Minggu, 21 Mei 2017

Eskatologi dalam Perjanjian Lama



ESKATOLOGI DALAM PERJANJIAN LAMA

DEFINISI
Secara terminologis, istilah eskatologis dibangun dari dua kata Yunani, yaitu eskhatos, yang artinya “akhir” atau “terakhir”, dan logos, yang artinya “Firman” atau “ajaran”[1]. Kata eskatologi secara hurufiah yang berarti pengetahuan mengenai hal-hal terakhir[2] atau tentang akhir zaman . Dalam pembahasan ini kita akan membahas mengenai ajaran Alkitab tentang eskatologi dan secara khusus membahas tentang eskatologi didalam PL.
Ajaran Alkitab tentang eskatologi (ajaran tentang Akhir Zaman) tidak hanya mempedulikan nasib orang secara perseorangan, tetapi juga sejarah manusia. Menurut Alkitab, Allah tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui orang-orang yang mendapat ilham, tetapi juga dalam dan melalui peristiwa-peristiwa yang membebaskan umatNya. Selanjutnya, isi dari penyataan ini tidak terbatas pada kebenaran-kebenaran mengenai sifat dan tujuan Allah, tetapi juga menyangkut juga tindakan-tindakan pelepasan umat-Nya[3]. Menurut Russel, ada tiga bentuk penyelamatan yang Allah lakukan, penciptaan dunia, pengendalian sejarah, dan kedatangan kerajaan-Nya. Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah yang bertindak dalam sejarah adalah Allah yang sama yang juga akan bertindak pada hari-hari terakhir, dimana Ia akan menyempurnakan segala sesuatunya pada hari-hari terakhir itu[4]. Inilah yang diharapkan bangsa Israel, yaitu harapan akan penyelamatan bagi umat-Nya.
            Baker membagi pemahaman tentang eskatologis ini dalam tiga bagian, Eskatologi PL, Eskatologi para nabi dan Eskatologi Apokaliptik[5].
1.   Eskatologi dalam PL merupakan keyakinan bahwa sejarah bergerak dengan tujuan tertentu yang ditentukan oleh Allah, dan Allah berkarya dalam sejarah untuk memastikan tujuan tersebut. Menurut Baker, Israel sejak awal memang sudah memiliki semacam harapan untuk masa depan (kej 12:1-3; Kel 3:8; Bil 24; Ul 33, dll). Pengharapan merupakan pandangan yang optimis tentang masa depan yang mengharapkan berkat-berkat jasmani dan rohani baik di dunia politik maupun keluarga. Ini bukan perubahan radikal, namun tatanan itu sudah dimulai dari sekarang. Ide tentang perubahan radikal muncul setelah zaman para nabi. Eskatologi PL bersifat historis-Teologis dengan keyakinan bahwa Allah berkarya dalam sejarah Israel.  Harapan-harapan akan masa depan PL sebagaimana telah dirangkum oleh Baker dari beberapa ahli PL didasarkan pada:
a.   Kepastian bahwa Allah tetap berkarya meskipun kehidupan bisa saja sulit (Vriezen)
b. Ketegangan antara kehadiran Allah dan ketersembunyian-Nya, yang menimbulkan pengharapan akan kehadiran Allah yang sempurna di masa depan (Jacob).
c.  Pemahaman tentang dosa dan ketidakpercayaan Israel secara radikal, yang hanya dapat diatasi oleh anugerah Allah (Bultmann).
d.  Keyakinan para nabi bahwa Allah akan berkarya di masa depan, sebagaimana Ia telah berkarya dimasa lalu walau dengan cara yang benar-benar baru (Von Rad)[6].

2.   Eskatologi Para Nabi
Terjadi perkembangan dalam eskatologi Israel. Nabi-nabi sebelum pembuangan menyerang optimisme Israel yang populer dan memberitakan penghakiman Allah yang radikal. Sementara nabi-nabi pada masa pembuangan memperkenalkan suatu optimisme baru sambil menunjuk satu permulaan baru, ciptaan baru dan keselamatan baru. Ada empat ciri utama pengharapan para nabi:
a.   Hari Tuhan
      Sejak awal mereka meyakini akan ada waktu atau hari ketika Tuhan campur tangan dalam sejarah Israel (Am 15:18-20). Hal ini kemudian muncul dalam berbagai ungkapan seperti ‘hari Tuhan’, ‘hari pembalasan’, ‘pada hari itu’.
b.   Pembaruan Rohani
      Nabi-nabi menantikan pembaruan umat Allah. Bahwa setelah penghukuman ada pembaruan, bahwa sisa bangsa Israel akan dibawa pulang dan mereka akan ikut serta dalam perjanjian baru yang akan diadakan.
c.   Harapan yang bersifat kebendaan
      kebendaan yang dimaksud khususnya tempat, tentang Firdaus yang muncul kembali atau tentang pengharapan tanah suci yang akan diperbaharui.
d.   Mesias
      Umat Israel yang memusatkan perhatiannya pada masa depan mengharapkan munculnya satu tokoh yaitu Mesias yang akan memenuhi kebutuhan rohani maupun politis mereka. Konsep tentang Mesias ini dapat dilihat melalui gambaran-Nya sebagai Anak Daud[7].
3.   Eskatologi Apokaliptik
      Perkembangan ini didorong oleh kekecewaan dari orang-orang yang pulang dari pembuangan ketika mereka melihat kondisi Yehuda yang tetap dijajah. Dan melalui para pelihat, mereka kemudian melihat kepada suatu zaman baru yang cenderung bersifat transendentalisme dan dualisme. Ada dua ciri eskatologi apokaliptik, antara lain:
      Anak Manusia dan gambaran tentang kebangkitan orang mati[8].
     
Dyrness membagi Pengharapan Israel dalam beberapa bagian:
1.      Harapan Mengenai Kerajaan
Dalam pemahanan eskatologi bagi bangsa Israel ditekankan pada harapan-harapan mengenai datangnya akhir zaman atau Kerajaan Allah. Sejak pengalaman Israel yang paling awal dengan Allah, mereka telah belajar untuk mempercayai-Nya untuk membawa mereka ketanah yang dijanjikan kepada Abraham (Kej 12:1-3). Jadi bagi Israel pengharapan aspek yang amat kongkret dan nyata: pada suatu hari Allah akan memberikan kepada mereka tanah pejanjian itu[9].
Ada dua aliran pemikiran yang pada masa nabi-nabi melanggar batasan-batasannya dan mengalir menjadi satu untuk membentuk satu harapan mengenai kerajaan penyelamatan yang universal. Pertama, ada aliran yang sifatnya bagaikan serbuan dalam perang, yang menghubungkan harapan dengan campur tangan  Allah[10]. Ini dilatar belakangi dari semula bahwa Israel mengerti bahwa Allah harus berperang untuk mereka dan mengalahkan musuh-musuh mereka. Kedua, yaitu bahwa masa datang yang akan diadakan Allah merupakan juga penyempurnaan, sesuatu yang tumbuh dari apa yang sudah ada sebelumnya[11]. Jalan pemikiran ini menyiratkan bahwa kerajaan itu akan datang dengan cara-cara damai, bahwa ia telah ada dalam perjanjian yang diadakan Allah dengan umat-Nya dan dalam lembaga-lembaga yang bersifat perjanjian.
Perlu kiranya dicatat bahwa kedua versi pengharapan ini berlangsung sampai zaman Yesus. Di satu pihak, hilangnya suara para nabi sesudah zaman pembuangan membawa kepada pengharapan, yang disebut dengan istilah apokaliptik, yaitu Allah akan turun tangan dengan kuasa-Nya dan menyelamatkan tatanan yang jahat ini dan pada saat yang sama membawa keselamatan bagi mereka yang menderita[12].
a.   Gambaran Nubuat Mengenai Kerajaan
·         Mutlak berdasarkan keputusan Allah. Karakteristik pertama dari gambaran nubuat tentang masa datang ialah masa itu akan datang karena Allah menghendakinya. Jadi, orang harus berharap kepadaNya saja untuk dapat mengerti secara benar mengenai masa datang itu[13].
·         Ciptaan baru.  Yang diinginkan Allah bagi umat-Nya ialah suatu ciptaan baru. Kerajaan itu haruslah sesuatu yang baru karena telah sampai pada titik dimana tatan yang lama tidak dapat lagi bertahan[14].
·          Seorang perantara.  Dalam gambaran  yang bersifat nubuat mengenai masa depan, terlihat bahwa Allah memakai seorang perantara. Melalui dan didalam perantara ini kenyataan tatanan yang baru akan terwujud[15].
·          Tujuan pekerjaan penyelamatan dari Allah. Tujuan pekerjaan penyelamatan dari Allah terangkum dalam kalimat yag selalu diulang “ Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”.

b.   Gagasan Mengenai Pengadilan
Pengadilan Allah ialah tindakan pembenaran yang sedemikian rupa sehingga si penyeranag dihukum dan si korban mendapat ganti rugi. Jadi, pengadilan termasuk dalam aktifitas penyelamatan yang dikerjakan Allah. Yaitu penyelamatan Allah untuk memulihkan kembali tatanan ciptaan yang telah jatuh dengan hukuman disatu pihak dan penyelamatan dipihak yang lain[16].
1)  Pengadilan adalah hak istimewa Allah berdasarkan sifat-Nya. Dalam satu arti semua aktivitas Allah berkaitan dengan pengadilan, karena semuanya mengungkapkan pemerintahan-Nya yang adil.
2)   Kedua, pengadilan adalah pekerjaan allah yang dinamis, yang sekaligus melibatkan kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu dan tindakan.

2.      KEMATIAN DAN AKHIRAT
Semua bangsa di dunia paham benar bahwa kematian adalah akhir kehidupan yang wajar dibumi ini. Akan tetapi dalam Perjanjian Lama, kematian dikaitkan dengan dosa sehingga mencerminkan sesuatu yang tidak wajar mengenai dunia sebagaimana adanya, sesuatu yang dapat dikalahkan oleh Allah saja[17]. Kematian adalah simbol kebinasaan yang dibawa dosa kedalam dunia dan sekaligus merupakan bagian dari kebinasaan itu sendiri. Dalam pengertian ini, maut bukanlah bagian yang normal dari dunia, tetapi sesuatu yang bertentangan dengan maksud-maksud baik Allah[18].
Pada umumnya, keberadaan orang-orang yang mati dalam masa Perjanjian Lama dijelaskan dengan kata Ibrani, yarad, yang artinya “turun” ke tempat atau kedunia orang mati yang disebut Sheol. Sheol ialah tempat orang mati yang berada dibagian bumi yang paling bawah[19]. Fokus dominan dari PL kelihatannya tentang tempat kemah tubuh manusia kemana ia akan pergi, bukan pada kemana jiwa mereka akan berada[20].Sheol tidak dihubungkan dengan suatu lokasi, tetapi menurut orang Ibrani adalah eksistensi, yang pada dasarnya bertentangan dengan Allah. Di Sheol  tidak ada kelangsungan hidup. Menurut Russel, yang berada dalam Sheol ini adalah bayang-bayang dari orang yang mati itu[21]. Disitu orang mendapat perhentian bersama-sama nenek moyang mereka ( Kej 37:35 dan 1 Raja-Raja 2:10)[22].
Ditambahkan oleh Russel tentang kebangkitan orang mati yang sesuai dengan kitab Daniel yaitu adanya kepercayaan pada seuatu yang melampaui kematian diungkapkan dalam bentuk ‘jiwa yang kekal’ dalam bentuk ‘tubuh yang dibangkitkan’. Tubuh kebangkitan itu sesuai dengan Kerajaan Allah ke dalam mana orang mati dimasukkan: tubuh jasmaniah untuk kerajaan di bumi dan tubuh rohaniah untuk kerajaan sorgawi. Pada saat penghakiman, tubuh akan berubah menjadi tubuh-tubuh rohani yang cocok dengan lingkungan sorgawi[23].

MAKNA TEOLOGIS
            Eskatologi ini merupakan bentuk penantian kepada seseorang yang diurapi.


[1] Welly Pandensolang,  Eskatologi Biblika, ( Andi:Yogyakarta, 2008), 1
[2] Gerald O’Collins & Edward Farrugia, Kamus Teologi (Kanisius : Yogyakarta, 2006), 73
[3]  “ Eskatologi” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2007),  286
[4] D.S. Russel, Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke Dalam Apokaliptik Yahudi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 121-135
[5] D.S. Russel, Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke Dalam Apokaliptik Yahudi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 121-135
[6] David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 21-26
[7] Ibid., hal 23-24
[8] Ibid., hal 25
[9] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teplogi Perjanjian Lama, (Gandum Mas: Malang 1990),   207
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,  208
[12] Ibid., 208
[13] Ibid., 209-210 
[14] Ibid., 210
[15] Ibid., 211
[16] Ibid., 215
[17] Ibid., 217
[18] Ibid.,
[19] Welly Pandensolang,  Eskatologi Biblika, ( Andi:Yogyakarta, 2008),  88
[20] Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology Buku Pegangan Teologi,  (Literatur SAAT: Malang, 2008),  469
[21] D.S. Russel, Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke Dalam Apokaliptik Yahudi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 121-135
[22] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teplogi Perjanjian Lama, (Gandum Mas: Malang 1990),     218
[23] D.S. Russel, Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke Dalam Apokaliptik Yahudi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 121-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar