Rabu, 07 Februari 2018

Makan Buah kok Dosa?

Etika Taman Eden: Menyibak Kebenaran dalam Kejadian 2-3
Diambil dari pemikiran Robert P. Gordon dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Apa letak masalah sebenarnya dalam Kej 3? Kunci masalah itu terletak pada “memakan buah yang dilarang”. Inilah bukti awal dari ketidaktaatan manusia dan menjadi manifestasi ketidaktaatan-ketidaktaatan selanjutnya. Cerita tentang sejarah kejatuhan manusia menyebar secara tradisi dalam masyarakat Yahudi. Ada berbagai ahli yang mencoba mengungkap cerita tentang kejatuhan ini dari segi etis. Bahkan tidak jarang timbul perdebatan tentang kebenaran dari kisah dalam Kej 2-3 ini. Dalam teks ini Gordon membahas tentang perdebatan teologi antara Barr dan Moberly tentang siapakah sesungguhnya “pembohong” dalam Kej 2-3 terutama tentang tulisan dalam Kej 2:17. Moberly berpandangan bahwa sebenarnya terdapat fungsi paradigmatis dalam Kej 2-3 atau penjelasan secara metafora terhadap peringatan “kematian” dalam Kej 2:17. Sedangkan Barr menjelaskan bahwa dosa atau kematian merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan. Ketidaktaatan hampir sama dengan tindakan tidak bermoral manusia. Berbeda dengan Moberly, Barr menganggap bahwa “kematian” yang dimaksud dalam teks ini merupakan kematian secara rohani. Barr menganggap bahwa Moberly telah menjerat dirinya sendiri dalam kesulitan dengan pernyataannya bahwa kematian yang dimaksud adalah kematian pikiran secara metafora. Pertanyaannya adalah, mungkinkah ada faktor kesengajaan Allah dalam peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa? Lalu siapa sesungguhnya yang berkata benar? Allah bisa jadi berkata dalam bahasa metafora kemudian mengurangi ancamannya. Namun ada kemungkinan bahwa ular juga mengatakan kebenaran namun hanya sebatas kualitas rasa yang tinggi. Lalu siapa yang patut dipersalahkan dalam hal ini? Hawa mempersalahkan ular karena sudah memperdayanya. Namun sebenarnya sudah sejak awal timbul niat di hatinya untuk menjadi sama dengan Allah. Sebagaimana penelitian Pitchard, dilihat dari namanya, “pohon Pengetahuan dan Kehidupan”, kedua pohon dalam taman Eden mewakili sifat ilah dalam kepercayaan Timur Dekat. Yaitu bahwa Allah memiliki kebijaksanaan dan kekekalan hidup. Allah menciptakan taman Eden dan manusia ditaruh ke dalamnya. Karena ada kehidupan dan pengetahuan dalam taman ini. Jadi seharusnya, jika Adam dan Hawa tidak menyentuh atau memakan buah itu, mereka tetap memiliki akses masuk ke taman dan untuk hidup selamanya. Ular memakai kata-kata Allah sendiri “kamu pasti tidak akan mati” (3:4) untuk mengelabui mereka yang memang telah menyimpan harapan lebih sebelumnya. Padahal sebenarnya, Allah berkata bahwa mereka akan mati. Tawaran menarik diberikan ular adalah bahwa mereka jauh dari kematian, mata mereka akan terbuka, dan akan memiliki pengetahuan seperti Allah. Kata-kata ular ini jika dilihat dari tinjauan Pitchard memang menunjukkan bahwa ular berhasil memberikan cara agar manusia menjadi sama dengan Allah atau istilahnya salah satu bagian dalam pengadilan Allah di surga.
Berbeda dengan Barr dan Moberly, Mettinger muncul dengan idenya sendiri. Mettinger menggunakan metode komparasi dalam studinya. Baginya, kebijaksanaan atau kekekalan hanyalah ide baru dalam kisah Eden. Allah mengatur Adam untuk masuk dalam sebuah tes dan memperhadapkan mereka dengan pilihan yang radikal. Jika Adam berhasil melaluinya, ia akan mendapat hadiah kekekalan. Keberadaan kedua pohon itu ternyata merupakan sarana untuk menguji ketaatan mereka. Adam gagal untuk mengerti hati dan suara Tuhan dengan lebih memilih untuk mendengar suara istrinya. Kematian dan kekekalan merupakan konsekuensi dari ketidaktaatan (Kej 2-3). Ular hanyalah agen Allah untuk menguji manusia. Dalam seluruh PL tergambar jelas tentang “Ujian” dan “pilihan” yang menghasilkan ketaatan atau ketidaktaatan. 
Kita lihat, bagaimanapun juga, dosa selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Dan manusia acapkali begitu tidak berdaya dan terpikat olehnya. Anehnya, banyak pengalaman dalam Alkitab yang menggambarkan kelemahan atau tindakan salah manusia tidak disebutkan dengan kata “dosa”. Hal ini karena masyarakat Yahudi telah paham benar bahwa “tindakan salah” merupakan dosa tanpa perlu rekonfirmasi. Klaim bahwa manusia itu tidak sempurna  (Kej 2-3) sehingga mereka bisa saja jatuh perlu dipertanyakan. Sepertinya telah ada kontradiksi antara Kej 2-3 dengan Kej 1. Benarkah Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang “sungguh amat baik” dan Allah puas dengan ciptaan-Nya itu? Atau Allah telah gagal dalam menciptakan manusia sehingga manusia melawan kepada-Nya.
Di lain pihak sepertinya ular telah mengambil telah mengambil peran penting dalam kejatuhan manusia. Ular dengan manisnya menggunakan peringatan Allah kepada Adam tentang “kematian” menjadi memiliki makna yang kontradiksi dengan makna sebelumnya. Dalam hal ini ular memprovokasi Hawa bahwa sebenarnya Allah telah berbohong kepada mereka. Sikap seolah-olah netral yang ditampilkan ular antara Allah dan manusia ternyata telah menjerumuskan manusia kepada kejatuhan. Peringatan Allah dalam Kej 2:17 merupakan sebuah peringatan yang serius. Tidak hanya makan, menyentuh pun dapat mengakibatkan kematian. Keseriusan ini justru tergambar dalam kata-kata Hawa. Di lain pihak, sebenarnya, ketika Hawa diprovokasi, Allah bisa saja secara langsung menghentikan ular, namun di sinilah ketaatan Hawa diuji. Dan Hawa, terprovokasi.
Agustinus melihat tindakan ketidaktaatan Hawa ini sebagai bentuk rasa tidak puas manusia terhadap diri sendiri. Karena itu, tawaran untuk menjadi sama dengan Allah merupakan tawaran yang baik dan tentu sangat menyenangkan bagi mereka.
Kisah menyedihkan tentang efek dosa ini berlanjut. Dosa Adam dan Hawa memiliki konsekuensi pada semua keturunan manusia dan kesadaran akan keberdosaan disertai ratapan tergambar dalam seluruh PL. Mereka diusir dari taman, mengalami permusuhan dengan lingkungan, kehilangan kesenangan dan jaminan keamanan, lebih parah lagi mereka kehilangan harapan untuk dapat hidup selamanya. Harapan bahwa mata mereka akan “terbuka” justru membawa mereka pada fakta memalukan tentang ketelanjangan mereka. Yang jelas bahwa dalam PL, dosa dan kematian seolah merupakan dua hal yang tidak terpisahkan seperti yang tertera jelas dalam Kej 2-3. Banyak ahli menilai bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa ini terjadi karena Hawa. Levison bahkan menegaskan bahwa Istri yang bertabiat buruk akan membawa dampak buruk bagi suaminya. Bagi Breugmann, PL dari kacamata PB memiliki arti ganda karena kekayaan rasa dan kiasan yang ada di dalamnya. Karena itu kekayaan PL ini diterima walau mungkin dalam cara yang berbeda dari penafsiran tradisional.
Allah itu kasih. Tidak semua efek dari kejatuhan ini bersifat negatif bagi hubungan Allah dengan manusia. Ia sendiri yang mencari Adam dan memberi kesempatan mereka untuk mau mengakui kesalahan, Allah juga yang memberi pakaian dari kulit binatang bagi mereka. Apapun yang terjadi, Allah tetap bertindak dalam kasih. Allah sendiri sepertinya telah mengurangi efek dari ketidaktaatan ini. Allah mengambil inisiatif untuk membangun hubungan dengan manusia dalam cara yang baru yaitu ibadah. Ibadah merupakan cara Allah bersentuhan kembali dengan manusia (Kej 4:26).  Allah tetap membuktikan kasih-Nya kepada manusia dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ada sebuah istilah menarik yang digunakan oleh Gordon, “Justru semakin dosa menyebar, semakin menyebar pula kasih karunia Allah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar