Minggu, 21 Mei 2017

Sekitar Masalah Metodologi Teologi Perjanjian Lama



SEKITAR MASALAH METODOLOGI TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

TUGAS DESKRIPTIF ATAU NORMATIF
Tugas dekriptif dalam tradisi ilmiah Gabler-Wrede-Stendahl dan pendukung-pendukungnya menguraikan tentang pemusatan perhatian ahli Teologi PL pada hal penguraian “arti asli ayat” dan bukan “makna ayat itu masa kini”. Cara ini harus dipahami sebagai kapak yang memisahkan antara pendekatan deskriptif dan normative[1]. Mencari ayat asli bukanlah sekadar menemukan arti asli ayat dalam konteks kanoniknya, namun juga merupakan suatu rekonstruksi historis[2]. Akibatnya, Alkitab mengalami perlakuan yang sama seperti buku kuno lainnya.  Sementara “makna ayat itu masa kini” merupakan penafsiran Teologis[3], yaitu berdasarkan pandangan hidup modern dari penafsiran itu sendiri, dan dianggap bersifat normative bagi iman dan hidup.
D.H. Kelsey mencoba menggambarkan hubungan antara “arti asli ayat” dan  “makna ayat itu masa kini”.
1. Penggunaan pendekatan deskriptif untuk menentukan “arti asli ayat” dianggap identik dengan dengan “makna ayat itu masa kini”.
2. “arti asli ayat” mengandung pokok-pokok pikiran, gagasan-gagasan yang perlu dicari dan diterjemahkan secara sistematis dan dijelaskan bahwa inilah “Makna ayat itu masa kini”. Meskipun penulis aslinya sendiri mungkin tidak pernah memikirkan akan hal ini.
3.  “arti asli ayat” merupakan suatu cara berbicara di zaman kuno yang bergantung pada waktu dan budayanya sendiri dan yang perlu dijelaskan ulang dengan memakai bahasa masa kini tentang gejala masa kini tentang gejala yang sama dan bahwa penjelasan ulang ini adalah “makna ayat itu masa kini”. Hal ini bisa terjadi jika ia mempunyai pengetahuan lain terlepas dari Alkitab.
4. “arti asli ayat” mengacu pada orang cara orang Kristen dahulu menggunakan ayat-ayat Alkitab dan bahwa “makna ayat itu masa kini” hanyalah cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh orang Kristen modern.
Kalau begitu, apa perbedaan antara ‘arti ayat asli’ dengan ‘makna ayat itu masa kini’? Perbedaan keduanya yaitu perbedaan antara rekonstruksi historis atau apa yang bersifat historis, deskriptis, dan obyektif dengan penafsiran teologis atau apa yang bersifat Teologis dan normative. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tanpa pendekatan Normative, penafsiran akan sangat terbatas, namun tanpa penafsiran deskriptif, penafsiran jadi kehilangan konteks penulisannya.

METODOLOGI TEOLOGI PL
1.     Metode Didaktik- Dogmatik
Metode ini merupakan metode tradisional dalam mengorganisasikan Teologi PL dengan meminjam pendekatan dari Teologi Dogmatik yang urutan pembahasannya dibagi menjadi Allah- Manusia- Keselamatan atau Teologi- Anthropologi- dan Soteriologi. Ada beberapa tokoh terkenal yang memakai metode ini dalam bukunya: Georg Lorenz Bauer, R.C. Dentan, Hans W. Wolf, M. Garcia Cordero, D.F. Hinson, dll. Namun ada beberapa kelemahan dari pendekatan ini, yaitu:
Metode ini bersifat deduktif, padahal PL tidak berbicara sendiri karena masalah-masalah dari luar nampaknya mendominasi. Pola-pola dalam PL tidak mengikuti susunan ini, atau bisa saja penulis dan orang-orang zaman itu bahkan sama sekali tidak memikirkan tentang pola penyusunan ini. Selain itu, inti dari PL sendiri tidak dijadikan materi bahasan karena sudah terpatok sebelumnya oleh pendekatan dogmatic Teologi-Anthropologi- Sosiologi.

2.     Metode Progresif- Genetis
Chester K. Lehman mendefinisikan “metode teologi Alkitabiah”, sebagai metode yang ditetapkan pada umumnya oleh prinsip perkembangan historis. Metode ini dipahami sebagai pembeberan penyataan Allah sebagaimana disajikan oleh Alkitab . Perkembangan historis tersebut dibuktikan dalam periode-periode atau era-era penyataan Ilahi yang ditetapkan secara benar-benar sesuai dengan garis-garis pemisah yang dibuat oleh penyataan itu sendiri. Secara khusus berarti bahwa penyataan ilahi berpusat pada beberapa perjanjian yang dibuat oleh dengan tokoh-tokoh PL yang semuanya menunjukkan ‘keberadaan organik’ dari Alkitab serta ‘anatomi’ Kitab Suci. Lehman membagi karya-Nya dalam tiga bagian yang mengikuti pembagian kanon Ibrani (Torah, Nevim, Ketubim).
Kelemahan dari pandangan ini antara lain:
1.      Struktur kanonik bertentangan dengan metode genetis ‘perkembangan historis’ karena kanon Ibrani tidak memberikan bukti adanya suatu perkembangan yang konsisten atau yang bakal ada sekalipun.
2.      Teologi Lehman menunjukkan suatu campuran struktur kanonik yang terdiri dari tiga bagian yang terdiri dari suatu pendekatan khusus atau kitab-perkitab tanpa adanya suatu perkembangan historis yang konsisten.
3.      Beberapa kitab tetap tanpa penanggalan, sama sekali di luar perkembangan historis dan secara genetis tidak ada kaitan dengan penyataan yang berkembang.
R.E. Clements dalam bukunya OT Theology: A Fresh Approach (1978)  membagi monografnya menjadi 8 bab. Bab 1 dan 2 berupa survai berbagai masalah metodologi, bab 3-6 membahas tema-tema pokok PL yaitu “Allah Israel”, keberadaan Allah, nama-nama Allah, kehadiran Allah, dll, namun ia menolak memakai pendekatan yang berorientasi pada pusat, karena baginya, kesatuan PL berasal dari sifat dan keberadaan Allah sendiri yang merupakan landasan PL. Dalam hal kanon, ia menunjukkan bahwa kanon PL merupakan norma yang benar bagi Teologi PL, karena diyakini memiliki kuasa Allah. Clements menolak untuk menganggap teologi PL sebagai suatu kegiatan yang deskriptif semata dengan alasan bahwa PL memang memberi kita penyataan dari Allah yang kekal. Kelemahan metode progresif genetis Clements adalah karena ia mengabaikan kesusasteraan hikmat.

3.     Metode Penggunaan Contoh yang Representative yang Mewakili Keseluruhan
Pertamakali dikembangkan oleh Eichrodt (1930). Ia menggunakan contoh yang representative terhadap PL dengan membuat perjanjian sebagai pusat PL. Ia menuntut adanya reorientasi radikal dalam metodologi untuk mengganti metode dogmatic, di bawah pengaruh historisme.  Ia berpendapat bahwa dalam setiap ilmu terdapat suatu elemen subyektif, begitu pula dengan Teologi PL. Menurutnya, Teologi PL harus dituntun oleh prinsip seleksi dan kecocokan agar dapat memahami alam kepercayaan PL dan menjelaskan makna yang paling dalam dari strukturalnya. Ia mencoba meruntuhkan tirai histrosisisme dan menjelaskan masuknya Kerajaan Allah sebagai penghubung PL dan PB termasuk gerakan ke arah berlawanan dari PB menuju PL dizaman sekarang ini. Dengan demikian, prinsip dogmatic yang tradisional dan mencoba menyajikan prinsip sejarah yang bekerja berdampingan dengan prinsip sistematika dalam peranan yang saling mengisi.
Vriezen memadukan metode ini dengan suatu minat untuk mengaku dengan jujur. Ia mengikuti prinsip Eissfeldt bahwa objek dan metode teologi PL haruslah suatu ilmu teologi Kristen. Namun ia tetap mempertahankan pendapatnya untuk memberi pusat pada paparannya yaitu persekutuan.
W.C. Kaiser, Jr menunjukkan sebuah tema, kunci, atau pola pengatur yang pada dasarnya dikenal oleh orang-orang yang berturut-turut menulis PL dengan sengaja melengkapi penyataan yang bertambah secara bertahap dalam ayat PL, memang benar-benar ada. Ia memberi tema ‘Perjanjian’ sebagai pusat Teologinya PL-nya. Kelemahan Kaiser adalah karena ia tetap tidak bisa menghindarkan diri dari prinsip selektivitas, dalam teologinya, ada banyak tema-tema PL yang tidak dibahas, dan tema yang dipilih Kaiser tidak dapat mempersatukan kekayaan tema-tema dan bahan-bahan.
Kelemahan metode Representatif
1)      Masih terdapat prinsip selektiitas
2)      Penyataan-penyataan Allah yang luas tidak dapat dibatasi pada satu tema

4.     Metode Topikal
Metode topical dipakai dalam kombinasi dengan satu atau dua pusat PL atau tanpa suatu pusat tematik yang eksplisit. John L. McKenzie menekankan bahwa ia ‘menulis teologi PL seakan-akan PB tidak ada’. Menurut dia, tidak boleh terjadi arus kehidupan yang bergerak menurut arah yang terbalik dari PB ke PL. prose kerja dari McKenzie adalah ‘keseluruhan pengalaman’ yang diungkapkan melalui perkataan Allah dalam PL. Namun anehnya, ia tetap berbicara tentang kesatuan inti walau dalam gambaran yang kurang jelas. Dalam bukunya, ia membahas terlebih dahulu tentang cara memuja dan diikuti topic lainnya. Dengan begitu ia merintis metode topical. Masalah-masalah yang mewarnai metode ini antara lain: prinsip selektivitas dan prinsip kesetiaan (konsistensi) terhadap metode yang diusulkan dipihak lainnya. Prinsip selektivitas yaitu apa yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam Teologi PL. Dalam bahasa McKenzie, apa yang memiliki taraf kedalaman yang sama yang ditemukan melalui cara yang paling sering dalam pengalaman Israel dengan Yahweh. Jadi prinsip selektivitas yang tepat ialah frekuensi kuantitatif dari pengalaman. Dan inilah norma yang baik bagi seleksi topical maupun bagi urutan topical.
Fohrer menegaskan adanya sebuah pusat PL dalam bentuk konsepsi ganda yang terdiri dari kekuasaan Allah dan hubungan antara Allah dengan manusia. Teologi mengandung suatu pendekatan topical deskriptif yaitu sesuai dengan pengertian yang dikandungnya untuk masa kini. Dalam bukunya, Fohrer menuliskan 6 sikap hidup (magis, cara memuja, hukum Taurat, pemilihan bangsa Israel, hikmat) yang semuanya bersikap negative kecuali sikap hidup nabi yaitu hidup dan pelayanannya penuh ketaatan dan persekutuan yang sempurna dengan Tuhan. Kelemahannya adalah karena dalam pendekatan Fohrer, tidak ada tempat bagi pengalaman Israel yang lain. Selain itu, dalam pendekatannya, timbul pendekatan kanon dalam kanon yang menghasilkan kritik.
W. Zimmerli menggunakan topical-tematik untuk bukunya OT Theologi in Outline. Menurutnya, tugas Teologi PL adalah tugas yang utuh dan konsistensi tentang Allah, ini merupakan tugas deskriptif. Yang bukan berdasarkan kesinambungan sejarah semata. Dalam bukunya, topic-topik atau tema-tema dikelompokkan bersama dalam beberapa bagian sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana semua topic dan tema itu berhubungan satu sama lain.
Perbedaan di antara ketiga tokoh terlihat dalam:
a.       Titik tolak
b.      Struktur materi
c.       Pemilihan topic
d.      Pusat-pusat Teologi PL
e.       Penilaian dan penekanan terhadap materi PL
f.       Konsistensi dalam struktur individual mereka sendiri

5.     Metode Diakronis
Metode ini bergantung pada riset sejarah tradisi yang dikembangkan pada tahun 1930-an oleh G. Von Rad. Ia berusaha menceritakan ulang keygma[4] atau pengakuan PL dengan pendekatan diakronis (penelitian sejarah tradisi[5]). Tujuannya adalah untuk mengungkapkan teologi Israel yang merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan ilahi menjadi relevan bagi setiap masa dan waktu yang disampaikan melalui tradisi. Subyek yang digunakan adalah dunia ini yang dibangun dari kesaksian-kesaksian orang Israel tentang Yahweh yaitu tentang perkataan dan perbuatan-Nya dalam sejarah.
Kelemahan metode ini adalah kenyataan bahwa sejarah yang dilihat oleh Von Rad tersebut adalah sejarah tradisi dan seringkali kurang dibanding kesaksian-kesaksian PL.

6.     Metode Pembentukan Tradisi
Hartnut Gese muncul dengan teorinya yang mirip dengan Von Rad. Ia mendesak bahwa Teologi PL harus dipahami sebagai suatu proses perkembangan sejarah. Karena dengan cara inilah Teologi PL mencapai kesatuan dan masalah hubungan Teologi PL dengan Teologi PB dikemukakan. Programnya dipandang dari segi ‘Teologi pembentukan tradisi’ dan menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat Teologi PL yang bersifat Kristen maupun Yahudi, kecuali satu, Teologi PL yang dicapai dengan memakai pembentukan tradisi PL. Dalam tesisnya ia mengungkapkan bahwa PB merupakan kesimpulan dari pembentukan tradisi yang dimulai dari PL sehingga PB menggenapi PL dan akibatnya, PL berakhir. Jadi Teologi Alkitabiah menurut Gese, dibangun berdasarkan pembentukan tradisi tersebut. Gese sendiri menolak pendekatan yang berorientasi ke arah pusat.
Sthulmacher berbeda dengan Gesem ia justru mengusulkan sebuah ‘pusat’ sebagai kunci dalam Teologi Alkitabiahnya yang sintetis tentang PB. Baginya, PL tetap merupakan kerangka bagi pembentukan tradisi PB. Dan di antara kedua perjanjian terdapat suatu hubungan tradisi yang tunggal. Dengan tegas ia menekankan bahwa Teologi PB sama seperti Teologi PL bukanlah sekadar disiplin sejarah.
Kelemahan metode ini antara lain:
a.       Proses pembentukan tradisi di antara kedua perjanjian tidak sama, jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa kedua perjanjian itu terdiri dari satu tradisi yang tunggal[6].
b.      Metode sejarah tradisi tidak dapat dipakai untuk menerangkan hubungan yang hakiki di antara PL dan PB[7].
c.       Timbul pertanyaan apakah pendekatan ini benar-benar teologi Alkitabiah atau teologi pembentukan tradisi.

7.     Metode Dialektis- Tematik
Metode ini muncul pada bagian akhir dari tahun 1970-an. Ada tiga tokoh yang sangat berpengaruh untuk metode ini menurut M. Bruegmann:
a.       S. Terrien dengan dialektika ‘etika/ estetika’
b.      C. Westermenn dengan dialektika ‘pembebasan dan berkat’
c.       Paul Hanson dengan dialektika ‘teologi/ kosmis’
Terrien mengangkat tema ‘kehadiran Ilahi’ dengan alasan adanya prinsip pertalian yang dinamis/ sinambung dalam PL dan di antara kedua perjanjian. Dengan begitu, ia menyajikan Teologi Alkitabiah yang bergerak dari PL menuju PB. Tema yang ia pilih ini berhasil menyita perhatian karena merupakan pergeseran penekanan dari perjanjian menuju kepada kehadiran. Ia menguraikan Teologinya dalam uraian yang dialektis ‘eti/estetis’, menyajikan bahan-bahan yang bertalian dengan sejarah dan perjanjian dan aspek estetis. Aspek estetis tersebut memperhatikan hal-hal yang bersifat emosional, mistik, rohani, atau sekadar soal keindahan saja. Kelemahan metode ini adalah karena tema ini juga masih terlalu sempit.
C. Westermann dalam bukunya Elements of OT Theologi yang membahas tentang apa yang dikatakan PL tentang Allah dari berbagai sudut pembahasan; sejarah, penyelamatan, berkat, penghakiman, dan tanggapan yang merupakan bagian dari dialektika tentang perkataan ilahi dan tanggapan manusia. Ia membayangkan Teologi Alkitabiah yang disajikan secara historis terdiri atas kesaksian-kesaksian tentang Allah dalam PL maupun PB. Kelemahan Teologi Westermann adalah karena meskipun dialektikanya adalah dialektika pembebasan dan berkat, ia tidak member tempat yang istimewa bagi pembahasan ini.

8.     Metode “Teologi Alkitabiah Baru”
Metode ini diajukan oleh Breward Child untuk mengatasi dikotomi antara ‘arti asli ayat’ dan ‘makna ayat itu masa kini’. Teologinya menganggap serius kanon Alkitab sebagai konteks yang berarti penolakan terhadap konteks sejarah. Teologi ini hadir sebagai bentuk penolakan terhadap metode penelitian sejarah yang dianggap membelenggu Alkitab dalam sejarah masa lalu saja. Pendapat modern dianggapnya sebagai pembatas hubungan masa lalu dan masa kini. Jadi Teologi menurut kanon baginya adalah pengakuan terhadap sikap normative dari tradisi Alkitab, pendekatan yang ia buat adalah pendekatan pasca-kritis. Baginya, kanon adalah norma bagi Teologi Alkitabiah, dengan kedua perjanjian sebagai pusatnya.
Kelemahan:
Mengapa hanya Teologi Alkitabiah saja yang normative sedangkan kegiatan Teologi dan Teologi PL juga PB tidak mendapat status tersebut.

9.     Teologi PL yang kanonik Multipleks
Kesimpulan dari Teologi PL yang kanonik multipleks:
a.       Isi Teologi PL ditunjukkan sebelumnya, karena kegiatan ini merupakan teologi dari PL yang kanonik, namun tidak identik dengan sejarah Israel. Teologi PL juga berbeda dengan pendekatan sejarah agama yang menekankan hubungan Israel dengan agama-agama sekitar. Teologi PL juga bukan sejarah penyebaran tradisi.
b.      Teologi PL bertugas menyediakan penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran ringkas dari bentuk final tulisan-tulisan PL dan menunjukkan keterkaitan tulisan itu satu sama lain.
c.       Struktur teologi PL mengikuti berbagai prosedur pendekatan multipleks.
1)      Menolak pendekatan yang menyangkut konsepsi doktrin, didaktik- dogmatic yang berkaitan erat dengan struktur Teologi- Anthropologi- Soteriologi.
2)      Menghindari hambatan-hambatan tersembunyi dari metode penggunaan contoh representative, genetic, topical, tapi menerima aspek-aspek tertentu dari metode tersebut.
3)      Menghindari hambatan-hambatan dalam penyusunan suatu Teologi PL dengan penyusunan pusat, tema, konsepsi kunci, poko utama, dll dan mengangkat salah satu perspektif longitudinal menjadi suatu konsepsi tunggal.
4)      Membolehkan teologi-teologi dari berbagai kitab serta rangkaian tulisan pada PL muncul berdampingan dengan kekayaan masing-masing.
5)      Memberi kesempatan bagi teologi-teologi lain yang selama ini diabaikan untuk maju  ke depan berdampingan dengan yang lain dan member sumbangsih bagi perkembangan Teologi PL.
d.      Urutan Teologi PL mencerminkan penekanan yang bercabang dua dari teologi kitab per kitab, rangkaian tulisan, dan tema-tema, motif-motif, dan konsepsi-konsepsi yang dihasilkan waktu hal-hal itu muncul.
e.       Penyajian tema-tema longitudinal dari PL muncul setelah mengalami pembahasan dari banyak segi terutama diusahakan konsepsi PL yang berdasarkan bahan-bahan Alkitab sendiri.
f.       Tujuan akhir dari pendekatan Teologi PL adalah menerobos aneka teologi tentang kitab-kitab serta bermacam-macam tema longitudinal sampai pada kesatuan dinamis yang mengikat semua teologi dan tema menjadi satu.
g.      Teologi PL merupakan bagian dari suatu disiplin ilmu yang lebih luas. Ia memiliki kaitan dengan PB, sulit untuk menentukan keduanya dalam satu pola saja. Gagasan untuk membuat Teologi PL yang kanonik sama saja dengan menghadapi keanekaragaman teologi dari ayat-ayat PL dan menjadikannya satu struktur tunggal, sehingga dituntut kepekaan penuh terhadap kesamaan dan perubahan yang ada terhadap yang lama dan baru tanpa sedikit pun mengubah ayat.


SARAN-SARAN TENTANG METODOLOGI DARI HESSEL[8]
  1. Teologi Alkitabiah bagaimanapun harus dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat historis teologis[9].
  2. Bila Teologi Alkitabiah merupakan sebuah disiplin ilmu yang historis Teologis, maka metode yang tepat harus bersifat historis dan Teologis juga
  3. Dalam Teologi PL dan Teologi Alkitabiah lain, harus ditunjuk terlebih dahulu pokok-pokok persoalan lalu usaha untuk memahaminya
  4. Di dalam penyajian-penyajian teologi dalam kitab-kitab tidak harus mengikuti urutan kanoniknya
  5. Teologi PL tidak hanya sekedar berusaha untuk mengetahui Teologi dari berbagai kitab, kelompok kitab, tetapi juga mencoba untuk mengumpulkan tema-tema dalam PL secara keseluruhan
  6. Ketika kita menentukan Teologi PL, pertama-tama harus member jawab melalui kitab-kitab yang terpisah secara keseluruhan
  7. Ahli Teologi Alkitabiah harus memahami bahwa Teologi PL lebih luas daripada Teologi kitab suci Ibrani.



[1] Sering ditugaskan kepada ahli Teologi sitematika yang bertugas  menterjemahkan  “makna ayat itu masa kini” dan tugas ini tidak boleh dianggap sebagai bagian yang tepat dari metode deskriptif yang sempurna
[2] Rekonstruksi historis yaitu penyajian dunia pemikiran tentang PL (atau PB) sebagaimana direkonstruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturalnya. Hal ini dilakukan untuk memahami Alkitab sebagaimana dibatasi oleh waktu dan lingkungan ketika Alkitab itu pertamakali ditulis.
[3] Penafsiran Teologis adalah penterjemahan ayat yang telah direkonstruksikan secara historis ke dalam situasi modern.
[4] Mencari hal-hal  maksimum yang berbau teologis
[5] Mencari hal-hal  yang  minimum yang sudah berdasarkan tinjauan kritis
[6] Pendapat S. Wagner
[7] Pendapat Douglas A. Knight
[8] Pengarang buku Teologi PL: Masalah-masalah Pokok dalam Perdebatan Saat Ini
[9] Dalam PL harus dilihat segi historis dan teologis. Historis adalah arti ayat, Teologis adalah makna ayat.

1 komentar:

  1. Hallo kaka.saya mau bertanya tentang metode yang ke 3 itu. Apa yang sih yang dimaksud prinsip selektivitas itu??

    BalasHapus