Upaya
Identifikasi Terhadap “Eshet – Chayil”
dalam Amsal 31 : 10 – 31
Melalui
Eksposisi Kitab Amsal
Abstract
As a part of Wisdom
Literature, Proverbs close their paper with wisdom conclusion. But there
are many kind of interpretation about idiom eshet – chayil in Old Testament scholars
world. This paper is not the way out or
the best formula to solve the problem of interpretation about eshet – chayil.
It’s only a simple effort to identification the eshet – chayil.
Bab I
Pendahuluan
Setiap
orang memiliki kriteria masing – masing dalam hal apapun dihidupnya. Kriteria ini
secara garis besar sama meski muncul dalam bentuk penyataan yang berbeda,
setiap orang sepertinya telah sepakat untuk memilih yang baik. Ada gambaran
ideal yang menjadi patokan seseorang untuk memilih meski pada akhirnya tidak
ada satu hal pun yang tetap seperti yang digambarkan.
Latar Belakang Penulisan
Tidak semua orang mengerti dan
memahami dengan baik makna kiasan di balik sebuah tulisan kitab Hikmat.
Akibatnya, sering terjadi salah tafsir terhadap bagian kitab suci. Hal ini
dapat dikatakan wajar karena tidak semua orang mampu memilah, menjelaskan latar
belakang dan konteks penulisan kitab. Belum lagi penggunaan kata – kata dan
penyusunan kata – kata dalam kitab hikmat cukup rumit.
Salah satu tema yang paling banyak
ditafsirkan kurang tepat adalah bagian kitab Amsal 31 : 10 – 31 adalah “Istri
yang cakap”. Istri yang cakap ini sepertinya telah menjadi gambaran fenomenal
dan ideal tentang figur seorang perempuan idaman para pria untuk dijadikan
istri dan menjadi standar setiap perempuan Kristen untuk menjadi istri yang
baik berdasarkan Alkitab.
Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan konsentrasi 3 yang disiapkan oleh dosen pembimbing. Lebih dari
itu, makalah ini berupaya untuk menemukan makna asli di balik fenomena
keberadaan “istri yang cakap” seperti yang
disebutkan dalam kitab Amsal dan diidam – idamkan oleh hampir setiap
orang tua dan para lelaki dewasa sekaligus tuntutan bertingkah laku bagi para
perempuan.
Sistematika Penulisan
Makalah ini berisi tiga bab yang
terdiri dari bagian pendahuluan, isi dan penutup. Bagian pendahuluan akan
menggambarkan secara singkat latar belakang, tujuan dan garis besar makalah
ini. Bagian isi akan menguraikan eskposisi Amsal dan pandangan berbagai ahli
tentang konsep “Istri yang cakap” seperti yang digambarkan dalam Amsal 31 : 10
– 31. Bagian akhir akan disertai kesimpulan sekaligus penutup dari makalah ini.
Bab II
Dalam
bagian ini akan dimuat pembahasan tentang pengantar kitab Amsal secara singkat,
pemahaman hikmat menurut Amsal dan tafsir terhadap “Eshet Khayil” dalam Amsal
seperti yang diangkat dalam Amsal 31 : 10 – 31.
Isi
Kitab Amsal Secara Umum
Kitab
Amsal merupakan salah satu dari kitab Kebijaksanaan PL. Berasal dari kata masyal yang artinya “menyerupai” atau
“dibandingkan dengan” (Lasor, 2013 :89). Dan kebanyakan ahli PL sepakat bahwa Amsal
merupakan kumpulan sastra yang mewakili hikmat tradisional. Terdapat banyak
penggunaan gaya bahasa sastra dalam kitab ini seperti perbandingan,
pertentangan, pertautan, dll. Menurut Harun, kitab ini merupakan koleksi
pepatah atau peribahasa yang berisi nasihat – nasihat dan aturan dalam
bertingkahlaku. Kitab ini tidak berisi banyak perintah melainkan sebuah usaha
persuasif agar orang hidup pada suatu cara tertentu (2010 : 17).
Unsur
Intrinsik Amsal
Penulis
Kitab Amsal
Amsal 1 : 1 menyebutkan nama Salomo
sebagai penulis kitab Amsal. Namun hasil penelitian kritis menunjukkan bahwa
kitab ini justru ditulis dari berbagai zaman yang berbeda dan ditulis oleh
penulis yang berbeda pula. Menurut Blommendal, ada kemungkinan bahwa Amsal 10
dst ditulis oleh Salomo atau berasal dari masa Salomo. Salomo pernah terlibat
pernikahan dengan putri Mesir dan pernah mengarang tiga ribu Amsal, jadi ada
kemungkinan besar dari sini jugalah pengaruh hikmat Mesir dalam Amsal itu
muncul (2012 : 154).
Latar
Penulisan
Sumber – sumber tulisan hikmat dari
kitab Amsal ini sepertinya telah ada sejak Israel kuno namun baru dibukukan
seluruhnya pada masa sesudah pembuangan di Babel sekitar 5 – 4 SM. Menurut
Ludji, terdapat perkembangan dan keanekaragaman dalam tradisi Amsal yang
menunjukkan bahwa sebelum dibukukan, kitab ini telah melewati proses panjang
(2009 : 193 – 194). Perkembangan ini menurut Whybray sebagaimana dikutip Harun
adalah karena kedua koleksi besar komponen Amsal yaitu Amsal – amsal Salomo (10
: 1 dan 25 : 1) dan perkataan – perkataan orang bijak – Agur – Lemuel (22 : 17;
30 : 1 ; 31 : 1) baru dilengkapi dengan kata – kata hikmat dari luar Israel dan
diedit sedemikian rupa sehingga jadilah kitab Amsal seperti saat ini (2010 :
21). Menurut Simanungkalit, ada beberapa materi seperti Amsal 31 : 10 – 31 yang
sebenarnya mengindikasikan kehidupan sebelum masa pembuangan namu kemudian
bentuknya diedit sedemikian rupa secara akrostik pada masa sesudah pembuangan.
Materi – materi yang sebenarnya sudah lama ada diedit dan ditambahi dengan
muatan teologis, gaya bahasa, digabungkan dengan materi lain yang sejenis
kemudian diedit ulang sampai kitab Amsal itu sendiri jadi (2010 : 6 – 7).
Penokohan
Ada beberapa nama dan atau sebutan
penting yang digunakan dalam kitab ini, nama – nama itu antara lain; pertama, Salomo. Editor Amsal
menggunakan nama Salomo dalam tulisannya dengan tujuan memperkuat kapabilitas
kitab ini sebagai kitab hikmat. Kedua, orang
– orang bijak. Orang – orang ini tidak dituliskan namanya namun tulisan mereka
tercatat dalam beberapa bagian kitab Amsal. Bisa jadi mereka adalah kaum
aristokrat dan pegawai – pegawai penting pada masa kerajaan yang dikategorikan
sebagai orang – orang berhikmat. Ketiga,
Agur, Lemuel dan ibu Lemuel. Hikmat mereka ini kemungkinan besar ada
hubungannya dengan butir hikmat yang berasal dari tanah Arab dan berisi pepatah
bilangan (Harun, 2010 : 21). Keempat, personifikasi
hikmat yaitu sosok “Perempuan Bijaksana” atau “Nyonya Hikmat” dan atau “Istri
yang cakap”, personifikasi kebodohan yaitu “Perempuan asing” dan atau
“Perempuan jalang” serta incaran mereka “Si Pemuda”.
Alur
Penulisan
Menurut Harun, kitab ini disusun
dengan sangat jelas. Judul – judul yang dibuat dan disertai beberapa kalimat
pembuka dalam setiap bagian membantu memilah isi tulisan dan menentukan waktu
penulisannya. Harun membagi kitab Amsal ini dalam beberapa alur, antara lain: pertama, Amsal 1 – 9. Amsal ini
berfungsi sebagai pengantar bagi Amsal 10 – 31 dan bertujuan untuk menyiapkan
hati pembawa agar dapat menerima pepatah – pepatah yang diberikan. Namun
meskipun bagian kitab ini terletak di awal, kitab ini justru diperkirakan
berasal dari tahun penyusunan yang lebih muda, sebagian bahan berasal dari
Babel namun kemungkinan baru rampung pengeditannya setelah masa pembuangan[2]. Kedua, Amsal 10 : 1 – 22 : 16. Bagian
ini disebut sebagai kumpulan Amsal Salomo meski tidak semuanya merupakan hasil
karya Salomo. Amsal ini lebih mirip dengan gurindam
karena hanya terdiri dari dua baris pendek namun tampak tidak sistematis. Amsal
ini membeberkan seluk – beluk kehidupan dan cara mengatasinya, isinya
kebanyakan bersifat pernyataan dari pengalaman yang berlaku umum. Sampai pasal
15 gaya bahasa yang digunakan kebanyakan adalah paralelisme antitesis yang
menunjukan banyaknya fenomena sebab - akibat, pasal selanjutnya memuat
paralelisme sinonim dan sintesis. Ketiga,
Amsal 22 : 17 – 24 : 34. Bagian ini merupakan koleksi tulisan “orang bijak”,
isinya berupa ajakan – ajakan dengan didukung oleh pernyataan penjelas dan
umumnya lebih dari dua baris. Kumpulan Amsal dala bagian ini sepertinya telah
mengadopsi banyak ide dari hikmat internasional seperti Amene – Emope di Mesir
lalu digubah ulang agar memiliki muatan teologis pada masa kerajaan di Israel. Keempat, Amsal 25 – 29. Amsal ini
merupakan kumpulan Amsal Salomo yang baru dikumpulkan kemudian oleh para
pegawai Hizkia sehingga menimbulkan kesan bahwa Amsal ini terbit pada masa
akhir kerajaan. Berbeda dengan Amsal Salomo lain karena dalam bagian ini
pepatah yang bermuatan Tuhan sangat berkurang. Kelima, Amsal 30 – 31. Bagian ini merupakan tambahan hikmat dari
Agur, Lemuel dan ditutup dengan syair tentang istri yang cakap (2010 : 17 -21).
Berbeda
dengan Harun, Simanungkalit membagi kitab ini dengan tujuan kanonis dalam
beberapa ulasan, antara lain; pertama, Amsal
1 : 1. Ayat ini merupakan pendahuluan sekaligus judul dari kitab Amsal. Nama
Salomo digunakan bukan untuk menunjukkan otoritas Salomo sebagai pengarang
namun untuk memperlihatkan kewibawaan Ilahi kitab[3]. Kedua, Amsal 1 – 9. Amsal ini memiliki
perbedaan gaya, karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kitab Amsal
lain. Pengajarannya berbentuk unit – unit yang besar dan berhubungan satu sama
lain dalam pengajaran hikmat, sifatnya lebih teologis ketimbang bagian lain
dalam Amsal dan berfungsi sebagai pengajaran moral dalam kehidupan sehari –
hari sekaligus reinterpretasi panggilan ilahi sendiri. Ketiga, Amsal 10 : 1 – 31 : 10. Bagian ini tampaknya disusun oleh lebih
dari satu orang dan dalam jangka waktu yang panjang. Merupakan hasil refkleksi
manusia terhadap pengalaman hidupnya baik dari lingkungan Israel maupun
internasional sifatnya praktis meski cukup acak
– acakan namun tetap harus dilihat sebagai hasil karya yang mengandung
nilai teologis. Dan terakhir, keempat,
Amsal 31 : 10 – 31[4]
merupakan bagian penutup dari seluruh kitab Amsal dan merupakan puncak dari
gambaran tentang hikmat.
Unsur
Ekstrinsik Amsal
Nilai
Moral
Menurut Blommendal, umumnya dunia
Timur Tengah mengenal hikmat sebagai bagian dari kehidupan rohani. Hikmat itu
berasal dari dewa yang berisi kesenian, tekhnik dan ilmu teoritis serta etika. Bagi
orang Israel, dasar Kebijaksanaan itu bersifat religius – teologis. Pada
mulanya memang bersifat ilmu namun pada akhirnya berubah menjadi hikmat
kehidupan yaitu etika (2012 : 152 – 153). Menurut Wahono, dalam Amsal aksioma
peribahasanya sebagian besar menekankan pada aspek moral yaitu sebab akibat.
Ungkapan – ungkapan moral yang digunakan dalam Amsal sepertinya sudah cukup
untuk menjawab semua masalah kehidupan (2011 : 226).
Nilai
Budaya
Kebijaksanaan ini umumnya bersifat
praktis namun berlaku di dunia internasional. Setiap kebudayaan umumnya
memiliki ragam kebijaksanaan masing – masing. Biasanya dimasa lalu
Kebijaksanaan ini berlaku di kalangan pegawai – pegawai tinggi istana,
aristokrat, sekretaris, penulis sejarah, atau golongan – golongan cendikiawan
lain. Kitab Amsal sendiri tidak murni berasal dari Israel karena terdapat
resapan dari kebudayaan dan Kebijaksanaan dari Amenemope di Mesir, Babilon
ataupun Asyur di dalamnya.
Nilai
Sosial
Menurut Wahono, kalimat – kalimat
dalam Amsal dialamatkan pada pribadi namun memiliki implikasi sosial. Isinya
bersifat teguran terhadap tindakan anti sosial dan jahat serta merusak
kehidupan masyarakat. Tindakan – tindakan jahat yang dilakukan tidak hanya akan
berefek pada pribadi namun juga sosial. Hubungan yang terjalin dalam masyarakat
harus bersifat konstruktif dan kreatif (2012 : 225).
Identifikasi
Eshet – Chayil Berdasarkan Tafsir Amsal 31 : 10 – 31
Menurut
Lane, dari pandangan beberapa ahli, teks ini memberi beberapa gambaran
kemungkinan maksud, antara lain: pertama,
merupakan teks lanjutan nasihat untuk Lemuel dari ibunya tentang standar
istri yang cakap. Teks ini merupakan gambaran ideal mempelai perempuan Kristus
dan tidak ada kemungkinan untuk mencapainya. Kedua, puncak terakhir
nasihat terhadap orang muda agar mereka menjadi bijaksana, untuk menunjukkan perempuan
seperti apa dan bagaimana yang harus mereka pilih. Ayat ini juga tidak hanya mengarah
pada sosok perempuan ideal namun juga kepada siapapun yang bisa mendapatkannya.
Ketiga, bentuk akhir dari catatan
yang sifatnya negatif dalam ayat 10 mengindikasikan bahwa adalah suatu mujizat
jika ada pria yang bisa menemukan perempuan seperti ini. Keempat, teks ini menggambarkan gambaran dalam benak kaum patriakal
dan atau laki – laki umumnya tentang figur seorang perempuan ideal yang pantas
dijadikan pendamping namun mereka gagal untuk menggambarkan sosok ideal mereka
sendiri sebagai laki – laki. Kelima, teks
ini menunjukkan sebuah gambaran bahwa rumah dan keluarga merupakan aspek
fundamental untuk hidup yang berkualitas. Hal ini tdak berlaku seluruhnya di setiap
rumah tangga, tergantung pada nyonya rumahnya. Karena itu, nyonya rumah harus
memiliki kebijaksanaan besar karera kebahagiaan keluarga ditentukan oleh
kecakapan istri. Keenam, teks ini
mengambarkan keseluruhan gaya hidup hikmat. Kualitas dan aktifitas yang
digambarkan melalui teks ini jangan dilihat terdapat pada figur seseorang yang
memiliki keistimewaan tertentu tapi pada kesederhanaannya. Kebijaksanaan itu
ternyata adalah sesuatu yang sangat sederhana seperti yang sering kita temui di
rumah. Kebijaksanaan itu layaknya managerisasi rumah oleh seorang ibu.
Perempuan dalam teks ini adalah personifikasi hikmat seperti yang sudah
disampaikan di prolog (4 : 5 – 9; 9 :
1 – 6) dan kemungkinan besar bagian ini adalah epilog, kesimpulan, sekaligus
klimaks dari identifikasi hikmat. Teks ini mengambarkan tentang tipe istri
ideal yang sifatnya sempurna sehingga dapat diperbandingkan bahkan lebih
berharga dari rubi atau permata (3 : 15 ; 8 : 11 ; 20 : 15) (2007:395 – 396).
Kualitas seni teks ini tergambar
jelas dalam teks Ibraninya yang akrostik. Jika dibaca langsung dari teks
Ibraninya, akan terlihat keindahan dari barisan puisi ini. Penulisnya
sedemikian rupa menyusun teks puisi agar tidak hanya memiliki makna yang indah
namun juga bentuk dan susunan yang indah. Ada kemungkinan, teknik penulisan untuk
teks ini merupakan teknik sastra akhir dalam dunia sastra Ibrani. Menurut
Lasor, bentuk akrostik ini tidak hanya membantu dalam proses penghapalan tapi
juga menegaskan pengertian menyeluruh tentang gambaran perempuan dan istri yang
sempurna (2013 : 102). Ayat 10 dari teks ini
dimulai dengan aleph untuk
kata “eshet” yang merupakan huruf pertama Ibrani lalu diikuti dengan kata chayil. Ayat selanjutnya yang memuat
karakteristik “istri yang cakap” mengarahkan pembaca pada panorama akrostik
dari ke 22 abjad Ibrani dan tepat berakhir pada ayat 31 di Tau.
Definisi Eshet – Chayil
Bagian
ini dimulai dengan mendefinisikan eshet –
chayil berdasarkan pengertian Amsal itu sendiri pada ayat 10. Huruf א digunakan sebagai huruf pertama dalam kata
eshet yang berarti perempuan atau
istri kemudian dikaitkan dengan kata chayil.
Kata “Eshet Chayil” menurut Karman hanya muncul dalam Alkitab sebanyak tiga
kali[5] dalam
PL. Tidak ada kesepakatan bersama dari para penterjemah Alkitab tentang arti
dari kata ini sesungguhnya namun kebanyakan penterjemah memberi penekanan arti
pada keutamaan moral dan atau keluhuran
karakter (Karman, 2007 : 41).
Menurut
Delitzsch, perempuan ini terhitung dalam harta benda yang langka seumpama
barang milik yang paling berharga di seluruh dunia (1996 : 326). Bagi Lane,
perempuan yang ada dalam teks ini merupakan gambaran ideal yang tidak dapat
dicapai dan bisa jadi merupakan gambaran hubungan Kristus dan gereja (2007 :
395). Kata “cakap” atau chayil dalam teks ini menunjukkan kapasitas atau
kemampuan dan atau kebijakan[6]. Kata
chayil ini menurut Longman, merupakan
kata yang biasa dikaitkan dengan jargon – jargon militer tentang kemampuan
militer seseorang. Sang suami dikatakan “tidak kekurangan keuntungan” dikaitkan
dengan hasil rampasan perang yang kemungkinan dibawa oleh istrinya. Hal ini
bisa jadi berkaitan dengan konteks masa itu yang menganggap pergumulan sama
dengan perang dan perempuan ini berhasil mengatasi peperangan berupa pergumulan
yang ada dalam kehidupan mereka (2007 : 182). Bagi Harun, chayil menunjukkan kekuatan, ketangkasan, kemampuan dan efisiensi.
Kata ini biasanya dipakai untuk menggambarkan sosok laki – laki yang tangkas,
kuat, mampu dan berada (2010 : 51). Kata
ini muncul dalam PL sebanyak 240 kali dalam bahasa Ibrani dan 6 kali dalam
bahasa Aram. Umumnya kata ini memang mengarah kepada petunjuk – petunjuk
kemampuan militer. Arti dasar dari kata chayil
adalah kekuatan atau tenaga. Kebanyakan dalam PL, arti dasar kata ini mengarah
kepada kekuatan yang dihasilkan oleh kinerja otot manusia seperti kemampuan
otot perempuan dalam reproduksi, potensi seksual, penggunaan otot tangan untuk
bekerja, otot kaki untuk berjalan, dll. Namun arti kedua dari chayil ini justru mengarah kepada pengertian
umum lain seperti kekayaan atau kemakmuran dan kebaikan moral. Menurut Karman, setidaknya ada empat makna
dari eshet – chayil: baik, baik budi,
cakap dalam arti terampil bekerja dan baik dalam hubungan dengan laki – laki[7] (2007
: 40). Perempuan ini dikatakan lebih
berharga daripada permata[8].
Lebih
dari itu, yang menarik sebagai kalimat pembuka dari teks ini justru adalah
kalimat tanya tentang seorang pria yang bisa menemukan perempuan seperti yang
digambarkan dalam teks ini. Perempuan seperti yang digambarkan oleh teks ini
merupakan perempuan langka dan menurut Farmer, orang yang dapat menemukan
perempuan seperti ini pasti adalah orang yang sangat pintar (1991 : 124) bahkan
ada juga yang menyebut bahwa pria yang beruntung mendapatkan perempuan ini
sebagai istrinya tentu sedang menemukan mujizat. Longman bahkan dengan tegas
menyatakan bahwa “tidak ada” pria yang mendapatkan perempuan atau istri seperti
ini (2007 : 192), hanya ada sangat sedikit kemungkinan bahkan kesannya mustahil
(Delitzsch, 1997 : 327).
Karakteristik Eshet – Chayil
Ayat
11 dimulai dengan huruf ב yaitu kata batach atau dapat dipercaya[9] atau
dalam versi KJV “sangat dapat dipercaya”. Menurut Lane, suami dari perempuan
ini memiliki banyak kekuatiran karena terhadap posisi, harta, dll yang ia
miliki karena itu ia memerlukan seseorang yang sangat dapat ia percaya agar
pikirannya sendiri dapat tenang dan bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya
(2007 : 397). Bagi Alden, dasar dari sebuah pernikahan adalah kepercayaan (2007
: 294). Selain itu, kepercayaan ini juga dikaitkan dengan keberuntungan[10].
Bagi Delitzch, kata ini berkaitan dengan barang rampasan perang
seperti yang diterangkan Longman, namun perang yang dimaksud dalam hal ini
merupakan perang yang tidak kelihatan (1997 : 327). Hal ini menurut Alden
dikarenakan istrinya ini adalah
pengelola keuangan yang baik dan mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan
suaminya sehingga sang suami tidak akan pernah merasa kekurangan (2002 : 294).
Ayat 12[11]
dimulai dengan huruf ג yaitu kata gamal yang berarti mencapai tujuan. Dalam hal ini, perempuan ini
adalah tipikal istri yang penuh dedikasi dan loyalitas kepada suaminya. Menurut
Lane, perempuan ini mampu melihat tujuan sehari – hari hidupnya sebagai seorang
perempuan yang menikah. Ia mendukung setiap pilihan hidup suaminya sehingga
membuat hubungan pasangan itu terjaga selamanya. Hal ini tentu sulit untuk
diterapkan pada masa sekarang mengingat pekerjaan atau karir suami dan istri
umumnya terpisah (1997 : 397). Menurut Alden, dukungan ini penting bagi seorang
suami mengingat sukarnya hidup di dunia ini. Dukungan dan dorongan istri akan
membuat suami semakin teguh berjuang dalam hidupnya (2002 : 295). Menurut Delitzch, sifat ini merupakan sifat
yang murni tidak dibuat – buat, sampai kapanpun juga tidak akan berubah (1997 :
328).
Ayat 13[12]
huruf pertama dimulai dengan ד yaitu kata darash. Ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang efisien
dan energik. Menurut Lane, ayat ini menunjukkan bahwa perempuan ini mencari dan
menyeleksi dengan sangat hati – hati bulu domba dan rami lalu membuat pakaian
hangat bagi penghuni rumah. Pada masa itu, pembuatan pakaian memang umumnya
terjadi di rumah – rumah. Tapi yang membuat perempuan ini jadi terkesan
bijaksana bukan pada kemauan dan kemampuannya dalam membuat pakaian melainkan
pada ketelitiannya memilih bahan dan hasratnya untuk membuat sendiri pakaian –
pakaian itu. Walaupun ada orang yang membantu, ia tetap mengawasi dan
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (1997 : 397). Delitzch melihat adanya
kemungkinan bahwa perempuan ini sebenarnya tidak sepenuhnya berpartisipasi
dalam pembuatan pakaian karena sepertinya suaminya adalah orang yang cukup
terpandang. Namun hasratnya untuk menyelesaikan pembuatan pakaian ini yang patut
disebut sebagai hikmat. Hal ini menggambarkan tindakan aktifnya dan
kecintaannya pada bisnis yang ia bangun sendiri (1997 : 329). Terjemahan KJV menunjukkan hasrat atau niatnya
ini dengan kata “sepenuh hati” bekerja dengan tangannya.
Ayat 14 dimulai dengan huruf ה yaitu kata hay – ta. Ayat ini menunjukkan kepribadiannya sebagai orang yang cerdas
dan teliti. Menurut Alden, ini ada kaitannya dengan kegiatan berbelanja pada
masa itu. Perempuan ini bertanggungjawab untuk berbelanja kebutuhan sehari –
hari di rumah mereka. Ia mengerti barang – barang pokok yang dibutuhkan
keluaranya sehingga ia dapat disamakan dengan kapal saudagar yang datang dan
pergi untuk berjual beli (2002 : 195). Berbeda dengan itu, Lane menebak bahwa
ada kemungkinan pesanan kebutuhan pokok yang ia kirim datang terlambat dari
kapal – kapal yang ia pesan untuk membawa material namun karena ketelitian dan
kecakapan yang ia miliki, ia tidak perlu kuatir. Kecerdasan yang ia miliki
membuatnya mampu untuk menghalau berbagai kemungkinan termasuk dengan
keterlambatan pesanan. Perempuan ini pasti sudah mengatur sedemikian rupa
sehingga ia tetap memiliki persiapan sendiri di lumbungnya (2007 : 397).
Delitzch justru mengkaitkannya dengan kemampuan berbisnis perempuan ini yaitu
kemampuannya untuk melihat peluang usaha sekaligus mendatangkan keuntungan
serta kesempatan untuk berbelanja produk terbaik dari luar untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya (1997 : 329). Dengan
demikian kemampuannya berkaitan juga dengan keberaniannya menjalin relasi
dengan orang – orang luar, berjual beli dengan mereka dan kejeliannya dalam
menimbang berbagai kemungkinan bagi pemenuhan kesejahteraan konsumsi dalam
rumah tangga.
Ayat 15 dimulai dengan huruf ו yaitu kata wata – kom. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak mementingkan diri
sendiri dan berdisiplin. Menurut Delitzch, perempuan ini bukanlah seorang
tukang tidur. Ketekunan dan disiplin yang ia miliki membuat ia bangun lebih
pagi dari semua orang dalam rumahnya. Ada kemungkinan bahwa ia memang bangun
lebih pada dari semua anggota keluarga meski kalimat ini tidak serta merta juga
menunjukkan bahwa ia bangun lebih dahulu dari pada para pelayannya (1997 : 329
– 330). Ia bangun pagi dengan tujuan untuk membagi – bagikan tugas bagi para
pelayanan yang kemungkinan sudah terlebih dahulu bangun darinya, kemungkinan
juga menyiapkan menu makanan untuk sehari. Selain itu, ia juga memastikan bahwa
bahwa para pelayannya menyiapkan makanan berlebih tidak hanya bagi keluarganya
namun bagi orang – orang yang membutuhkan.
Dalam hal ini, perempuan ini adalah pemegang kendali, manager, dan
pengatur bagi para pegawai rumahnya. Pelayannyalah yang kemudian menyiapkan
segala sesuatunya di meja. Dalam kasus ini menurut Lane, perempuan ini ingin
memastikan juga bahwa anggota keluarga yang bangun pagi sudah mendapat jaminan
bahwa mereka sudah menemukan makanan tersaji di meja untuk disantap. Selain
itu, terdapab juga bentuk kepedulian terhadap sesama yang datang dari jauh
maupun orang – orang yang membutuhkan (2007 : 398).
Ayat 16 dimulai dengan huruf ז yaitu kata zam – mah. Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan ini memiliki
kecakapan atau kesadaran tentang bisnis dan kehati - hatian. Ayat ini menurut Lane bisa jadi memiliki kaitan erat dengan ayat
23 yang menunjukkan profesi suaminya yang kemungkinan bekerja di kota yaitu di
pemerintahan membuat dirinya mengembangkan segenap potensi yang ia dan
keluarganya miliki. Kesempatan ini juga yang ia manfaatkan untuk membeli ladang
yang sekaligus cocok untuk pengolahan anggur. Setelah membelinya, perempuan ini
juga langsung melibatkan diri dalam pengolahan ladang (2007 : 398). Yang
dimaksud di sini tentu juga dalam hal pengawasan, pengaturan kerja dan sistem.
Perempuan ini lagi – lagi adalah seorang yang ahli bekerja dalam sistem. Ia
adalah seorang manager yang baik, ia menguasai dengan baik keluar masuk
keuangan, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, evaluasi masalah di
lapangan, kerjasama dengan pembeli, menguasai sistem pemasaran, melihat
peluang, dll. Karena itu, ia dapat memastikan sendiri jumlah pendapatan yang ia
miliki sehingga dari jual beli tanah, pengolahan kebun anggur, dan pakaian. Alden
memperkirakan bahwa perempuan ini membangun usaha real estate, jual beli tanah, lalu keuntungannya diputar lagi dan
dibelikan kebun anggur lalu mengolahnya kembali sehingga ia memiliki multiprofit (2000 : 295).
Ayat 17 dimulai dengan huruf ח yaitu kata chagarah. Ayat ini menunjukkan kekuatan dan kesehatan fisik yang
dimiliki oleh perempuan ini. Menurut Lane, dalam melakukan kegiatannya,
perempuan ini membutuhkan stamina yang fit. Karena itu, ia adalah perempuan yang
berdisiplin dengan tubuhnya sendiri
untuk dapat melakukan aktifitas – aktifitas fisik kuat (2000 : 399). Alden
menilai bahwa ayat ini menunjukkan gairah atau semangat dari perempuan ini
dalam melakukan pekerjaannya dan antusiasmenya dalam menghadapi hidup (2002 : 295). Untuk memasarkan hasil produksi semua
hasil anggur dan ladangnya, ia harus menempuh jarak yang cukup jauh. Karena itu
harus ada dorongan kuat, tubuh yang kuat, niat serta kerajinan dalam diri
perempuan ini (Delitzsch : 331).
Ayat 18 dimulai dengan huruf ט yaitu kata tach – mah. Dalam teks ini tetap digambarkan bahwa perempuan ini
tidak juga seperti perempuan pada umumnya yang memutuskan untuk beristirahat
dengan segera setelah keletihan sepanjang hari dalam bekerja. Pada malam hari
sebelum beristirahat, ia masih menyempatkan diri untuk menghitung keuntungan
dari hasil penjualan produksi kebun anggurnya. Kata tach – mah yang digunakan
memberi arti bahwa “ia mengecap” atau menjamin bahwa usahanya memperoleh
keuntungan. Menurut Lane, keterangan bahwa pada malam hari pelitanya tidak
padam, tidak lantas menunjukkan bahwa perempuan ini tidak pernah tidur. Ada
jangka waktu antara gelap sore hari dan waktu untuk tidur di malam hari. Waktu
inilah yang dipergunakan oleh perempuan ini untuk melakukan aktifitas akhirnya
sebelum memutuskan untuk tidur (2000 : 399). Hal ini tentu jelas harus
dilakukan, karena tanpa tidur, sulit bisa dipastikan seseorang bisa terus
bertahan dalam stamina yang fit, energi penuh, dan pikiran yang positif atau
berhikmat. Dalam ayat 15 juga sudah dijelaskan bahwa perempuan ini bangun lebih
pagi, itu berarti pada malam harinya ia tetap beristirahat.
Ayat 19 dimulai dengan huruf י yaitu kata yadeha. Perempuan ini juga melibatkan dirinya kegiatan memintal dan
rupa – rupanya ia memang memiliki keahlian dalam hal ini. Kemampuan memintal
merupakan gambaran keseempurnaan seorang wanita pada masa itu. Dewa Homer
memberikan kepada dewi Hellen dan dewi – dewi lainnya alat pemintal emas untuk
melakukan kegiatan mereka. Kegiatan memintal ini sendiri bukan hal yang mudah,
butuh tenaga dan keahlian khusus dengan disertai ketelitian. Tentang cara
memintal yang terbilang rumit dan butuh kesabaran juga membuat perempuan ini
semakin mengagumkan (Delitzch, - : 331 – 333). Lane menambahkan bahwa pada masa
itu belum ada roda pemutar untuk pemintal seperti yang ditemukan pada masa
kini. Karena itu kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat melelahkan dan
sekaligus menegangkan. Sulit untuk memvisualisasikan kegiatan memintal itu pada
masa sekarang, karena itu muncul berbagai penafsiran tentang kegiatan ini. Bisa
jadi tangan yang satu memegang mesin sementara jari tangan yang lain mulai
memintal (2000 : 399). Atau mungkin saja ia harus melakukan kegiatan ini satu
persatu secara bergantian dan berulang – ulang (Delitzch, - : 333).
Ayat 20 dimulai dengan huruf כ yaitu kata kapah. Ayat ini menggambarkan sifat empati perempuan dalam teks ini
terhadap nasib sesamanya yang kurang beruntung. Menurut Delitzch ayat ini
menggambarkan sifat simpati dan kesediaannya untuk menolong sesama. Ia menghadirkan
dirinya bagi orang yang tertindas, malang dan terasingkan. Penyair dalam hal
ini memberi gambaran seorang perempuan yang sempurna tidak hanya bagi suaminya
melainkan juga bagi sesamanya manusia yang adalah ciptaan Allah. Dengan
perlakukan baiknya ini, ia juga
menunjukkan kekuatan hati sekaligus juga kesalehannya di hadapan Allah
(- : 334). Ia bukan hanya figur istri yang sempurna namun juga anak Tuhan
(Lane, 2000 : 400).
Ayat 21 dimulai dengan huruf ל yaitu kata lo – tira. Di dunia Timur Tengah, musim salju tidak seperti yang
terjadi dikebanyakan daratan Eropa. Salju bisa turun kapan saja atau sewaktu –
waktu tanpa dapat diperhitungkan pada masa itu
(Lane, 2000 : 400). Salju yang datang ini juga biasanya disertai dengan
angin dingin (Delitzch : 334). Perempuan
ini telah mempersiapkan kemungkinan – kemungkinan datangnya musim ini dengan
cara menyediakan pakaian hangat bagi seisi rumahnya sehingga kapanpun musim
salju itu datang, mereka tidak kuatir kedinginan. Pakaian rangkap atau pakaian dari
wool tebal tenunan pada masa itu merupakan pakaian yang mahal harganya. Dalam teks, keterangan tentang “pakaian
rangkap” justru tidak ditemukan, melainkan pakaian yang berwarna merah tua.
Warna yang paling umum digunakan adalah merah tua[13] atau
gabungan warna ungu, biru dan merah. Konon katanya, warna ini merupakan warna
yang kontras dengan warna putih salju sehingga dapat memberikan sugestif berupa
rasa hangat di musim dingin bagi para pemakainya ((Delitzch, - 335).
Ayat
22 dimulai dengan huruf מ yaitu kata marvadim. Teks Indonesia untuk bagian awal ayat ini mengarahkan
kepada pembuatan permadani[14]. Hal
ini menunjukkan bagaimana perempuan ini berusaha menghangatkan seisi keluarga
di tempat tidur mereka. Ia mempersiapkan sendiri tidak hanya selimut tebal
namun juga bantal – bantal dan atau segala perlengkapan tempat tidur agar kasur
mereka tetap hangat (Delitzch, - : 335). Selain itu, perempuan ini juga
merupakan perempuan yang cukup fashionable
pada masanya. Ia memilih bahan terbaik untuk menjadi pakaiannya berupa pakaian linen dan kain ungu. Pada masa
itu, sutra putih memang sudah ada bahkan sejak zaman kuno. Pada masa kerajaan
Asyur, sutra putih ini sudah ditenun dan dijadikan sebagai seragam umum. Kain
merah dan ungu juga sudah diproduksi meluas di daerah Tirus dan Sidon namun dengan
harga yang sangat mahal (Delitzch : 336). Bahan celup ungu untuk pembuatan kain
ungu masa itu terbuat dari beberapa kerang dengan jumlah sangat sedikit atau
jarang sehingga harganya sangat mahal (Alden, 2002 : 296). Material untuk bahan
pakaian ini saja harus diperoleh dari luar negeri. Kain linen dari Mesir
sementara kain ungu dari Fenisia(Lane, 2000 : 400). Karena itu, dapat
diperkirakan betapa mahalnya bahan yan digunakan oleh perempuan ini untuk
dijadikan pakaiannya. Selain itu, ayat ini juga menambah kesan nilai kekayaan mereka.
Ayat
23 dimulai dengan huruf נ yaitu kata noda. Dalam ayat ini barulah dibahas tentang suami dari perempuan
ini. Seperti di bagian awal, perempuan ini merupakan figur wanita idel pada
masa itu sehingga yang menjadi suaminya pasti adalah orang yang hebat atau
sangat pintar. Teks menerangkan bahwa “suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau
ia duduk bersama – sama dengan para tua – tua negeri”[15].
Teks NIV tidak hanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang dikenan namun juga
dihormati di antara orang – orang yang ada di gerbang dan ketika ia meengambil
tempat duduknya di antara para tua – tua
di sana. Hal ini mengingatkan kepada pengadilan para tua – tua pada masa
kepemimpinan Musa yang terjadi ti gerbang. Sistem peradilan ini merupakan
sistem peradilan yang awal muncul di Israel dan menjadi salah satu dasar
penting sistem peradilan Israel selanjutnya. Biasanya orang – orang akan
membawa kasus mereka untuk diambil keputusannya di hadapan tua – tua. Orang –
orang Israel taat terhadap para tua – tua dan bangsawan dan kebiasaan ini sudah
menjadi tradisi di antara mereka. Para tua – tua ini berpegang pada hukum
tradisi yang sudah menjadi standar etika di Israel. Bahkan sampai masa raja –
raja, hukum tradisi ini tetap dipertahankan. Umumnya pengadilan lokal dan
komunitas orang – orang yang memiliki kekuasaan dan merupakan representasi raja
dalam institusi hukumnya dan dengan adanya kaitan dengan raja, kekuatan mereka
semakin bertambah di Israel. Hukum masa ini berpusat pada keadilan dan
kebenaran. Perhatian hukum selalu berkaitan dengan ketidakadilan yang terjadi
secara sosial dan bentuk – bentuk eksploitasi yang terjadi. Ketika seseorang
memutuskan untuk masuk dalam sebuah wilayah negara hukum, ia mengikat dirinya
terhadap segala peraturan atau hukum yang berlaku di negara tersebut
(Crusemann, 1996: 78 – 83). Dan suami dari perempuan ini sepertinya adalah
orang yang sangat dihormati bukan hanya
oleh masyarakat namun juga oleh para tua – tua lainnya. Bukan hanya
anggota peradilan, pemimpin salah satu wilayah, namun juga pemilik suara yang
tertinggi dalam pengadilan tersebut (Deliztch, - : 336). .
Ayat 24 dimulai dengan huruf ס yaitu kata sadin. Lagi – lagi ayat ini juga menggambarkan tentang kemampuan
perempuan ini dalam mengelola material dari lenan dan memasarkannya.
Ayat 25 dimulai dengan huruf ע yaitu kata oz – v’hadar. Ayat ini menurut Delitzch menunjukkan kekuatan atau
kemampuan perempuan ini untuk bertahan dalam situasi apapun (- : 337). Semua
yang ia lakukan telah menimbulkan kepercayaan dirinya tentang masa depan. Martabat
atau statusnya serta kemampuan – kemampuan yang ia miliki merupakan jaminan
bagi hari depannya (Lane, 2000 : 401). Perempuan ini merupakan perempuan yang
mampu berpikir dan bersikap positif terhadap keadaan apapun yang ada di
depannya. Ia memiliki dan mengeskplorasi
segala hal yang ada di sekitarnya untuk dipersiapkan pada masa depan sehingga
tidak ada yang perlu ditakuti dengan masa depan.
Ayat 26 dimulai dengan huruf פ yaitu kata piha. Setelah semua kemampuan bertindak dan berpikir yang ia
miliki, penyair teks ini mengarahkan pembacanya pada kemampuan berbicara
perempuan ini. Perempuan ini dikatakan berkata – kata dalam hikmat dan
kelemahlembutan. Perempuan ini adalah perempuan yang penuh kasih dan
belaskasihan sehingga hal ini menjelma dalam kebaikan, anugerah yang penuh (
Delitzch, - : 338).
Ayat
27 dimulai dengan huruf צ yaitu kata tzofi’ah. Walaupun dia adalah seorang perempuan, perempuan dalam
teks ini merupakan seorang pemimpin. Menurut Lane, perempuan ini berhasil
memimpin anak – anaknya, pelayan – pelayannya, dan para pekerjanya yang lain.
Ia tidak hanya mampu membagikan tugas pada para pegawai, namun juga terlibat
aktif, bersentuhan langsung dengan kegiatan mereka (2011 : 402). Menurut
Delitzch, mata dari perempuan ini memandang ke segala arah. Pada suatu saat ia
berada di salah satu bagian usaha milikinya lalu berpindah lagi ke tempat lainnya
untuk memantau para pekerjannya. Ia tidak lantas bersantai setelah membagi –
bagi pekerjaan pada para pegawainya. Ia ikut bekerja, berjaga – jaga untuk
memantau setiap hasil pekerjaan yang ada ( - : 339).
Akar Eshet –
Chayil
Ayat
28 dimulai dengan huruf ק yaitu kata kamu. Ayat ini menunjukkan bagaimana anak dan suaminya
memperlakukan dia. Kata “bangun” dalam teks ini bukan menunjukkan satu kegiatan
“bangun dari tidur” melainkan sebuah ekspresi hormat yang spontanitas dari anak
– anaknya atas prestasi sang ibu. Ini juga yang menjadi sumber kebanggaan dari
perempuan ini (Lane, 2000 : 402). Selain itu, suaminya juga memuji istrinya
ini. Sejak awal pertemuan mereka sampai ketika mereka telah memiliki anak,
perempuan ini tidak berubah, tujuan utamanya tetap adalah menjadi penolong bagi suaminya.
Ayat
29 dimulai dengan huruf ר yaitu kata rabot merupakan ayat pujian dari suaminya terhadap istrinya yang
cakap ini. Ada kemungkinan perempuan lain dengan karakteristik dan kemampuan seperti
istrinya (Lane, 2000 : 402), namun baginya, istrinya tetap adalah yang terbaik.
Kalimat pujian ini tentu sangat penting untuk menaikkan harga diri sang istri
sehingga memacunya lebih bersemangat lagi dalam mengeskplore kemampuannya.
Ayat 30 dimulai dengan huruf ש yaitu kata sheker. Seperti yang disebutkan oleh ayat ini, kemolekan dan
kecantikan adalah faktorr luar manusia yang dapat usang dimakan usia (Delitzch,
- : 341). Kecantikan asali berasal dari dalam, dari moral yang baik. Moral yang
baik ini berasal dari satu sumber yang baik yaitu hati yang takut akan Tuhan.
Inilah awal dari segala sumber hikmat dan kemampuan yang dimiliki oleh
perempuan dalam teks ini, yaitu takut akan Tuhan. Dasar dari segala hikmat
adalah takut akan Tuhan yang adalah sumber dari hikmat itu sendiri (Lane, 2000
: 403). Karena itu, di bagian awal Amsal pun ditekankan tentang takut akan
Tuhan ini sebagai permulaan dari segenap pengetahuan (Amsal 1 : 7).
Ayat 31 dimulai dengan huruf ת yaitu kata t’nu – lah. Ayat ini merupakan penutup dari syair ini. Penyair
menyuarakan suatu respon aktif terhadap keberadaan perempuan ini dan respon ini
lahir dari hasil kreatifitasnya sendiri.
Eshet – Chayil
Dalam Teks dan Konteks
Untuk
lebih mengerti eshet – chayil dalam teks
Amsal 31 : 10 – 31, penulis mencoba melakukan telisik sederhana pada penggunaan
teks serupa dan kemungkinan paralelnya dalam PL
serta pada konteksnya.
Perbandingan Teks Eshet –
Chayil
Kebanyakan
ahli berpendapat bahwa Amsal 31 : 10 – 31 ini merupakan puncak, kesimpulan atau
epilog dari keseluruhan kitab Amsal sekaligus memiliki hubungan erat dengan
hikmat yang dipersonifikasi dalam Amsal 1 – 9. Simanungkalit menjelaskan bahwa
ada kerangka khusus secara kanonis yang dibentuk dari hubungan langsung baik
secara sastra maupun teologis antara kedua bagian Amsal ini yang ia sebut
dengan anthlogical composition. Dengan
mengutip McCreesh, Murphy, Camp, Simanungkalit secara lebih spesifik menyatakan
bahwa Amsal 31 : 10 – 31 ini memiliki kaitan sastra secara langsung dengan
Amsal 1 : 20 – 33; 8 : 1 – 36 ; 9 : 1 – 6. Ada istilah – istilah khusus dalam
Amsal 31 : 10 – 31 yang sama dengan pasal – pasal tersebut di atas. Bagi Camp,
hikmat yang dipersonifikasi ini memang cocok untuk digunakan sebagai prolog dan epilog bagi kitab Amsal sehingga ketiga perikop itu memberi
pengaruh pada penulisan epilogi ini. Berbeda dengan pendapat Camp,
Simanungkalit justru menyatakan bahwa dari segi usia penulisan dan konteksnya,
justru Amsal 31 : 10 – 31 inilah yang sebenarnya telah memberi pengaruh bagi
penulisan ketiga perikop tersebut.
Perikop
“puji – pujian tentang istri yang cakap” sudah ada sebelum masa kerajaan namun
baru disempurnakan secara akrostik pada masa sesudah kerajaan. Sementara ketiga
perikop termasuk Amsal 1 – 9 tersebut
baru disusun oleh penyunting sekaligus penulisnya pada masa pembuangan dan
sesudah pembuangan. Amsal 31 : 10 – 31 ini justru dipakai untuk membangun
kerangka pengajaran dan teologis tentang personifikasi hikmat dengan perempuan
bijaksana yang muncul dalam Amsal 1 – 9. Editor Amsal dalam hal ini telah
sengaja menaruh tulisan baru yang bersifat teologis ini sebagai pendahuluan dan
meletakkan inti tentang hikmat yang dipersonifikasi ini pada bagian penutup Amsal. Karena itu untuk
dapat memahami pengajaran tentang hikmat yang dipersonifikasi, para penafsir
perlu mengerti terlebih dahulu personifikasi perempuan berhikmat baru kemudian
dapat lebih dalam mengerti tentang keseluruhan Amsal 1 – 9 (2010 : 20 – 25).
Lebih
lanjut Simanungkalit mengungkapkan bahwa dalam penelitian terhadap pengajaran
hikmat, penafsir tidak boleh terlepas dari konteks asli penulisan dan konteks
masa penyuntingannya. Situasi agama, masyarakat, permasalahan gender, antara
masa sebelum dan sesudah pembuangan mirip. Namun pada masa helenistik, keberadaan
perempuan asing dan atau pelacur yang marak menjadikan para penyunting
menuliskan ulang personifikasi hikmat dalam Amsal 31 : 10 – 31 dalam Amsal 1 –
9. Karakteristik perempuan berhikmat dalam kedua bagian kitab ini tetap sama
namun tantang zaman itu membuat penambahan muatan tentang perempuan asing atau
jalang. Dengan demikian, perempuan berhikmat dalam teks Amsal 31 : 10 – 31 ini
mesti dipandang sebagai lambang istri atau perempuan Israel ideal yang tidak
hanya berhikmat namun juga takut akan Tuhan dan dengan itulah hikmat yang
teologis itu telah dipersonifikasikan sebagai bentuk pengajaran moral yang
seharusnya dipedomani tidak hanya oleh kaum muda namun juga seluruh umat Israel
pada masa itu (2010 : 25).
Untuk
mengerti lebih dalam tentang kaitan antara hikmat yang dipersonifikasikan dalam
pasal 31 : 1 – 10 dan konteks barunya yang dibuat dalam Amsal 1 – 9 maka perlu
juga untuk menelisik lebih mendalam. Dell yang dalam buku editannya terhadap
tulisan Estes membahas secara khusus tentang Pasal 1-9 dari Amsal ini disebut
sebagai “Dongeng tentang dua perempuan” karena menampilkan dua kontras antara
dua perempuan yaitu perempuan bijaksana dan perempuan asing. Keduanya sama-sama
memanggil orang muda namun dengan tujuan yang berbeda. Anehnya, Amsal justru
menampilkan riwayat “perempuan asing” lebih banyak dari pada “perempuan
bijaksana”. Secara leksikal, “perempuan asing” ini memiliki beberapa pendekatan
arti, antaralain: perempuan liar, perempuan yang najis atau tidak suci,
perempuan yang berasal dari etnis di luar Israel, perempuan pezinah yang sudah
tidak setia pada pernikahannya. Dari pengertian ini dilihat bahwa ada beberapa
makna yang muncul menunjukkan perbedaan arti. Karena itu secara semantik masih
perlu diteliti siapa sebenarnya perempuan ini dalam konteks aslinya dan mengapa
ia sepertinya telah menjadi masalah tersendiri bagi komunitas Israel. Para
ahlipun masih menunjukkan kesimpangsiuran tentang siapa sesungguhnya orang ini.
“Perempuan
asing” ini bagaimanapun juga memiliki karakteristik yang berbanding terbalik
dari “perempuan bijaksana” baik dari gambaran tentang kepribadiannya, cara
mereka bertutur kata, bertindak, bersikap walaupun gaya berbusana dan target
mereka sama, demikian kata Stallman seperti dikutip Estes. “Perempuan asing”
menolak segala jenis norma yang berlaku dalam masyarakat bahkan membawa orang
yang mengikutinya kepada bahaya
kemiskinan, aib, dan kebinasaan. Perempuan ini dianggap sebagai jerat,
racun, ataupun penyesat. Tidak hanya berbanding terbalik dengan “perempuan
bijaksana”, ia juga berbanding terbalik dengan “pengajaran hikmat” dan juga
dengan “TUHAN”. Semua ini terlihat dari hasilnya akhirnya, “perempuan asing” membawa kepada kematian
tapi “perempuan bijaksana, Kitab Hikmat dan TUHAN” menghantar kepada
“Kehidupan”, kepada Tuhan sendiri. Dari
gambaran tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa “perempuan asing” ini merupakan
“bahaya” bagi Israel, siapapun dia. Bisa jadi dia “perempuan” dalam arti sebenarnya
atau hanya sekedar personifikasi untuk sesuatu yang membahayakan iman atau
kepercayaan di Israel. Estes memberikan penilaiannya terhadap para ahli tentang
siapa “sebenarnya” perempuan yang dimaksud dalam Amsal 1-9.
Banyak
pakar PL memberi evaluasinya tentang hakikat dari “asing” dalam Amsal 1-9. Fox
mengambil beberapa evaluasi tentang idiom ini. Ia mengajukan ide bahwa
“perempuan asing” yang dimaksud adalah perempuan sundal yang berasal dari luar
suku Israel, atau istri yang berbeda suku beberapa saat setelah pembuangan.
Namun pendapat ini kemudian dikritisi karena ide ini tidak dapat menjelaskan
alasan mengapa idiom ini jadi begitu berlawanan dengan idiom “bijaksana” dan
TUHAN sendiri. Selain itu ditilik dari katanya, menurut Banner, issah zarah yang digunakan dalam Amsal
terjadi pada pertengahan abad kelima sebelum masehi. Berdasarkan pikiran
Clifford dan Bostrom, idiom ‘asing’ di sini mengarah kepada ‘ilah-ilah asing’
yang dapat membawa pengaruh buruk bagi Israel. Setiap orang yang mengikuti perempuan
ini, akan terjebak dalam penyembahan yang ia bawa. Menurut Snijers perempuan
ini adalah orang yang hidup terpisah dari kesalehan atau berada di luar
komunitas sosial Israel. Toorn mengatakan bahwa perempuan ini menjadi ‘asing’
bukan karena suku namun karena aktifitas seksualnya yang menyimpang. Apapun itu, Fox dan Washington menyimpulkan
bahwa perempuan ini bukan pelacur namun seorang pezinah dan ia berperan dalan
menggagalkan orang-orang muda kepada jalan kebijaksanaan. Mereka berdua menolak
penafsiran alegori dalam interpretasinya tentang hal ini namun terlalu berat
sebelah dalam pembahasannya tentang ‘perempuan asing’ dan agaknya telah
mengabaikan ‘perempuan bijaksana’.
Jika
dipandang sebagai puisi, Amsal 1-9 ini merupakan karya yang menarik. Namun
tidak semua orang dari membawa sebuah karya seni ini dalam cara yang benar
sehingga menghasilkan kesalahpahaman. Karya seni berupa puisi, sajak, lirik
lagu, pantun, penuh dengan gambaran, idiom, pencitraan. Dan dalam sebuah karya,
penggunaan kata-kata apapun sah-sah saja dan bermakna konotasi, sehingga tidak
dapat diterjemahkan langsung secara harfiah layaknya sebuah buku laporan. Dan
tulisan tentang ‘perempuan asing’ dalam Amsal 1-9 inipun tidak dapat dipandang
negatif sepenuhnya jika dinilai dari sisi seni.
Dari
sisi etika, kedua perempuan ini memang ditampilkan sebagai secara metofora dan
berlawanan satu sama lain. Namun sebenarnya, teks ini ditujukan secara etis
kepada semua orang bukan hanya sebagian orang saja. Istilah “perempuan
bijaksana” dipakai secara etis mewakili kebijaksanaan yang diatur berlawanan
dengan gambaran kebodohan yang ditampilkan oleh “perempuan asing”. Sisi etisnya
diekspresikan melalui praktik kehidupan yang benar atau jahat. Jadi bukti nyata
dari kebijaksanaan adalah kebenaran dan sebaliknya kebodohan dimanifestasikan
dengan kejahatan. Lebih dari itu, pada prinsipnya, secara etis seseorang
menjadi bijaksana adalah karena ia takut akan Tuhan (Amsal 1:7) begitu
sebaliknya. Banyak orang menyatakan bahwa dasar etika PL adalah ketaatan kepada
Allah. Yang lain menyatakan bahwa dasar etika PL adalah menjadi serupa dengan
Allah. Seseorang dikatakan jahat karena dia tidak mau bertindak seperti Allah,
ia mau melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya sendiri. Kedua orang
perempuan dalam teks ini mengasihi dan setia kepada pria muda. Dengan bujukan
atau rayuannya mereka mengajak pria muda untuk berhubungan dengan mereka, hanya
bedanya, ajakan untuk berhubungan seks di luar pernikahan yang membuat salah
satu perempuan dianggap asing. Estes
memberi kesimpulan pada artikelnya bahwa Amsal 1-9 bukan hanya sekedar “Dongeng
tentang Dua Perempuan” melainkan cerita tentang sistem etika yang tergambar
melalui kedua perempuan ini. Lalu apa yang membuat perempuan lain terkesan
‘asing atau aneh atau jalang’? Kebodohannya ini terdapat pada keteguhannya
untuk tetap berdiri sendiri dengan menolak Allah sebagai dasar kehidupan etis.
(2010 : 152 – 168).
Selain
itu, beberapa ahli juga mengkaitkan tokoh perempuan atau istri yang cakap dalam
teks ini dengat Rut[16]
berdasarkan teks Rut 3 : 11. Rut dikatakan sebagai eshet – chayil sebatas norma pergaulan. Sebutan ini merupakan
sebutan yang diberikan Boas atas prestasi susila yang dicapai oleh Rut. Ia
mampu menjaga pergaulannya dan tidak menggunakan status “janda mudanya” yang
tentu dipenuhi birahi pada laki – laki untuk mengejar banyak lelaki muda. Rut
justru lebih memilih mengikuti kata – kata ibu mertuanya yang didasari pada
tradisi Israel kuno dengan mendekati seorang penebus dari kaum kerabat mereka
untuk melanjutkan silsilah suaminya yang meninggal yang dalam hal ini adalah
Boas. Hal yang dilakukan oleh Rut ini memang merupakan hal yang tidak umum pada
masa itu, inipun diakui oleh Boas sendiri. Rut tidak mengejar – ngejar orang –
orang muda baik miskin atau kaya karena keinginan seksualnya. Karena itulah Rut
layak mendapat pujian dari Boas. Fenomena para janda muda ini juga yang
menggelisahkan Paulus dalam hal pembagian diakonia, dikarenakan gairah dan atau
nafsu birahi mereka (I Tim 5 : 11, 14). Rut memang istri dari Boas yang kaya
raya dan menjadi perempuan penerus silsilah Adam sampai ke garis silsilah
Yesus. Boas juga digambarkan sebagai sosok pria yang terhormat. Ia adalah orang
yang terlibat dalam tata peradilan di gerbang dan seorang yang kaya raya, mirip
dengan yang digambarkan dengan suami dari eshet
– chayil dalam Amsal 31 : 10 – 31. Namun demikian, hal ini tidak lantas
menjadi pentunjuk bahwa Rut adalah eshet
– chayil yang dimaksud atau telah memenuhi kriteria itu.
Hal
ini bisa dijelaskan dengan beberapa pernyataan berikut; Pertama, dilihat dari masa penulisannya sendiri, kitab Rut baru
ditulis pada masa pasca pembuangan. Amsal 31 : 10 – 31 yang berasal dari masa
sebelum pembuangan ini justru berusia lebih tua dari kitab Rut. Jadi penulis
Rut justru memakai idiom eshet – chayil
dengan segala karakteristiknya dalam Amsal 31 : 10 – 31 untuk menggambarkan
sosok Rut dalam pandangan Boas agar Rut bisa diterima sebagai nenek raja Daud,
sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang – orang Yahudi pada masa
pembuangan. Bahwa memang pada masa pasca pembuangan, ada orang – orang yang
tertarik untuk menulis tentang pengalaman Rut dan Boas ini untuk kepentingan
tertentu. Bisa jadi tulisan asli berasal dari kelompok penulis Tawarikh Raja –
raja yang melakukan penyelidikan terhadap silsilah keluarga raja Daud atau
dinasti Daud. Lalu ditemukan bahwa nenek dari raja Daud ternyata bukanlah orang
asli Yahudi sementara masa itu masih merupakan masa di mana kemurnian darah
diperlukan. Fakta ini tentu sulit diterima oleh orang – orang pada masa itu dan
pada masa penulisan kitab Rut yaitu pasca pembuangan. Tawarikh asli disaring
lagi untuk kepentingan tertentu melalui garis silsilah sehingga menjadi kitab
Rut dengan tujuan kritik terhadap ekslusivisme Israel. Pembahasaan Rut sebagai eshet – chayil yang digunakan oleh
penulis Rut pada masa pasca pembuangan ini ditujukan untuk membuka jalan agar
Rut dapat diterima sebagai nenek dari raja Daud dan kelonggaran bagi sikap
esklusivisme dan fanatisme sempit Yahudi masa itu bahwa orang asing seperti Rut
pun dapat memenuhi kriteria perempuan berhikmat di Israel.
Kedua, kitab
Rut ditujukan sebagai kritik terhadap sikap ekslusivisme dan fanatisme Yahudi
(Wahono, 2011 : 262 – 263). Pada masa ini, bangsa Israel yang baru pulang dari
pembuangan membangun kembali kehidupan mereka di Yehuda. Mereka dengan kuat
menekankan kepada keistimewaan mereka sebagai umat pilihan Allah. Hal ini yang
kemudian melatarbelakangi lahirnya esklusivisme di Israel. Ekslusivisme ini
dikemudian hari justru menjadi masalah baru berupa ketertutupan ketat terhadap
budaya sekitar mereka sampai kepada perihal kawin campur. Hal ini diberlakukan
tidak hanya bagi orang asing namun juga bagi orang Israel sendiri yang dianggap
asing karena ketidakmampuan mereka untuk membuktikan keyahudiannya dan masalah
ketidakmampuan berbahasa Ibrani (Snell, 2012 : 229). Karena itu lahirlah
penulis – penulis yang memandang negatif terhadap ketertutupan ini (Hinson,
2012 : 223 – 232). Kitab Rut hadir untuk
menentang upaya kawin campur dan mendesak agar orang – orang asing seperti Rut
dapat berpartisipasi dalam kehidupan dan keagamaan Yahudi (Vriezen, 2013 :
286). Dan jalan paling memungkinkan untuk hal ini adalah dengan pendekatan
silsilah. Namun tulisan yang dibuat dalam kitab Ruth ini bersifat naratif dan
ada batasan kuat antara tulisan naratif dan
hikmat. Bisa jadi memang Rut dimasukkan dalam kategori eshet – chayil, namun dalam makna denotasi bukan konotasi, dan
karena kepentingan tertentu. Hal ini akan berbeda artinya dengan eshet – chayil dalam Amsal 31 : 10 – 31.
Dengan
demikian, tidak lain bahwa eshet – chayil
dalam teks ini tetaplah personifikasi dari hikmat. Dalam teks Amsal 31 : 10
– 21, seperti gambaran kebanyakan ahli lain dijelaskan kerangka ideal seorang
perempuan pada masa Palestina jauh sebelum revolusi industri. Seperti kata
Simanungkalit, personifikasi hikmat ini tidak saja merupakan deskripsi hikmat
sejati dan ilahi tetapi juga simbol perempuan berhikmat dan beriman (2010: 29 –
30). Dan juga pendapat Martin Harun bahwa perempuan yang dimaksud di sini
adalah Nyonya Hikmat yang sejak awal Amsal sudah disinggung. Bagian ini
dijadikan penutup Amsal untuk memberi kesimpulan tentang peran dan pekerjaan
hikmat dalam dunia. Dan kunci hikmat itu adalah takut akan Allah (2010 : 51 –
55).
Tradisi Hikmat Sebelum
Masa Pembuangan
Perempuan
dalam teks ini berasal dari kalangan berada, karena itu, ia tidak hanya
berperan sebagai seorang ibu rumah tangga namun juga seorang wiraswasta serta
pemerhati sosial. Para perempuan dari kalangan atas pada masa itu memang
terbiasa melakukan kegiatan – kegiatan seperti yang terdapat dalam teks ini. Hanya
perempuan ini sedikit berbeda dan atau spesial. Menurut Harun, pada masa
penggubahan syair, perempuan – perempuan kalangan atas mengembangkan ekonomi
rumah tangga dengan industri pakaian dengan memperkerjakan putri – putri lain
dalam industri rumah tangga mereka. Dia bukanlah kaum perempuan golongan atas
pada umumnya karena dia juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap
kaum golongan rendah. Dan yang lebih utama dari semua itu adalah karena
perempuan ini takut akan Tuhan (2010 : 51 – 52). Selain itu menurut Van Leeuwen
sebagai mana diedit oleh Clifford, di dunia Timur Tengah kuno, industri tekstil
merupakan kriteria utama perempuan berhikmat. Seni tenun dan memintal ini
diperkenalkan sendiri oleh Enki, sang dewa hikmat dalam dunia Timur Tengah
kuno, ketika ia memberi pakaian kepada dewi Uttu. Dan bagi bangsa Israel, upaya
penenunan dinding untuk kemah suci pun dilakukan oleh perempuan. Seni memintal
atau menenun merupakan gambaran seni perempuan yang sempurna pada masa itu
(2007 : 85). Karena itu, hikmat dipersonifikasi dengan sosok perempuan sempurna
seperti ini.
Tradisi hikmat pada masa pra
pembuangan tidak menaruh arti lebih pada personifikasinya karena hikmat pada
masa itu lebih banyak bersifat praktis dan berlaku umum di dunia internasional
(Harun, 2010 : 5). Kebanyakan isi tradisi hikmat Israel memiliki kemiripan
dengan hikmat Mesir yang ditulis oleh Amen – Emope dengan tradisi hikmat Mesopotamia
kuno seperti Sumeria dan Babel. Orang – orang Mesopotamia kuno sejak lama
berusaha menemukan hukum yang berlaku umum dalam kehidupan dunia dengan cara
memantau dunia dan kehidupan sosialnya. Dari sini orang – orang berhikmat
mengerti bahwa umumnya, dunia mengikuti hukum sebab akibat. Umumnya mereka
percaya bahwa hikmat ini juga bersifat ilahi, berasal dari ilah – ilah sembahan
mereka. Dalam perkembangannya, ini juga
yang kemungkinan menjadi akar masalah ketika ternyata dalam realitas hidup,
hukum sebab – akibat tidak dapat berlaku menyeluruh sehingga satu – satunya
oknum yang pantas dipersalahkan adalah ilah – ilah.
Di Mesir sejak abad ke – 3 sM kata –
kata hikmat telah dipelihara dengan baik. Hikmat itu berasal dari hasil
pembelajaran praktis terhadap pengalaman hidup di dunia dan hubungan sosial maupun norma yang berlaku
umum dalam masyarakat. Di Mesir, gagasan hikmat mereka didasari oleh tata
tertib kosmis. Dewi Maat merupakan anak dari dewa Re merupakan perlambangan
dari kebenaran, keadilan, tata tertib dalam kosmos dan masyarakat. Orang
bijaksana harus bertindak seperti Maat agar mereka berhasil dalam hidupnya
begitu sebaliknya. Di Mesir sendiri, menurut Harun, tradisi kebijaksanaan
berkaitan erat dengan lingkungan istana. Dan cara ini sepertinya telah
berpengaruh besar dalam tradisi hikmat Israel yang berakar dalam lingkungan
istana (2010 : 7).
Di
Israel, sastra hikmat bertolak dari pengalaman hidup manusia secara
umum. Bahkan pada masa pra – aksara, sepertinya sudah ada ungkapan – ungkapan
hikmat. Umumnya, bentuknya satu baris, berisi pernyataan pengalaman namun
bersifat persuasif. Isi kalimat hikmat ini umumnya bersifat sosial – ekonomis
dan berlaku umum dalam masyarakat Israel kuno. Setelah masa aksara, kata – kata
hikmat ini mulai dibukukan dan sifatnya menjadi lebih kompleks. Hikmat Israel
selalu memiliki kaitan dengan Allah namun dalam pemahaman berbeda. Dalam
hikmat, Allah dipahami sebagai pemberi kemampuan dan menetapkan batas – batas
manusia. Allah adalah Allah yang terlibat dalam realitas hidup mereka sehari –
hari, menjadi penjaga kebenaran dan menghukum yang fasik. Sementara manusia
adalah makhluk yang terbatas sehingga mereka perlu bergantung sepenuhnya pada
Allah. Manusia dalam keterbatasannya harus takut akan Allah yang adalah sumber
hikmat dan atau permulaan hikmat. Takut akan Allah merupakan ciri kuat hikmat
Israel yang mula – mula. Namun demikian, pandangan tentang Allah dalam hikmat
Israel dan bangsa – bangsa lain tidak terdiferensiasi dengan baik (Harun, 2010
: 8 – 10).
Tradisi Hikmat Pada Masa
Sesudah Pembuangan
Pemakaian
personifikasi Eshet – Chayil ini
menjadi marak pada masa sesudah pembuangan karena konteks yang
menyertainya pada masa itu. Masa ketika
kajian hikmat Yahudi ini begitu diminati tumbuh bersamaan dengan gelombang
besar filsafat Hellenis. Kemungkinan kitab – kitab hikmat ini, termasuk Amsal 1
– 9, yang meneruskan tradisi dari Amsal 31 : 10 – 31 merupakan reaksi para guru
hikmat terhadap arus hikmat masa itu dalam rangka mempertahankan kemurnian
hikmat Israel. Teks aslinya memang sudah ada pada masa sebelum pembuangan
karena itu corak budaya yang muncul juga berasal dari masa sebelum pembuangan.
Namun tidak memperoleh perhatian sepenuhnya karena hikmat Israel belum menemui
tantangan serta pemurnian seperti yang terjadi pada masa pasca pembuangan. Seperti
kata Harun, dimensi religius hikmat Israel justru bertambah kuat sesudah masa
pembuangan (2010 : 10).
Simanungkalit
mengidentifikasikan penggunaan idiom “perempuan bijaksana atau nyonya hikmat
atau guru perempuan” dan memperbandingkannya dengan “perempuan asing atau
jalang” dalam Amsal 1 – 9 dikarenakan
konteks yang mempengaruhinya saat itu. Hikmat sejati dan ilahi serta figur
perempuan berhikmat amat dibutuhkan pada masa sesudah pembuangan (2010 : 29 –
30) karena ciri khas pergaulan masa itu. Bagi Simanungkali, ada pergeseran
situasi antara masa sebelum dan sesudah pembuangan yang mempengaruhi proses
penulisan hikmat antara dua masa ini (2010 : 45 – 51). Pada masa sesudah
pembuangan, norma pergaulan laki – laki dan perempuan diwarnai juga dengan
kehadiran banyak perempuan tuna susila. Sehingga lebih mudah juga untuk memakai
idiom ini sebagai bahan personifikasi hikmat. Sumber aslinya sudah ada dalam
Amsal 31 : 10 – 31 dan kemudian dilanjutkan serta atau direvisi kembali pada
masa sesudah pembuangan.
Kesimpulan
Perempuan
yang digambarkan dalam teks Amsal 31 : 10 – 31 merupakan gambaran seorang
wanita ideal, sempurna, dan jarang sekali atau hampir mustahil untuk ditemukan.
Semua karakteristik yang digambarkan oleh penyair merupakan karakteristik sosok
perempuan sempurna sehingga layak untuk menjadi personifikasi hikmat.
Karakteristik perempuan ini sepertinya hanya reka – reka penyair saja yang
mencoba untuk mempersonakan hikmat.
Memang
ada catatan tentang Rut dalam Alkitab yang disebut orang sebagai Eshet – Chayil dalam Rut 3 : 11, namun iapun bukan sepenuhnya kriteria
seorang Eshet – Chayil tepat seperti
yang digambarkan oleh Amsal. Konteks Amsal 31 : 10 – 31 sepertinya tidak ada
koneksi sama sekali dengan kisah Rut. Justru penulis Rut-lah sepertinya telah dengan
sengaja memakai konsep eshet – chayil ini
untuk menggambarkan pribadi Rut agar orang - orang asing yang pada masa
pembuangan dihindari dengan alasan pemurnian Yahudi dapat diterima.
Konsep
chayil dalam Amsal ini lebih mengarah
kepada multi – kemampuan si perempuan. Tidak hanya memiliki kemampuan multitasking, ia juga adalah seorang
yang multiacting. Perempuan ini
mengelola dengan baik segenap energi yang ada dalam dirinya untuk melakukan
segala tindakan positif. Menurut Harris, energi dan kemampuan besar yang ia
miliki ini berasal juga dari tubuhnya yang sehat. Sistem otaknya berkoordinasi
dengan baik dengan semua organ tubuh dan ototnya sehingga semua bagian tubuhnya
seimbang. Antara energi yang dikeluarkan untuk berpikir dan bertindak seimbang
(782). Lebih dari itu, dari hati, ia memiliki belas kasih terhadap sesamanya.
Jadi energi besar yang ia miliki ia gunakan dengan hikmat dan dalam kasih. Semua kemampuan ini bersumber dari satu hal
penting yaitu takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan membuat perempuan ini seimbang
dalam berbagai hal. Ia cerdas secara kognitif, afektif dan psikomotorik; secara
intelektual, emosional dan spiritual. Ketiga kecerdasan ini dipersonakan oleh
penyair dalam diri seorang perempuan yaitu eshet
– chayil.
Bab
III
Penutup
Ada
banyak personifikasi dalam PL. Namun khusus sastra hikmat, hikmat tidak hanya
digambarkan namun diberi peran dan karakter oknum yang hidup. Bagi
Simanungkalit, gambaran hikmat dibutuhkan sebagai deskripsi hikmat sejati dan
ilahi serta sebagai simbol Israel yang berhikmat (2010 : 51). Dalam Amsal,
hikmat digambarkan sebagai seorang perempuan. Perempuan ini digambarkan sebagai
guru yang menegur dengan tegas, membujuk dengan janji yang mengikat dan
mempersiapkan jamuan pesta.
Dalam
PL, hikmat bukanlah merupakan hal yang sukar atau misteri besar yang tidak
terselidiki oleh manusia. Menurut McCreesch sebagaimana dikutip Farmer, hikmat
merupakan hal yang praktis, kekinian, mengarahkan manusia kepada iman dan
kesetiaan pada kehidupan yang sesuai dengan apa yang mereka pilih (1991 : 127).
Karena itulah hikmat dapat dipersonifikasikan oleh berbagai macam fenomena
kehidupan yang dekat dengan manusia seperti nabi (Amsal 1 : 20), anak
kesayangan (8 : 30), penasihat raja (8 : 15), seorang penyayang (4 : 6 – 9 ; 8
: 17, 21), seorang istri ( 31 : 10) dan ibu (8 : 32). Hikmat dipersonifikasikan
sebagai seorang perempuan yang membangun rumahnya dan mengisinya dengan harta
benda, mempersiapkan makanan, dan mengundang para tamu untuk hadir dalam jamuan
yang ia siapkan (9 : 1 ; 14 : 1 ; 24: 3 – 4). Hikmat digambarkan sebagai
seorang perempuan yang kuat dan mampu menjamin keamanan bagi mereka yang
percaya kepadanya (Farmer, 1991 : 126).
Hikmat
seringkali dipersonifikasikan dengan seorang wanita mungkin karena pengertian
asli kata yang digunakan untuk menggambarkan tentang hikmat itu sendiri. Dalam
Amsal, hikmat pada gambaran penciptaan adalah perempuan bijak yang mendampingi
Allah saat menciptakan bumi (heqet;
bentuknya feminim). Perempuan ini senang dengan kreasi Allah dalam hikmat,
senang dengan hasil kreasi tersebut dan senang tinggal di antara manusia yang
mencari dia. Memiliki hikmat merupakan perkara hidup dan mati. Apapun, di
manapun, kapanpun, bagaimanapun, jika ingin hidup bahagia dan sukses, seseorang
memerlukan hikmat. Hikmat juga menggambarkan seorang perempuan yang membuka
rumah makan dan mengundang semua orarng yang belum berpengalaman dan berakal
budi untuk hadir di sana. Menu yang ditawarkan adalah makanan dan minuman yang
memberantas kebodohan dan memberikan hidup. Kata yang digunakan untuk ini
adalah hokmah berbentuk feminim.
Hikmat dalam hal ini bertindak aktif mencari manusia yang penuh kebodohan,
mencintai manusia dengan penuh kasih sayang (Harun, 2010 : 32).
Bagi Draper, “perempuan atau istri
yang cakap” dalam teks ini merupakan figur wanita yang sempurna, bahagia dan
takut akan Allah. Kesempurnaan yang digambarkan dalam teks ini menjadikannya
pantas sebagai personifikasi dari segala macam kebajikan dan kekuatan hikmat
seperti gambaran Amsal (1977 : 147). Si penyair Amsal ini mencoba untuk sedemikian rupa
menggambarkan satu sosok ideal yang perlu menjadi sasaran semua orang.
Perempuan dalam teks ini menjadi contoh sempurna perwujudan manusiawi dari
hikmat Allah; hikmat dipersonifikasi sebagai sosok Perempuan bernama Hikmat
dalam darah dan daging (Longman, 2007 : 182 – 183).
Hikmat
dipersonifikasikan untuk membuang pandangan tentang betapa sulitnya untuk
mendapatkan hikmat itu sendiri. Hikmat dalam pandangan Amsal bukan merupakan
sesuatu yang penuh misteri dan transenden. Hikmat itu sederhana, praktis dan
nyata layaknya seorang perempuan cakap yang ada di dalam rumah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Alden,
Robert. L.
2002 Tafsiran
Praktis Kitab Amsal : Ajaran untuk Memiliki Kehidupan Teratur dan Bahagia. Malang
: SAAT.
Blommendal , J.
2012 Pengantar
Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Clifford,
Richard J et al.
2007 Symposium : Wisdom Literature
In Mesopotamia and Israel. Atlanta : Society of Biblical Literature.
Crusemann,
Frank.
1996 The Torah: Theology and
Social History of Old Testament Law. Minneapolis : Fortress Press.
Draper,
James T.
1977 Proverbs : The Secret of
Beautiful Living. Illinois : Tyndale House Publisher.
Delitzsch,
Franz.
-
Biblical
Commentary on the Proverbs of Solomon. Michigan : WB. B. Eerdmans
Publishing Company.
Dell, Katharine.
2010 Ethical
and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. New
York : T&t Clark.
Farmer,
Kathleen A.
1991 Who Knows What Is Good? A
Commentary on the Books of Proverbs and Ecclesiastes. Grand Rapids :
WM. B. Eerdmans Publishing.
Groenen,
C.
1992 Pengantar Ke Dalam
Perjanjian Lama. Yogyakarta : Kanisius.
Harris. W.
-
The Preacher’s Cmplete Homiletic Commentary on The
Book of the Proverbs. Michigan : Baker Book
House.
Harun, Martin.
2010 Marilah,
Makanlah Hidanganku : Hikmah Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkhotbah. Jakarta
: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.
Hinson,
David.
2012 Sejarah Israel pada Zaman
Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Karman,
Yongki.
2007 Eshet Hayil Dalam Forum
Biblika : Jurnal Ilmiah Popular No 22 Tahun 2007. Jakarta : Lembaga Alkitab
Indonesia.
Karman, Yonki.
1999 Puisi dan Retorika Ibrani
dalam Forum Biblika : Jurnal Ilmiah Popular No 9 tahun 1999. Jakarta :
Lembaga Alkitab Indonesia.
Lane, Eric.
2000 Proverbs:
Everyday Wisdom for Everyone. Great Britain : Christian Focus.
Lasor, W.S. et.al.
2013 Pengantar Perjanjian Lama
2 : Sastra dan Nubuat. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Longman,
Tremper III.
2007 Hikmat dan Hidup Sukses :
Panduan untuk Memperoleh Manfaat dari Kitab Amsal. Jakarta :
Persekutuan Pembaca Alkitab.
Ludji,
Barnabas.
2009 Pemahaman Dasar Teologi
Perjanjian Lama 2. Bandung : Bina Media Informasi.
Preuss, Horst Dietrich.
1995 Old Testament Theeology. Scotland
: T & T Clark
Rogerson, John, Ed all.
2004 Theory
and Practice In Old Testament Ethics. T&t Clark: New York.
Simanungkalit, Risnawaty.
2010 Hikmat
Dalam Amsal dalam Perkembangan Tradisi Hikmat Dalam Alkitab. Klender : Simposium Nasional V ISBI.
Snell, Daniel C.
2012 Kehidupan Di Timur Tengah
Kuno 3100 – 332 SM. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Vreiezen, TH. C.
2013 Agama
Israel Kuno. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wahono, Wismohady A.
2013 Di
Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM
140101
[2] Simanungkalit mengutip
Harvis dengan menyatakan bahwa hanya Amsal 1 : 1 – 7 atau 1 – 2 yang merupakan bagian pendahuluan dari
kitab Amsal (2010 : 15).
[3] Pernyataan yang cukup aneh
dari Simanungkalit. Nama Salomo digunakan sebagai indikator otoritas Ilahi
dalam karangan Amsal. Jika pendapat yang muncul untuk penggunaan nama ini
karena popularitas dan otoritas Salomo sebagai orang paling berhikmat pada
masanya sehingga memungkinkan karangan ini dapat diterima luas, mungkin akan
lebih diterima. Digunakan atau tidaknya nama Salomo dalam kitab Amsal tidak
serta merta mengindikasikan bahwa tulisan itu adalah firman Allah.
[4] Ditambah dengan dan 1 : 20
– 33; 8 : 1 – 36; akan dimasukkan dalam
kolom khusus tentang Hikmat dan personifikasinya.
[5] Amsal 12 : 4; 31 : 10 ;
Rut 3 : 11
[6] Dalam KJV digunakan frasa virtuous woman, dalam versi NIV frasa A wife of noble character dan dalam ESV digunakan frasa An excellent wife.
[7] Pengertian ini digunakan
untuk menjelaskan sifat Rut dalam pergaulannya dengan laki – laki (Rut 3 : 11).
Ia dikatakan sebagai perempuan baik karena ia tidak mengejar laki – laki yang
lebih muda darinya. Ia juga tidak memanfaatkan statusnya sebagai janda muda
pada umumnya yang mampu menjerat banyak laki – laki. Jadi ini berkaitan dengan
etika bergaul Rut dan statusnya.
[8] ESV : She is far more precious than jewels, NIV :
She is worth far more than rubies, KJV: For her price is far above rubies.
[9] KJV : The heart of her
husband doth safrely trust in her, NIV: Her husband has full confidence, ESV:
The heart of her husband trus in her.
[10] KJV : so that he shall
have no need of spoil, NIV: Lacks nothing of value, ESV: And he will have no
lack of gain.
[11] TB : Ia berbuat baik
kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. KJV: She will do him
good and not evil all the days of her life. NIV: She brings him good, not harm,
all the days of her life.
[12] TB : Ia mencari bulu domba
dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. KJV: She seeketh wool, and flax,
and workhet willingly with her hands. NIV : She selects wool and flax and works
with eager hands.
[13] Scarlet atau Crimson
[14] TB : Ia membuat bagi
dirinya permadani; KJV: Shee maketh herself coverings of tapestry; NIV: She
makes coverings for her bed; ada yang menterjemahkannya dengan “pillows”.
[15] Versi TB LAI. NIV : Her
husband is respected at the city gate, where he takes his seat among the
elderrs of the land.
Ummat israel kenapa tidak mengakui nabi muhammad s.a.w
BalasHapus