Minggu, 11 Februari 2018

Perang Suci dalam Hakim-hakim

The Ethics Of Warfare and The Holy War Tradition In The Book Of Judges By Janet Tollington dalam Dell, Katharine. Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York, 2010. ISBN: 978-0-567-21709-7

Dalam upaya mengirim bangsa Israel ke Kanaan, Allah sepertinya memang telah mempersiapkan mereka sebagai umat yang tangguh dalam berperang. Bahkan setelah Israel masuk ke negeri Kanaan, tetap saja sering terjadi peperangan antara Israel dan bangsa di sekitarnya, entah itu dalam upaya perebutan wilayah atau pertahanan. Kitab Hakim-hakim kebanyakan menggambarkan tentang kisah-kisah peperangan ini. Oleh para ahli, perang yang ditulis dalam kisah ini kebanyakan merupakan perang kudus karena dalam hal ini, Tuhanlah yang berperang bagi Israel. Perang yang dimaksud di sini tidak hanya memiliki arti tindakan penyerangan namun juga memiliki kesamaan arti dengan membinasakan (p.75).
Ini juga tidak juga secara keseluruhan, karena jika ditilik, terdapat begitu banyak peristiwa jatuh bangun bangsa Israel sebagai suatu bangsa. Tidak digambarkan sebuah peperangan yang mencakup bangsa Israel secara keseluruhan, hanya berupa suku-suku di Israel. Menurut Tollington sendiri, kitab ini kemungkinan sudah mengalami pengeditan oleh beberapa orang yang berkepentingan agar dapat dipakai menjadi kitab bagi komunitas orang percaya. Hal ini terlihat dari adanya dalam cara menggunakan bahasa dan mempresentasikan semua isu tentang peran Allah dalam dengan perang. Ada juga kemungkinan bahwa penulis kitab ini dengan sengaja telah menyembunyikan opini etisnya dan membiarkan para pembacanya untuk menarik kesimpulan pribadi dari tulisan mereka (p. 73).
Yang jelas, dari sudut etis, kejatuhan Israel ke dalam penjajahan dan penderitaan terjadi karena mereka melupakan Tuhan dengan menyembah berhala. Hal ini merupakan tindakan yang dipandang jahat oleh Allah. Kitab Hakim-hakim menghadirkan konsep tentang perang sebagai pengajaran Tuhan kepada Israel dalam konteks mereka sebagai suatu bangsa. Perang digunakan Tuhan untuk menguji apakah Israel taat atau tidak kepada-Nya.
Dilihat dari latarbelakangnya, Sosipater menjabarkan bahwa moralitas ini merupakan pengaruh dari bangsa-bangsa kafir. Pada masa kepemimpinan Yosua, Israel telah diperintahkan untuk mengusir bangsa-bangsa kafir dari negeri mereka. Namun mereka sepertinya tidak menganggap peringatan ini sebagai sebuah peringatan serius. Terjadi kawin campur, toleransi dengan kebudayaan kafir, dan inilah yang mengakibatkan kemarahan Allah (p.259). Zuck juga memberi pendapatnya bahwa akibat dari tindakan mereka, generasi baru yang berada di Kanaan tidak memiliki pengenalan yang jelas tentang Allah. Para tua-tua kurang memberi pengajaran kepada mereka, sehingga ada bagian sejarah yang hilang dari diri mereka. Ketidaktaatan awal yang kelihatan sederhana ini berujung kepada kemurtadan bangsa Israel. Kemurtadan ini tidak hanya berdampak pada sistem keagamaan, namun juga pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Perang bukan hanya terjadi karena mempertahankan diri dari bangsa lain namun juga perang saudara. Ketaatan dimulai dari hal yang terkecil. (P.199-202).
Tangisan mereka membuat Allah melepaskan mereka. (p.75). Penderitaan itu akan dilepaskan jika bangsa Israel berbalik lagi kepada Allah. Allah akan menolong dan berperang bagi mereka dengan memakai seorang hakim sebagai pemimpin. Intinya adalah, keamanan dan kenyamanan mereka sebagai suatu bangsa ditentukan melalui hubungan mereka dengan Tuhan.
Pertanyaannya adalah benarkah Allah yang memiliki hakikat penuh kasih ternyata merupakan Tuhan yang berperang? Jika perang identik dengan pembunuhan, dimanakah letak kasih Allah? Para Teolog sendiri sempat kebingungan untuk menemukan konsistensi ide tentang Allah yang penuh kasih dengan Tuhan yang memiliki Roh perang, merancang perang bahkan berkeingininan untuk menghancurkan musuh Israel demi membawa kedamaian bagi bangsa Israel (p. 72). Secara etis, tindakan Allah ini memiliki penekanan terhadap komitmen Allah terhadap umat pilihan-Nya dalam masa politeistik di zaman Hakim-hakim itu.  
Untuk itu, dalam berperang, Israel tidak membutuhkan mesin perang. Allah sendiri akan menggunakan senjata alam untuk menghalau musuh Israel. Israel hanya perlu bersifat pasif, tanpa menodai diri atau tangan mereka dengan darah. Konsekuensi etisnya, mereka harus bertanggung jawab secara moral kepada Allah.
Sayangnya, bangsa Israel tidak belajar dari kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya. Kejahatan mereka tetap sama, kembali, berulang-ulang jatuh dalam penyembahan berhala. Mereka kuat ketika pemimpin mereka ada. Mereka masuk dalam waktu tenang selama beberapa puluh tahun. Namun suasana tenang ini sepertinya telah menjadi pemicu kejatuhan mereka ke dalam penyembahan berhala.
Di lain pihak, Hakim yang dipilih Allah, bukanlah orang-orang yang memang berasal dari tua-tua atau kepala suku di Israel. Menurut Blommendaal, hakim ini dipilih dari satu atau dua suku untuk melakukan perang melawan bangsa-bangsa musuh mereka. Hal ini tidak bergantung pada kharisma mereka ataupun garis keturunan mereka (p.71). Mereka hadir dengan cirikhas dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Gideon yang meminta tanda, Yefta yang awalnya ditolak namun dipanggil kembali untuk menjadi pemimpin, Simson yang seorang nazir, namun dalam perjalanan ceritanya justru hanya melibatkan dia sebagai pelaku tunggal dalam alur cerita tersebut, dll. Dari kesemua hal ini dapat dilihat bahwa Allah bisa melakukan apa saja, melalui siapa saja, dengan cara apa saja, agar umat ini tetap bertahan. Masa ini bisa jadi memang merupakan masa kekosongan Teokrasi, atau masa gelap dalam keagamaan umat Israel. Sehingga berulang-ulang mereka dicap “melakukan segala sesuatu menurut pandangannya sendiri”, tanpa pedoman. Namun Allah tetap mempertahankan bangsa ini. Tujuan Allah tetap sama, Ia ingin mempersiapkan satu umat yang taat kepada-Nya, bagaimanapun caranya.
Prophecy, Ethics, and The Divine Anger By Ronald E. Clements
Pemakaian istilah tentang kemarahan Allah dalam buku nubuatan Yesaya (5:25 – 30) sepertinya telah menimbulkan pertanyaan khusus terlebih-lebih dengan bukti kedatangan Asyur untuk menyerang wilayah Israel dan Yehuda. Asyur dalam hal ini dipakai oleh Allah untuk menghajar Israel. Namun perjalanan ini tidak sampai di sini saja. Di balik pernyataan ini sepertinya telah menjadi tersisipi kepentingan. Dalam Nubuatan disampaikan berbagai macam pengajaan dan peringatan secara politis sebagai bentuk antisipasi dari pengalaman berikutnya.  Tujuan keilahian Allah bagi bangsa Israel sebenarnya adalah anugerah. Penderitaan, ketidakadilan, dan kematian karena peperangan merupakan konsekuensi kemarahan Allah yang disebabkan oleh sikap manusia. (p.89). Alasan sebenarnya simpel, Allah ingin agar melalui nubuatan yang disampaikan oleh para nabi, bangsa Israel mau memberi respon dengan berbalik kepada Allah.
Penjelasan tentang penyebab kemarahan Allah ini dapat dilihat dari beberapa segi, antaralain: karena ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di Israel dan penolakan Israel secara umum terhadap keadilan dan komitmen agama.  
Ada kemungkinan besar menurut beberapa ahli bahwa nubuatan tentang kemarahan Allah ini sebenarnya menekankan pada kasus kejahatan moral dan keadilan. Tidak heran jika diabad ke-19, nubuatan ini dianggap telah memberi penekanan yang besar pada isu etis yang berdampak pada semua umat manusia.
Harapan untuk hidup kudus sebagai suatu bangsa melahirkan masalah besar. Kejahatan dan keterpurukan struktural dalam bangsa Israel telah menyebabkan kemarahan Allah (p 90). Namun kita juga tidak boleh terlalu jauh masuk dalam ide bahwa kemarahan Allah merupakan faktor penyebab dari kondisi buruk yang dialami oleh manusia. Penjelasan ini malah menghasilkan kritik tersendiri. Yang paling jelas dari tulisan nubuatan para nabi tentang kemarahan Allah adalah bahwa kemarahan ini disebabkan oleh tindakan bangsa Israel yang meninggalkan Allah dengan melakukan penyembahan berhala. Allah menginginkan kehormatan dari manusia. Ia merancangkan satu umat yang memiliki kepercayaan monoteis, hanya menyembah kepada-Nya, bukan politeis yang beribadat kepada banyak dewa. Inilah yang sedang diusahakan oleh para nabi, yaitu agar bangsa Israel bahkan segala bangsa dapat datang dan menyembah Allah. Kemarahan Allah merupakan konsekuensi etis sebuah ketidaksetiaan kepada Allah (p.91).
Nabi-nabi merupakan pionir bagi etika monoteis di Israel. Peringatan tentang kemarahan Allah kepada orang Israel dan keluarga bangsa-bangsa secara umum sebagaimana diinterpretasikan oleh para nabi bermaksud untuk memberikan prioritas etika bagi agama dan juga bagi reformasi masyarakat.
Memang terdapat kontradiksi antara sifat Allah yang  penuh kasih karunia dengan Allah yang penuh amarah dan dendam atau cemburu bahkan dapat menghancurkan kehidupan manusia. Namun natur-natur Allah yang diterangkan dalam Alkitab ini merupakan bentuk dari tindakan kasih sekaligus keadilan Allah di dalam dunia. Para ahli teologi menggunakan pendekatan untuk menjembatani PL dan PB dengan dunia kita masa kini. Memang perlu diakui bahwa terdapat kesulitan dalam menganalogikan atau menjelaskan ulang natur Allah yang penuh amarah dalam bahasa manusia. Pengalaman-pengalaman buruk, luka, menghantarkan manusia pada pertanyaan tentang kasih Allah. Ini terjadi berulang-ulang dalam kehidupan manusia tanpa studi khusus. Namun pengkajian ulang mulai menemukan bahwa fenomena “buruk” dalam kehidupan manusia bisa jadi merupakan kejadian yang Allah izinkan terjadi, bisa jadi karena faktor diri sendiri atau memang karena tindakan Iblis. Apapun itu, para ahli modern percaya bahwa semuanya ada dalam providensia Allah (p.95).
Kemarahan Allah dalam PL pun bagaimanapun telah membawa ide tentang gambaran Allah PL yang penuh dengan kekejaman. Dan ini membuat pengakuan pada ke-Allahan PL sepertinya berkurang. Pihak-pihak tertentu bahkan menolak keAllahan PL. Banyak penafsir masa kini mencoba juga untuk menafsirkan sifat Allah yang satu ini dalam kaitannya dengan pengalaman-pengalaman buruk yang dialami oleh manusia. Mungkinkah Allah yang penuh kasih itu menjadi Allah yang demikian kejam atau penuh dengan kemarahan?
Satu hal menarik dapat penulis lihat dari kronologis lahirnya kemarahan Allah ini. Manusia berbuat jahat sehingga Allah marah. Kejahatan yang dimaksud adalah karena manusia telah tidak setia terhadap Allah dengan berpaling dan menyembah Allah lain. Allah yang merasa bahwa kehormatan-Nya sebagai Allah pencipta dan sebagai satu-satunya Oknum yang pantas untuk disembah, cemburu. Amarah itu muncul karena rasa cemburu yang berasa di dalam diri Allah. Inilah hukum pertama sampai keempat dan penekanannya dalam ayat ke-5 dan ke-6 dari Keluaran 20. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar