Minggu, 21 Mei 2017

Istri (Perempuan) yang Cakap dalam Amsal 31



Upaya Identifikasi  Terhadap “Eshet – Chayil” dalam Amsal 31 : 10 – 31
Melalui Eksposisi Kitab Amsal

 
Abstract
            As a part of Wisdom Literature, Proverbs close their paper with wisdom conclusion. But there are many kind of interpretation about idiom eshet – chayil in Old Testament scholars world.   This paper is not the way out or the best formula to solve the problem of interpretation about eshet – chayil. It’s only a simple effort to identification the eshet – chayil.

Bab I
Pendahuluan
            Setiap orang memiliki kriteria masing – masing dalam hal apapun dihidupnya. Kriteria ini secara garis besar sama meski muncul dalam bentuk penyataan yang berbeda, setiap orang sepertinya telah sepakat untuk memilih yang baik. Ada gambaran ideal yang menjadi patokan seseorang untuk memilih meski pada akhirnya tidak ada satu hal pun yang tetap seperti yang digambarkan.

Latar Belakang Penulisan
            Tidak semua orang mengerti dan memahami dengan baik makna kiasan di balik sebuah tulisan kitab Hikmat. Akibatnya, sering terjadi salah tafsir terhadap bagian kitab suci. Hal ini dapat dikatakan wajar karena tidak semua orang mampu memilah, menjelaskan latar belakang dan konteks penulisan kitab. Belum lagi penggunaan kata – kata dan penyusunan kata – kata dalam kitab hikmat cukup rumit.
            Salah satu tema yang paling banyak ditafsirkan kurang tepat adalah bagian kitab Amsal 31 : 10 – 31 adalah “Istri yang cakap”. Istri yang cakap ini sepertinya telah menjadi gambaran fenomenal dan ideal tentang figur seorang perempuan idaman para pria untuk dijadikan istri dan menjadi standar setiap perempuan Kristen untuk menjadi istri yang baik berdasarkan Alkitab.


Tujuan Penulisan
            Makalah ini  dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan konsentrasi 3 yang disiapkan oleh dosen pembimbing. Lebih dari itu, makalah ini berupaya untuk menemukan makna asli di balik fenomena keberadaan “istri yang cakap” seperti yang  disebutkan dalam kitab Amsal dan diidam – idamkan oleh hampir setiap orang tua dan para lelaki dewasa sekaligus tuntutan bertingkah laku bagi para perempuan.

Sistematika Penulisan          
            Makalah ini berisi tiga bab yang terdiri dari bagian pendahuluan, isi dan penutup. Bagian pendahuluan akan menggambarkan secara singkat latar belakang, tujuan dan garis besar makalah ini. Bagian isi akan menguraikan eskposisi Amsal dan pandangan berbagai ahli tentang konsep “Istri yang cakap” seperti yang digambarkan dalam Amsal 31 : 10 – 31. Bagian akhir akan disertai kesimpulan sekaligus penutup dari makalah ini.

Bab II
            Dalam bagian ini akan dimuat pembahasan tentang pengantar kitab Amsal secara singkat, pemahaman hikmat menurut Amsal dan tafsir terhadap “Eshet Khayil” dalam Amsal seperti yang diangkat dalam Amsal 31 : 10 – 31.

Isi
Kitab Amsal Secara Umum
            Kitab Amsal merupakan salah satu dari kitab Kebijaksanaan PL. Berasal dari kata masyal yang artinya “menyerupai” atau “dibandingkan dengan” (Lasor, 2013 :89). Dan kebanyakan ahli PL sepakat bahwa Amsal merupakan kumpulan sastra yang mewakili hikmat tradisional. Terdapat banyak penggunaan gaya bahasa sastra dalam kitab ini seperti perbandingan, pertentangan, pertautan, dll. Menurut Harun, kitab ini merupakan koleksi pepatah atau peribahasa yang berisi nasihat – nasihat dan aturan dalam bertingkahlaku. Kitab ini tidak berisi banyak perintah melainkan sebuah usaha persuasif agar orang hidup pada suatu cara tertentu (2010 : 17).  




Unsur Intrinsik Amsal         
Penulis Kitab Amsal
            Amsal 1 : 1 menyebutkan nama Salomo sebagai penulis kitab Amsal. Namun hasil penelitian kritis menunjukkan bahwa kitab ini justru ditulis dari berbagai zaman yang berbeda dan ditulis oleh penulis yang berbeda pula. Menurut Blommendal, ada kemungkinan bahwa Amsal 10 dst ditulis oleh Salomo atau berasal dari masa Salomo. Salomo pernah terlibat pernikahan dengan putri Mesir dan pernah mengarang tiga ribu Amsal, jadi ada kemungkinan besar dari sini jugalah pengaruh hikmat Mesir dalam Amsal itu muncul (2012 : 154).

Latar Penulisan
            Sumber – sumber tulisan hikmat dari kitab Amsal ini sepertinya telah ada sejak Israel kuno namun baru dibukukan seluruhnya pada masa sesudah pembuangan di Babel sekitar 5 – 4 SM. Menurut Ludji, terdapat perkembangan dan keanekaragaman dalam tradisi Amsal yang menunjukkan bahwa sebelum dibukukan, kitab ini telah melewati proses panjang (2009 : 193 – 194). Perkembangan ini menurut Whybray sebagaimana dikutip Harun adalah karena kedua koleksi besar komponen Amsal yaitu Amsal – amsal Salomo (10 : 1 dan 25 : 1) dan perkataan – perkataan orang bijak – Agur – Lemuel (22 : 17; 30 : 1 ; 31 : 1) baru dilengkapi dengan kata – kata hikmat dari luar Israel dan diedit sedemikian rupa sehingga jadilah kitab Amsal seperti saat ini (2010 : 21). Menurut Simanungkalit, ada beberapa materi seperti Amsal 31 : 10 – 31 yang sebenarnya mengindikasikan kehidupan sebelum masa pembuangan namu kemudian bentuknya diedit sedemikian rupa secara akrostik pada masa sesudah pembuangan. Materi – materi yang sebenarnya sudah lama ada diedit dan ditambahi dengan muatan teologis, gaya bahasa, digabungkan dengan materi lain yang sejenis kemudian diedit ulang sampai kitab Amsal itu sendiri jadi (2010 : 6 – 7).

Penokohan
            Ada beberapa nama dan atau sebutan penting yang digunakan dalam kitab ini, nama – nama itu antara lain; pertama, Salomo. Editor Amsal menggunakan nama Salomo dalam tulisannya dengan tujuan memperkuat kapabilitas kitab ini sebagai kitab hikmat. Kedua, orang – orang bijak. Orang – orang ini tidak dituliskan namanya namun tulisan mereka tercatat dalam beberapa bagian kitab Amsal. Bisa jadi mereka adalah kaum aristokrat dan pegawai – pegawai penting pada masa kerajaan yang dikategorikan sebagai orang – orang berhikmat. Ketiga, Agur, Lemuel dan ibu Lemuel. Hikmat mereka ini kemungkinan besar ada hubungannya dengan butir hikmat yang berasal dari tanah Arab dan berisi pepatah bilangan (Harun, 2010 : 21). Keempat, personifikasi hikmat yaitu sosok “Perempuan Bijaksana” atau “Nyonya Hikmat” dan atau “Istri yang cakap”, personifikasi kebodohan yaitu “Perempuan asing” dan atau “Perempuan jalang” serta incaran mereka “Si Pemuda”.

Alur Penulisan
            Menurut Harun, kitab ini disusun dengan sangat jelas. Judul – judul yang dibuat dan disertai beberapa kalimat pembuka dalam setiap bagian membantu memilah isi tulisan dan menentukan waktu penulisannya. Harun membagi kitab Amsal ini dalam beberapa alur, antara lain: pertama, Amsal 1 – 9. Amsal ini berfungsi sebagai pengantar bagi Amsal 10 – 31 dan bertujuan untuk menyiapkan hati pembawa agar dapat menerima pepatah – pepatah yang diberikan. Namun meskipun bagian kitab ini terletak di awal, kitab ini justru diperkirakan berasal dari tahun penyusunan yang lebih muda, sebagian bahan berasal dari Babel namun kemungkinan baru rampung pengeditannya setelah masa pembuangan[2]. Kedua, Amsal 10 : 1 – 22 : 16. Bagian ini disebut sebagai kumpulan Amsal Salomo meski tidak semuanya merupakan hasil karya Salomo. Amsal ini lebih mirip dengan gurindam karena hanya terdiri dari dua baris pendek namun tampak tidak sistematis. Amsal ini membeberkan seluk – beluk kehidupan dan cara mengatasinya, isinya kebanyakan bersifat pernyataan dari pengalaman yang berlaku umum. Sampai pasal 15 gaya bahasa yang digunakan kebanyakan adalah paralelisme antitesis yang menunjukan banyaknya fenomena sebab - akibat, pasal selanjutnya memuat paralelisme sinonim dan sintesis. Ketiga, Amsal 22 : 17 – 24 : 34. Bagian ini merupakan koleksi tulisan “orang bijak”, isinya berupa ajakan – ajakan dengan didukung oleh pernyataan penjelas dan umumnya lebih dari dua baris. Kumpulan Amsal dala bagian ini sepertinya telah mengadopsi banyak ide dari hikmat internasional seperti Amene – Emope di Mesir lalu digubah ulang agar memiliki muatan teologis pada masa kerajaan di Israel. Keempat, Amsal 25 – 29. Amsal ini merupakan kumpulan Amsal Salomo yang baru dikumpulkan kemudian oleh para pegawai Hizkia sehingga menimbulkan kesan bahwa Amsal ini terbit pada masa akhir kerajaan. Berbeda dengan Amsal Salomo lain karena dalam bagian ini pepatah yang bermuatan Tuhan sangat berkurang. Kelima, Amsal 30 – 31. Bagian ini merupakan tambahan hikmat dari Agur, Lemuel dan ditutup dengan syair tentang istri yang cakap (2010 : 17 -21).
Berbeda dengan Harun, Simanungkalit membagi kitab ini dengan tujuan kanonis dalam beberapa ulasan, antara lain; pertama, Amsal 1 : 1. Ayat ini merupakan pendahuluan sekaligus judul dari kitab Amsal. Nama Salomo digunakan bukan untuk menunjukkan otoritas Salomo sebagai pengarang namun untuk memperlihatkan kewibawaan Ilahi kitab[3]. Kedua, Amsal 1 – 9. Amsal ini memiliki perbedaan gaya, karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kitab Amsal lain. Pengajarannya berbentuk unit – unit yang besar dan berhubungan satu sama lain dalam pengajaran hikmat, sifatnya lebih teologis ketimbang bagian lain dalam Amsal dan berfungsi sebagai pengajaran moral dalam kehidupan sehari – hari sekaligus reinterpretasi panggilan ilahi sendiri. Ketiga, Amsal 10 : 1 – 31 :  10. Bagian ini tampaknya disusun oleh lebih dari satu orang dan dalam jangka waktu yang panjang. Merupakan hasil refkleksi manusia terhadap pengalaman hidupnya baik dari lingkungan Israel maupun internasional sifatnya praktis meski cukup acak – acakan namun tetap harus dilihat sebagai hasil karya yang mengandung nilai teologis. Dan terakhir, keempat, Amsal 31 : 10 – 31[4] merupakan bagian penutup dari seluruh kitab Amsal dan merupakan puncak dari gambaran tentang hikmat.
           
Unsur Ekstrinsik Amsal
Nilai Moral
            Menurut Blommendal, umumnya dunia Timur Tengah mengenal hikmat sebagai bagian dari kehidupan rohani. Hikmat itu berasal dari dewa yang berisi kesenian, tekhnik dan ilmu teoritis serta etika. Bagi orang Israel, dasar Kebijaksanaan itu bersifat religius – teologis. Pada mulanya memang bersifat ilmu namun pada akhirnya berubah menjadi hikmat kehidupan yaitu etika (2012 : 152 – 153). Menurut Wahono, dalam Amsal aksioma peribahasanya sebagian besar menekankan pada aspek moral yaitu sebab akibat. Ungkapan – ungkapan moral yang digunakan dalam Amsal sepertinya sudah cukup untuk menjawab semua masalah kehidupan (2011 : 226).

Nilai Budaya
            Kebijaksanaan ini umumnya bersifat praktis namun berlaku di dunia internasional. Setiap kebudayaan umumnya memiliki ragam kebijaksanaan masing – masing. Biasanya dimasa lalu Kebijaksanaan ini berlaku di kalangan pegawai – pegawai tinggi istana, aristokrat, sekretaris, penulis sejarah, atau golongan – golongan cendikiawan lain. Kitab Amsal sendiri tidak murni berasal dari Israel karena terdapat resapan dari kebudayaan dan Kebijaksanaan dari Amenemope di Mesir, Babilon ataupun Asyur di dalamnya.  

Nilai Sosial
            Menurut Wahono, kalimat – kalimat dalam Amsal dialamatkan pada pribadi namun memiliki implikasi sosial. Isinya bersifat teguran terhadap tindakan anti sosial dan jahat serta merusak kehidupan masyarakat. Tindakan – tindakan jahat yang dilakukan tidak hanya akan berefek pada pribadi namun juga sosial. Hubungan yang terjalin dalam masyarakat harus bersifat konstruktif dan kreatif (2012 : 225).

Identifikasi Eshet – Chayil Berdasarkan Tafsir Amsal 31 : 10 – 31
            Menurut Lane, dari pandangan beberapa ahli, teks ini memberi beberapa gambaran kemungkinan maksud, antara lain: pertama, merupakan teks lanjutan nasihat untuk Lemuel dari ibunya tentang standar istri yang cakap. Teks ini merupakan gambaran ideal mempelai perempuan Kristus dan tidak ada kemungkinan untuk mencapainya. Kedua,  puncak terakhir nasihat terhadap orang muda agar mereka menjadi bijaksana, untuk menunjukkan perempuan seperti apa dan bagaimana yang harus mereka pilih. Ayat ini juga tidak hanya mengarah pada sosok perempuan ideal namun juga kepada siapapun yang bisa mendapatkannya. Ketiga, bentuk akhir dari catatan yang sifatnya negatif dalam ayat 10 mengindikasikan bahwa adalah suatu mujizat jika ada pria yang bisa menemukan perempuan seperti ini. Keempat, teks ini menggambarkan gambaran dalam benak kaum patriakal dan atau laki – laki umumnya tentang figur seorang perempuan ideal yang pantas dijadikan pendamping namun mereka gagal untuk menggambarkan sosok ideal mereka sendiri sebagai laki – laki. Kelima, teks ini menunjukkan sebuah gambaran bahwa rumah dan keluarga merupakan aspek fundamental untuk hidup yang berkualitas.  Hal ini tdak berlaku seluruhnya di setiap rumah tangga, tergantung pada nyonya rumahnya. Karena itu, nyonya rumah harus memiliki kebijaksanaan besar karera kebahagiaan keluarga ditentukan oleh kecakapan istri. Keenam, teks ini mengambarkan keseluruhan gaya hidup hikmat. Kualitas dan aktifitas yang digambarkan melalui teks ini jangan dilihat terdapat pada figur seseorang yang memiliki keistimewaan tertentu tapi pada kesederhanaannya. Kebijaksanaan itu ternyata adalah sesuatu yang sangat sederhana seperti yang sering kita temui di rumah. Kebijaksanaan itu layaknya managerisasi rumah oleh seorang ibu. Perempuan dalam teks ini adalah personifikasi hikmat seperti yang sudah disampaikan di prolog (4 : 5 – 9; 9 : 1 – 6) dan kemungkinan besar bagian ini adalah epilog, kesimpulan, sekaligus klimaks dari identifikasi hikmat. Teks ini mengambarkan tentang tipe istri ideal yang sifatnya sempurna sehingga dapat diperbandingkan bahkan lebih berharga dari rubi atau permata (3 : 15 ; 8 : 11 ; 20 : 15) (2007:395 – 396).
            Kualitas seni teks ini tergambar jelas dalam teks Ibraninya yang akrostik. Jika dibaca langsung dari teks Ibraninya, akan terlihat keindahan dari barisan puisi ini. Penulisnya sedemikian rupa menyusun teks puisi agar tidak hanya memiliki makna yang indah namun juga bentuk dan susunan yang indah. Ada kemungkinan, teknik penulisan untuk teks ini merupakan teknik sastra akhir dalam dunia sastra Ibrani. Menurut Lasor, bentuk akrostik ini tidak hanya membantu dalam proses penghapalan tapi juga menegaskan pengertian menyeluruh tentang gambaran perempuan dan istri yang sempurna (2013 : 102). Ayat 10 dari teks ini  dimulai dengan aleph untuk kata “eshet” yang merupakan huruf pertama Ibrani lalu diikuti dengan kata chayil. Ayat selanjutnya yang memuat karakteristik “istri yang cakap” mengarahkan pembaca pada panorama akrostik dari ke 22 abjad Ibrani dan tepat berakhir pada ayat 31 di Tau.
           
Definisi Eshet – Chayil
Bagian ini dimulai dengan mendefinisikan eshet – chayil berdasarkan pengertian Amsal itu sendiri pada ayat 10. Huruf א digunakan sebagai huruf pertama dalam kata eshet yang berarti perempuan atau istri kemudian dikaitkan dengan kata chayil. Kata “Eshet Chayil” menurut Karman hanya muncul dalam Alkitab sebanyak tiga kali[5] dalam PL. Tidak ada kesepakatan bersama dari para penterjemah Alkitab tentang arti dari kata ini sesungguhnya namun kebanyakan penterjemah memberi penekanan arti pada keutamaan moral dan atau  keluhuran karakter (Karman, 2007 : 41).  
Menurut Delitzsch, perempuan ini terhitung dalam harta benda yang langka seumpama barang milik yang paling berharga di seluruh dunia (1996 : 326). Bagi Lane, perempuan yang ada dalam teks ini merupakan gambaran ideal yang tidak dapat dicapai dan bisa jadi merupakan gambaran hubungan Kristus dan gereja (2007 : 395). Kata “cakap” atau chayil  dalam teks ini menunjukkan kapasitas atau kemampuan dan atau kebijakan[6]. Kata chayil ini menurut Longman, merupakan kata yang biasa dikaitkan dengan jargon – jargon militer tentang kemampuan militer seseorang. Sang suami dikatakan “tidak kekurangan keuntungan” dikaitkan dengan hasil rampasan perang yang kemungkinan dibawa oleh istrinya. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan konteks masa itu yang menganggap pergumulan sama dengan perang dan perempuan ini berhasil mengatasi peperangan berupa pergumulan yang ada dalam kehidupan mereka (2007 : 182). Bagi Harun, chayil menunjukkan kekuatan, ketangkasan, kemampuan dan efisiensi. Kata ini biasanya dipakai untuk menggambarkan sosok laki – laki yang tangkas, kuat, mampu dan berada (2010 : 51).  Kata ini muncul dalam PL sebanyak 240 kali dalam bahasa Ibrani dan 6 kali dalam bahasa Aram. Umumnya kata ini memang mengarah kepada petunjuk – petunjuk kemampuan militer. Arti dasar dari kata chayil adalah kekuatan atau tenaga. Kebanyakan dalam PL, arti dasar kata ini mengarah kepada kekuatan yang dihasilkan oleh kinerja otot manusia seperti kemampuan otot perempuan dalam reproduksi, potensi seksual, penggunaan otot tangan untuk bekerja, otot kaki untuk berjalan, dll. Namun arti kedua dari chayil ini justru mengarah kepada pengertian umum lain seperti kekayaan atau kemakmuran dan kebaikan moral.  Menurut Karman, setidaknya ada empat makna dari eshet – chayil: baik, baik budi, cakap dalam arti terampil bekerja dan baik dalam hubungan dengan laki – laki[7] (2007 : 40).  Perempuan ini dikatakan lebih berharga daripada permata[8].
Lebih dari itu, yang menarik sebagai kalimat pembuka dari teks ini justru adalah kalimat tanya tentang seorang pria yang bisa menemukan perempuan seperti yang digambarkan dalam teks ini. Perempuan seperti yang digambarkan oleh teks ini merupakan perempuan langka dan menurut Farmer, orang yang dapat menemukan perempuan seperti ini pasti adalah orang yang sangat pintar (1991 : 124) bahkan ada juga yang menyebut bahwa pria yang beruntung mendapatkan perempuan ini sebagai istrinya tentu sedang menemukan mujizat. Longman bahkan dengan tegas menyatakan bahwa “tidak ada” pria yang mendapatkan perempuan atau istri seperti ini (2007 : 192), hanya ada sangat sedikit kemungkinan bahkan kesannya mustahil (Delitzsch, 1997 : 327).
           
Karakteristik Eshet – Chayil
Ayat 11 dimulai dengan huruf ב yaitu kata  batach atau dapat dipercaya[9] atau dalam versi KJV “sangat dapat dipercaya”. Menurut Lane, suami dari perempuan ini memiliki banyak kekuatiran karena terhadap posisi, harta, dll yang ia miliki karena itu ia memerlukan seseorang yang sangat dapat ia percaya agar pikirannya sendiri dapat tenang dan bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya (2007 : 397). Bagi Alden, dasar dari sebuah pernikahan adalah kepercayaan (2007 : 294). Selain itu, kepercayaan ini juga dikaitkan dengan keberuntungan[10]. Bagi Delitzch, kata ini   berkaitan dengan barang rampasan perang seperti yang diterangkan Longman, namun perang yang dimaksud dalam hal ini merupakan perang yang tidak kelihatan (1997 : 327). Hal ini menurut Alden dikarenakan istrinya  ini adalah pengelola keuangan yang baik dan mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan suaminya sehingga sang suami tidak akan pernah merasa kekurangan (2002 : 294).
            Ayat 12[11] dimulai dengan huruf  ג yaitu kata gamal yang berarti mencapai tujuan. Dalam hal ini, perempuan ini adalah tipikal istri yang penuh dedikasi dan loyalitas kepada suaminya. Menurut Lane, perempuan ini mampu melihat tujuan sehari – hari hidupnya sebagai seorang perempuan yang menikah. Ia mendukung setiap pilihan hidup suaminya sehingga membuat hubungan pasangan itu terjaga selamanya. Hal ini tentu sulit untuk diterapkan pada masa sekarang mengingat pekerjaan atau karir suami dan istri umumnya terpisah (1997 : 397). Menurut Alden, dukungan ini penting bagi seorang suami mengingat sukarnya hidup di dunia ini. Dukungan dan dorongan istri akan membuat suami semakin teguh berjuang dalam hidupnya (2002 : 295).  Menurut Delitzch, sifat ini merupakan sifat yang murni tidak dibuat – buat, sampai kapanpun juga tidak akan berubah (1997 : 328).
            Ayat 13[12] huruf pertama dimulai dengan ד yaitu kata darash. Ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang efisien dan energik. Menurut Lane, ayat ini menunjukkan bahwa perempuan ini mencari dan menyeleksi dengan sangat hati – hati bulu domba dan rami lalu membuat pakaian hangat bagi penghuni rumah. Pada masa itu, pembuatan pakaian memang umumnya terjadi di rumah – rumah. Tapi yang membuat perempuan ini jadi terkesan bijaksana bukan pada kemauan dan kemampuannya dalam membuat pakaian melainkan pada ketelitiannya memilih bahan dan hasratnya untuk membuat sendiri pakaian – pakaian itu. Walaupun ada orang yang membantu, ia tetap mengawasi dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (1997 : 397). Delitzch melihat adanya kemungkinan bahwa perempuan ini sebenarnya tidak sepenuhnya berpartisipasi dalam pembuatan pakaian karena sepertinya suaminya adalah orang yang cukup terpandang. Namun hasratnya untuk menyelesaikan pembuatan pakaian ini yang patut disebut sebagai hikmat. Hal ini menggambarkan tindakan aktifnya dan kecintaannya pada bisnis yang ia bangun sendiri (1997 : 329).  Terjemahan KJV menunjukkan hasrat atau niatnya ini dengan kata “sepenuh hati” bekerja dengan tangannya.
            Ayat 14 dimulai dengan huruf  ה yaitu kata hay – ta. Ayat ini menunjukkan kepribadiannya sebagai orang yang cerdas dan teliti. Menurut Alden, ini ada kaitannya dengan kegiatan berbelanja pada masa itu. Perempuan ini bertanggungjawab untuk berbelanja kebutuhan sehari – hari di rumah mereka. Ia mengerti barang – barang pokok yang dibutuhkan keluaranya sehingga ia dapat disamakan dengan kapal saudagar yang datang dan pergi untuk berjual beli (2002 : 195). Berbeda dengan itu, Lane menebak bahwa ada kemungkinan pesanan kebutuhan pokok yang ia kirim datang terlambat dari kapal – kapal yang ia pesan untuk membawa material namun karena ketelitian dan kecakapan yang ia miliki, ia tidak perlu kuatir. Kecerdasan yang ia miliki membuatnya mampu untuk menghalau berbagai kemungkinan termasuk dengan keterlambatan pesanan. Perempuan ini pasti sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ia tetap memiliki persiapan sendiri di lumbungnya (2007 : 397). Delitzch justru mengkaitkannya dengan kemampuan berbisnis perempuan ini yaitu kemampuannya untuk melihat peluang usaha sekaligus mendatangkan keuntungan serta kesempatan untuk berbelanja produk terbaik dari luar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya (1997 : 329).  Dengan demikian kemampuannya berkaitan juga dengan keberaniannya menjalin relasi dengan orang – orang luar, berjual beli dengan mereka dan kejeliannya dalam menimbang berbagai kemungkinan bagi pemenuhan kesejahteraan konsumsi dalam rumah tangga.
            Ayat 15 dimulai dengan huruf  ו yaitu kata wata – kom. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak mementingkan diri sendiri dan berdisiplin. Menurut Delitzch, perempuan ini bukanlah seorang tukang tidur. Ketekunan dan disiplin yang ia miliki membuat ia bangun lebih pagi dari semua orang dalam rumahnya. Ada kemungkinan bahwa ia memang bangun lebih pada dari semua anggota keluarga meski kalimat ini tidak serta merta juga menunjukkan bahwa ia bangun lebih dahulu dari pada para pelayannya (1997 : 329 – 330). Ia bangun pagi dengan tujuan untuk membagi – bagikan tugas bagi para pelayanan yang kemungkinan sudah terlebih dahulu bangun darinya, kemungkinan juga menyiapkan menu makanan untuk sehari. Selain itu, ia juga memastikan bahwa bahwa para pelayannya menyiapkan makanan berlebih tidak hanya bagi keluarganya namun bagi orang – orang yang membutuhkan.  Dalam hal ini, perempuan ini adalah pemegang kendali, manager, dan pengatur bagi para pegawai rumahnya. Pelayannyalah yang kemudian menyiapkan segala sesuatunya di meja. Dalam kasus ini menurut Lane, perempuan ini ingin memastikan juga bahwa anggota keluarga yang bangun pagi sudah mendapat jaminan bahwa mereka sudah menemukan makanan tersaji di meja untuk disantap. Selain itu, terdapab juga bentuk kepedulian terhadap sesama yang datang dari jauh maupun orang – orang yang membutuhkan (2007 : 398).
            Ayat 16 dimulai dengan huruf  ז yaitu kata zam – mah. Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan ini memiliki kecakapan atau kesadaran tentang bisnis dan kehati - hatian. Ayat ini menurut Lane bisa jadi memiliki kaitan erat dengan ayat 23 yang menunjukkan profesi suaminya yang kemungkinan bekerja di kota yaitu di pemerintahan membuat dirinya mengembangkan segenap potensi yang ia dan keluarganya miliki. Kesempatan ini juga yang ia manfaatkan untuk membeli ladang yang sekaligus cocok untuk pengolahan anggur. Setelah membelinya, perempuan ini juga langsung melibatkan diri dalam pengolahan ladang (2007 : 398). Yang dimaksud di sini tentu juga dalam hal pengawasan, pengaturan kerja dan sistem. Perempuan ini lagi – lagi adalah seorang yang ahli bekerja dalam sistem. Ia adalah seorang manager yang baik, ia menguasai dengan baik keluar masuk keuangan, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, evaluasi masalah di lapangan, kerjasama dengan pembeli, menguasai sistem pemasaran, melihat peluang, dll. Karena itu, ia dapat memastikan sendiri jumlah pendapatan yang ia miliki sehingga dari jual beli tanah, pengolahan kebun anggur, dan pakaian. Alden memperkirakan bahwa perempuan ini membangun usaha real estate, jual beli tanah, lalu keuntungannya diputar lagi dan dibelikan kebun anggur lalu mengolahnya kembali sehingga ia memiliki multiprofit (2000 : 295).
            Ayat 17 dimulai dengan huruf  ח yaitu kata chagarah. Ayat ini menunjukkan kekuatan dan kesehatan fisik yang dimiliki oleh perempuan ini. Menurut Lane, dalam melakukan kegiatannya, perempuan ini membutuhkan stamina yang fit. Karena itu, ia adalah perempuan yang berdisiplin dengan  tubuhnya sendiri untuk dapat melakukan aktifitas – aktifitas fisik kuat (2000 : 399). Alden menilai bahwa ayat ini menunjukkan gairah atau semangat dari perempuan ini dalam melakukan pekerjaannya dan antusiasmenya dalam menghadapi hidup (2002  : 295). Untuk memasarkan hasil produksi semua hasil anggur dan ladangnya, ia harus menempuh jarak yang cukup jauh. Karena itu harus ada dorongan kuat, tubuh yang kuat, niat serta kerajinan dalam diri perempuan ini (Delitzsch : 331).
            Ayat 18 dimulai dengan huruf  ט yaitu kata tach – mah. Dalam teks ini tetap digambarkan bahwa perempuan ini tidak juga seperti perempuan pada umumnya yang memutuskan untuk beristirahat dengan segera setelah keletihan sepanjang hari dalam bekerja. Pada malam hari sebelum beristirahat, ia masih menyempatkan diri untuk menghitung keuntungan dari hasil penjualan produksi kebun anggurnya. Kata tach – mah yang digunakan memberi arti bahwa “ia mengecap” atau menjamin bahwa usahanya memperoleh keuntungan. Menurut Lane, keterangan bahwa pada malam hari pelitanya tidak padam, tidak lantas menunjukkan bahwa perempuan ini tidak pernah tidur. Ada jangka waktu antara gelap sore hari dan waktu untuk tidur di malam hari. Waktu inilah yang dipergunakan oleh perempuan ini untuk melakukan aktifitas akhirnya sebelum memutuskan untuk tidur (2000 : 399). Hal ini tentu jelas harus dilakukan, karena tanpa tidur, sulit bisa dipastikan seseorang bisa terus bertahan dalam stamina yang fit, energi penuh, dan pikiran yang positif atau berhikmat. Dalam ayat 15 juga sudah dijelaskan bahwa perempuan ini bangun lebih pagi, itu berarti pada malam harinya ia tetap beristirahat.  
            Ayat 19 dimulai dengan huruf  י yaitu kata yadeha. Perempuan ini juga melibatkan dirinya kegiatan memintal dan rupa – rupanya ia memang memiliki keahlian dalam hal ini. Kemampuan memintal merupakan gambaran keseempurnaan seorang wanita pada masa itu. Dewa Homer memberikan kepada dewi Hellen dan dewi – dewi lainnya alat pemintal emas untuk melakukan kegiatan mereka. Kegiatan memintal ini sendiri bukan hal yang mudah, butuh tenaga dan keahlian khusus dengan disertai ketelitian. Tentang cara memintal yang terbilang rumit dan butuh kesabaran juga membuat perempuan ini semakin mengagumkan (Delitzch, - : 331 – 333). Lane menambahkan bahwa pada masa itu belum ada roda pemutar untuk pemintal seperti yang ditemukan pada masa kini. Karena itu kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat melelahkan dan sekaligus menegangkan. Sulit untuk memvisualisasikan kegiatan memintal itu pada masa sekarang, karena itu muncul berbagai penafsiran tentang kegiatan ini. Bisa jadi tangan yang satu memegang mesin sementara jari tangan yang lain mulai memintal (2000 : 399). Atau mungkin saja ia harus melakukan kegiatan ini satu persatu secara bergantian dan berulang – ulang (Delitzch, - : 333). 
            Ayat 20 dimulai dengan huruf  כ yaitu kata kapah. Ayat ini menggambarkan sifat empati perempuan dalam teks ini terhadap nasib sesamanya yang kurang beruntung. Menurut Delitzch ayat ini menggambarkan sifat simpati dan kesediaannya untuk menolong sesama. Ia menghadirkan dirinya bagi orang yang tertindas, malang dan terasingkan. Penyair dalam hal ini memberi gambaran seorang perempuan yang sempurna tidak hanya bagi suaminya melainkan juga bagi sesamanya manusia yang adalah ciptaan Allah. Dengan perlakukan baiknya ini, ia juga  menunjukkan kekuatan hati sekaligus juga kesalehannya di hadapan Allah (- : 334). Ia bukan hanya figur istri yang sempurna namun juga anak Tuhan (Lane, 2000 : 400).  
            Ayat 21 dimulai dengan huruf  ל yaitu kata lo – tira. Di dunia Timur Tengah, musim salju tidak seperti yang terjadi dikebanyakan daratan Eropa. Salju bisa turun kapan saja atau sewaktu – waktu tanpa dapat diperhitungkan pada masa itu  (Lane, 2000 : 400). Salju yang datang ini juga biasanya disertai dengan angin dingin (Delitzch : 334).  Perempuan ini telah mempersiapkan kemungkinan – kemungkinan datangnya musim ini dengan cara menyediakan pakaian hangat bagi seisi rumahnya sehingga kapanpun musim salju itu datang, mereka tidak kuatir kedinginan. Pakaian rangkap atau pakaian dari wool tebal tenunan pada masa itu merupakan pakaian yang mahal harganya.  Dalam teks, keterangan tentang “pakaian rangkap” justru tidak ditemukan, melainkan pakaian yang berwarna merah tua. Warna yang paling umum digunakan adalah merah tua[13] atau gabungan warna ungu, biru dan merah. Konon katanya, warna ini merupakan warna yang kontras dengan warna putih salju sehingga dapat memberikan sugestif berupa rasa hangat di musim dingin bagi para pemakainya ((Delitzch, - 335).
Ayat 22 dimulai dengan huruf  מ yaitu kata marvadim. Teks Indonesia untuk bagian awal ayat ini mengarahkan kepada pembuatan permadani[14]. Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan ini berusaha menghangatkan seisi keluarga di tempat tidur mereka. Ia mempersiapkan sendiri tidak hanya selimut tebal namun juga bantal – bantal dan atau segala perlengkapan tempat tidur agar kasur mereka tetap hangat (Delitzch, - : 335). Selain itu, perempuan ini juga merupakan perempuan yang cukup fashionable pada masanya. Ia memilih bahan terbaik untuk menjadi pakaiannya  berupa pakaian linen dan kain ungu. Pada masa itu, sutra putih memang sudah ada bahkan sejak zaman kuno. Pada masa kerajaan Asyur, sutra putih ini sudah ditenun dan dijadikan sebagai seragam umum. Kain merah dan ungu juga sudah diproduksi meluas di daerah Tirus dan Sidon namun dengan harga yang sangat mahal (Delitzch : 336). Bahan celup ungu untuk pembuatan kain ungu masa itu terbuat dari beberapa kerang dengan jumlah sangat sedikit atau jarang sehingga harganya sangat mahal (Alden, 2002 : 296). Material untuk bahan pakaian ini saja harus diperoleh dari luar negeri. Kain linen dari Mesir sementara kain ungu dari Fenisia(Lane, 2000 : 400). Karena itu, dapat diperkirakan betapa mahalnya bahan yan digunakan oleh perempuan ini untuk dijadikan pakaiannya. Selain itu, ayat ini juga menambah  kesan nilai kekayaan mereka.   
Ayat 23 dimulai dengan huruf  נ yaitu kata noda. Dalam ayat ini barulah dibahas tentang suami dari perempuan ini. Seperti di bagian awal, perempuan ini merupakan figur wanita idel pada masa itu sehingga yang menjadi suaminya pasti adalah orang yang hebat atau sangat pintar. Teks menerangkan bahwa “suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama – sama dengan para tua – tua negeri”[15]. Teks NIV tidak hanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang dikenan namun juga dihormati di antara orang – orang yang ada di gerbang dan ketika ia meengambil tempat duduknya di antara para  tua – tua di sana. Hal ini mengingatkan kepada pengadilan para tua – tua pada masa kepemimpinan Musa yang terjadi ti gerbang. Sistem peradilan ini merupakan sistem peradilan yang awal muncul di Israel dan menjadi salah satu dasar penting sistem peradilan Israel selanjutnya. Biasanya orang – orang akan membawa kasus mereka untuk diambil keputusannya di hadapan tua – tua. Orang – orang Israel taat terhadap para tua – tua dan bangsawan dan kebiasaan ini sudah menjadi tradisi di antara mereka. Para tua – tua ini berpegang pada hukum tradisi yang sudah menjadi standar etika di Israel. Bahkan sampai masa raja – raja, hukum tradisi ini tetap dipertahankan. Umumnya pengadilan lokal dan komunitas orang – orang yang memiliki kekuasaan dan merupakan representasi raja dalam institusi hukumnya dan dengan adanya kaitan dengan raja, kekuatan mereka semakin bertambah di Israel. Hukum masa ini berpusat pada keadilan dan kebenaran. Perhatian hukum selalu berkaitan dengan ketidakadilan yang terjadi secara sosial dan bentuk – bentuk eksploitasi yang terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk masuk dalam sebuah wilayah negara hukum, ia mengikat dirinya terhadap segala peraturan atau hukum yang berlaku di negara tersebut (Crusemann, 1996: 78 – 83). Dan suami dari perempuan ini sepertinya adalah orang yang sangat dihormati bukan hanya  oleh masyarakat namun juga oleh para tua – tua lainnya. Bukan hanya anggota peradilan, pemimpin salah satu wilayah, namun juga pemilik suara yang tertinggi dalam pengadilan tersebut (Deliztch, - : 336). .
            Ayat 24 dimulai dengan huruf ס yaitu kata sadin. Lagi – lagi ayat ini juga menggambarkan tentang kemampuan perempuan ini dalam mengelola material dari lenan dan memasarkannya.
            Ayat 25 dimulai dengan huruf  ע yaitu kata oz – v’hadar. Ayat ini menurut Delitzch menunjukkan kekuatan atau kemampuan perempuan ini untuk bertahan dalam situasi apapun (- : 337). Semua yang ia lakukan telah menimbulkan kepercayaan dirinya tentang masa depan. Martabat atau statusnya serta kemampuan – kemampuan yang ia miliki merupakan jaminan bagi hari depannya (Lane, 2000 : 401). Perempuan ini merupakan perempuan yang mampu berpikir dan bersikap positif terhadap keadaan apapun yang ada di depannya. Ia memiliki dan  mengeskplorasi segala hal yang ada di sekitarnya untuk dipersiapkan pada masa depan sehingga tidak ada yang perlu ditakuti dengan masa depan.
            Ayat 26 dimulai dengan huruf  פ yaitu kata piha. Setelah semua kemampuan bertindak dan berpikir yang ia miliki, penyair teks ini mengarahkan pembacanya pada kemampuan berbicara perempuan ini. Perempuan ini dikatakan berkata – kata dalam hikmat dan kelemahlembutan. Perempuan ini adalah perempuan yang penuh kasih dan belaskasihan sehingga hal ini menjelma dalam kebaikan, anugerah yang penuh ( Delitzch, - : 338).
Ayat 27 dimulai dengan huruf  צ yaitu kata tzofi’ah. Walaupun dia adalah seorang perempuan, perempuan dalam teks ini merupakan seorang pemimpin. Menurut Lane, perempuan ini berhasil memimpin anak – anaknya, pelayan – pelayannya, dan para pekerjanya yang lain. Ia tidak hanya mampu membagikan tugas pada para pegawai, namun juga terlibat aktif, bersentuhan langsung dengan kegiatan mereka (2011 : 402). Menurut Delitzch, mata dari perempuan ini memandang ke segala arah. Pada suatu saat ia berada di salah satu bagian usaha milikinya lalu berpindah lagi ke tempat lainnya untuk memantau para pekerjannya. Ia tidak lantas bersantai setelah membagi – bagi pekerjaan pada para pegawainya. Ia ikut bekerja, berjaga – jaga untuk memantau setiap hasil pekerjaan yang ada ( - : 339).   

Akar  Eshet – Chayil
Ayat 28 dimulai dengan huruf  ק yaitu kata kamu. Ayat ini menunjukkan bagaimana anak dan suaminya memperlakukan dia. Kata “bangun” dalam teks ini bukan menunjukkan satu kegiatan “bangun dari tidur” melainkan sebuah ekspresi hormat yang spontanitas dari anak – anaknya atas prestasi sang ibu. Ini juga yang menjadi sumber kebanggaan dari perempuan ini (Lane, 2000 : 402). Selain itu, suaminya juga memuji istrinya ini. Sejak awal pertemuan mereka sampai ketika mereka telah memiliki anak, perempuan ini tidak berubah, tujuan utamanya tetap adalah  menjadi penolong bagi suaminya.
Ayat 29 dimulai dengan huruf  ר yaitu kata rabot merupakan ayat pujian dari suaminya terhadap istrinya yang cakap ini. Ada kemungkinan perempuan lain dengan karakteristik dan kemampuan seperti istrinya (Lane, 2000 : 402), namun baginya, istrinya tetap adalah yang terbaik. Kalimat pujian ini tentu sangat penting untuk menaikkan harga diri sang istri sehingga memacunya lebih bersemangat lagi dalam mengeskplore kemampuannya.
            Ayat 30 dimulai dengan huruf  ש yaitu kata sheker. Seperti yang disebutkan oleh ayat ini, kemolekan dan kecantikan adalah faktorr luar manusia yang dapat usang dimakan usia (Delitzch, - : 341). Kecantikan asali berasal dari dalam, dari moral yang baik. Moral yang baik ini berasal dari satu sumber yang baik yaitu hati yang takut akan Tuhan. Inilah awal dari segala sumber hikmat dan kemampuan yang dimiliki oleh perempuan dalam teks ini, yaitu takut akan Tuhan. Dasar dari segala hikmat adalah takut akan Tuhan yang adalah sumber dari hikmat itu sendiri (Lane, 2000 : 403). Karena itu, di bagian awal Amsal pun ditekankan tentang takut akan Tuhan ini sebagai permulaan dari segenap pengetahuan (Amsal 1 : 7).  
            Ayat 31 dimulai dengan huruf  ת yaitu kata t’nu – lah. Ayat ini merupakan penutup dari syair ini. Penyair menyuarakan suatu respon aktif terhadap keberadaan perempuan ini dan respon ini lahir dari hasil kreatifitasnya sendiri.

Eshet – Chayil  Dalam Teks dan Konteks
Untuk lebih mengerti eshet – chayil dalam teks Amsal 31 : 10 – 31, penulis mencoba melakukan telisik sederhana pada penggunaan teks serupa dan kemungkinan paralelnya dalam PL  serta pada konteksnya.

Perbandingan Teks Eshet – Chayil
Kebanyakan ahli berpendapat bahwa Amsal 31 : 10 – 31 ini merupakan puncak, kesimpulan atau epilog dari keseluruhan kitab Amsal sekaligus memiliki hubungan erat dengan hikmat yang dipersonifikasi dalam Amsal 1 – 9. Simanungkalit menjelaskan bahwa ada kerangka khusus secara kanonis yang dibentuk dari hubungan langsung baik secara sastra maupun teologis antara kedua bagian Amsal ini yang ia sebut dengan anthlogical composition. Dengan mengutip McCreesh, Murphy, Camp, Simanungkalit secara lebih spesifik menyatakan bahwa Amsal 31 : 10 – 31 ini memiliki kaitan sastra secara langsung dengan Amsal 1 : 20 – 33; 8 : 1 – 36 ; 9 : 1 – 6. Ada istilah – istilah khusus dalam Amsal 31 : 10 – 31 yang sama dengan pasal – pasal tersebut di atas. Bagi Camp, hikmat yang dipersonifikasi ini memang cocok untuk digunakan sebagai prolog dan epilog bagi kitab Amsal sehingga ketiga perikop itu memberi pengaruh pada penulisan  epilogi ini. Berbeda dengan pendapat Camp, Simanungkalit justru menyatakan bahwa dari segi usia penulisan dan konteksnya, justru Amsal 31 : 10 – 31 inilah yang sebenarnya telah memberi pengaruh bagi penulisan ketiga perikop tersebut.
Perikop “puji – pujian tentang istri yang cakap” sudah ada sebelum masa kerajaan namun baru disempurnakan secara akrostik pada masa sesudah kerajaan. Sementara ketiga perikop termasuk Amsal 1 – 9  tersebut baru disusun oleh penyunting sekaligus penulisnya pada masa pembuangan dan sesudah pembuangan. Amsal 31 : 10 – 31 ini justru dipakai untuk membangun kerangka pengajaran dan teologis tentang personifikasi hikmat dengan perempuan bijaksana yang muncul dalam Amsal 1 – 9. Editor Amsal dalam hal ini telah sengaja menaruh tulisan baru yang bersifat teologis ini sebagai pendahuluan dan meletakkan inti tentang hikmat yang dipersonifikasi ini  pada bagian penutup Amsal. Karena itu untuk dapat memahami pengajaran tentang hikmat yang dipersonifikasi, para penafsir perlu mengerti terlebih dahulu personifikasi perempuan berhikmat baru kemudian dapat lebih dalam mengerti tentang keseluruhan Amsal 1 – 9 (2010 : 20 – 25).
Lebih lanjut Simanungkalit mengungkapkan bahwa dalam penelitian terhadap pengajaran hikmat, penafsir tidak boleh terlepas dari konteks asli penulisan dan konteks masa penyuntingannya. Situasi agama, masyarakat, permasalahan gender, antara masa sebelum dan sesudah pembuangan mirip. Namun pada masa helenistik, keberadaan perempuan asing dan atau pelacur yang marak menjadikan para penyunting menuliskan ulang personifikasi hikmat dalam Amsal 31 : 10 – 31 dalam Amsal 1 – 9. Karakteristik perempuan berhikmat dalam kedua bagian kitab ini tetap sama namun tantang zaman itu membuat penambahan muatan tentang perempuan asing atau jalang. Dengan demikian, perempuan berhikmat dalam teks Amsal 31 : 10 – 31 ini mesti dipandang sebagai lambang istri atau perempuan Israel ideal yang tidak hanya berhikmat namun juga takut akan Tuhan dan dengan itulah hikmat yang teologis itu telah dipersonifikasikan sebagai bentuk pengajaran moral yang seharusnya dipedomani tidak hanya oleh kaum muda namun juga seluruh umat Israel pada masa itu (2010 : 25).
Untuk mengerti lebih dalam tentang kaitan antara hikmat yang dipersonifikasikan dalam pasal 31 : 1 – 10 dan konteks barunya yang dibuat dalam Amsal 1 – 9 maka perlu juga untuk menelisik lebih mendalam. Dell yang dalam buku editannya terhadap tulisan Estes membahas secara khusus tentang Pasal 1-9 dari Amsal ini disebut sebagai “Dongeng tentang dua perempuan” karena menampilkan dua kontras antara dua perempuan yaitu perempuan bijaksana dan perempuan asing. Keduanya sama-sama memanggil orang muda namun dengan tujuan yang berbeda. Anehnya, Amsal justru menampilkan riwayat “perempuan asing” lebih banyak dari pada “perempuan bijaksana”. Secara leksikal, “perempuan asing” ini memiliki beberapa pendekatan arti, antaralain: perempuan liar, perempuan yang najis atau tidak suci, perempuan yang berasal dari etnis di luar Israel, perempuan pezinah yang sudah tidak setia pada pernikahannya. Dari pengertian ini dilihat bahwa ada beberapa makna yang muncul menunjukkan perbedaan arti. Karena itu secara semantik masih perlu diteliti siapa sebenarnya perempuan ini dalam konteks aslinya dan mengapa ia sepertinya telah menjadi masalah tersendiri bagi komunitas Israel. Para ahlipun masih menunjukkan kesimpangsiuran tentang siapa sesungguhnya orang ini.
“Perempuan asing” ini bagaimanapun juga memiliki karakteristik yang berbanding terbalik dari “perempuan bijaksana” baik dari gambaran tentang kepribadiannya, cara mereka bertutur kata, bertindak, bersikap walaupun gaya berbusana dan target mereka sama, demikian kata Stallman seperti dikutip Estes. “Perempuan asing” menolak segala jenis norma yang berlaku dalam masyarakat bahkan membawa orang yang mengikutinya kepada bahaya  kemiskinan, aib, dan kebinasaan. Perempuan ini dianggap sebagai jerat, racun, ataupun penyesat. Tidak hanya berbanding terbalik dengan “perempuan bijaksana”, ia juga berbanding terbalik dengan “pengajaran hikmat” dan juga dengan “TUHAN”. Semua ini terlihat dari hasilnya akhirnya,  “perempuan asing” membawa kepada kematian tapi “perempuan bijaksana, Kitab Hikmat dan TUHAN” menghantar kepada “Kehidupan”,  kepada Tuhan sendiri. Dari gambaran tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa “perempuan asing” ini merupakan “bahaya” bagi Israel, siapapun dia. Bisa jadi dia “perempuan” dalam arti sebenarnya atau hanya sekedar personifikasi untuk sesuatu yang membahayakan iman atau kepercayaan di Israel. Estes memberikan penilaiannya terhadap para ahli tentang siapa “sebenarnya” perempuan yang dimaksud dalam Amsal 1-9.
Banyak pakar PL memberi evaluasinya tentang hakikat dari “asing” dalam Amsal 1-9. Fox mengambil beberapa evaluasi tentang idiom ini. Ia mengajukan ide bahwa “perempuan asing” yang dimaksud adalah perempuan sundal yang berasal dari luar suku Israel, atau istri yang berbeda suku beberapa saat setelah pembuangan. Namun pendapat ini kemudian dikritisi karena ide ini tidak dapat menjelaskan alasan mengapa idiom ini jadi begitu berlawanan dengan idiom “bijaksana” dan TUHAN sendiri. Selain itu ditilik dari katanya, menurut Banner, issah zarah yang digunakan dalam Amsal terjadi pada pertengahan abad kelima sebelum masehi. Berdasarkan pikiran Clifford dan Bostrom, idiom ‘asing’ di sini mengarah kepada ‘ilah-ilah asing’ yang dapat membawa pengaruh buruk bagi Israel. Setiap orang yang mengikuti perempuan ini, akan terjebak dalam penyembahan yang ia bawa. Menurut Snijers perempuan ini adalah orang yang hidup terpisah dari kesalehan atau berada di luar komunitas sosial Israel. Toorn mengatakan bahwa perempuan ini menjadi ‘asing’ bukan karena suku namun karena aktifitas seksualnya yang menyimpang.  Apapun itu, Fox dan Washington menyimpulkan bahwa perempuan ini bukan pelacur namun seorang pezinah dan ia berperan dalan menggagalkan orang-orang muda kepada jalan kebijaksanaan. Mereka berdua menolak penafsiran alegori dalam interpretasinya tentang hal ini namun terlalu berat sebelah dalam pembahasannya tentang ‘perempuan asing’ dan agaknya telah mengabaikan ‘perempuan bijaksana’.
Jika dipandang sebagai puisi, Amsal 1-9 ini merupakan karya yang menarik. Namun tidak semua orang dari membawa sebuah karya seni ini dalam cara yang benar sehingga menghasilkan kesalahpahaman. Karya seni berupa puisi, sajak, lirik lagu, pantun, penuh dengan gambaran, idiom, pencitraan. Dan dalam sebuah karya, penggunaan kata-kata apapun sah-sah saja dan bermakna konotasi, sehingga tidak dapat diterjemahkan langsung secara harfiah layaknya sebuah buku laporan. Dan tulisan tentang ‘perempuan asing’ dalam Amsal 1-9 inipun tidak dapat dipandang negatif sepenuhnya jika dinilai dari sisi seni.
Dari sisi etika, kedua perempuan ini memang ditampilkan sebagai secara metofora dan berlawanan satu sama lain. Namun sebenarnya, teks ini ditujukan secara etis kepada semua orang bukan hanya sebagian orang saja. Istilah “perempuan bijaksana” dipakai secara etis mewakili kebijaksanaan yang diatur berlawanan dengan gambaran kebodohan yang ditampilkan oleh “perempuan asing”. Sisi etisnya diekspresikan melalui praktik kehidupan yang benar atau jahat. Jadi bukti nyata dari kebijaksanaan adalah kebenaran dan sebaliknya kebodohan dimanifestasikan dengan kejahatan. Lebih dari itu, pada prinsipnya, secara etis seseorang menjadi bijaksana adalah karena ia takut akan Tuhan (Amsal 1:7) begitu sebaliknya. Banyak orang menyatakan bahwa dasar etika PL adalah ketaatan kepada Allah. Yang lain menyatakan bahwa dasar etika PL adalah menjadi serupa dengan Allah. Seseorang dikatakan jahat karena dia tidak mau bertindak seperti Allah, ia mau melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya sendiri. Kedua orang perempuan dalam teks ini mengasihi dan setia kepada pria muda. Dengan bujukan atau rayuannya mereka mengajak pria muda untuk berhubungan dengan mereka, hanya bedanya, ajakan untuk berhubungan seks di luar pernikahan yang membuat salah satu perempuan dianggap asing.   Estes memberi kesimpulan pada artikelnya bahwa Amsal 1-9 bukan hanya sekedar “Dongeng tentang Dua Perempuan” melainkan cerita tentang sistem etika yang tergambar melalui kedua perempuan ini. Lalu apa yang membuat perempuan lain terkesan ‘asing atau aneh atau jalang’? Kebodohannya ini terdapat pada keteguhannya untuk tetap berdiri sendiri dengan menolak Allah sebagai dasar kehidupan etis. (2010 : 152 – 168).
Selain itu, beberapa ahli juga mengkaitkan tokoh perempuan atau istri yang cakap dalam teks ini dengat Rut[16] berdasarkan teks Rut 3 : 11. Rut dikatakan sebagai eshet – chayil sebatas norma pergaulan. Sebutan ini merupakan sebutan yang diberikan Boas atas prestasi susila yang dicapai oleh Rut. Ia mampu menjaga pergaulannya dan tidak menggunakan status “janda mudanya” yang tentu dipenuhi birahi pada laki – laki untuk mengejar banyak lelaki muda. Rut justru lebih memilih mengikuti kata – kata ibu mertuanya yang didasari pada tradisi Israel kuno dengan mendekati seorang penebus dari kaum kerabat mereka untuk melanjutkan silsilah suaminya yang meninggal yang dalam hal ini adalah Boas. Hal yang dilakukan oleh Rut ini memang merupakan hal yang tidak umum pada masa itu, inipun diakui oleh Boas sendiri. Rut tidak mengejar – ngejar orang – orang muda baik miskin atau kaya karena keinginan seksualnya. Karena itulah Rut layak mendapat pujian dari Boas. Fenomena para janda muda ini juga yang menggelisahkan Paulus dalam hal pembagian diakonia, dikarenakan gairah dan atau nafsu birahi mereka (I Tim 5 : 11, 14). Rut memang istri dari Boas yang kaya raya dan menjadi perempuan penerus silsilah Adam sampai ke garis silsilah Yesus. Boas juga digambarkan sebagai sosok pria yang terhormat. Ia adalah orang yang terlibat dalam tata peradilan di gerbang dan seorang yang kaya raya, mirip dengan yang digambarkan dengan suami dari eshet – chayil dalam Amsal 31 : 10 – 31. Namun demikian, hal ini tidak lantas menjadi pentunjuk bahwa Rut adalah eshet – chayil yang dimaksud atau telah memenuhi kriteria itu.
Hal ini bisa dijelaskan dengan beberapa pernyataan berikut; Pertama, dilihat dari masa penulisannya sendiri, kitab Rut baru ditulis pada masa pasca pembuangan. Amsal 31 : 10 – 31 yang berasal dari masa sebelum pembuangan ini justru berusia lebih tua dari kitab Rut. Jadi penulis Rut justru memakai idiom eshet – chayil dengan segala karakteristiknya dalam Amsal 31 : 10 – 31 untuk menggambarkan sosok Rut dalam pandangan Boas agar Rut bisa diterima sebagai nenek raja Daud, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang – orang Yahudi pada masa pembuangan. Bahwa memang pada masa pasca pembuangan, ada orang – orang yang tertarik untuk menulis tentang pengalaman Rut dan Boas ini untuk kepentingan tertentu. Bisa jadi tulisan asli berasal dari kelompok penulis Tawarikh Raja – raja yang melakukan penyelidikan terhadap silsilah keluarga raja Daud atau dinasti Daud. Lalu ditemukan bahwa nenek dari raja Daud ternyata bukanlah orang asli Yahudi sementara masa itu masih merupakan masa di mana kemurnian darah diperlukan. Fakta ini tentu sulit diterima oleh orang – orang pada masa itu dan pada masa penulisan kitab Rut yaitu pasca pembuangan. Tawarikh asli disaring lagi untuk kepentingan tertentu melalui garis silsilah sehingga menjadi kitab Rut dengan tujuan kritik terhadap ekslusivisme Israel. Pembahasaan Rut sebagai eshet – chayil yang digunakan oleh penulis Rut pada masa pasca pembuangan ini ditujukan untuk membuka jalan agar Rut dapat diterima sebagai nenek dari raja Daud dan kelonggaran bagi sikap esklusivisme dan fanatisme sempit Yahudi masa itu bahwa orang asing seperti Rut pun dapat memenuhi kriteria perempuan berhikmat di Israel.
Kedua, kitab Rut ditujukan sebagai kritik terhadap sikap ekslusivisme dan fanatisme Yahudi (Wahono, 2011 : 262 – 263). Pada masa ini, bangsa Israel yang baru pulang dari pembuangan membangun kembali kehidupan mereka di Yehuda. Mereka dengan kuat menekankan kepada keistimewaan mereka sebagai umat pilihan Allah. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya esklusivisme di Israel. Ekslusivisme ini dikemudian hari justru menjadi masalah baru berupa ketertutupan ketat terhadap budaya sekitar mereka sampai kepada perihal kawin campur. Hal ini diberlakukan tidak hanya bagi orang asing namun juga bagi orang Israel sendiri yang dianggap asing karena ketidakmampuan mereka untuk membuktikan keyahudiannya dan masalah ketidakmampuan berbahasa Ibrani (Snell, 2012 : 229). Karena itu lahirlah penulis – penulis yang memandang negatif terhadap ketertutupan ini (Hinson, 2012 : 223 – 232).  Kitab Rut hadir untuk menentang upaya kawin campur dan mendesak agar orang – orang asing seperti Rut dapat berpartisipasi dalam kehidupan dan keagamaan Yahudi (Vriezen, 2013 : 286). Dan jalan paling memungkinkan untuk hal ini adalah dengan pendekatan silsilah. Namun tulisan yang dibuat dalam kitab Ruth ini bersifat naratif dan ada batasan kuat antara tulisan naratif dan  hikmat. Bisa jadi memang Rut dimasukkan dalam kategori eshet – chayil,  namun dalam makna denotasi bukan konotasi, dan karena kepentingan tertentu. Hal ini akan berbeda artinya dengan eshet – chayil dalam Amsal 31 : 10 – 31. 
Dengan demikian, tidak lain bahwa eshet – chayil dalam teks ini tetaplah personifikasi dari hikmat. Dalam teks Amsal 31 : 10 – 21, seperti gambaran kebanyakan ahli lain dijelaskan kerangka ideal seorang perempuan pada masa Palestina jauh sebelum revolusi industri. Seperti kata Simanungkalit, personifikasi hikmat ini tidak saja merupakan deskripsi hikmat sejati dan ilahi tetapi juga simbol perempuan berhikmat dan beriman (2010: 29 – 30). Dan juga pendapat Martin Harun bahwa perempuan yang dimaksud di sini adalah Nyonya Hikmat yang sejak awal Amsal sudah disinggung. Bagian ini dijadikan penutup Amsal untuk memberi kesimpulan tentang peran dan pekerjaan hikmat dalam dunia. Dan kunci hikmat itu adalah takut akan Allah (2010 : 51 – 55).

Tradisi Hikmat Sebelum Masa Pembuangan
            Perempuan dalam teks ini berasal dari kalangan berada, karena itu, ia tidak hanya berperan sebagai seorang ibu rumah tangga namun juga seorang wiraswasta serta pemerhati sosial. Para perempuan dari kalangan atas pada masa itu memang terbiasa melakukan kegiatan – kegiatan seperti yang terdapat dalam teks ini. Hanya perempuan ini sedikit berbeda dan atau spesial. Menurut Harun, pada masa penggubahan syair, perempuan – perempuan kalangan atas mengembangkan ekonomi rumah tangga dengan industri pakaian dengan memperkerjakan putri – putri lain dalam industri rumah tangga mereka. Dia bukanlah kaum perempuan golongan atas pada umumnya karena dia juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum golongan rendah. Dan yang lebih utama dari semua itu adalah karena perempuan ini takut akan Tuhan (2010 : 51 – 52). Selain itu menurut Van Leeuwen sebagai mana diedit oleh Clifford, di dunia Timur Tengah kuno, industri tekstil merupakan kriteria utama perempuan berhikmat. Seni tenun dan memintal ini diperkenalkan sendiri oleh Enki, sang dewa hikmat dalam dunia Timur Tengah kuno, ketika ia memberi pakaian kepada dewi Uttu. Dan bagi bangsa Israel, upaya penenunan dinding untuk kemah suci pun dilakukan oleh perempuan. Seni memintal atau menenun merupakan gambaran seni perempuan yang sempurna pada masa itu (2007 : 85). Karena itu, hikmat dipersonifikasi dengan sosok perempuan sempurna seperti ini.  
            Tradisi hikmat pada masa pra pembuangan tidak menaruh arti lebih pada personifikasinya karena hikmat pada masa itu lebih banyak bersifat praktis dan berlaku umum di dunia internasional (Harun, 2010 : 5). Kebanyakan isi tradisi hikmat Israel memiliki kemiripan dengan hikmat Mesir yang ditulis oleh Amen – Emope dengan tradisi hikmat Mesopotamia kuno seperti Sumeria dan Babel. Orang – orang Mesopotamia kuno sejak lama berusaha menemukan hukum yang berlaku umum dalam kehidupan dunia dengan cara memantau dunia dan kehidupan sosialnya. Dari sini orang – orang berhikmat mengerti bahwa umumnya, dunia mengikuti hukum sebab akibat. Umumnya mereka percaya bahwa hikmat ini juga bersifat ilahi, berasal dari ilah – ilah sembahan mereka. Dalam  perkembangannya, ini juga yang kemungkinan menjadi akar masalah ketika ternyata dalam realitas hidup, hukum sebab – akibat tidak dapat berlaku menyeluruh sehingga satu – satunya oknum yang pantas dipersalahkan adalah ilah – ilah.
            Di Mesir sejak abad ke – 3 sM kata – kata hikmat telah dipelihara dengan baik. Hikmat itu berasal dari hasil pembelajaran praktis terhadap pengalaman hidup di dunia  dan hubungan sosial maupun norma yang berlaku umum dalam masyarakat. Di Mesir, gagasan hikmat mereka didasari oleh tata tertib kosmis. Dewi Maat merupakan anak dari dewa Re merupakan perlambangan dari kebenaran, keadilan, tata tertib dalam kosmos dan masyarakat. Orang bijaksana harus bertindak seperti Maat agar mereka berhasil dalam hidupnya begitu sebaliknya. Di Mesir sendiri, menurut Harun, tradisi kebijaksanaan berkaitan erat dengan lingkungan istana. Dan cara ini sepertinya telah berpengaruh besar dalam tradisi hikmat Israel yang berakar dalam lingkungan istana (2010 : 7).
            Di  Israel, sastra hikmat bertolak dari pengalaman hidup manusia secara umum. Bahkan pada masa pra – aksara, sepertinya sudah ada ungkapan – ungkapan hikmat. Umumnya, bentuknya satu baris, berisi pernyataan pengalaman namun bersifat persuasif. Isi kalimat hikmat ini umumnya bersifat sosial – ekonomis dan berlaku umum dalam masyarakat Israel kuno. Setelah masa aksara, kata – kata hikmat ini mulai dibukukan dan sifatnya menjadi lebih kompleks. Hikmat Israel selalu memiliki kaitan dengan Allah namun dalam pemahaman berbeda. Dalam hikmat, Allah dipahami sebagai pemberi kemampuan dan menetapkan batas – batas manusia. Allah adalah Allah yang terlibat dalam realitas hidup mereka sehari – hari, menjadi penjaga kebenaran dan menghukum yang fasik. Sementara manusia adalah makhluk yang terbatas sehingga mereka perlu bergantung sepenuhnya pada Allah. Manusia dalam keterbatasannya harus takut akan Allah yang adalah sumber hikmat dan atau permulaan hikmat. Takut akan Allah merupakan ciri kuat hikmat Israel yang mula – mula. Namun demikian, pandangan tentang Allah dalam hikmat Israel dan bangsa – bangsa lain tidak terdiferensiasi dengan baik (Harun, 2010 : 8 – 10).

Tradisi Hikmat Pada Masa Sesudah  Pembuangan
Pemakaian personifikasi Eshet – Chayil ini menjadi marak pada masa sesudah pembuangan karena konteks yang menyertainya  pada masa itu. Masa ketika kajian hikmat Yahudi ini begitu diminati tumbuh bersamaan dengan gelombang besar filsafat Hellenis. Kemungkinan kitab – kitab hikmat ini, termasuk Amsal 1 – 9, yang meneruskan tradisi dari Amsal 31 : 10 – 31 merupakan reaksi para guru hikmat terhadap arus hikmat masa itu dalam rangka mempertahankan kemurnian hikmat Israel. Teks aslinya memang sudah ada pada masa sebelum pembuangan karena itu corak budaya yang muncul juga berasal dari masa sebelum pembuangan. Namun tidak memperoleh perhatian sepenuhnya karena hikmat Israel belum menemui tantangan serta pemurnian seperti yang terjadi pada masa pasca pembuangan. Seperti kata Harun, dimensi religius hikmat Israel justru bertambah kuat sesudah masa pembuangan (2010 : 10).
Simanungkalit mengidentifikasikan penggunaan idiom “perempuan bijaksana atau nyonya hikmat atau guru perempuan” dan memperbandingkannya dengan “perempuan asing atau jalang”  dalam Amsal 1 – 9 dikarenakan konteks yang mempengaruhinya saat itu. Hikmat sejati dan ilahi serta figur perempuan berhikmat amat dibutuhkan pada masa sesudah pembuangan (2010 : 29 – 30) karena ciri khas pergaulan masa itu. Bagi Simanungkali, ada pergeseran situasi antara masa sebelum dan sesudah pembuangan yang mempengaruhi proses penulisan hikmat antara dua masa ini (2010 : 45 – 51). Pada masa sesudah pembuangan, norma pergaulan laki – laki dan perempuan diwarnai juga dengan kehadiran banyak perempuan tuna susila. Sehingga lebih mudah juga untuk memakai idiom ini sebagai bahan personifikasi hikmat. Sumber aslinya sudah ada dalam Amsal 31 : 10 – 31 dan kemudian dilanjutkan serta atau direvisi kembali pada masa sesudah pembuangan.

Kesimpulan
            Perempuan yang digambarkan dalam teks Amsal 31 : 10 – 31 merupakan gambaran seorang wanita ideal, sempurna, dan jarang sekali atau hampir mustahil untuk ditemukan. Semua karakteristik yang digambarkan oleh penyair merupakan karakteristik sosok perempuan sempurna sehingga layak untuk menjadi personifikasi hikmat. Karakteristik perempuan ini sepertinya hanya reka – reka penyair saja yang mencoba untuk mempersonakan hikmat.
Memang ada catatan tentang Rut dalam Alkitab yang disebut orang sebagai Eshet – Chayil dalam Rut 3 : 11, namun iapun bukan sepenuhnya kriteria seorang Eshet – Chayil tepat seperti yang digambarkan oleh Amsal. Konteks Amsal 31 : 10 – 31 sepertinya tidak ada koneksi sama sekali dengan kisah Rut. Justru penulis Rut-lah sepertinya telah dengan sengaja memakai konsep eshet – chayil ini untuk menggambarkan pribadi Rut agar orang - orang asing yang pada masa pembuangan dihindari dengan alasan pemurnian Yahudi dapat diterima.
Konsep chayil dalam Amsal ini lebih mengarah kepada multi – kemampuan si perempuan. Tidak hanya memiliki kemampuan multitasking, ia juga adalah seorang yang multiacting. Perempuan ini mengelola dengan baik segenap energi yang ada dalam dirinya untuk melakukan segala tindakan positif. Menurut Harris, energi dan kemampuan besar yang ia miliki ini berasal juga dari tubuhnya yang sehat. Sistem otaknya berkoordinasi dengan baik dengan semua organ tubuh dan ototnya sehingga semua bagian tubuhnya seimbang. Antara energi yang dikeluarkan untuk berpikir dan bertindak seimbang (782). Lebih dari itu, dari hati, ia memiliki belas kasih terhadap sesamanya. Jadi energi besar yang ia miliki ia gunakan dengan hikmat dan dalam kasih.   Semua kemampuan ini bersumber dari satu hal penting yaitu takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan membuat perempuan ini seimbang dalam berbagai hal. Ia cerdas secara kognitif, afektif dan psikomotorik; secara intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga kecerdasan ini dipersonakan oleh penyair dalam diri seorang perempuan yaitu eshet – chayil.

Bab III
Penutup
Ada banyak personifikasi dalam PL. Namun khusus sastra hikmat, hikmat tidak hanya digambarkan namun diberi peran dan karakter oknum yang hidup. Bagi Simanungkalit, gambaran hikmat dibutuhkan sebagai deskripsi hikmat sejati dan ilahi serta sebagai simbol Israel yang berhikmat (2010 : 51). Dalam Amsal, hikmat digambarkan sebagai seorang perempuan. Perempuan ini digambarkan sebagai guru yang menegur dengan tegas, membujuk dengan janji yang mengikat dan mempersiapkan jamuan pesta. 
            Dalam PL, hikmat bukanlah merupakan hal yang sukar atau misteri besar yang tidak terselidiki oleh manusia. Menurut McCreesch sebagaimana dikutip Farmer, hikmat merupakan hal yang praktis, kekinian, mengarahkan manusia kepada iman dan kesetiaan pada kehidupan yang sesuai dengan apa yang mereka pilih (1991 : 127). Karena itulah hikmat dapat dipersonifikasikan oleh berbagai macam fenomena kehidupan yang dekat dengan manusia seperti nabi (Amsal 1 : 20), anak kesayangan (8 : 30), penasihat raja (8 : 15), seorang penyayang (4 : 6 – 9 ; 8 : 17, 21), seorang istri ( 31 : 10) dan ibu (8 : 32). Hikmat dipersonifikasikan sebagai seorang perempuan yang membangun rumahnya dan mengisinya dengan harta benda, mempersiapkan makanan, dan mengundang para tamu untuk hadir dalam jamuan yang ia siapkan (9 : 1 ; 14 : 1 ; 24: 3 – 4). Hikmat digambarkan sebagai seorang perempuan yang kuat dan mampu menjamin keamanan bagi mereka yang percaya kepadanya (Farmer, 1991  : 126).
Hikmat seringkali dipersonifikasikan dengan seorang wanita mungkin karena pengertian asli kata yang digunakan untuk menggambarkan tentang hikmat itu sendiri. Dalam Amsal, hikmat pada gambaran penciptaan adalah perempuan bijak yang mendampingi Allah saat menciptakan bumi (heqet; bentuknya feminim). Perempuan ini senang dengan kreasi Allah dalam hikmat, senang dengan hasil kreasi tersebut dan senang tinggal di antara manusia yang mencari dia. Memiliki hikmat merupakan perkara hidup dan mati. Apapun, di manapun, kapanpun, bagaimanapun, jika ingin hidup bahagia dan sukses, seseorang memerlukan hikmat. Hikmat juga menggambarkan seorang perempuan yang membuka rumah makan dan mengundang semua orarng yang belum berpengalaman dan berakal budi untuk hadir di sana. Menu yang ditawarkan adalah makanan dan minuman yang memberantas kebodohan dan memberikan hidup. Kata yang digunakan untuk ini adalah hokmah berbentuk feminim. Hikmat dalam hal ini bertindak aktif mencari manusia yang penuh kebodohan, mencintai manusia dengan penuh kasih sayang (Harun, 2010 : 32).  
            Bagi Draper, “perempuan atau istri yang cakap” dalam teks ini merupakan figur wanita yang sempurna, bahagia dan takut akan Allah. Kesempurnaan yang digambarkan dalam teks ini menjadikannya pantas sebagai personifikasi dari segala macam kebajikan dan kekuatan hikmat seperti gambaran Amsal (1977 : 147). Si penyair  Amsal ini mencoba untuk sedemikian rupa menggambarkan satu sosok ideal yang perlu menjadi sasaran semua orang. Perempuan dalam teks ini menjadi contoh sempurna perwujudan manusiawi dari hikmat Allah; hikmat dipersonifikasi sebagai sosok Perempuan bernama Hikmat dalam darah dan daging (Longman, 2007 : 182 – 183).
            Hikmat dipersonifikasikan untuk membuang pandangan tentang betapa sulitnya untuk mendapatkan hikmat itu sendiri. Hikmat dalam pandangan Amsal bukan merupakan sesuatu yang penuh misteri dan transenden. Hikmat itu sederhana, praktis dan nyata layaknya seorang perempuan cakap yang ada di dalam rumah.







DAFTAR  KEPUSTAKAAN
Alden, Robert. L.
2002    Tafsiran Praktis Kitab Amsal : Ajaran untuk Memiliki Kehidupan Teratur dan Bahagia. Malang : SAAT.
Blommendal , J.
2012    Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Clifford, Richard J et al.
              2007  Symposium : Wisdom Literature In Mesopotamia and Israel. Atlanta : Society of Biblical Literature.
Crusemann, Frank.
              1996  The Torah: Theology and Social History of Old Testament Law. Minneapolis : Fortress Press.
Draper, James T.
              1977  Proverbs : The Secret of Beautiful Living. Illinois : Tyndale House Publisher.
Delitzsch, Franz.
-          Biblical Commentary on the Proverbs of Solomon. Michigan : WB. B. Eerdmans Publishing Company.
Dell, Katharine.
2010    Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. New York : T&t Clark.
Farmer, Kathleen A.
              1991  Who Knows What Is Good? A Commentary on the Books of Proverbs and Ecclesiastes. Grand Rapids : WM. B. Eerdmans Publishing.
Groenen, C.
              1992  Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta : Kanisius.
Harris. W.
-          The Preacher’s Cmplete Homiletic Commentary on The Book of the Proverbs. Michigan : Baker Book House.

Harun, Martin.
2010    Marilah, Makanlah Hidanganku : Hikmah Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkhotbah. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.
Hinson, David.
              2012 Sejarah Israel pada Zaman Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Karman, Yongki.
2007    Eshet Hayil Dalam Forum Biblika : Jurnal Ilmiah Popular No 22 Tahun 2007. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia.
Karman, Yonki.
1999    Puisi dan Retorika Ibrani dalam Forum Biblika : Jurnal Ilmiah Popular No 9 tahun 1999. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia.
Lane, Eric.
            2000    Proverbs: Everyday Wisdom for Everyone. Great Britain : Christian Focus.
Lasor, W.S. et.al.
              2013  Pengantar Perjanjian Lama 2 : Sastra dan Nubuat. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Longman, Tremper III.
              2007  Hikmat dan Hidup Sukses : Panduan untuk Memperoleh Manfaat dari Kitab Amsal. Jakarta : Persekutuan Pembaca Alkitab.
Ludji, Barnabas.
              2009  Pemahaman Dasar Teologi Perjanjian Lama 2. Bandung : Bina Media Informasi.
Preuss, Horst Dietrich.
            1995    Old Testament Theeology. Scotland : T & T Clark
Rogerson, John, Ed all.
2004    Theory and Practice In Old Testament Ethics. T&t Clark: New York.
Simanungkalit, Risnawaty.
2010    Hikmat Dalam Amsal dalam Perkembangan Tradisi Hikmat Dalam Alkitab. Klender : Simposium Nasional V ISBI.


Snell, Daniel C.
2012    Kehidupan Di Timur Tengah Kuno 3100 – 332 SM. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Vreiezen, TH. C.
            2013    Agama Israel Kuno. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wahono, Wismohady A.
2013    Di Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.





[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM 140101
[2] Simanungkalit mengutip Harvis dengan menyatakan bahwa hanya Amsal 1 : 1 – 7 atau  1 – 2 yang merupakan bagian pendahuluan dari kitab Amsal  (2010 : 15).
[3] Pernyataan yang cukup aneh dari Simanungkalit. Nama Salomo digunakan sebagai indikator otoritas Ilahi dalam karangan Amsal. Jika pendapat yang muncul untuk penggunaan nama ini karena popularitas dan otoritas Salomo sebagai orang paling berhikmat pada masanya sehingga memungkinkan karangan ini dapat diterima luas, mungkin akan lebih diterima. Digunakan atau tidaknya nama Salomo dalam kitab Amsal tidak serta merta mengindikasikan bahwa tulisan itu adalah firman Allah.
[4] Ditambah dengan dan 1 : 20 – 33; 8 : 1 – 36;  akan dimasukkan dalam kolom khusus tentang Hikmat dan personifikasinya.
[5] Amsal 12 : 4; 31 : 10 ; Rut 3 : 11
[6] Dalam KJV digunakan frasa virtuous woman, dalam versi NIV frasa A wife of noble character  dan dalam ESV digunakan frasa An excellent wife.
[7] Pengertian ini digunakan untuk menjelaskan sifat Rut dalam pergaulannya dengan laki – laki (Rut 3 : 11). Ia dikatakan sebagai perempuan baik karena ia tidak mengejar laki – laki yang lebih muda darinya. Ia juga tidak memanfaatkan statusnya sebagai janda muda pada umumnya yang mampu menjerat banyak laki – laki. Jadi ini berkaitan dengan etika bergaul Rut dan statusnya.
[8] ESV :  She is far more precious than jewels, NIV : She is worth far more than rubies, KJV: For her price is far above rubies.
[9] KJV : The heart of her husband doth safrely trust in her, NIV: Her husband has full confidence, ESV: The heart of her husband trus in her.
[10] KJV : so that he shall have no need of spoil, NIV: Lacks nothing of value, ESV: And he will have no lack of gain.
[11] TB : Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. KJV: She will do him good and not evil all the days of her life. NIV: She brings him good, not harm, all the days of her life.
[12] TB : Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. KJV: She seeketh wool, and flax, and workhet willingly with her hands. NIV : She selects wool and flax and works with eager hands.
[13] Scarlet atau Crimson
[14] TB : Ia membuat bagi dirinya permadani; KJV: Shee maketh herself coverings of tapestry; NIV: She makes coverings for her bed; ada yang menterjemahkannya dengan “pillows”.
[15] Versi TB LAI. NIV : Her husband is respected at the city gate, where he takes his seat among the elderrs of the land.
 [16] Yongki Karman, Alden, dll.

1 komentar: