kepada Allah membuka satu pengalaman baru bagi Ayub untuk mengenal Allah dan hikmat-Nya dalam cara yang baru. Bagian akhir dari kitab Ayub merupakan cerita tentang pengakuan Ayub akan kebesaran Allah dan pengakuan akan keterbatasannya. Dan masa inilah masa di mana Ayub dipulihkan. Keluarga dan ekonominya dipulihkan oleh Allah bahkan lebih dari itu integritas karakternya diperbaharui.
Kitab Ayub yang berisi kisah perjalanan iman Ayub ini bagi Brown merupakan kitab yang menunjukkan transisi karakter seorang anak manusia. Di dalamnya terdapat tema tentang penciptaan, teodisi, natur Allah yang semuanya berpusat pada transformasi karakter. Transformasi karakter Ayub menurut Brown, pasti ini tidak hanya berdampak pada caranya berinteraksi dan berhubungan dengan Allah, namun juga dengan manusia dan alam semesta. Transisi karakter Ayub tersirat jelas dalam kitab ini dan ini menjadi gambaran pergumulan hidup setiap orang sampai masa kini. Ayub yang sabar berubah menjadi Ayub si tukang protes karena pengalaman buruknya. Penulis kitab ini menuliskan dengan apik pergumulan batin seorang anak manusia, dalam bentuk puisi, yang mungkin  telah tidak tersentuh oleh bagian – bagian narasi. Penulis bijak ini ingin mencapai tujuannya membongkar cara pikir kebijaksanaan lama bahwa ada hal yang tidak dinilai oleh pengalaman kasat mata yaitu pengalaman pergumulan batin.

Rekonstruksi Karakter : Pengkhotbah
Kitab Pengkhotbah ditulis pada abad ke 3 SM ketika orang Yahudi Palestina sudah mendapat pengaruh kebudayaan Yunani. Penggunaan nama Pengkhotbah dalam terjemahan Indonesia juga perihal masuknya Qohelet dalam kanon masih menimbulkan simpang siur. Dari isinya, kebanyakan orang berpikir bahwa kitab ini berisi pandangan yang skeptis tentang dunia, namun sesungguhnya tidaklah demikian. Kitab ini ditulis di masa ketika Persia sibuk dengan permasalahan intern dan luar kerajaan. Di bawah pimpinan Alexander Agung di Yunani, riwayat kerajaan Persia berakhir. Kemudian terjadi penyebaran kekuasaan, kebudayaan, pengaruh sampai ke daerah – daerah lain yang menjadi tanda lahirnya kebudayaan Helenis. Sepeninggal Alexander Agung, terjadi pertikaian intern kerajaan Yunani. Sementara bagi orang Yahudi, masa ini merupakan masa tenang. Populasi umat Yahudi berkembang pesat, Imam besar menjadi penguasa baik agama maupun politik, walau mereka tetap dikenai wajib pajak kepada Ptolemeus di Alexandria. Umat Yahudi Diaspora juga berkembang pesat namun karena menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa sehari – hari, keturunan selanjutnya mulai kehilangan kemampuan bahasa Ibrani mereka. Kitab suci diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Ada sebagian yang mengaku kitab terjemahan ini ditulis oleh 70 orang Yahudi terpilih di suatu pulau pada masa Ptolemeus berkuasa namun berita ini tidak dapat diyakini sepenuhnya karena orang Alexandria kemungkinan penulis aslinya. Terjemahan kitab ini yang disebut Septuaginta. Nilai kitab terjemahan ini disamakan dengan kitab Ibrani yang asli. Perubahan ini juga berdampak pada status sosial ekonomi orang – orang Yahudi masa itu. Kebanyakan mereka sudah hidup dalam budaya Helenis dan gaya hidup merekapun demikian. Kitab Amsal sudah tidak memadai untuk menjawab kebutuhan orang – orang dari masa ini. Inilah latar belakang lahirnya kitab Pengkhotbah. Kitab ini kental dengan nuansa filsafat dan atau pandangan Yunani. Qohelet diperkirakan sebagai penghimpun atau pembicara dalam kumpulan orang. Ia adalah seorang yang berhikmat, mengajarkan pengetahuan, menimbang dan menguji banyak Amsal. Orang ini pantas disebut sebagai guru ketimbang pengkhotbah. Ia adalah guru hikmat yang kritis lebih dari guru – guru tradisional. Pikirannya sudah lebih kontemporer ketimbang guru – guru hikmat terdahulu. Ia juga menulis Amsal yang rinci dan tulisan – tulisan lain yang kemudian dikumpulkan oleh murid – muridnya. Namun demi kepentingan literatur kebijaksanaan Yahudi, tulisannya sepertinya telah diedit oleh kaum yang lebih ortodoks  (Harun, 2010 : 99 – 105).
Qohelet berbeda dengan Ayub karena sifatnya lebih tenang dan tidak ada perbantahan langsung dengan Allah namun keduanya menggumuli keterbatasan manusia dalam memahami pikiran Allah. Menurut Brown, hikmat yang diperkenalkan oleh Qohelet ini satu langkah lebih maju ketimbang hikmat yang diperkenalkan oleh kitab Ayub. Kitab ini unik dalam kitab Ibrani karena merupakan hasil presentasi pribadi Qohelet dan merupakan sebuah pengakuan yang serius tentang dunia. Dalam kitab ini Qohelet tidak menceritakan tentang keberhasilannya melainkan menampilkan sebuah pengakuan kegagalan dan usahanya untuk mengerti dunia dan perjalanan hidupnya dengan hikmat. Dengan menampilkan kelemahan, keterbatasan dan kegagalan hidupnya,  Qohelet berhasil memberikan gambaran kekuatan pikirannya dan  statusnya sebagai orang yang sangat bijaksana.  
Ada beberapa target penting dalam pemikiran Qohelet yang membawa goncangan – goncangan terhadap ide kebijaksanaan lama di Israel. Jika dalam Amsal kaum bijak memandang orang muda dari sisi negatif dan melihat mereka sebagai target dari pengajaran hikmat, Qohelet memandang mereka juga sebagai target pengajaran namun memberi nilai positif pada mereka. Bagi Qohelet, masa muda merupakan puncak kejayaan dan kehidupan yang ideal seorang anak manusia. Semua kegembiraan dan pengalaman vital terjadi pada usia ini karena itu masa ini perlu dinikmati. Karena itu, pada masa ini, mereka juga perlu lebih banyak diajari hikmat agar kaum muda ini dapat menikmati puncak kejayaan masa mudanya dengan cara yang benar. Menurut Lasor, untuk kaum muda, Qohelet mengingatkan bahwa mereka hendaknya dapat bersenang – senang menikmati masa muda mereka. Bukan dengan maksud menjerumuskan mereka, namun karena ia tahu bahwa hal ini sia – sia, karena itu mereka harus takut akan Tuhan dan menikmati waktu yang ada. Jika diperhatikan dari penstrukturan kitab yang dibuat oleh Lasor, ada satu pesan penting dari kitab Pengkhotbah yaitu nikmatilah hidup selagi hidup itu masih diberikan oleh Allah (2013 : 151 – 152). Tentang dunia, Qohelet memandangnya telah terkunci statis. Bahkan meskipun berputar, ia tidak akan pernah lari dari porosnya dan akan selalu kembali ke keadaan semula. Hikmat yang dimiliki oleh manusia hanya serupa fatamorgana. Perhatian terhadap pengaruh hikmat keluarga bergeser dalam pandangan Qohelet dan lebih bersifat individualis. Keluarga tidak selamanya membawa pengaruh baik dan juga bukan penentu sikap individu. Individu dapat menggali sendiri hikmat melalui pengalaman hidupnya bukan bersumber dari kehidupan sosial. Pengalaman hidup memang bisa didapat dari kehidupan sosial tapi proses berpikir, mengambil keputusan dan menjadi bijak dalam setiap keadaan itu diproses dalam otak secara individu.
Hikmat dalam pandangan Qohelet berbeda dengan hikmat dalam tradisi kebijaksanaan lama. Jika dalam hikmat tradisional, hikmat itu membawa kepada kesejahteraan, kedamaian, keberhasilan hidup; bagi Qohelet hikmat yang banyak justru akan membuat manusia semakin gelisah dengan kehidupan. Hikmat bagi Qohelet bukanlah bisnis yang menyenangkan tapi sebaliknya tidak ada kesenangan atau keuntungan di dalamnya. Hikmat bagi Qohelet seperti materialistis yang akan selalu terikat dan bergantung dengan materi lain. Hikmat tidak dapat muncul dengan sendirinya melainkan muncul karena situasi yang menyertainya. Jika situasi dalam kehidupan sosial membutuhkan tanggapan dan tindakan etis, hikmat akan mengolah tindakan etis apa yang harus dilakukan dalam situasi yang dihadapinya itu. Hikmat itu seperti jatuh bangun kegiatan perekonomian. Melindungi dan mempertahankan hikmat seumpama melindungi uang yang ada di tangan kita sendiri. Mengelola hikmat sama dengan mengelola keuangan pribadi. Hikmat itu tidak berwujud, abstrak, dan tidak dapat dikarakterisasi dan bisa jadi telah sangat dinamis.
Bagi Gese, hikmat Qohelet merupakan hasil mutasi struktur pemahaman Qohelet sendiri tentang hubungan antara dirinya dan dunia. Dalam pengamatannya tentang dunia, Qohelet kehilangan diri dan karakternya sendiri karena terhisab dalam realitas dunia. Saat Qohelet mencoba untuk kembali, ia merasa asing dengan dunia bahkan dengan dirinya sendiri dan merasa bahwa semua yang ia lakukan selama hidupnya adalah sia – sia. Bagi Brown, kata sia – sia di sini ditemukan dalam fenomena uap dan artinya mengarah kepada kesia-siaan atau kegagalan. Kesia – siaan ini tidak mengarah kepada istilah fisik. Fox mengarahkan pengertian sia – sia ini kepada absurditas dengan penekanan kepada ekspektasi – ekspektasi dan harapan – harapan yang dibangun manusia yang telah berujung pada kesia – siaan. “Semua” yang dimaksud oleh Qohelet bukanlah semua realitas kehidupan namun hanya kepada semua fakta kehidupan manusia di bawah matahari. “Semua” yang dimaksud Qohelet terletak pada “semua” pengamalan di mana ia memposisikan dirinya dalam relasi total dengan dunia. Absurditas tidak hanya terjadi pada caranya memandang dunia namun juga caranya memandang dirinya sendiri dan hal ini terjadi saat dalam dan pada saat Qohelet mereka – reka ulang kehidupan masa lalunya.
Hasil perenungan dan atau reka ulang kehidupan masa lalu di satu sisi membawa Qohelet pada kesimpulan tentang absurditas namun di sisi lain berhasil membangun ulang karakternya dan formulasi baru dalam menyikapi dunia secara pribadi. Inilah tujuan hikmat Qohelet. Ada  beberapa poin penting formula kehidupan versi Qohelet, antara lain ketenangan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, kesederhanaan dan kerendahatian, menikmati hidup yang ada, entah itu baik – buruk dan atau senang – sedih,  sebelum kematian datang,  menyadari bahwa betapapun hebatnya hikmat manusia tetaplah terbatas, karena itu manusia perlu untuk tetap takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan tidak hanya sebatas pengetahuan namun juga menyerahkan semua impian, kecenderungan untuk menerima pujian, pengakuan akan keberadaan, menaruh iman penuh pada Kekuatan transenden yang berdiri selamanya di balik keajaiban penciptaan dunia, dan menyerahkan semua keterbatasan pada Allah dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan.
Teologi Qohelet bukan teologi keselamatan melainkan penciptaan yang berkuasa atas segenap kosmos. Ia menerima Allah sebagai Allah yang penuh misteri dan misteri Allah ini disikapi dengan iman. Dalam hidupnya, Qohelet terus berusaha memecahkan misteri tentang Allah melalui rasionya, namun pada akhirnya ia menyadari bahwa hal itu adalah sia – sia. Dengan demikian, orang bijak dalam pandangan Qohelet adalah orang yang terus berusaha menyelidiki, takut akan Allah, berserah sepenuhnya pada Allah meskipun pada akhirnya dia mengetahui dan mengakui bahwa semua perbuatannya itu adalah sia – sia.  Blommendal menganggap Qohelet adalah penulis yang individualis, karena ia tidak membahas tentang bangsa atau sejarah bangsanya, hanya tentang pemikirannya sendiri (2012 : 159). Wahono melihat ada beberapa point penting perbedaan hikmat dalam kitab Ayub dan Pengkhotbah yang saling bertolak belakang. Jika Ayub menilai Allah sebagai Allah yang kreatif, Pengkhotbah menilai Allah sebagai Pribadi yang kaku. Saat Ayub berpikir kematian merupakan puncak dari sukacita dan kepenuhan hidup, Pengkhotbah justru  memandangnya sebagai kemalangan dan kesia-siaan. Bagaimanapun juga, hikmat pengkhotbah merupakan kelanjutan dari hikmat Ayub namun dalam konteks yang berbeda yaitu konteks Helenis yang memiliki pandangan negatif terhadap dunia dan kehidupan. Ludji memperkirakan adanya pengaruh aliran filsafat Stoa yang dengan sangat ekstrim meminta manusia untuk menikmati hidup dan Epikuros yang juga secara ekstrim bersifat asosial. Qohelet menggabungkan pemahaman – pemahaman ini, mereformulasinya sehingga sesuai dengan filsafatnya tentang kehidupan dan menyertakan pengakuan iman serta tradisi Israel di dalamnya (2009 : 214 – 222).
Menurut Harun, Qohelet melihat sejarah manusia seperti sebuah lingkaran, kemanapun pergi akan kembali seperti semula, tidak ada hal yang benar – benar baru dalam sejarah hidup manusia. Sejarah lama akan terus berulang. Hikmat walaupun diakui keunggulannya tetaplah merupakan sesuatu yang nisbi. Orang miskin yang berhikmat tetap tidak akan memiliki pengaruh apa – apa dibandingkan dengan orang yang kurang berhikmat namun kaya raya. Dan penghalang terbesar dari hikmat adalah kematian. Siapapun akan didatangi oleh kematian. Setelah orang bijaksana meninggal, bagi Qohelet, bobot hikmatnya pun menjadi tidak tentu. Inilah yang menjadi sumber pemikiran tentang kesia – siaan, bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sia – sia. Bagi Qohelet, segala sesuatu ada waktunya. Qohelet menyusun teks itu sedemikian rupa sehingga Martin Harun berprasangka bahwa ada tujuan tertentu di balik tulisan Qohelet ini. Qohelet mengakui bahwa Allah melakukan segala sesuatu pada waktu yang cocok atau tetap (yaphe). Segala sesuatu harus dilakukan diwaktu yang tepat, jika tidak, maka hal itu akan mendatangkan kerugian. Allah sebenarnya telah memberikan indikator – indikator tertentu pada tatanan kosmos agar manusia dapat menghitung waktu  yang cocok untuk melakukan segala sesuatu namun manusia sepertinya lebih tertarik dengan hal – hal yang berbau fenomenal, kekinian dan jauh ke depan. Allah mengizinkan manusia menyelam sejauh mungkin ke dalam pengalaman – pengalaman masa lalu mereka namun manusia lebih tertarik untuk naik ke permukaan jauh melebihi dari yang seharusnya dijangkau manusia. Inilah yang membuat manusia acapkali terjebak dalam frustasi. Qohelet menasihatkan bahwa apapun yang Allah tetapkan itu tetap dan akan terjadi, karena itu nikmatilah, takutlah akan Allah. Penafsir lain menyatakan bahwa ketetapan ini ada kaitannya dengan rotasi bumi. Apapun yang terjadi pada manusia, bumi akan tetap berotasi pada porosnya tanpa bisa dihentikan meskipun oleh orang yang paling berhikmat sekalipun. Takut akan Allah bagi Qohelet adalah keinsafan bahwa saat – saat yang cocok ada di tangan Allah tanpa dapat diperhitungkan olehnya. Takut akan Allah berarti rela menerima segala – galanya juga termasuk berbuat dan bertindak hati – hati dalam ibadah. Allah menghendaki orang – orang untuk mendengarkan Dia. Mendengarkan berarti merespon setiap kehadiran Allah dan ini lebih penting harganya daripada rutinitas pengorbanan. Doa tidak perlu panjang, nazar harus dilakukan dengan hati – hati karena harus hati – hati karena apapun yang manusia lakukan, hal ini tidak dapat mengubah perkenanan Allah. Allah selalu tahu waktu yang tepat, dan tahu jalan yang Ia tentukan bagi manusia tanpa perlu diatur manusia, karena itu takutlah akan Allah (Harun, 2010 : 116 – 122).

Kesimpulan : Pengembaraan Karakter
Brown membagi penggembaraan karakter manusia ini menjadi The Self Moving Outward dan The Self Returning.  Kitab Kebijaksanaan tertua dimulai dengan kitab Amsal. Dalam kitab ini, hikmat yang diperkenalkan adalah jenis hikmat tradisional. Pusat pengajaran terletak pada keluarga dan mengangkat tema sosial masyarakat terutama kekeluargaan. Ada pengkarakteran orang bijak dan bodoh, cakap dan sundal atau asing mewarnai hikmat dalam Amsal. Hikmat dalam kitab Amsal dianalogikan dengan managerisasi rumah. Kitab Amsal ini tetap diakhiri dengan konteks keluarga. Berbeda dengan itu, kitab Ayub muncul dengan satu bentuk pengajaran yang baru yang mulai mengaburkan batasan antara kebijakan di rumah dengan keluarga dengan kebijakan baru yang masih asing bagi Israel. Pengalaman Ayub yang membuat dia pribadi terasing dari komunitasnya. Dengan demikian, penulis kitab Ayub memperkenalkan paradigma baru dalam kebijaksanaan Israel tanpa bermaksud menggantikan yang lama. Karena itu juga, kitab Ayub juga diakhiri dengan konteks keluarga. Sementara Qohelet justru memperkenalkan satu bentuk hikmat yang berbeda dari keduanya yang berpusat pada pengalaman dan penilaian individu tentang dunia. Napak tilas ke masa lalu membuatnya merasa diri asing baik terhadap dunia termasuk dirinya sendiri. Kebijaksanaan Qohelet diakhiri dengan pemahaman mendalam tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Ketiga kitab Kebijaksanaan ini berbeda dalam hal pendekatan, ide dan tema mereka. Namun bagi Brown, para penulisnya tetap memiliki satu tujuan utama yaitu untuk membangun  karakter moral manusia yang  baik.

Janzen yang menyebut etika hikmat sebagai paradigma hikmat mendefinisikan bahwa etika hikmat merupakan bentuk etika – intelektual yang menghasilkan kualitas hidup dengan derajat kepastian tinggi berdasarkan Alkitab dengan karakteristiknya sendiri. Dalam pemahaman Kebijaksanaan, Allah adalah Allah pencipta dan pengatur segala alam semesta, sehingga teologi yang diusung oleh kitab ini adalah teologi Penciptaan. Allah merancang sedemikian rupa alam semesta baik alam itu sendiri maupun lingkaran kehidupan manusia dan segala ornamen serta makhluk biotik dan abiotik lain di dalamnya dari generasi ke generasi. Allah mengatur dan memelihara dunia ini sedemikian rupa agar menjadi baik dan teratur. Sementara itu, dalam pemikiran Israel berhikmat tidak berarti pintar namun seirama dengan Allah dan selalu dimulai dalam takut akan Allah (1993 : 119 – 120).  
Bagi Birch, etika kitab Kebijaksanaan bersifat pragmatis keras. Satu tindakan etis diambil demi menghasilkan harmonisasi dengan kehidupan. Sementara sikap etis seseorang tidak dibentuk berdasarkan pengalaman karena pengalaman hanyalah salah satu perlengkapan  pembentuk karakter bukan sumber. Selain itu, karakteristik etika Kebijaksanaan adalah sederhana  dan terkendali. Orang bijak yang bersikap pragmatis sekalipun harus mampu mengendalikan dirinya sendiri. Karakteristik hikmat berlaku bagi individu lebih ketimbang komunitas atau dengan kata lain, penekanan kitab Kebijaksanaan adalah kepada pembetukan karakteristik individu semata. Komunitas justru dilayani oleh karakter etis individu. Selain itu, etika Kebijaksanaan bersifat lebih fleksibel dan berorientasi pada tindakan yang tepat pada suatu situasi atau permasalahan tertentu. Hikmat yang tepat selalu diambil dalam waktu yang tepat (1991 : 333 – 334).
Buku tulisan Brown ini membahas etika secara khusus dari sudut pandang kitab Kebijaksanaan. Di dalam bagian – bagiannya diperkenalkan tentang perkembangan karakter tokoh – tokoh yang mempengaruhi mereka dalam bertindak etis. Bagaimanapun juga, tindakan etis yang tepat harus diambil berdasarkan hikmat. Orang yang bijak mampu mengambil tindakan etis yang lebih baik dalam setiap jenis situasi. Orang bijak mengakumulasikan setiap jenis pengalaman perjumpaan dengan Allah, sesama manusia dan refleksinya terhadap alam semesta untuk menjadi modal dalam menilai dunia dan bertindak etis dalam dunia. Namun demikian, dengan tetap menyadari segala keterbatasan yang ada pada karakteristik hikmat mereka, mereka siap untuk diperbaharui, dideformasi dan direformasi dalam karakter sehingga menjadi manusia yang lebih baik lagi. Transformasi ini terjadi dalam pertemuan dan atau refleksi pribadinya dengan Tuhan dalam takut akan Tuhan. Brown dalam buku ini telah cukup eksplisit menggambarkan transformasi karakter individu dalam setiap kitab Kebijaksanaan mulai dari karakter awal, pembentukan ulang karakter dan karakter baru. Proses pembentukan karakter juga dijelaskan berdasarkan masing – masing kitab. Pembentukan karakter, lagi – lagi, antaralain terjadi melalui pengajaran, perenungan pribadi, pengalaman pribadi bersama Tuhan dan berpusat pada takut akan Tuhan. Kitab Kebijaksanaan bagi Brown menguraikan transfomasi karakter anak manusia sebagai dasar formula dalam bertindak etis.
Melalui penjabaran Brown saya melihat bahwa karakter seseorang bukanlah produk jadi dan langsung pakai. Pembentukan karakter membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah.  Brown dalam bukunya ini berhasil menggambarkan transfomasi yang terjadi dalam karakter manusia sampai ditemukan formasi yang tepat bagi karakter mereka. Transformasi karakter ini merupakan faktor yang sangat menentukan dalam cara manusia menyikapi dan bertindak etis terhadap kehidupan baik bagi dunia, sesama dan Allah dalam hikmat sehingga tindakan etis yang diambil tidak menjadi sebuah proyek yang “mengada – ada” atau dalam istilah yang sering digunakan oleh Brown dalam bukunya ini haphazardly (sembrono).


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Birch,  Bruce C.
1991 Let Justice Roll Down : The Old Testament Ethics, and Christian Life. Kentucky : Westminster.
Blommendal , J.
2012 Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Groenen C.
1992 Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta : Kanisius.
Harun, Martin.
2010 Marilah, Makanlah Hidanganku : Hikmah Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkhotbah. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia
Janzen, Waldemar.
1993 The Old Testament Ethics : A Paradigmatic Approach. Kentucky : Westminster.
Lasor, W.S. et.al.
2013 Pengantar Perjanjian Lama 2 : Sastra dan Nubuat. Jakarta : BPK Gunung Mulia                                   
Ludji, Barnabas.
2009 Pemahaman Dasar Teologi Perjanjian Lama 2. Bandung : Bina Media Informasi.
Wahono, Wismohady A.
2013 Di Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.