SEKITAR MASALAH METODOLOGI TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
TUGAS DESKRIPTIF ATAU NORMATIF
Tugas dekriptif dalam tradisi ilmiah
Gabler-Wrede-Stendahl dan pendukung-pendukungnya menguraikan tentang pemusatan
perhatian ahli Teologi PL pada hal penguraian “arti asli ayat” dan bukan “makna
ayat itu masa kini”. Cara ini harus dipahami sebagai kapak yang memisahkan
antara pendekatan deskriptif dan normative[1].
Mencari ayat asli bukanlah sekadar menemukan arti asli ayat dalam konteks
kanoniknya, namun juga merupakan suatu rekonstruksi historis[2].
Akibatnya, Alkitab mengalami perlakuan yang sama seperti buku kuno
lainnya. Sementara “makna ayat itu masa
kini” merupakan penafsiran Teologis[3],
yaitu berdasarkan pandangan hidup modern dari penafsiran itu sendiri, dan
dianggap bersifat normative bagi iman dan hidup.
D.H. Kelsey mencoba menggambarkan hubungan antara “arti
asli ayat” dan “makna ayat itu masa
kini”.
1. Penggunaan pendekatan deskriptif
untuk menentukan “arti asli ayat” dianggap identik dengan dengan “makna ayat
itu masa kini”.
2. “arti
asli ayat” mengandung pokok-pokok pikiran, gagasan-gagasan yang perlu dicari
dan diterjemahkan secara sistematis dan dijelaskan bahwa inilah “Makna ayat itu
masa kini”. Meskipun penulis aslinya sendiri mungkin tidak pernah memikirkan
akan hal ini.
3. “arti
asli ayat” merupakan suatu cara berbicara di zaman kuno yang bergantung pada
waktu dan budayanya sendiri dan yang perlu dijelaskan ulang dengan memakai
bahasa masa kini tentang gejala masa kini tentang gejala yang sama dan bahwa
penjelasan ulang ini adalah “makna ayat itu masa kini”. Hal ini bisa terjadi
jika ia mempunyai pengetahuan lain terlepas dari Alkitab.
4. “arti asli ayat” mengacu pada
orang cara orang Kristen dahulu menggunakan ayat-ayat Alkitab dan bahwa “makna
ayat itu masa kini” hanyalah cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh orang
Kristen modern.
Kalau begitu, apa perbedaan antara ‘arti ayat asli’
dengan ‘makna ayat itu masa kini’? Perbedaan keduanya yaitu perbedaan antara
rekonstruksi historis atau apa yang bersifat historis, deskriptis, dan obyektif
dengan penafsiran teologis atau apa yang bersifat Teologis dan normative.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tanpa pendekatan Normative, penafsiran akan
sangat terbatas, namun tanpa penafsiran deskriptif, penafsiran jadi kehilangan
konteks penulisannya.
METODOLOGI TEOLOGI PL
1. Metode Didaktik-
Dogmatik
Metode ini merupakan metode
tradisional dalam mengorganisasikan Teologi PL dengan meminjam pendekatan dari
Teologi Dogmatik yang urutan pembahasannya dibagi menjadi Allah- Manusia-
Keselamatan atau Teologi- Anthropologi- dan Soteriologi. Ada beberapa tokoh terkenal yang memakai
metode ini dalam bukunya: Georg Lorenz Bauer, R.C. Dentan, Hans W. Wolf, M.
Garcia Cordero, D.F. Hinson, dll. Namun ada beberapa kelemahan dari pendekatan
ini, yaitu:
Metode ini bersifat deduktif, padahal
PL tidak berbicara sendiri karena masalah-masalah dari luar nampaknya
mendominasi. Pola-pola dalam PL tidak mengikuti susunan ini, atau bisa saja
penulis dan orang-orang zaman itu bahkan sama sekali tidak memikirkan tentang
pola penyusunan ini. Selain itu, inti dari PL sendiri tidak dijadikan materi
bahasan karena sudah terpatok sebelumnya oleh pendekatan dogmatic
Teologi-Anthropologi- Sosiologi.
2. Metode
Progresif- Genetis
Chester K. Lehman mendefinisikan
“metode teologi Alkitabiah”, sebagai metode yang ditetapkan pada umumnya oleh
prinsip perkembangan historis. Metode ini dipahami sebagai pembeberan penyataan
Allah sebagaimana disajikan oleh Alkitab . Perkembangan historis tersebut
dibuktikan dalam periode-periode atau era-era penyataan Ilahi yang ditetapkan
secara benar-benar sesuai dengan garis-garis pemisah yang dibuat oleh penyataan
itu sendiri. Secara khusus berarti bahwa penyataan ilahi berpusat pada beberapa
perjanjian yang dibuat oleh dengan tokoh-tokoh PL yang semuanya menunjukkan
‘keberadaan organik’ dari Alkitab serta ‘anatomi’ Kitab Suci. Lehman membagi
karya-Nya dalam tiga bagian yang mengikuti pembagian kanon Ibrani (Torah,
Nevim, Ketubim).
Kelemahan dari pandangan ini antara
lain:
1.
Struktur kanonik bertentangan
dengan metode genetis ‘perkembangan historis’ karena kanon Ibrani tidak
memberikan bukti adanya suatu perkembangan yang konsisten atau yang bakal ada
sekalipun.
2.
Teologi Lehman menunjukkan suatu
campuran struktur kanonik yang terdiri dari tiga bagian yang terdiri dari suatu
pendekatan khusus atau kitab-perkitab tanpa adanya suatu perkembangan historis
yang konsisten.
3.
Beberapa kitab tetap tanpa
penanggalan, sama sekali di luar perkembangan historis dan secara genetis tidak
ada kaitan dengan penyataan yang berkembang.
R.E. Clements dalam bukunya OT
Theology: A Fresh Approach (1978)
membagi monografnya menjadi 8 bab. Bab 1 dan 2 berupa survai berbagai
masalah metodologi, bab 3-6 membahas tema-tema pokok PL yaitu “Allah Israel”,
keberadaan Allah, nama-nama Allah, kehadiran Allah, dll, namun ia menolak
memakai pendekatan yang berorientasi pada pusat, karena baginya, kesatuan PL
berasal dari sifat dan keberadaan Allah sendiri yang merupakan landasan PL.
Dalam hal kanon, ia menunjukkan bahwa kanon PL merupakan norma yang benar bagi
Teologi PL, karena diyakini memiliki kuasa Allah. Clements menolak untuk
menganggap teologi PL sebagai suatu kegiatan yang deskriptif semata dengan
alasan bahwa PL memang memberi kita penyataan dari Allah yang kekal. Kelemahan
metode progresif genetis Clements adalah karena ia mengabaikan kesusasteraan
hikmat.
3. Metode
Penggunaan Contoh yang Representative yang Mewakili Keseluruhan
Pertamakali dikembangkan
oleh Eichrodt (1930). Ia menggunakan contoh yang representative terhadap PL
dengan membuat perjanjian sebagai pusat PL. Ia menuntut adanya reorientasi
radikal dalam metodologi untuk mengganti metode dogmatic, di bawah pengaruh
historisme. Ia berpendapat bahwa dalam
setiap ilmu terdapat suatu elemen subyektif, begitu pula dengan Teologi PL.
Menurutnya, Teologi PL harus dituntun oleh prinsip seleksi dan kecocokan agar
dapat memahami alam kepercayaan PL dan menjelaskan makna yang paling dalam dari
strukturalnya. Ia mencoba meruntuhkan tirai histrosisisme dan menjelaskan
masuknya Kerajaan Allah sebagai penghubung PL dan PB termasuk gerakan ke arah
berlawanan dari PB menuju PL dizaman sekarang ini. Dengan demikian, prinsip
dogmatic yang tradisional dan mencoba menyajikan prinsip sejarah yang bekerja
berdampingan dengan prinsip sistematika dalam peranan yang saling mengisi.
Vriezen memadukan metode
ini dengan suatu minat untuk mengaku dengan jujur. Ia mengikuti prinsip
Eissfeldt bahwa objek dan metode teologi PL haruslah suatu ilmu teologi
Kristen. Namun ia tetap mempertahankan pendapatnya untuk memberi pusat pada
paparannya yaitu persekutuan.
W.C. Kaiser, Jr
menunjukkan sebuah tema, kunci, atau pola pengatur yang pada dasarnya dikenal
oleh orang-orang yang berturut-turut menulis PL dengan sengaja melengkapi
penyataan yang bertambah secara bertahap dalam ayat PL, memang benar-benar ada.
Ia memberi tema ‘Perjanjian’ sebagai pusat Teologinya PL-nya. Kelemahan Kaiser
adalah karena ia tetap tidak bisa menghindarkan diri dari prinsip selektivitas,
dalam teologinya, ada banyak tema-tema PL yang tidak dibahas, dan tema yang
dipilih Kaiser tidak dapat mempersatukan kekayaan tema-tema dan bahan-bahan.
Kelemahan metode
Representatif
1)
Masih terdapat prinsip selektiitas
2)
Penyataan-penyataan Allah yang
luas tidak dapat dibatasi pada satu tema
4. Metode Topikal
Metode topical dipakai dalam kombinasi
dengan satu atau dua pusat PL atau tanpa suatu pusat tematik yang eksplisit.
John L. McKenzie menekankan bahwa ia ‘menulis teologi PL seakan-akan PB tidak
ada’. Menurut dia, tidak boleh terjadi arus kehidupan yang bergerak menurut
arah yang terbalik dari PB ke PL. prose kerja dari McKenzie adalah ‘keseluruhan
pengalaman’ yang diungkapkan melalui perkataan Allah dalam PL. Namun anehnya,
ia tetap berbicara tentang kesatuan inti walau dalam gambaran yang kurang
jelas. Dalam bukunya, ia membahas terlebih dahulu tentang cara memuja dan
diikuti topic lainnya. Dengan begitu ia merintis metode topical.
Masalah-masalah yang mewarnai metode ini antara lain: prinsip selektivitas dan
prinsip kesetiaan (konsistensi) terhadap metode yang diusulkan dipihak lainnya.
Prinsip selektivitas yaitu apa yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam
Teologi PL. Dalam bahasa McKenzie, apa yang memiliki taraf kedalaman yang sama
yang ditemukan melalui cara yang paling sering dalam pengalaman Israel
dengan Yahweh. Jadi prinsip selektivitas yang tepat ialah frekuensi kuantitatif
dari pengalaman. Dan inilah norma yang baik bagi seleksi topical maupun bagi
urutan topical.
Fohrer menegaskan adanya sebuah pusat PL
dalam bentuk konsepsi ganda yang terdiri dari kekuasaan Allah dan hubungan
antara Allah dengan manusia. Teologi mengandung suatu pendekatan topical
deskriptif yaitu sesuai dengan pengertian yang dikandungnya untuk masa kini.
Dalam bukunya, Fohrer menuliskan 6 sikap hidup (magis, cara memuja, hukum Taurat,
pemilihan bangsa Israel, hikmat) yang semuanya bersikap negative kecuali sikap
hidup nabi yaitu hidup dan pelayanannya penuh ketaatan dan persekutuan yang
sempurna dengan Tuhan. Kelemahannya adalah karena dalam pendekatan Fohrer,
tidak ada tempat bagi pengalaman Israel yang lain. Selain itu, dalam
pendekatannya, timbul pendekatan kanon dalam kanon yang menghasilkan kritik.
W. Zimmerli menggunakan topical-tematik
untuk bukunya OT Theologi in Outline. Menurutnya, tugas Teologi PL adalah tugas
yang utuh dan konsistensi tentang Allah, ini merupakan tugas deskriptif. Yang
bukan berdasarkan kesinambungan sejarah semata. Dalam bukunya, topic-topik atau
tema-tema dikelompokkan bersama dalam beberapa bagian sehingga menimbulkan
pertanyaan bagaimana semua topic dan tema itu berhubungan satu sama lain.
Perbedaan di antara ketiga tokoh terlihat
dalam:
a.
Titik tolak
b.
Struktur materi
c.
Pemilihan topic
d.
Pusat-pusat Teologi PL
e.
Penilaian dan penekanan terhadap
materi PL
f.
Konsistensi dalam struktur
individual mereka sendiri
5. Metode Diakronis
Metode ini bergantung pada riset sejarah
tradisi yang dikembangkan pada tahun 1930-an oleh G. Von Rad. Ia berusaha
menceritakan ulang keygma[4]
atau pengakuan PL dengan pendekatan diakronis (penelitian sejarah tradisi[5]).
Tujuannya adalah untuk mengungkapkan teologi Israel yang merupakan salah satu
kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang
senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan ilahi menjadi
relevan bagi setiap masa dan waktu yang disampaikan melalui tradisi. Subyek
yang digunakan adalah dunia ini yang dibangun dari kesaksian-kesaksian orang
Israel tentang Yahweh yaitu tentang perkataan dan perbuatan-Nya dalam sejarah.
Kelemahan metode ini adalah kenyataan
bahwa sejarah yang dilihat oleh Von Rad tersebut adalah sejarah tradisi dan
seringkali kurang dibanding kesaksian-kesaksian PL.
6. Metode
Pembentukan Tradisi
Hartnut Gese muncul dengan teorinya yang
mirip dengan Von Rad. Ia mendesak bahwa Teologi PL harus dipahami sebagai suatu
proses perkembangan sejarah. Karena dengan cara inilah Teologi PL mencapai kesatuan dan masalah
hubungan Teologi PL
dengan Teologi PB dikemukakan. Programnya dipandang dari segi ‘Teologi
pembentukan tradisi’ dan menyatakan bahwa sama sekali tidak terdapat Teologi PL
yang bersifat Kristen maupun Yahudi, kecuali satu, Teologi PL yang dicapai
dengan memakai pembentukan tradisi PL. Dalam tesisnya ia mengungkapkan bahwa PB
merupakan kesimpulan dari pembentukan tradisi yang dimulai dari PL sehingga PB
menggenapi PL dan akibatnya, PL berakhir. Jadi Teologi Alkitabiah menurut Gese,
dibangun berdasarkan pembentukan tradisi tersebut. Gese sendiri menolak
pendekatan yang berorientasi ke arah pusat.
Sthulmacher berbeda dengan Gesem ia justru
mengusulkan sebuah ‘pusat’ sebagai kunci dalam Teologi Alkitabiahnya yang
sintetis tentang PB. Baginya, PL tetap merupakan kerangka bagi pembentukan
tradisi PB. Dan di antara kedua perjanjian terdapat suatu hubungan tradisi yang
tunggal. Dengan tegas ia menekankan bahwa Teologi PB sama seperti Teologi PL bukanlah
sekadar disiplin sejarah.
Kelemahan metode ini antara lain:
a.
Proses pembentukan tradisi di
antara kedua perjanjian tidak sama, jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa
kedua perjanjian itu terdiri dari satu tradisi yang tunggal[6].
b.
Metode sejarah tradisi tidak dapat
dipakai untuk menerangkan hubungan yang hakiki di antara PL dan PB[7].
c.
Timbul pertanyaan apakah
pendekatan ini benar-benar teologi Alkitabiah atau teologi pembentukan tradisi.
7. Metode Dialektis-
Tematik
Metode ini muncul pada bagian akhir dari tahun 1970-an. Ada tiga tokoh yang
sangat berpengaruh untuk metode ini menurut M. Bruegmann:
a.
S. Terrien dengan dialektika
‘etika/ estetika’
b.
C. Westermenn dengan dialektika
‘pembebasan dan berkat’
c.
Paul Hanson dengan dialektika
‘teologi/ kosmis’
Terrien mengangkat tema ‘kehadiran Ilahi’
dengan alasan adanya prinsip pertalian yang dinamis/ sinambung dalam PL dan di
antara kedua perjanjian. Dengan begitu, ia menyajikan Teologi Alkitabiah yang
bergerak dari PL menuju PB. Tema yang ia pilih ini berhasil menyita perhatian
karena merupakan pergeseran penekanan dari perjanjian menuju kepada kehadiran.
Ia menguraikan Teologinya dalam uraian yang dialektis ‘eti/estetis’, menyajikan
bahan-bahan yang bertalian dengan sejarah dan perjanjian dan aspek estetis.
Aspek estetis tersebut memperhatikan hal-hal yang bersifat emosional, mistik,
rohani, atau sekadar soal keindahan saja. Kelemahan metode ini adalah karena
tema ini juga masih terlalu sempit.
C. Westermann dalam bukunya Elements of OT
Theologi yang membahas tentang apa yang dikatakan PL tentang Allah dari
berbagai sudut pembahasan; sejarah, penyelamatan, berkat, penghakiman, dan
tanggapan yang merupakan bagian dari dialektika tentang perkataan ilahi dan
tanggapan manusia. Ia membayangkan Teologi Alkitabiah yang disajikan secara
historis terdiri atas kesaksian-kesaksian tentang Allah dalam PL maupun PB.
Kelemahan Teologi Westermann adalah karena meskipun dialektikanya adalah
dialektika pembebasan dan berkat, ia tidak member tempat yang istimewa bagi
pembahasan ini.
8. Metode “Teologi
Alkitabiah Baru”
Metode ini diajukan oleh Breward Child untuk mengatasi
dikotomi antara ‘arti asli ayat’ dan ‘makna ayat itu masa kini’. Teologinya
menganggap serius kanon Alkitab sebagai konteks yang berarti penolakan terhadap
konteks sejarah. Teologi ini hadir sebagai bentuk penolakan terhadap metode
penelitian sejarah yang dianggap membelenggu Alkitab dalam sejarah masa lalu
saja. Pendapat modern dianggapnya sebagai pembatas hubungan masa lalu dan masa
kini. Jadi Teologi menurut kanon baginya adalah pengakuan terhadap sikap
normative dari tradisi Alkitab, pendekatan yang ia buat adalah pendekatan
pasca-kritis. Baginya, kanon adalah norma bagi Teologi Alkitabiah, dengan kedua
perjanjian sebagai pusatnya.
Kelemahan:
Mengapa hanya Teologi Alkitabiah saja yang normative sedangkan
kegiatan Teologi dan Teologi PL juga PB tidak mendapat status tersebut.
9. Teologi PL yang kanonik Multipleks
Kesimpulan
dari Teologi PL
yang kanonik multipleks:
a.
Isi Teologi PL ditunjukkan sebelumnya,
karena kegiatan ini merupakan teologi dari PL yang kanonik, namun tidak identik
dengan sejarah Israel.
Teologi PL
juga berbeda dengan pendekatan sejarah agama yang menekankan hubungan Israel dengan
agama-agama sekitar. Teologi PL
juga bukan sejarah penyebaran tradisi.
b.
Teologi PL bertugas menyediakan
penjelasan-penjelasan dan penafsiran-penafsiran ringkas dari bentuk final
tulisan-tulisan PL dan menunjukkan keterkaitan tulisan itu satu sama lain.
c.
Struktur teologi PL mengikuti
berbagai prosedur pendekatan multipleks.
1)
Menolak pendekatan yang menyangkut
konsepsi doktrin, didaktik- dogmatic yang berkaitan erat dengan struktur
Teologi- Anthropologi- Soteriologi.
2)
Menghindari hambatan-hambatan
tersembunyi dari metode penggunaan contoh representative, genetic, topical,
tapi menerima aspek-aspek tertentu dari metode tersebut.
3)
Menghindari hambatan-hambatan
dalam penyusunan suatu Teologi PL
dengan penyusunan pusat, tema, konsepsi kunci, poko utama, dll dan mengangkat
salah satu perspektif longitudinal menjadi suatu konsepsi tunggal.
4)
Membolehkan teologi-teologi dari
berbagai kitab serta rangkaian tulisan pada PL muncul berdampingan dengan
kekayaan masing-masing.
5)
Memberi kesempatan bagi
teologi-teologi lain yang selama ini diabaikan untuk maju ke depan berdampingan dengan yang lain dan
member sumbangsih bagi perkembangan Teologi
PL.
d.
Urutan Teologi PL mencerminkan penekanan
yang bercabang dua dari teologi kitab per kitab, rangkaian tulisan, dan
tema-tema, motif-motif, dan konsepsi-konsepsi yang dihasilkan waktu hal-hal itu
muncul.
e.
Penyajian tema-tema longitudinal
dari PL muncul setelah mengalami pembahasan dari banyak segi terutama
diusahakan konsepsi PL yang berdasarkan bahan-bahan Alkitab sendiri.
f.
Tujuan akhir dari pendekatan Teologi PL adalah
menerobos aneka teologi tentang kitab-kitab serta bermacam-macam tema
longitudinal sampai pada kesatuan dinamis yang mengikat semua teologi dan tema
menjadi satu.
g.
Teologi PL merupakan bagian dari suatu
disiplin ilmu yang lebih luas. Ia memiliki kaitan dengan PB, sulit untuk
menentukan keduanya dalam satu pola saja. Gagasan untuk membuat Teologi PL yang
kanonik sama saja dengan menghadapi keanekaragaman teologi dari ayat-ayat PL
dan menjadikannya satu struktur tunggal, sehingga dituntut kepekaan penuh
terhadap kesamaan dan perubahan yang ada terhadap yang lama dan baru tanpa
sedikit pun mengubah ayat.
SARAN-SARAN
TENTANG METODOLOGI DARI HESSEL[8]
- Teologi Alkitabiah bagaimanapun harus dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat historis teologis[9].
- Bila Teologi Alkitabiah merupakan sebuah disiplin ilmu yang historis Teologis, maka metode yang tepat harus bersifat historis dan Teologis juga
- Dalam Teologi PL dan Teologi Alkitabiah lain, harus ditunjuk terlebih dahulu pokok-pokok persoalan lalu usaha untuk memahaminya
- Di dalam penyajian-penyajian teologi dalam kitab-kitab tidak harus mengikuti urutan kanoniknya
- Teologi PL tidak hanya sekedar berusaha untuk mengetahui Teologi dari berbagai kitab, kelompok kitab, tetapi juga mencoba untuk mengumpulkan tema-tema dalam PL secara keseluruhan
- Ketika kita menentukan Teologi PL, pertama-tama harus member jawab melalui kitab-kitab yang terpisah secara keseluruhan
- Ahli Teologi Alkitabiah harus memahami bahwa Teologi PL lebih luas daripada Teologi kitab suci Ibrani.
[1] Sering
ditugaskan kepada ahli Teologi sitematika yang bertugas menterjemahkan “makna ayat itu masa kini” dan tugas ini
tidak boleh dianggap sebagai bagian yang tepat dari metode deskriptif yang
sempurna
[2]
Rekonstruksi historis yaitu penyajian dunia pemikiran tentang PL (atau PB)
sebagaimana direkonstruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturalnya. Hal
ini dilakukan untuk memahami Alkitab sebagaimana dibatasi oleh waktu dan
lingkungan ketika Alkitab itu pertamakali ditulis.
[3]
Penafsiran Teologis adalah penterjemahan ayat yang telah direkonstruksikan
secara historis ke dalam situasi modern.
[4] Mencari
hal-hal maksimum yang berbau teologis
[6] Pendapat
S. Wagner
[7] Pendapat
Douglas A. Knight
[8]
Pengarang buku Teologi PL:
Masalah-masalah Pokok dalam Perdebatan Saat Ini
[9] Dalam PL
harus dilihat segi historis dan teologis. Historis adalah arti ayat, Teologis
adalah makna ayat.
Hallo kaka.saya mau bertanya tentang metode yang ke 3 itu. Apa yang sih yang dimaksud prinsip selektivitas itu??
BalasHapus