Minggu, 04 Februari 2018

Hukuman yang Tepat bagi Anak Nakal

Belakangan ini sedang marak pemunculan anak-anak remaja yang dinilai “nakal” oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Para netizen yang menyaksikan aksi mereka di media sosial memberikan berbagai tanggapan negatif, kritikan pedas, nada yang miring, terhadap semua tindak-tanduk mereka dan mencap mereka sebagai orang-orang yang tidak bermoral. Namun sayangnya, tidak ada yang mencoba terbuka untuk menyelidiki latarbelakang dari perbuatan mereka dan menolong mereka keluar dari permasalahan moral yang lebih parah. Memang ada banyak anak dibesarkan dalam lingkungan pergaulan dan pendidikan yang baik, keluarga yang rukun, teman-teman yang baik sehingga memiliki karakter baik di mata masyarakat umum. Namun pengalaman dan pendapat ini tentu akan berbanding terbalik untuk kasus anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal. Banyak anak yang dibesarkan dalam lingkungan kriminal menganggap kejahatan sebagai sesuatu yang lumrah bahkan tidak mengerti yang mereka dan orang-orang di sekitarnya lakukan itu sebenarnya adalah suatu tindak kejahatan. Dan orang-orang seperti ini akan mengejutkan banyak orang dari latarbelakang sosial yang berbeda begitu pula sebaliknnya, saat dewasa mereka juga akan terkejut dengan kehidupan sosial di luar diri dan lingkungannya saat mereka memasuki lingkungan yang baru. Beberapa tinjauan dari pelaporan buku ini mungkin perlu dilampirkan.
Menurut Burt, rangsangan berlebihan untuk melakukan kejahatan seperti kenakalan, pencurian, serangan, dorongan seksual, ini muncul dan dikendarai oleh perluasan dalam naluri khusus manusia. Orang-orang dengan pengalaman khusus ini mampu mengkondisikan diri mereka dalam memberi reaksi terhadap setiap kebutuhan dengan ekspresi yang mentah; dan sering kali kejahatan dapat menjadi habit mereka. Namun demikian, dalam setiap kegagalan terdapat kesempatan untuk mengembangkan diri dalam menyeimbangkan antara bertahan dan medapat hadiah, sakit dan kesenangan, yang semuanya berkaitan dengan keadilan yang muncul dari dalam diri. Orang-orang dengan masalah seperti ini hanya dapat direhabilitasi dengan pengajaran yang keras dalam jangka panjang, dalam kehidupan sosial, penolakan terhadap perasaan cepat puas seringkali didahului dengan persetujuan atau hadiah. Namun proses untuk “dekondisi” ini mungkin akan memakan waktu yang lama. Ada orang-orang tertentu dalam masyarakat tertentu juga terbebani oleh faktor keturunan, hasrat, intelektual yang kurang menguntungkan, mungkin masuk dalam kelas “moral yang dungu”, atau orang-orang dengan kecenderungan bersifat ganas dan kriminal sejak awal dan tindakan hukum hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki pencegah apa-apa sama sekali. Perbedaan muncul dalam tingkat kenakalan disusun oleh hal-hal yang berkembang dari sisi “inner justice” yang telah dirugikan dalam cara yang berlawanan seperti kekurangan cinta dan penghargaan ketika berbuat baik, dan penekanan yang berlebihan terhadap kekerasan, kesalahan, dan hukuman. Dengan mereka, tidak ada bujukan yang dapat menahan rangsangan mereka, karena pengekangan akan mengusung mereka untuk tidak menjawab atau membalas apapun; mereka secara natural akan mengembangkan sikap demikian, jika tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk menghadirkan cinta seperti yang mereka butuhkan, mereka akan berusaha memperoleh kepuasan apapun dengan cara yang dapat mereka tempuh, entah itu melalui cara yang primitif dan penegasan diri secara egoistik.
Anak-anak seperti ini berada dalam keadaan putus asa. Pengobatan yang tepat bagi orang-orang seperti ini harus dilakukan dengan cara yang berlawanan. Hukuman dan tambahan hukuman yang berat tidak akan berguna bagi mereka; karena tindak kekerasan sudah menjadi gambaran dan habit dalam diri mereka. Yang paling mereka butuhkan adalah cinta kasih, toleransi, dan tidak adanya penolakan kebiasaan. Upaya ini tentu bukanlah upaya yang mudah. Pada masa sebelumnya, kasih dan toleransi umumnya digunakan untuk membalas kebaikan, dan sering dianggap sebagai sisi kelemahan manusia, namun saat ini para ahli menemukan bahwa kasih dan toleransi merupakan cara paling tepat untuk melumpuhkan kemarahan. Orang-orang dengan karakter keras dan dipenuhi rasa ingin merusak dan menyebabkan tangisan, pada sisi lain adalah orang-orang yang butuh kasih sayang dan tangan yang terbuka untuk menuntun dan melindunginya dari kebencian dan tindakan destruktif. Ketika orang-orang seperti ini sudah bisa dijangkau, mereka bisa dididik ulang dengan cara memberi hadiah atau penghargaan terhadap upaya mereka untuk mau menahan diri dan bekerjasama dengan orang lain, mengembangkan pribadinya dengan perasaan dibutuhkan dalam komunitas. Dengan demikian, “kebutuhannya untuk merasa dibutuhkan” terpenuhi dan menghapus perasaan penolakan terhadap masyarakat, dari orang-orang yang menganggap dan dianggapnya sebagai musuh. Penelitian modern dan lebih lunak dikenakan untuk orang-orang dengan kasus seperti ini dan terbukti sangat berhasil, meski untuk mempraktikkannya seringkali dihadapkan dengan ketegangan dengan orang yang menolong mereka, dan diperlukan usaha yang tinggi dan keahlian yang jarang, pandangan yang dalam, dan toleransi ketimbang orang-orang lain dengan tipe kenakalan yang berbeda, karena metode lama berupa kekerasan dan disiplin akan menjadi usaha yang sia-sia bagi kelompok ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar