Rabu, 07 Februari 2018

Intip Apa yang Dilakukan Oleh Yusuf dan Istri Potifar

Etika Nafsu atau Bernafsu dalam cara yang Etis?

Tulisan ini disarikan dari pemikiran Diana Lipton dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Dalam segala keterbatasan pemahaman bahasa, merupakan sebuah keterkejutan tersendiri bagi pelapor ketika membaca judul ini. Kata “desire” dalam judul ini memberi gambaran tentang adanya suatu keinginan kuat dari subjek terhadap sesuatu. Keinginan kuat bagi pelapor merujuk kepada sebuah pemikiran tentang nafsu. Tapi benarkah sub judul ini berkaitan dengan nafsu? Berdasarkan pemahaman ini pelapor memperoleh judul dari sub-bab ini yaitu nafsu untuk beretika atau etika nafsu. Lepas dari apakah penterjemahan judul ini salah atau benar, isi dari bagian ini sepertinya justru telah lebih mengejutkan pelapor.
Beban dari penulis judul ini adalah bagi pengajaran anak. Hal ini penting, mengingat perkembangan pengetahuan pada anak-anak dan pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari mereka tentang peristiwa-peristiwa dalam Alkitab. Menurut pelapor, tidak hanya anak, setiap orang yang membaca dan mengkaji pun bertanya. Tapi bagaimana cara menyesuaikan fakta konteks di balik narasi Alkitab terhadap setiap penanya dalam berbagai usia?
Lipton mendasarkan kasus untuk studinya tentang judul ini pada Kej 39. Bila kurang awas, kita akan terjebak pada perasaan aneh ketika membaca tema ini dan pelapor sendiri mengalaminya. Bisa jadi ini, masalah budaya.
Memasuki pembahasan awalnya, Lipton sendiri sudah memperingatkan bahwa ada perbedaan etika antara konteks masa lalu yang terdapat dalam narasi Alkitab dan para ahli kitab Ibrani dengan etika masa kini khususnya komunitas orang beriman. Bahkan jika pelapor boleh menambahkan, bagaimana dengan pembacanya dalam konteks Indonesia? Bahkan sebenarnya, narasi Alkitab sangat jarang memberikan model baku tentang etika dan kebanyakan hanya bersifat tipologi. Secara tipologis, ada berbagai macam pesan tersembunyi dalam narasi Alkitab dan inilah yang sedang dikupas. Terdapat juga berbagai macam metode untuk menginterpretasikan secara tipologis dan mereinterprasi narasi dalam Alkitab secara etis bagi dunia masa kini berdasarkan budaya asli Israel. Bukan suatu usaha yang mudah mengingat adanya celah budaya dan waktu antara kita dan Israel kuno sehingga menghasilkan makna yang kompleks bahkan bisa jadi ambigu. Selain itu, sepertinya, ada kaitan erat antara etika dan hukum yang berlaku secara legal dalam masyarakat. Orang yang masuk dalam satu komunitas tertentu harus juga taat terhadap norma atau hukum yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan kata lain, hukum bisa jadi merupakan tanda pengenal dan bentuk ideal suatu kebudayaan. Hukum merupakan tema sentral dalam narasi Alkitab meski dalam praktisnya sering bersifat fleksibel. Penerapan yang fleksibel ini sepertinya memang telah menurunkan derajat dari hukum tersebut, namun inilah bukti keterbatasan manusia. Apapun bentuknya, narasi Alkitab telah mencoba dengan berbagai karakter yang kompleks agar poin utama dari kitab Hukum tetap dapat tetap diterapkan.  
Ada berbagai isu penting yang muncul dalam narasi Alkitab tentang etika kehidupan bangsa Israel yang perlu diperhatikan oleh orang percaya di zaman sekarang, selain karena sepertinya bermakna yang ambigu, isu-isu yang dibahas dalam narasi Alkitab ternyata bukanlah hal yang cukup layak untuk dijadikan teladan. Hal ini terus dipertanyakan, dibahas dan diusahakan agar diperoleh aplikasi yang tepat secara etis. Pelapor sendiri sebenarnya, dan banyak orang lain juga mulai mempertanyakan tentang peran tokoh-tokoh Alkitab dalam PL yang memang dalam kasus-kasus mereka, tidak cukup layak untuk ditiru. Abraham yang diakui sebagai bapa orang beriman contohnya atau Daud yang namanya dikenang dan dibanggakan sampai saat ini. Secara moral apalagi dalam kaitannya dengan etika Kristen masa kini, bagaimana mungkin orang-orang ini dapat dijadikan model etika? Berbagai pertanyaan tentang PL diajukan dalam kaitannya dengan etika dan ini menuntut tidak hanya penerapannya bagi masa kini namun eksegesis berdasarkan konteks asli pada fakta Alkitab harus disampaikan tanpa perlu ditutup-tutupi. Manusia Kristen saat ini perlu bersikap lebih dewasa, bahwa bagaimanapun gelapnya, inilah fakta PL tentang perilaku normatif para tokohnya. Pertanyaannya adalah bagaimana Kristen masa kini menentukan tindakan apa yang harus ditempuh secara etis dalam menangani kasus yang serupa?
Contoh kasus yang digunakan oleh Lipton sangat menarik. Peristiwa yang terjadi antara Yusuf dan istri Potifar di rumah kediaman Potifar (Kej 39) ternyata memiliki kaitan erat dengan berbagai masalah lain, secara etis. Pelapor sendiri dan kebanyakan orang yang belum menyelidiki tentang hal ini dari sudut budaya Indonesia tentu akan menyudutkan istri Potifar karena tindakannya. Tindakan ini dalam benak pelapor, awalnya, tentu merupakan sebuah tindakan asusila; mengajak orang lain yang bukan suaminya untuk tidur bersama. Lipton sendiri menunjukkan tiga macam kesalahan dari nyonya Potifar dalam tindakannya itu; menggoda Yusuf untuk bersetubuh, berzinah atau membuat suaminya cemburu dengan menggoda Yusuf.
Sub judul ini sangat membuat pelapor pusing dan terkaget-kaget. Selama ini, bagian-bagian ini memang menimbulkan pertanyaan namun tanpa ada tindak lanjut dengan penelitian. Namun di lain pihak, Lipton mencoba mengungkap kemungkinan lain di balik kasus ini, mungkin dari sisi feminis, yaitu adanya keinginan istri Potifar untuk melanjutkan garis keturunan dari suaminya, Potifar. Dan ini sama dengan tindakan donasi sperma atau rahim agar memiliki keturunan. Nyonya Potifar dalam hal ini justru memiliki niat baik bagi suaminya, yaitu untuk mengamankan atau berniat melestarikan nama suaminya. Tamar juga melakukan hal yang sama agar garis keturunan dari sang suami tetap ada, maka ia tidur dengan Yehuda, mertuanya. Tindakan yang diambil kedua perempuan ini sama, namun hasilnya berbeda. Tamar berhasil mendekati Yehuda sementara Istri Potifar tidak,  karena pendekatan yang mereka lakukan juga berbeda. Ini juga yang terjadi pada Abraham dan Sarah saat mereka menantikan anak. Sarah yang tidak sabar akhirnya menyuruh Abraham suaminya untuk “tidur” dengan Hagar budak mereka untuk memakai rahim Hagar sebagai tempat penitipan Sperma sehingga dapat meneruskan garis keturunan mereka. Jadi titik fokus mereka terletak pada bagaimana garis keturunan mereka dapat berlanjut, bukan pada etis tidaknya tindakan yang mereka lakukan. Ini masalah budaya, bahwa nama atau silsilah memang sangat penting.
Selain itu, dari segi budaya, budaya kuno di Israel memakai budak tidak hanya sebagai pelayan mereka namun juga memiliki hak atas tubuh mereka. Jadi jika tuan mereka “tidak subur” dalam artian mandul, mereka dapat mengambil baik budak laki-laki maupun perempuan untuk “tidur” dengan mereka dan melanjutkan garis keturunan mereka. Sementara anak hasil dari hubungan tersebut, mutlak merupakan milik tuannya. Melihat sistem kebudayaan ini, Yusuf yang telah dijual oleh saudara-saudaranya itu merupakan budak di rumah Potifar dan tindakan istri Potifar mengindikasikan dua; Pengaduan istri Potifar atas tindakan Yusuf si “budak Ibrani” mengindikasikan hal ini (ay 14) bertujuan melindungi martabat suaminya sebagai tuan dan bermaksud untuk mengusir Yusuf dari rumah mereka. Memiliki kuasa dalam “rumah” mengarah tidak hanya kepada harta namun juga kepada si istri.
Mungkin awalnya tidak ada ketertarikan dari istri Potifar karena Yusuf ketika diambil menjadi budak masih muda belia. Namun pertambahan usia dan pertumbuhan tubuh Yusuf sepertinya telah mempesona nyonya Potifar ini. Dan ia menggoda Yusuf untuk tidur dengannya. Ajakan untuk tidur ini sendiri telah dilihat Lipton dari berbagai segi: ia menggunakan kekuasaannya sebagai nyonya rumah agar Yusuf mau memenuhi nafsunya atau ia hanya ingin mengajak Yusuf tidur dan membuat kesepakatan dengan Yusuf. Apapun itu, yang jelas adalah bahwa tindakan nyonya Potifar tidak hanya mengarah kepada tindakan asusila namun juga melibatkan kepentingan ras dan politik. Selain itu, timbul pertanyaan, kemana Potifar pergi? Mengapa ia meninggalkan istrinya? Mungkinkah istri Potifar ini kesepian, ditinggalkan dan karena itu sulit mendapatkan keturunan sehingga ia memutuskan untuk menggoda Yusuf?
Apapun alasannya, ada perbedaan budaya antara nyonya Potifar, Yusuf dan kita pada masa kini. Bisa jadi nyonya Potifar justru telah bertindak berdasarkan budayanya. Tapi kebanyakan kita menilai tindakan nyonya Potifar ini berdasarkan budaya kita dan inilah yang menimbulkan tanggapan negatif terhadap beliau. Dan menilai positif kepada Yusuf yang tetap bertahan pada budayanya dan menjadi orang asing di tanah Mesir. Namun masih ada kemungkinan tafsiran lain. Yusuf melakukan tugasnya sebagai budak berkaitan dengan upaya penerusan garis keturunan, namun di tengah jalan, ia teringat dengan budayanya sendiri. Dan inilah yang membuat Yusuf memutuskan untuk meninggalkan nyonya Potifar dan bajunya.
Lalu bagaimana dengan perasaan nyonya Potifar? Kata “mempermainkan” dalam bahasa Ibrani memiliki makna polisemi yang berarti tidak hanya mengejek, menertawakan, menari, tetapi juga memiliki makna lain dalam kaitannya dengan seks, yaitu bercumbu (peristiwa Ishak dan Ribka yang disaksikan oleh Abimelek dalam Kej 26:8). Dalam benak istri Potifar, bisa jadi Yusuf yang memang telah dibeli oleh Potifar memang dibeli bukan hanya untuk menjadi pelayan rumah, dalam hal ini makanan, namun juga seks. Ketika istri Potifar mengadukan tindakan Yusuf, ia telah memanipulasi kejadian yang sebenarnya. Bukan tentang budaya, namun tentang hasratnya, tentang alasan mengapa ia berteriak. Teriakan istri Potifar bukan karena ingin minta tolong kepada sida-sida lain karena kasus perkosaan yang dilakukan oleh Yusuf. Namun karena sukacita yang ia rasakan. Pirson mengkaji kata “teriakan” ini dan menemukan konotasi bahwa ternyata istri Potifar ini sedang berada dalam keadaan hampir orgasme atau malah orgasme. Atau tafsiran lain mengatakan bahwa tangisan ini terjadi karena istri Potifar malu dan marah terhadap penolakan Yusuf. Tangisannya bermakna ambigu, antara sakit hati atau sukacita. Bagaimanapun juga, untuk menutupi fakta ini, maka harus ada korban.  Kasus dimana Yusuf meninggalkan nyonya Potifar membuat dia dikeluarkan dari rumah Potifar dan masuk ke dalam penjara, karena ia telah menolak otoritas Potifar. Ini nafsu dalam beretika atau etika dalam bernafsu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar