Rabu, 14 Februari 2018

Sisi Gelap Allah dalam Perjanjian Lama

The Dark Side Of God In The Old Testament By John Barton dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7


Ada beberapa kejadian tindakan Allah dalam PL yang menggambarkan Allah sebagai sosok yang kejam. Inilah yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai sisi gelap Allah dalam PL. Barton secara khusus mengkritisi tulisan Dietrich dan Link tentang fenomena ini. Beberapa pertanyaan muncul seputar tindakan Allah dalam kedaulatan-Nya bagi dunia. Jika Dia Allah, mengapa Ia mengizinkan manusia jatuh ke dalam dosa? Mengapa Allah membedakan kasih kepada satu orang dengan yang lain? Jika Dia Allah, mengapa Dia membiarkan umat-Nya menderita? Pertanyaan-pertanyaan sejenis merujuk sebuah pertanyaan sentral tentang hakikat Allah yang adil.
Paulus memandang hal ini sebagai bagian dari kedaulatan Allah (P.123) dan menekankan pada fakta bahwa Israel memang sebenarnya tidak layak untuk mendapat bagian dalam kasih Allah apalagi keselamatannya. Kasih merupakan identitas nyata kedaulatan Allah. Israel didampuk tugas untuk menjadi simbol hubungan Allah dengan dunia. Allah menolak mereka karena dosa yang mereka lakukan. Dalam hal ini, sebagaimana Amos katakan, Israel menjadi gambaran bagi orang-orang yang terpilih namun terbukti melakukan kejahatan. Allah sebagai pemilik kedaulatan dunia dan penilik sejarah perjalanan sejarah dunia sebenarnya bebas bertindak sesuai dengan kemauannya terhadap siapa saja. Namun karena Israel merupakan bangsa yang Ia pilih dan memiliki hubungan istimewa dengan Allah, maka Allah berhak untuk mengasihi, marah, dan menghukum mereka. Semua ini dilakukan justru karena Israel memiliki hubungan istimewa dengan Allah. Kecemburuan Allah merupakan indikasi utama adanya hubungan istimewa antara Allah dan manusia.
Tindakan nyata Allah seperti membiarkan Israel berada dalam penderitaan karena perang, penjajahan dan pembuangan karena kehangatan murka-Nya memang menimbulkan pertanyaan, khususnya bagi para pemikir masa kini. Kekejaman Allah yang meminta Israel untuk memusnahkan para musuh mereka juga menimbulkan pertanyaan. Mereka menganggap tindakan nyata-nyata Allah sebagai efek dari kemarahan-Nya ini merupakan sisi gelap dari pribadi Allah dalam PL. Ini juga yang menjadi alasan banyak teolog untuk memilih mengabaikan figur Allah PL. Von Rad memandang hal ini sebagai bukti keesklusivan Allah (p.125). Barton meniliknya dari rasa cemburu yang dimiliki oleh Allah dan menekankan bahwa perasaan cemburu ini timbul karena begitu besarnya kasih yang Allah miliki bagi Israel (p.125). Allah yang penuh kasih ini juga bahkan tidak segan-segan membalas dendam karena tangisan umat Israel dalam PL akibat ketidakadilan yang menimpa mereka. Memang sedikit membingungkan, Allah menurut pelapor seolah menjadi sosok yang serba tidak konsisten. Maksudnya, ketika Allah cemburu kepada Israel, Ia membiarkan Israel masuk dalam penderitaan hebat sampai mereka “merengek” kepada Allah. Lalu Allah datang membela mereka dan menghancurkan bangsa yang sudah memperlakukan Israel dengan buruk. Pertanyaannya, mengapa Allah tidak sejak awal saja mendidik mereka dengan “cara lain” tanpa perlu melibatkan bangsa lain? Atau jika Israel memang ditentukan untuk menjadi saksi Allah bagi bangsa lain, dan jika mereka gagal, dan mengadu kepada Allah, mengapa Allah harus menghukum bangsa Israel. Bukankah kegagalan itu terletak pada bangsa Israel. Allah dalam satu waktu meminta bangsa Israel untuk menjadi saksi, di lain waktu memaksa bangsa Israel untuk memusnahkan bangsa lain. Apa yang sesungguhnya Allah inginkan dari bangsa Israel? Kesetiaan mungkin?
Dietrich dan Link memberi penilaian terhadap kehangatan amarah Allah sebagai “sisi gelap” Allah ini dari sudut anthropomorpisme. Allah dalam sifat yang sama seperti manusia. Allah yang sama bisa menjadi Allah yang demikian romantis dan penuh cinta dalam tindakan-Nya namun bisa saja marah besar dan membalas dendam  karena kecemburuan-Nya. Inilah konsekuensi logis cinta. Allah yang sangat kejam bisa menjadi Allah yang rela menderita bagi orang-orang yang dikasihi-Nya. Tindakan Allah seperti dua sisi dalam mata uang. Allah bisa saja menyelesaikan semua masalah dan penderitaan Israel karena kekuatan dashyat yang Ia  miliki, namun Ia memilih untuk ikut menderita bersama Israel. Segala hal yang terjadi memang berada dalam perhatian Allah dan kawasan kedaulatan Allah, namun Allah siap masuk untuk terlibat langsung di dalamnya. Bukan karena Ia tidak mampu, namun karena Ia mau terlibat dalam sejarah hidup manusia. Inilah gambaran Allah yang monoteistik. Allah yang sama namun dengan sisi yang berbeda. Allah yang menciptakan semua kebaikan namun juga menciptakan setan, bapa dari segala kejahatan. Dalam banyak kasus, Allah jugalah yang kemudian dituduh dan diminta pertanggungjawaban atas semua kesulitan yang menimpa kehidupan manusia. Karena Allahlah pencipta segala sesuatunya, pemilik ide utama penciptaan dunia. Sulit dimengerti oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi, seperti yang dikutip Barton dalam tulisan Luther bahwa kita tidak bisa berharap untuk mengerti jalan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Bagaimanapun, kita terbatas. Dua sisi Allah ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah yang tadinya bisa demikian kejam, pada suatu waktu dapat menjadi Allah yang begitu baik bagi manusia. Ia bersama manusia melewati penderitaan yang ada dan merancangkan kebaikan bagi manusia. Kemahakuasaan-Nya ini sering muncul dalam tindakan yang tidak terprediksi oleh manusia (p. 129).
Tidak hanya digambarkan sebagai Allah yang Maha Kuasa dan berdaulat atas semua ciptaan, Dietrich dan Link  sebagaimana dilaporkan Barton berdasarkan teks Ibrani digambarkan juga sebagai Allah yang memiliki keterbatasan. Allah sering digambarkan sebagai Allah yang terbatas dalam menanggapi pengalaman hidup manusia, lamban dan seperti tidak punya kekuatan (p.129). Kontradiksi penggambaran karakteristik Allah ini bagi para pemikir masa kini tentu melahirkan polemik. Bagi penulis kitab-kitab Ibrani, ide tentang karakteristik Allah ini bukanlah hal yang  aneh jika dilihat dari sisi anthropomospisme. Masalahnya adalah bukan pada Allah yang terbatas, namun pada manusia yang terbatas dalam membahasakannya. Orang Israel tidak begitu saja menaruh kepercayaannya pada Allah karena kekuatan besar yang Ia miliki, namun juga pada hal-hal konkrit yang ada di hadapan mereka hari lepas hari . (p.129). Allah bagi orang Israel bukanlah Allah yang abstrak, Ia hidup di sepanjang perjalanan sejarah kehidupan umat-Nya. Kita dapat menyaksikan bagaimana Allah dapat saja “Menyesal” karena tindakan yang Ia lakukan kemudian mengubah pikiran-Nya dan membuat rencana baru bagi umat-Nya. Bagi para ahli, bisa saja ketidakkonsistenan Allah ini merupakan hal yang memalukan, namun seperti kata Barton, Allah dalam PL adalah Allah bagi Abraham, Ishak, dan Yakub, bukan Allah bagi para filsuf. (p.130). Keterbatasan Allah, kelemahan hati-Nya ini justru bukti betapa Ia begitu mengasihi Israel, umat-Nya. Kekuatan kasih terletak pada mengampuni, dan ini terjadi berkali-kali dalam perjalanan sejarah Israel.
Barton dalam tema ini secara khusus memberikan evaluasinya terhadap tulisan Dietrich dan Link tentang “Sisi Gelap Allah dalam PL”. Sepertinya judul ini memang menyudutkan Allah. Namun faktanya, bukan hanya dunia luar, Kristenpun bertanya tentang hal ini. Barton memberi penilaian positifnya bagi kedua penulis tersebut. Sebenarnya mereka sedang mengupayakan sebuah proyek apologetis bagi iman Kristen, bahwa Allah bertindak dalam cara yang seimbang. Tindakan Allah ini menunjukkan bahwa Ia bukanlah Tuhan yang pasif terhadap perjalanan hidup manusia. Selain itu, sebenarnya, bukan Allah yang memiliki keterbatasan, namun manusialah yang terbatas dalam upayanya menggambarkan Allah. Pengetahuan terbaik kita bagi Barton adalah dengan mengakui bahwa seberapa pun usaha kita, kita tetaplah tidak tahu apa-apa atau sangat terbatas tahu tentang Allah. Allah bukanlah Allah yang begitu mengkuatirkan penilaian manusia terhadap tindakan-Nya, karena apapun yang Dia lakukan dalam sejarah hidup manusia, Dia tetaplah Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar