MENELAAH HIPERREALITAS KARAKTER GENERASI Y
Hiperrealitas merupakan
salah satu indikator karakteristik pemikiran atau filsafat yang muncul pada
masa post – modern. Hiperrealitas merupakan re – produk gabungan antara
realitas fisik dan realitas maya, kecerdasan otak kiri dan kanan manusia, yang
asli dan buatan[1]. Pada
bagian ini, penulis lebih memfokuskannya pada produk hiperrealitas karakter
manusia sebagai efek dari penggunaan internet. Oleh sebab itu, bab V dari
penelitian ini akan menelaah situasi – situasi dan perkembangan paradigma
internet yang menimbulkan ketegangan – ketegangan antara generasi baby boomers, X, dan Y sehingga
berakibat para hiperrealitas karakter generasi Y dan upaya implementasi formula
Qohelet bagi generasi ini.
Latar Belakang Pemikiran
Strauss
menggambarkan sejarah
perjalanan dunia seumpama sebuah lingkaran yang akan kembali lagi pada titik
semula. Dalam bukunya, ia
menggambarkan keberadaan empat generasi dalam sejarah dunia yang mewakili empat tipe macam karakter manusia
berdasarkan waktu lahir. Keempat karakteristik generasi manusia ini
akan selalu
berulang sesuai
dengan perputaran bumi, dalam
sejarah dunia, meski telah berevolusi dalam wajah yang baru[2].
Jika masa keempat generasi
manusia ini selesai, sejarah karakteristik manusia akan kembali ke titik awal[3].
Keempat generasi itu antara lain:
The first turning is a high, an upbeat era of
strengthening institutions and weakening individualism, when a new civic order
implants and the old value regime decays. The second turning is an awakening, a
passionate of spiritual upheaval, when the civic order comes under attack from
a new values regime. The third turning is an unraveling, a downcast era of
strengthening individualism and weakening institutions, when the old civic
order decays and the new rules regime implants. The fourth turning is a crisis,
a decisive era of secular upheaval, when the values regime propels the
replacement of old civic order with a new one[4].
Perang Dunia II menandai
berakhirnya empat generasi terdahulu dan mengulangi lahirnya generasi tipe
pertama yaitu baby boomers, gen X,
gen Y dan gen Z. Saat buku ini ditulis, penulisnya belum memiliki bayangan spesifik
tentang gen Z. Namun penulisnya meyakini bahwa masing – masing generasi yang
ada ini mewakili keempat rotasi karakteristik generasi dalam sejarah dunia.
Di lain
pihak, manusia diperhadapkan dengan situasi sosial yang terus berubah.
Perubahan merupakan hal mutlak yang tidak mungkin ditolak. Tiga dekade ini
merupakan masa jaya digital dengan gen Y sebagai “digital natives”nya. Permasalahannya adalah, hal yang disimulasikan
oleh dunia maya atau digital seringkali dianggap lebih benar daripada fakta
sesungguhnya. Inilah yang disebut dengan hiperrealitas. Karena itu, perlu
dicari formula efektif agar terjadi keseimbangan antara dunia realitas dan
dunia hiperrealitas agar gen Y memiliki karakter tajam yang baik demi masa
depan dunia yang lebih cerah[5].
Generasi Y
Untuk menyatukan pemahaman tentang generasi Y, maka
pada bagian ini penulis menguraikan tentang definisi generasi Y dan life of setting dari generasi Y (bisa
juga disebut dengan gen Y) itu sendiri.
5.2.1
Definisi
Generasi Y
Generasi Y
merupakan label yang diberikan kepada satu generasi dalam sejarah dunia setelah
era milenium. Generasi ini memiliki nama lain yaitu gen why, gen search, gen
next, the net generation, the digital natives, the dot.com generation, the
Einstein generation, echo boomers, dll[6].
Generasi Y merupakan sebuah fenomena baru dalam peradaban manusia[7].
Nama ini menjadi sebutan bagi anak – anak yang lahir berbarengan dengan
kemunculan digital. Ada yang memperkirakan bahwa generasi ini lahir pada tahun
1978[8]
namun ada juga yang menyebut tahun 1980[9].
Menurut Fields dkk, dinamakan digital
natives karena generasi ini merupakan generasi manusia yang tidak pernah
lepas dari seluler dan internet[10].
Generasi ini merupakan generasi yang aktif menggunakan internet. Tapscott yang
pertamakali menamai kelompok ini dengan generasi Y dan melakukan penelitian
terhadap gejala – gejala sosial yang muncul pada beberapa dekade terakhir, menyatakan
bahwa generasi ini merupakan generasi paling unik di antara semua generasi yang
pernah ada karena lahir berbarengan dengan kelahiran media digital[11].
Ada
perubahan drastis dan nyata dalam sejarah perkembangan dunia sejak tahun
1980-an. Gen Y yang diperkirakan sebagai populasi terbesar saat ini, telah
membawa perubahan pada paradigma manusia baik itu budaya, standar – standar
etika, dan segi – segi kehidupan lain[12]
terutama dalam dunia kerja. Data menunjukkan bahwa di Amerika saja, orang –
orang dalam usia ini mencapai angka 74 juta jiwa[13]
pada tahun 2008. Menurut Tapscott, gen Y merupakan populasi terbesar dan bisa ditemui hampir di setiap
sudut dunia baik di tempat kerja, pasar tradisional, pusat – pusat perbelanjaan
modern, wahana olahraga, tempat wisata, gedung ibadah, dll. Gen Y merupakan
otot demografi dunia, orang – orang pintar dalam media, memiliki kemampuan
dagang tinggi, mampu memberikan model – model baru dalam kerjasama dan parenting,
memiliki kemampuan berwirausaha dan punya kekuatan politik[14].
Secara
umum, gen Y adalah orang – orang yang memiliki kesadaran sosial tinggi. Hal ini
tentu merupakan hasil bentukan dari orang tua mereka yang merupakan kaum baby boomers[15].
Kebanyakan gen Y bersedia melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan sosial
sejak usia SMA, universitas dan bersedia menjadi tenaga sukarelawan di berbagai
bidang sosial. Gen Y memimpikan suatu bentuk pemerintahan yang bersih,
menghargai hak setiap orang dan peduli terhadap isu – isu dunia.
Latar Belakang Sosial yang menyebabkan
Lahirnya Hiperrealitas Karakter pada Generasi Y
Dalam
pendahuluan artikelnya, Twenge menuliskan bahwa dari perspektif kultural,
situasi di mana seseorang lahir dan bertumbuh memiliki pengaruh besar bagi
keberadaan orang tersebut kelak[16].
Menurut Plowmann, gen Y lahir antara tahun 1978 – 1979 dan pada tahun 1979 ini
lahir pula piranti seluler dengan teknologi Touch
Screen yang memusatkan perangkatnya pada komunikasi internet, podcasting, layanan video dan TV, tab,
dll[17].
Generasi inilah yang disebut oleh Tapscott sebagai “Net Generation”[18].
Tapscott sendiri mengklaim bahwa kemampuan motorik halus dan kasar, bahasa,
sosial, kognitif, nilai – nilai, personalitas, berotonomi pada masa remaja gen
Y dihasilkan melalui interaksi dengan internet. Sehingga semua usaha orang tua
atau para pendidik untuk mendidik anak – anak generasi Y ini tanpa pendekatan
media akan menjurus kepada tindakan yang sia – sia[19].
Anak – anak pada masa ini memakai media – media yang berhubungan dengan situs
internet dan atau digital untuk bahan
pembelajaran mereka hampir pada setiap lini kehidupan dan membentuk sebuah
paradigma baru[20]. Dengan
bantuan media digital, generasi ini juga dikenal dengan orang – orang dengan
kemampuan multitasking tinggi
dibandingkan dengan generasi lain yang pernah ada. Gen Y mampu menonton siaran
televisi sambil terus berinteraksi dengan selular di tangan kiri dan komputer
atau koran di tangan kanan seraya makan dan minum kopi[21].
Generasi Y
didahului oleh dua generasi yang secara tidak langsung telah membentuk
karakteristik mereka, antara lain:Generasi Baby Boomers
Generasi Y
lahir dari orang tua yang merupakan generasi baby boomers. Baby boomers sendiri
lahir antara tahun 1946 – 1964. Di negara – negara besar, kelompok ini sedang
memiliki suara paling keras dan merupakan pemimpin dunia masa kini. Namun
demikian, situasi awal kehidupan mereka tidak seluruhnya mudah. Baby boomers lahir pada masa setelah
perang dunia (selanjutnya disingkat PD) II. Pada masa PD II, ada banyak
keluarga memutuskan untuk menunda memiliki anak karena alasan perang. Ratusan bahkan ribuan perempuan yang sudah
terlanjur memiliki anak harus menerima kenyataan pahit ketika suami mereka
“gugur” dalam medan perang.
Para laki –
laki dewasa yang tetap hidup pasca perang harus kembali dengan tantangan
pekerjaan yang tidak kalah berat. Kehancuran berbagai fasilitas dunia pasca
perang membuat para laki – laki dan perempuan dewasa harus bekerja keras demi
perbaikan fasilitas negara dan kehidupan pribadi. Setelah perang usai, terjadi
ledakan perekonomian dan penduduk karena
kelahiran meningkat dan jumlah imigran yang datang ke negara – negara besar. Di
Amerika, dari jumlah kelahiran 2,9 juta pertahun di tahun 1945 berubah menjadi
rata – rata 4 juta kelahiran pertahun sampai 1964 dengan jumlah kelahiran
tertinggi pada tahun 1957 yaitu 4,3 juta[22].
Kebanyakan mereka ini muncul dengan penampilan baru dan menghasilkan
keterkejutan bagi generasi pendahulunya yang tradisional.
Carolyn A.
Martin seorang pemimpin dari Rainmaker
Thinking Inc, melihat adanya perubahan karakteristik pekerja dari masa –
kemasa. Dan indikator paling utama
adalah keamanan kerja. Ketika kaum tradisionalis[23]
dan baby boomers[24]
memasuki dunia kerja, mereka berpikir bahwa jika memberi kontribusi, menaiki
tangga karir dengan sungguh - sungguh, memberikan
loyalitas tinggi pada pekerjaan akan dipertahankan dalam perusahaan[25].
Namun sekitar pertengahan tahun 1990 – an terjadi krisis moneter sehingga
banyak perusahaan besar bangkrut dan sebagian lagi melakukan “perampingan”
karyawan secara besar – besaran. Dan target “perampingan” ini adalah baby boomers tua dengan alasan sudah
tidak produktif lagi dalam pekerjaan. Gen Y yang menjadi saksi mata loyalitas
orang tua pada pekerjaan dan atasan sekaligus menjadi saksi kekecewaan orangtua
mereka karena di PHK oleh perusahaan beranggapan bahwa loyalitas pada satu
pekerjaan dan satu tuan bukanlah ukuran kesuksesan. Karena itu, kebanyakan gen
Y sebagai generasi muda masa kini menggunakan kemampuan mereka untuk bekerja
dalam lebih dari satu bidang pekerjaan.
Di sisi
lain, menurut Bergh, gen Y lahir dari baby
boomers yang baru menikah dan mempunyai anak di atas 30 tahun sehingga
berperan baik sebagai orangtua maupun tutor bagi gen Y[26].
Baby boomers membesarkan gen Y
layaknya seorang pelatih yang memusatkan mereka pada perkembangan individu.
Karena itu, mereka menganggap bahwa setiap hal yang ada di sekitarnya merupakan
hal penting untuk mengembangkan diri. Para boomers
melibatkan anak mereka dalam berdiskusi dan mengambil keputusan penting dan
memberikan mereka kesempatan untuk belajar hal apapun seluas – luasnya. Inilah
yang menyebabkan gen Y terkesan kritis, sinis, dingin dan sulit untuk
mengucapkan “wow” terhadap peristiwa dan atau permasalahan di sekitarnya[27].
Namun demikian, ini juga yang membuat gen Y sangat menjaga relasi, networking, kejujuran, otentifikasi, integritas,
kehidupan, pekerjaan, dll. Mereka mencari suatu situasi di mana mereka dianggap
sangat berarti. Jika gen Y memiliki ide, mereka ingin sesegera mungkin
mewujudkannya[28].
Generasi X
Generasi X (bisa
juga disingkat gen X) atau biasa disebut juga baby busters, post boomers, slacker generation,indifferent, shadow atau
invisible generation, atau the lost generation merupakan generasi
kedua setelah baby boomers. Sering
dinamakan demikian karena generasi ini dianggap sebagai percepatan atau
persiapan bagi masuknya babak baru dalam sejarah dunia yaitu kelahiran generasi
Y dan Z; karena itu generasi ini dikenal sebagai generasi yang pesimis[29]. Pada masa kini, gen Y mulai aktif dalam dunia
ekonomi, sosial, politik, agama, dll bertemu dengan gen X, yang pesimis, tetapi
sedang aktif bekerja pada masa kini. Berbeda
dari gen Y yang memiliki jumlah populasi cukup banyak dalam dunia kerja, gen
X yang menjadi pemimpin – pemimpin vokal
hanya sedikit[30].
Tahun 1965
– 1977 diperkirakan sebagai tahun kelahirarn gen X. Ketika gen X memasuki dunia
kerja, mereka melihat baby boomers sebagai
orang – orang setia dalam pekerjaan mengalami frustasi akibat di PHK oleh
perusahaan – perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif. Karena itu,
mereka mulai memikirkan keamanan dalam pekerjaan mereka. Pengalaman pahit yang
terjadi pada generasi baby boomers
menjadi pelajaran tersendiri. Gen X adalah generasi orang – orang yang giat
bekerja sekaligus juga memiliki security
system sangat baik untuk kehidupan
jangka panjang. Mereka mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan, bagi mereka pribadi dan keturunan mereka. Hal ini
dilakukan dengan kegiatan – kegiatan menabung, mengikuti berbagai jenis
asuransi, memperbanyak dan melakukan jual – beli aset, dll[31].
5.2.3 Pro – Kontra Pandangan Terhadap Generasi Y
Ada dua kelompok berbeda pandangan terhadap generasi
Y, yang satu berpandangan positif sementara yang lain berpikiran negatif
terhadap kehadiran generasi ini.
5.2.3.1 Kelompok
yang Berpandangan Negatif terhadap Generasi Y
Pada awal
kemunculan gen Y dalam dunia sosial dan ekonomi, kebanyakan generasi Baby Boomers dan gen X berpandangan negatif terhadap kehadiran
kelompok ini. Hal ini terlihat tidak hanya dalam praktis kehidupan sehari –
hari di dunia kerja, sekolah, masyarakat, lingkungan keagamaan, namun juga
dikemas dalam artikel – artikel akademis, jurnal, dll. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa:
Pertama, generasi ini dianggap sebagai generasi paling “bodoh” di antara semua
generasi yang pernah ada. Mark Baurlein sebagaimana dikutip Tapscott dalam
artikelnya “The Dumbest Generation: How
The Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future” menyatakan
bahwa:
“Digital ternyata telah menciptakan satu generasi
yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan gadget-nya
sehingga mereka menjadi orang yang “tidak tahu apa – apa” pada dunia
sekitarnya. Gen Y sangat dangkal dan tidak bisa fokus pada apapun namun sering
melakukan pemberontakan. Media internet telah menciptakan generasi malas
membaca, prestasi buruk, komunikator yang jelek, berperilaku jelek, tanpa nilai
– nilai dan budaya[32].
Gen Y tidak peduli apapun; Mereka hidup tanpa nilai
– nilai. Gen Y hanya tertarik pada budaya – budaya popular, selebriti, dan
teman – teman. Mereka tidak membaca koran atau menonton berita namun lebih
tertarik pada komedi; tidak ikut kegiatan pemilu dan sosial masyarakat. Gen Y
merupakan model masyarakat yang buruk[33].
Kedua, kecanduan gen Y pada digital dan internet sejenis dengan kecanduan
alkohol atau obat – obatan sehingga mereka kehilangan kemampuan sosial,
keinginan untuk berolahrarga dan beraktifitas di lapangan, sehingga menjadi
gemuk.
Ketiga, gen Y merupakan generasi yang tidak tahu malu dan narsis. Dalam bukunya,
M. Gigi Durham berjudul “The Lolita
Effect”, menyatakan bahwa, gen Y tidak segan menampilkan foto – foto
pribadi mereka yang sebenarnya kurang layak jika ditampilkan untuk umum. Mereka
juga tidak segan – segan membagi biodata mereka ke hadapan umum padahal
tindakan ini dapat saja disalahgunakan oleh sebagian orang yang tidak
bertanggungjawab untuk mencari keuntungan tertentu[34].
Keempat, kebiasaan orangtua memanjakan gen Y membuat generasi ini “terapung –
apung” di dunia sehingga mereka kuatir dalam menentukan langkah hidup
selanjutnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh William Damon, pengarang
buku “The Path To Purpose”, anak muda
dalam pola asuh seperti ini berubah menjadi orang – orang yang takut
berkomitmen. Mereka tidak yakin dengan karir yang mereka miliki dan takut
mengambil keputusan berrumah tangga[35].
Kelima, gen Y merupakan generasi pencuri dan pelaku tindak kriminal yang
“berdarah dingin”. Secara tidak sadar, gen Y telah melakukan pencurian hak
cipta, mengunduh file secara gratis dan mengganti dengan namanya, tanpa izin
menyebarkan berita dari media, dll. Mudahnya akses informasi dari internet
telah menciptakan generasi yang lemah daya juang. Penggunaan internet tanpa
disadari telah menciptakan generasi yang plagiat, hanya tingga meng – “copy – paste” informasi dari internet,
mengedit, lalu membubuhkan namanya pada tulisan tersebut[36].
Mereka juga melakukan tindakan bullying terhadap teman – teman online mereka, bertindak
brutal karena mencontoh game – game yang
mereka mainkan di internet[37].
Hal yang memprihatinkan karena tindakan – tindakan yang sebenarnya kurang etis
ini dianggap sesuatu yang biasa oleh kaum digital
natives.
Keenam, dalam dunia pekerjaan, gen Y memiliki citra yang buruk. Generasi Y tidak
memiliki etika kerja mulai dari disiplin waktu, cara berpakaian buruk,
penghargaan terhadap pemimpin kurang, memberontak, suka membolos dari
pekerjaan, tidak fokus, dll. Mereka adalah generasi yang bertindak “seenaknya”
dan tidak memiliki loyalitas serta etos kerja baik sehingga sering berpindah –
pindah tempat kerja[38].
Menurut
Baurlein, generasi ini memang memiliki kemampuan interconnected dan multitasking,
otonomi pemikiran, dll. Namun demikian, gen Y bukanlah generasi yang mampu
membuat lompatan – lompatan dalam sejarah pemikiran, bukan pemikir global, dan
tidak berorientasi pada masyarakat atau kepentingan umum. Gen Y memang belajar
banyak hal, download dan upload data, surfing dan chatting, post –
repost dan design, namun tidak
memiliki kemampuan analisis terhadap teks yang kompleks. Isi otak gen Y adalah
berbelanja (konsumerisme), lebih suka terhadap cara – cara orang asing
mengambil keputusan ketimbang cara – cara tradisional, tidak mengambil
pelajaran dari sejarah, suka sembarang mengeja bahkan mengacaubalaukan ejaan,
mengaburkan budaya tradisional bahkan menghilangkannya. Semua hal negatif ini
merupakan gambaran negatif masa depan dunia di tangan gen Y[39].
Kelompok yang Berpandangan Positif terhadap Generasi Y
Menurut Topscott, jika dugaan kaum tesis negatif
benar, maka masa depan dunia akan hancur. Untuk itu, Topscott dkk telah
melakukan riset kepada lebih dari 4 juta pemuda sejak tahun 2006 – 2008. Juga
telah melakukan wawancara terhadap 6.000 gen Y dari seluruh dunia dengan
menggunakan media dan menghasilkan 40 laporan. Melalui laporan ini diketahui
karakteristik gen Y.
Gen Y merupakan generasi yang lebih pintar, cepat,
toleransi dan atau terbuka terhadap perbedaan ketimbang para pendahulunya.
Mereka sangat peduli terhadap keadilan dan masalah – masalah sosial masyarakat
bahkan sejak usia sekolah, di lingkungan kerja maupun komunitas. Khusus di
Amerika Serikat, generasi ini berkaitan erat dengan dunia politik, memandang
positif dan memberi warna baru dalam demokrasi dan pemerintah sebagai alat mengembangkan
dunia. Pemerintah AS sendiri yaitu Obama,
menggunakan bantuan inovasi gen Y untuk melakukan transformasi dalam
setiap sisi kehidupan masyarakat Amerika karena kecepatan dan inovasi bagi gen
Y merupakan habit [40].
Diakui memang bahwa gen Y berbeda dari orang tuanya.
Mereka ingin mendapat kebebasan, mencintai kebebasan dan menghadiahkan
kebebasan kepada sesamanya. Jika pada
masa sebelumnya seseorang harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan
agar dapat diterima dalam lingkungan tersebut, gen Y justru menjadikan
lingkungan sebagai bagian dari hidupnya. Karena itu lingkungan, baik itu rumah,
sekolah, tempat kerja, dll harus menyenangkan, nyaman dan melahirkan rasa aman
bagi mereka. Dalam bidang pendidikan, gen Y merupakan kolaborator alami,
menyukai percakapan bukan kuliah. Gen Y menyimak seseorang dan meneladaninya,
karena itu mereka sangat bersikeras terhadap integritas[41].
Karakteristik Generasi Y
Gen Y
merupakan generasi yang sangat kreatif dan mengekspresikan kreatifitas mereka
dalam cara berbeda dari generasi lain. Gen Y menyampaikan informasi dalam cara
yang lebih lunak. Mereka mengemas ulang informasi dalam bentuk baru dan cara
yang menyenangkan. Untuk menyampaikan satu informasi tertentu, gen Y akan
mengkombinasikannya dengan musik, gambar – gambar, film – film tertentu, dll[42].
Karakteristik generasi Y dapat terlihat dalam dua hal besar berikut:
Dari Sudut Ekonomi
Kaum Y
percaya bahwa tidak ada hal yang mustahil untuk diselesaikan di dunia ini dan
mereka telah membuktikannya bahkan ketika mereka masih di usia SMP atau SMA.
Kemampuan natural generasi Y untuk mengakses informasi apapun dari internet
melebihi generasi pendahulunya menyebabkan gen Y dengan cepat dapat sukses
dalam dunia bisnis[43].
Dalam dunia pekerjaan, gen Y terkenal dengan orang – orang yang sukses dengan
cepat dalam menjalankan bisnis mereka melalui internet.
Dengan
kemampuan multi – tasking yang mereka
miliki serta dukungan internet, gen Y dapat mengambil beberapa jenis pekerjaan
berbeda sekaligus. Banyak kali ditemukan kaum Y yang memutuskan untuk bekerja
pada satu organisasi tertentu, mampu bekerja paruh waktu di tempat – tempat
lain sambil menyelesaikan studi
mereka[44].
Hal seperti ini jarang terjadi pada generasi sebelum dan sesudah generasi Y.
Kebanyakan gen X dan generasi lain yang lebih tua akan menilai bahwa generasi
ini adalah populasi orang – orang yang “gagal fokus” dalam dunia kerja. Namun
pendapat ini perlu ditinjau ulang.
Umumnya,
gen Y tidak terlalu suka mengikat dan menyetir orang lain dengan berbagai macam
peraturan begitupun sebaliknya. Karena
itu, bisnis on-line merupakan salah
satu cara paling baik untuk generasi ini karena dapat dilakukan di mana saja,
kapan saja, kepada siapa saja. Konsumerisme yang dulunya menjadi salah satu
penyebab kurang majunya perekonomian, sekarang menjadi salah satu faktor
pendukung bagi perkembangan bisnis yang mereka bangun[45].
Generasi Y melakukan kegiatan berbelanja untuk dapat mencicipi, memperbandingkan,
merumuskan formula dan memberi citra baru pada produk yang mereka perkenalkan
di pasar. Lalu dengan bantuan media digital, gen Y akan mensimulasi barang “re
– produk” semenarik mungkin agar mampu menarik konsumen dari berbagai belahan
dunia, semua tingkat ekonomi, dengan harga terjangkau dan akses cepat.
Ada
beberapa alasan penting, menurut Rebecca, yang dijadikan bahan pertimbangan
generasi Y dalam memilih pekerjaan, antaralain: pertama, Vitalitas. Vitalitas berkaitan dengan lingkungan kerja
mereka. Gen Y lebih mengutamakan tempat kerja yang nyaman dan berdekatan dengan
taman – taman kota, tempat – tempat wisata, mall – mall atau pusat – pusat
perbelanjaan, daerah – daerah yang berdekatan dengan pasar – pasar buah dan
sayur, dll. Dari sini juga dapat dilihat
bahwa posisi dalam pekerjaan bukan merupakan hal yang penting bagi gen Y. Gen Y
dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan pekerjaan apapun, sesuai dengan
tempat di mana mereka ingin tinggal. Dalam suatu wawancara ditanyakan kepada
gen Y tentang di mana mereka akan bekerja, namun tiga dari empat orang
responden akan menjawab nama kota tertentu sebagai tempat tinggal dan bekerja bukan
nama perusahaan yang ingin mereka masuki[46].
Tempat atau kota tertentu merupakan salah satu motivasi utama gen Y dalam
memilih pekerjaan. Kedua, index
pendapatan. Jumlah pendapatan dan suasana kantor merupakan pertimbangan khusus
seorang generasi Y dalam bekerja dan kenyamanan dalam lingkungan kerja dengan
orang – orang atau teman sekerjanya. Ketiga,
index pembelajaran. Program kesempatan belajar merupakan tantangan penting
yang dicari oleh generasi Y karena ini berkaitan juga dengan kesempatan promosi
kenaikan pangkat. Keempat, waktu
bekerja. Kriteria ini tidak kalah penting bagi generasi Y. Karena melalui index
waktu kerja, mereka dapat menentukan target – target tertentu yang ingin mereka
capai di luar waktu kerja entahkah itu bersenang – senang atau melakukan
pekerjaan sampingan. Kelima, berada
di dalam kota. Bekerja di pusat – pusat kota tidak hanya demi kepentingan akses
dan pendapatan UMR yang tinggi melainkan juga mampu menaikkan harga diri para
generasi Y. Keenam, gaya hidup.
Tempat di mana generasi Y bekerja dipercaya juga telah membentuk identitas dan gaya hidup mereka. ketujuh, komunitas sosial. Ini merupakan
salah satu kriteria penting gen Y dalam memilih pekerjaan. Komunitas sosial
membantu mereka mengenal dunia pekerjaan dengan lebih baik, menjadi identitas, harga
diri dan membuat mereka berarti[47].
Gen Y
memiliki kemampuan untuk memasarkan satu produk barang atau jasa tertentu
dengan baik. Jika mereka merasa cocok dengan satu produk tertentu, mereka akan
menggunakan sosial media yang mereka miliki[48].
Mereka juga dapat memproduksi ulang suatu produk tertentu sesuai dengan citra
mereka masing – masing dan mensimulasikannya melalui kecanggihan media. Berbeda
dengan generasi terdahulu yang merahasiakan bahan dan proses pembuatan dari
produk mereka, gen Y justru tidak ragu untuk berbagi informasi melalui blog atau website yang mereka buat di internet. Bahkan, justru dari informasi
yang mereka berikan lewat media ini, gen Y bisa meraup keuntungan[49].
Menurut Bergh, yang paling penting bagi gen Y adalah “brand”, baik itu pada diri mereka sendiri, orang lain, barang,
jasa, institusi, dll. Bahkan, istilah “generasi Y” merupakan brand yang diciptakan untuk menyebut
mereka yang lahir berbarengan dengan konsumerisme media digital. Brand gen Y ditandai dengan orang –
orang muda yang dingin, unik, apa adanya,
bahagia, dan selalu mengidentifikasikan diri mereka dengan brand tertentu[50].
Brand inilah yang akan mereka
pasarkan melalui media. Mereka akan meyakinkan orang – orang dengan kemampuan
mereka agar ada konsumen yang mau membeli “brand”
tersebut[51].
Dari Sudut Sosial
Menurut
Fields dkk, gen Y merupakan generasi yang unik. Waktu lahir mereka berbarengan
dengan kemunculan paradigma internet
menjadikan gen Y pribadi yang luntur budaya[52].
Twenge percaya bahwa perubahan menjadi “kelunturan budaya” dari perspektif
budaya merupakan bentuk budaya baru yaitu budaya “manusia tanpa budaya”.
Perubahan budaya menghantarkan seseorang pada perubahan karakter personal sesuai
dengan masing – masing tempat, waktu, situasi, dll[53].
Namun demikian, di antara berbagai kelebihan dan percaya diri tinggi yang
dimiliki oleh generasi ini, kedekatan mereka dengan internet ternyata telah
menciptakan generasi yang kurang peka terhadap dunia realitas. Keberadaan
sistem komunikasi internet ternyata telah mereduksi banyak kemampuan sosial dan
atau interpersonal gen Y[54]. Secara moral, pada masa ini, muncul manusia –
manusia penuh ambisi untuk satu target tertentu dalam waktu singkat dengan
berbagai cara sehingga menciptakan manusia – manusia yang tidak sabar[55]. Generasi Y kurang menyukai relasi sosial
berhadapan muka atau face to face. Generasi
ini menurut Twenge merupakan orang – orang yang kurang sabar, terlalu percaya
diri dan memiliki fantasi – fantasi yang tidak realistis[56].
Bagi
Topscott, umumnya gen Y merupakan anak – anak dari generasi Baby Boomers namun memiliki “gema” yang
lebih kuat ketimbang orangtuanya. Mereka berbeda dengan orang tua mereka dalam
hal belajar, berkomunikasi, bekerja, bergabung dan membuat komunitas, dll. Gen Y berbeda tampilan dari orang tua
mereka karena terlihat lebih tenang, berpengetahuan luas, terpelajar, dan
memiliki berbagai inovasi baru dalam segala bidang sehingga memiliki
kemungkinan besar untuk melakukan transformasi di segala bidang kehidupan
termasuk masyarakat. Mereka berpikiran terbuka sehingga bisa menerima dan
mengembangkan diri terhadap setiap informasi yang diperoleh melalui media. Internet bagi gen Y merupakan “natur” hidup sementara
di masa mudanya, orang tua mereka hanya bisa bertemu dengan DVD, VCD atau
televisi hitam putih. Internet membuat aktivitas kehidupan menjadi serba cepat.
Di zaman Baby Boomers dan Gen X, walaupun internet sudah ada, kecepatan
data masih sangat lambat. Laju internet yang lambat seperti itu akan menghasilkan
stress bagi gen Y. Semua kegiatan
baik surat menyurat, komunikasi, informasi, musik, permainan, dll menggunakan
internet berkecepatan tinggi. Mereka berkomunikasi cepat dengan media sosial
yang adalah salah satu indikator zaman di mana gen Y bertumbuh[57].
Gen Y
merupakan generasi multitasking. Mereka
dapat melakukan setidaknya lima macam pekerjaan secara bersamaan. Dengan
seluler yang terhubung dengan internet, TV kabel dan komputer di hadapan mereka.
Karena itu, mereka dapat menelpon, menonton, cek email, chatting via FB, Twitter, Line, BBM, WA, Skype, mendengarkan musik
di Youtube sambil terus belajar dan atau bekerja sambil makan dan minum. Para
generasi terdahulu memang bisa menyesuaikan diri dengan hal ini, jika mereka
ingin berusaha sungguh – sungguh, namun bagi gen Y, hal ini merupakan habit. Jika ada pertanyaan, kasus,
kejadian, dll, insting mereka secara otomatis akan mengkonfirmasi kebenaran
informasi yang ada lewat internet saat itu juga[58].
Namun
demikian, perbedaan antara generasi terdahulu dengan gen Y tidak hanya masalah
cara menggunakan teknologi. Tapscott menguraikan bahwa,
Gen Y is not just about how they use technology. They seem to behave, and
even to be, different. As a manager, you notice that new recruits
collaborate very differently than you do. They seem to have new motivations and
don’t have the same concept of a career that you do. As a marketer, you notice
that the television advertising is for the most part ineffective with young
people, who seem to have mature BS detectors. As a teacher or professor, you
are finding that young people seem to lack attention spans, at least when it
comes to listening to your lectures. Indeed, they show signs of learning
differently, and the best of them make yesterday’s cream of crop look dull. As
a parent, you see your children becoming adults and doing things you never
would have dreamed of, like wanting to live at home after graduation. As a
politician, you’ve noticed for some time that they are not interested in the
political process, yet you marvel at how Barack Obama was able to engage them
and ride their energy to became a presidential candidate[59].
Tidak hanya teknologi, karakter gen Y juga berbeda dari generasi – generasi
lain yang pernah ada dan ini berpengaruh pada cara berpikir, bertindak, menilai, dll.
Hiperrealitas Karakter Generasi Y
Penolakan –
penolakan, tekanan – tekanan, upaya pengekangan terhadap kebebasan, disiplin
berlebihan, bullying, menghasilkan
ketegangan dalam diri gen Y dan menghantarkan mereka pada hiperrealitas
karakter.
5.3.1
Sebab
– sebab Munculnya Ketegangan Antara Generasi Baby Boomers, X dan Y yang menghasilkan Hiperrealitas Karakter Gen
Y
Karakter gen
Y dibentuk dan dipengaruhi oleh pertemuan mereka dengan generasi baby boomers dan gen X. Ketika anak –
anak gen Y lahir, pada orang tua yang adalah baby boomers mengalami keterkejutan. Ada banyak baby boomers yang bersikap defensive terhadap hal – hal baru,
dingin atau bahkan memberontak terhadap perubahan yang terjadi dalam diri anak – anak mereka. Saat baby boomers lahir, mereka muncul dengan gaya pakaian “cut bray” mereka, rambut gondrong dan
tebal serta keriting, musik rock and roll,
sering melakukan aksi pemberontakan, dll membuat orang tua mereka terkejut dan
sulit menerima perubahan yang ada. Namun saat baby boomers menikah dan memiliki anak yaitu gen Y dan lahir
berbarengan dengan media digital, baby
boomers terkejut dan sulit juga menerima kenyataan perubahan ini. Para
orang tua yang terbuka, berusaha keras dengan perubahan yang ada untuk
membimbing anak mereka. Namun ada juga yang menolak perubahan dan menerapkan
sistem pendidikan lama sehingga melahirkan ketegangan dengan generasi Y yang
berujung pada hiperrealitas karakter anak – anak mereka[60].
Hiperrealitas
karakter sebenarnya lahir bukan faktor kesengajaan orang tua. Menurut Palfrey,
penyebab ketegangan antara orang tua dan guru yang baby boomers dengan anaknya gen Y adalah karena faktor kecemasan
orangtua dan guru yang terlalu tinggi terhadap efek penggunaan media internet. Ketakutan
ini beralasan, karena kebanyakan gen Y lebih memilih menghabiskan waktu dalam
dunia maya ketimbang berkumpul dengan komunitasnya di dunia nyata. Ada harga
mahal yang harus dibayar untuk kecenderungan ini baik dari segi fisik maupun
psikis[61].
Secara fisik, mereka yang aktif dalam penggunaan media dapat mengalami masalah
dengan kesehatan sebagai efek dari radiasi seluler, komputer, jaringan WiFi, mobile broadband hotspot yang mereka
gunakan di mata khususnya retina mata, darah, tulang punggung, dll. Selain itu,
bahaya penggunaan Touch Screen
berbarengan dengan pengecasan juga ada. Kebanyakan gen Y memiliki sifat tidak
sabar sehingga mereka akan tetap menggunakan internet sambil mengecas seluler
mereka. Mesin yang panas dan tersambung dengan listrik dapat menghasilkan
percikan api disertai dengan ledakan dan ini membahayakan penggunanya. Secara psikis, para pecandu internet yang
bersifat desktruktif seperti kecanduan film porno akan mengaktifkan hormon dopamin dalam otak belakang mereka yang menimbulkan
rasa tidak tenang atau frustasi jika tidak menggunakan internet dan ini lebih
parah daripada kecanduan narkoba atau alkohol. Belum lagi berbagai alasan
norma, budaya, sosial, dll. Di lain pihak, guru – guru cemas dengan kemampuan
gen Y dalam mencari informasi membuat pengajaran yang mereka berikan dan metode
yang digunakan menjadi “barang” usang bagi gen Y. Pengkomunikasian yang buruk terhadap
kecemasan orangtua dan guru ini membuat ketegangan antara baby boomers dan gen Y yang berujung pada hiperrealitas karakter
gen Y.
Dunia kerja
masa kini didominasi oleh dua generasi yaitu generasi X dan Y. Dua generasi ini
yang menjadi penggerak perekonomian dunia masa kini. Namun demikian, pola
tingkah laku generasi X dan Y sering saling bertolak belakang dan menimbulkan
pertentangan satu sama lain. Perubahan yang terjadi dari masa ke masa berefek
pada perubahan paradigma. Dalam dunia kerja, gen X yang hidup dalam keteraturan
– keteraturan dan sistem keamanan – keamanan jangka panjang merupakan orang –
orang yang terkejut dengan kehadiran gen Y. Gen Y yang mereka kenal adalah
generasi yang sangat menikmati hidup hari ini tanpa berpikir tentang keharusan
mempersiapkan hidup di masa depan. Gen X adalah generasi yang berfokus pada
masa depan atau kehidupan jangka panjang sementara gen Y adalah orang – orang
yang berfokus pada hari ini atau kehidupan jangka pendek. Bagi gen Y, “present is reality”. Perbedaan ini sering
menghantarkan dua generasi ini dalam frustasi[62].
Saat dua
generasi ini terlibat dalam sebuah proyek kerja, gen Y tidak tertarik untuk
melakukan perancangan kerja seperti gen X. Mereka ingin langsung melakukan
pekerjaan dengan cepat dan menuntut semua perlengkapan untuk bekerja ada di
depan mereka “saat itu juga” sehingga mereka dapat bekerja dengan baik. Contoh kasus, jika generasi X dan Y membuat
program untuk gotong royong, gen Y tidak akan menghabiskan waktu untuk membuat
rencana kerja tentang wilayah – wilayah mana yang perlu dibersihkan, alat –
alat apa saja yang diperlukan, dll. Jikapun mereka hadir dalam rapat, mereka
akan menghabiskan waktu dengan seluler mereka. Gen Y akan datang pada waktu
yang ditentukan tanpa membawa peralatan apapun dan berpikir bahwa semua
perlengkapan gotong royong sudah ada di sana dan hanya tinggal bekerja. Dari sini, gen X akan beranggapan bahwa
generasi Y tidak sungguh – sungguh dalam bekerja sementara gen Y akan
menjadikan kesempatan ini sebagai kesempatan untuk tidak bekerja.
Pendidikan
bagi gen Y bukanlah hal utama. Bagi gen Y, tidak setiap orang perlu memasuki
universitas. Universitas hanyalah gelar akademis dan tidak akan memberi banyak
sumbangsih bagi kehidupan mereka. Kecanggihan teknologi komunikasi dan
informasi dapat membuat seseorang belajar berbagai materi tanpa perlu memasuki
universitas tertentu. Gen Y mempertanyakan ulang pentingnya gelar akademis. Dan
jika tujuan dari akademis ini hanya demi kepentingan ekonomi dan sosial di masa
depan, maka gen Y dapat melakukannya sejak usia dini tanpa perlu gelar
universitas[63].
Sebenarnya,
dari kalangan gen X sendiri, terdapat perbedaan pandangan tentang gen Y. Ada
pemimpin yang memiliki kemampuan leadership
dan managerial baik sehingga memandang gen Y sebagai orang –
orang berpotensi dan mampu mengelola setiap potensi yang ada pada mereka. Namun
ada juga dari gen X yang menganggap negatif gen Y sehingga tidak memberi
kepercayaan kepada mereka dalam dunia pekerjaan.
5.3.2 Hiperrealitas
Karakter Generasi Y
Hiperrealitas
terjadi ketika yang fantasi dianggap lebih benar dan atau lebih nyata ketimbang
realitas. Hiperrealitas terjadi ketika seseorang atau satu organisasi tertentu
mensimulasi sesuatu lebih dari fakta sesungguhnya. Menurut Lane berdasarkan
pendapat Baudrillard, ada macam urutan dalam simulasi sebelum mencapai bentuk
hiperrealitas. Simulasi pertama terjadi ketika representasi itu real. Misalnya novel,
lukisan, peta. Simulasi kedua terjadi ketika antara realitas dan representasi
mulai menjadi kabur. Misalnya gambar peta yang diambil dari satelit. Dan
simulasi ketiga terjadi ketika seseorang mereproduksi sesuatu yang “hiperreal”
yaitu suatu mode penyajian yang nyata atau real
namun tanpa kenyataan atau realitas. Hiperrealitas
menurut Baudrillard umumnya diproduksi oleh rumusan matematika seperti yang
terdapat dalam dunia maya atau kode komputer[64].
Namun
demikian, menurut Baudrillard, untuk dapat mengidentifikasi simulasi dengan
baik, orang – orang perlu memahami tentang disimulasi. Disimulasi merupakan
pernyataan seseorang yang “berpura – pura” tidak memiliki “suatu keahlian,
barang atau jasa tertentu” padahal sebenarnya ia memilikinya. Sebaliknya,
simulasi merupakan merupakan pernyataan seseorang yang “berpura – pura”
memiliki “suatu keahlian, barang atau jasa tertentu” padahal sebenarnya ia
tidak memilikinya. Dengan kata lain, disimulasi mengidentifikasikan ketiadaan
semu sedangkan simulasi mengidentifikasikan keadaan semu[65].
Para imperialis modern mensimulasikan tujuan fakta keberadaan mereka disuatu negara
namun sebenarnya berisi pesona yang abstrak[66].
Hiperrealitas
ini ada dalam setiap aspek hidup manusia[67].
Pemerintah dan atau elit politik mensimulasi data statistik peningkatan ekonomi
rakyat, penghapusan jurang antara si miskin dan si kaya, survey peningkatan
pendidikan, dll, namun hasil ini sebenarnya hanya pesona yang abstrak[68].
Pesona abstrak ini yang disebut juga dengan “tanda” atau “sign” bisa juga “simbol” atau lebih dikenal sebagai simulacrum. Misalnya, saat seorang anak
enggan untuk berangkat ke sekolah, maka ia akan mensimulasi diri dengan
beristirahat sepanjang hari di kasur sehingga baik orang tua maupun orang –
orang yang berkunjung akan menganggap bahwa anak ini sakit. Contoh lain, orang
– orang dengan kasus psikosomatis mensimulasi
diri menjadi orang – orang sakit; namun ketika diperiksa ke medis maka tidak
akan ditemukan masalah dalam tubuhnya yang perlu mendapat perawatan dan
penanganan medis. Orang seperti ini harus dibawa ke psikoanalisis atau psikolog
atau psikiater[69].
Sistem “tanda”
ini ada dalam berbagai kehidupan manusia. Sejarah Kekristenan juga mencatat
adanya simulacrum ini. Bagi sebagian
ahli antropologi seperti Baudrillard, Shields, Lane, dll; design lukisan – lukisan atau seni Barok di dinding dan atap gereja,
penggunaan patung – patung suci[70],
ulasan berita tentang kebangkitan Yesus[71],
substansi ekaristi darah dan air dalam Perjamuan Kudus, isi protes Marthin
Luther[72],
dll merupakan simulacrum yang
sifatnya virtual. Simulacrum juga
dapat terjadi karena adanya kesepakatan, misalnya; Malaikat digambarkan sebagai
manusia berbaju putih dengan sayap dipunggungnya; Iblis digambarkan sebagai
sosok hitam dengan tanduk, bermata merah menyala, dan memiliki ekor, dll;
Kebaikan digambarkan dengan burung merpati dan kejahatan digambarkan dengan
ular, dll. Pada masa sekarang, muncul emoji – emoji tertentu untuk
menggambarkan perasaan seseorang. Misalnya, sukacita digambarkan dengan tawa,
sedih digambarkan dengan tangis, dll. Hiperrealitas ini bukan tentang masalah
“benar” atau “salah” melainkan “real” atau “semu”[73].
Menurut
Chiff O’Malley dan Taylor dari Issues in
Socio – Technical Change for UK Education, selama tiga puluh tahun
belakangan terjadi transformasi dalam
peradaban kehidupan yaitu perkembangan trend
penggunaan alat penghubung berteknologi Brain
– Machine, psychopharmocology, kecerdasan artifisial, kemajuan dalam
bioteknologi untuk kehidupan sintetis[74]. Orang – orang pada generasi ini berusaha
untuk tetap berhubungan dengan sesama temannya yang seusia, lebih tua ataupun
lebih muda sebagai kehidupan sosial mereka. Namun perubahan paradigma yang ada
antara generasi baby boomers, X dan Y
menyebabkan ketegangan dalam hubungan mereka.
Kaum Y
mencoba menemukan cara agar mereka dapat membangun hubungan baik dengan
generasi tua. Namun hubungan yang terjalin antar kedua belah pihak sangat
jarang sesuai dengan hubungan ideal yang mereka ciptakan dalam imajinasi dan
atau fantasi gen Y. Ada banyak penolakan – penolakan, penilaian – penilaian
negatif terhadap sikap dan cara hidup, prestasi kerja, kepercayaan –
kepercayaan untuk menyelesaikan proyek – proyek tertentu, dll. Ada banyak hal –
hal membingungkan dalam cara berpikir dan bertindak sehingga berpengaruh dalam
cara berhubungan generasi tua dan muda[75].
Di lain
pihak, dunia media atau dunia maya merupakan kehidupan kedua bagi gen Y. Dalam
dunia inilah mereka menemukan segala hal yang mereka inginkan termasuk
menemukan diri mereka sendiri[76].
Anak – anak gen Y lebih memilih menyampaikan aspirasi dan kreatifitas melalui
dunia maya[77].
Selain itu, peluang untuk dapat diterima atau direspon oleh orang lain memang
lebih banyak didapat dari lingkungan sosial media atau dunia maya. Ada sisi
positif negatif yang akan mereka terima. Gen Y bisa membawa transformasi
positif dalam setiap bidang kehidupan melalui media hanya jika mereka
menggunakannya dalam cara yang benar. Dunia maya juga menyajikan hal – hal
konstruktif dan destruktif dalam satu kali “klick”
dan ini bergantung pada kepentingan penggunanya. Mereka yang mampu membuat
pilihan bijak akan membawa perubahan positif begitu sebaliknya. Pilihan yang
dibuat masa kini akan berpengaruh pada kehidupan di masa depan[78].
Hanya saja,
sebagai mentor, kebanyakan baby boomers dan
gen X melakukan beberapa kesalahan kecil yang berakibat fatal bagi perkembangan
gen Y. Alih – alih menghindarkan gen Y dari bahaya desktruktif dunia virtual,
orangtua, pendidik, badan hukum, pengusaha, bekerjasama mendukung program
pemerintah untuk melakukan blockir terhadap
situs – situs tertentu yang dianggap membahayakan gen Y. Upaya pemerintah untuk
membatasi gerak gen Y terhadap dunia virtual justru menjadi seperti sebuah
pernyataan perang, karena bagi gen Y inilah “habitat asli” mereka[79].
Gen Y menggunakan kemampuan mereka untuk
lebih “liar” lagi dalam mengakses internet, menimbulkan kecanduan internet dan
ini sifatnya desktruktif.
Di
Indonesia, sekitar satu dekade ini diberlakukan kebijakan polisi internet dan
pemblokiran akses terhadap situs – situs tertentu yang berbau kekerasan dan
pornografi atau pornoaksi. Namun demikian, kebanyakan gen Y yang sudah
kecanduan akan selalu memiliki cara agar dapat mengakses data atau informasi
dari website atau situs yang sudah
diblokir. Pencipta situs – situs pencari berita dunia dan media sosial seperti
Facebook dan Twitter dan blog – blog bisnis
lain umumnya adalah gen Y. Selain itu, dalam hasil survey pengguna internet
dunia, terdapat beberapa kelompok mafia pembobol internet atau hacker paling berbahaya di dunia yang
kebanyakan anggotanya adalah gen Y[80].
Hanya ada sedikit sekali kemungkinan bahwa upaya memisahkan gen Y dari dunia
maya berhasil. Upaya ini malahan bisa membuat gen Y masuk dalam tekanan dan
atau ketegangan yang membuat gen Y terjebak dalam hiperrealitas karakter.
Menurut
Palfrey, manusia dalam lingkup yang paling kecil setidaknya memiliki dua identitas yaitu identitas pribadi
dan identitas sosial. Identitas pribadi berasal dari atribut – atribut yang
membuatnya unik yaitu karakteristik personal, kesukaan atau minat terhadap
pekerjaan, pelajaran, kegiatan – kegiatan atau bakat – bakat tertentu dan
aktivitas – aktivitas favorit. Sebaliknya, identitas sosial diperoleh dari
lingkungan di luar dirinya yaitu keluarga, teman, lingkungan pendidikan dan
atau pekerjaan, dll. Komunitas di mana seseorang menjadi bagian di dalamnya
dapat mencirikan identitas sosial orang tersebut yang juga dapat
diidentifikasikan melalui cara berbicara, berbusana, dan berkomunikasi dalam
lingkungan sosialnya. Namun demikian, identitas ini bukanlah yang statis, bisa
berubah kapan saja sesuai dengan keinginan pemiliknya. Seseorang dapat berubah gaya
berpakaian, cara berbicara, berekspresi dalam cara baru, ketika ia memutuskan
untuk pindah lingkungan sosial. Perubahan identitas terjadi secara alami baik
status keluarga, gosip di antara tetangga, dan setiap elemen kehidupan lain ketika
seseorang memutuskan untuk pindah tempat dan lingkungan sosial. Jika perpindahan
terjadi di daerah pedesaan maka perubahan sosial tidak terlalu terasa. Perubahan
kompleks terjadi ketika seseorang memutuskan untuk tinggal di kota besar atau
kota – kota industri[81].
Pada masa
digital, perubahan identitas ini berbeda jauh dan lebih kompleks ketimbang masa
pertanian dan industri di masa lampau. Proses pengidentifikasian diri ini
dilakukan melalui lingkungan media sosial berupa Facebook, Twitter, Line, WA,
BBM, Path, blog, Kakaotalk, Youtube, Pinterest, Ask Fm dll. Identitas para digital natives dibangun berdasarkan tindakan teman – teman dan
upaya pembangunan reputasi dalam dunia sosial medianya. Namun, meskipun digital natives dapat mengubah tampilan karakter pribadinya kapan
saja dan sesuai impiannya, ia sesungguhnya sedang kehilangan karakter asli dan
sosialnya. Media sosial ternyata telah merusak kemampuan digital natives untuk mengontrol identitas sosialnya dan cara
pandang orang – orang dalam komunitas sosial terhadap dirinya[82].
Secara tidak sadar, sementara digital
natives mencoba untuk menjadi manusia yang multikarakter dalam dunia maya,
mereka sedang mengarahkan diri pada satu kesatuan karakter baru yaitu karakter
yang hiperreal atau hiperrealitas karakter. Seseorang yang terjebak dalam
hiperrealitas karakter dalam identitas pribadi asli dan sosialnya ini tetap
adalah orang yang sama namun secara dramatis telah merepresentasikan dirinya
dalam satu bentuk yang lain yang disebut oleh Palfrey sebagai multiple –
representasi identitas[83].
Para digital natives menciptakan satu
identitas baru tentang dirinya dalam lingkungan sosial medianya yaitu kepada
orang – orang yang tidak mengenali siapa dia sesungguhnya. Identitas baru ini sering
juga disebut dengan “brand” baik yang diberikan kepada manusia maupun sebagai
re – produk sosial atau kepada barang
atau jasa sebagai re – produk dalam
bidang ekonomi. Di Indonesia, dalam bidang sosial, fenomena “brand” pada gen Y sering diartikan
sebagai “pencitraan”. Orang – orang umumnya, suka “mencap” orang lain yang
“berbeda tampilan” dengan istilah “pencitraan” dan memandang hal ini dalam cara
yang negatif. Padahal, “pencitraan” merupakan produk dari simulasi atau re – produk dengan tujuan menghasilkan
daya tarik agar dapat diterima oleh orang lain atau menghasilkan daya jual.
Inilah yang dimaksud dengan hiperrealitas.
Literatur –
literatur Sosiologi menyebut hiperrealitas karakter ini dengan “multiple selves” dan atau “multiple forms of representation”
karakter atau identitas. Namun dalam
penelitian yang dilakukan, kebanyakan gen Y menunjuk diri mereka sebagai orang
– orang dengan “multiple self –
representation” karakter[84].
Pada masa sebelumnya, hal ini sering terjadi pada orang – orang yang melakukan
perpindahan atau migrasi lingkungan sosial dan atau komunitas. Para imigran
sosial ini akan membentuk karakter baru berbeda dari karakter aslinya di
lingkungan lama agar dapat diterima dalam komunitas baru tersebut[85],
namun untuuk gen Y, perpindahan ini tidak terjadi karena dunia sosial mereka
adalah media digital. Perjalanan dalam hiperrealitas ini bagi Eco seperti
sebuah pencarian antara karakter imajinasi dan karakter asli[86].
Gen Y dapat
membuat profil tentang dirinya sendiri dalam jaringan sosial. Mereka
merepresentasikan diri dalam cara atau sebagai pribadi dalam dunia online dan offline yang sangat berbeda dari presentasi diri di dunia nyata. Hal ini dilakukan oleh mayoritas
pengguna media sosial terutama gen Y. Melalui internet, digital natives tidak perlu bersusah payah ke dunia nyata untuk menunjukkan
karakter impian yang ada dalam dirinya. Gen Y dapat menciptakan beberapa
karakter imajinatif di tempat tidur, sambil tidur – tiduran atau tempat
tertentu secara bersamaan dan simultan lalu memperkenalkannya ke seluruh dunia
lewat jaringan media sosial di Internet. Melalui penggunaan media sosial ini, digital natives dapat mengubah aspek –
aspek karakter dan atau identitas pribadi dan sosialnya secara tetap. Mereka sering meng “update” ekspresi – ekspresi tertentu
dalam bentuk emoji ke dunia nyata dan
maya, mengubah gaya busana dan rambut lalu meng“upload”nya melalui media sosial, menerima pertemanan dari semua
orang yang sebenarnya malah tidak pernah mereka kenal, menghapus pertemanan
dari orang – orang yang dirasa tidak memberi respon dan atau memberi respon
negatif pada keberadaan mereka dalam media sosial, dll[87].
Proses simulasi dapat dilakukan dengan
bantuan media seperti photoshop,
coreldraw, aplikasi – aplikasi tambahan lain yang sekarang bisa didapat
dengan mudah diinternet. Hal ini dapat dilakukan Formasi karakter gen Y ini
berbeda secara total dengan generasi – generasi lainnya sebelum masa digital.
Hasil studi tentang formasi karakter dan atau identitas onliner gen Y menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara identitas
mereka di media sosial dan di kehidupan nyata[88].
Karena itu, baik orang tua, guru, leader,
manager, perlu paham betul hiperrealitas karakter ini.
Gen Y merupakan
generasi yang menyukai eksprerimen dan proses re – produk suatu barang, jasa
atau pribadi. Mereka dapat membuat suatu “skenario” tertentu dalam media sosial
dan menempatkan dirinya sebagai pelaku utama dalam “drama” tersebut. Karena itu, ada banyak digital natives yang merepresentasikan dirinya sebagai Suparman,
Batman, Spiderman atau tokoh – tokoh Superhero lain idamannya. Kebanyakan
perempuan tertarik untuk merepresentasikan diri mereka seperti tokoh – tokoh anime, cartoon, barbie, dll melalui tutorial – tutorial make up. Ada yang nekat melakukan operasi plastik, kelamin, untuk
merepresentasikan diri mereka sesuai dengan imajinasinya masing – masing. Kasus
paling rumit saat ini adalah kasus lesbian (homoseksual) – gay (homoseksual)[89]
– biseksual – transgender atau LGBT dan menjadi gila. Orang – orang seperti ini
bahkan membentuk satu komunitas, lalu mengumumkan eksistensi mereka ke media
sosial sehingga mengaburkan batas kebenaran suatu realitas dan hiperrealitas.
Hiperrealitas berkomodifikasi dalam karakter
manusia. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai
komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Komodifikasi hiperrealitas
karakter ini terjadi pada generasi Y. Karena
itu, simulasi karakter dalam media sosial ditujukan untuk mendapat pengakuan
atau penerimaan terhadap keberadaan mereka. Digital
natives yang mencoba eksperimen ini baik secara “online” maupun “offline”[90].
Semua kegiatan ini memiliki aspek positif – negatif, kesempatan diterima atau
di “bully”. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya melukai gen Y. Jumlah
penerimaan atau penolakan dalam media sosial dapat diukur dari kuantitas follower atau pengikut, subscriber, jumlah share, jumlah akses, aplikasi
like dan dislike, komentar, jumlah view,
dll dan semua ini mampu mendongkrak popularitas dan berpotensi besar dalam kehidupan
ekonomi gen Y[91]. Blog dan Website yang dibuat oleh gen Y dapat menghasilkan uang terus
menerus tanpa perlu kerja keras.
[1] John
Tiffin dan Nobuyoshi Terashima ed al, Hiperreality
Paradigm for the Third Millenium (London and NY : Routledge, 2001), 1.
[2] William Strauss dan Neil Home, The Fourth Turning : An American Prophecy (New York : Broadway Books, 1997), 1 –
2.
[3] Tulisan senada juga
ditulis oleh beberapa ahli untuk kepentingan berbeda yaitu untuk kepentingan
agama Budha oleh Ken Wilber, The Fourth
Turning : Imagining the Evolution of an Integral Buddhism (Boston :
Shambhala Publication. 2014) dan komunitas Hasidism Yahudi dalam melihat
evolusi manusia oleh Netanel Miles – Yepez dan Zalman Schacter – Shalomi, Foundation of the Fourth Turning of Hasidism
: A Manifesto (Boulder : Albion – Andalus Book, 2014).
[5] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First
Generation if Digital Natives (New York : Basic Book. 2008), 15.
[6] Joeri Van
den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool
Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 7.
[7] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 3.
[8] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children
Learning In A Digital World (New
York : Routledge, 2010), 17.
[9] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 3.
[10] Ibid.
[11]
DonTapscott, Grown Up Digital : How the
Net Generations is Changing Your World (New York : McGraw Hill
Professional, 2008), 2.
[12] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 3.
[13] Ibid.
[14] Don
Tapscott, Grown Up Digital : How the Net
Generations is Changing Your World (New
York : McGraw Hill Professional. 2008), 2.
[15] Carroline A. Marthin, Rainmaker Thinking Dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 33.
[16] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 7.
[17] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children
Learning In A Digital World (New
York : Routledge, 2010), 17.
[18] Biasa juga disebut dengan
N – Generations atau N – Geners. Disebut dengan gelar ini karena memang
generasi ini adalah generasi pertama yang lahir dalam era digital yang
berkaitan langsung dengan internet (Ibid.), 17 – 18
[19] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children
Learning In A Digital World (New
York : Routledge, 2010), 18.
[20] Ibid,. 28
[21] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 4.
[22] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations
is Changing Your World (New York :
McGraw Hill Professional, 2008), 12.
[23] Kaum tradisionalis
merupakan generasi yang lahir sebelum tahun 1946. Lihat dalam Carroline A.
Marthin, Rainmaker Thinking Dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008), 28.
[24] Baby Boomers merupakan generasi yang lahir antara tahun 1946 – 1964
(Ibid.), 28.
[25] Hal ini terbukti dengan
banyaknya perusahaan – perusahaan di tahun 1990-an yang harus mengeluarkan
banyak dana bagi pensiunan sekaligus mengeluarkan (PHK) karyawan mereka yang
dianggap sudah kurang produktif bagi perusahaan. (Ibid.), 28.
[26]Joeri Van
den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool
Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 7.
[27] Ibid., Di Indonesia, sikap dingin
gen Y terhadap situasi di sekitarnya diformulasikan dalam istilah “biasa saja”,
“biasa aja tuh”, “apa sih”, “emang gue mesti bilang wow gitu”, dll.
[28] Ibid., 8
[29] Ibid.
[30]Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial
Leaders (New York : Morgan – James
Publishing, 2008), 18.
[31] A. Martin Carolyn, Rainmaker Thingking dalam Y : Millennial
Leaders (NY : MJ Publishing, 2008), 28 – 29.
[32] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations
is Changing Your World (New York :
McGraw Hill Professional, 2008), 3.
[33] Ibid., 5
[34] Ibid., 3
[35] Ibid.
[36] Ibid., 4
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid.,5
[40] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations
is Changing Your World (New York :
McGraw Hill Professional, 2008), 7.
[41] Ibid.
[42] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First
Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 6.
[43] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 4.
[44] Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial
Leaders (New York : Morgan – James
Publishing, 2008), 18
[45] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 6.
[46] Rebbeca Ryan, Generation
Me dalam Y : Millenial Leaders (New
York : Morgan – James Publishing, 2008), 21.
[47] Rebbeca Ryan, Generation Me dalam Y : Millenial Leaders. (New York : Morgan – James Publishing,
2008), 21- 23.
[48] Joeri Van
den Bergh dan Mattias Behrer, How Cool
Brands Stay Hot : Branding To Generation Y (London : KoganPage, 2013), 1.
[49] Ibid., 2 – 3
[50] Ibid., 2
[51] Ibid., 3
[52] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 5.
[53] Jeans Twenge, Generation Me dalam Y : Millenial
Leaders (New York : Morgan – James
Publishing, 2008), 8.
[54] Bea Fields dkk. Y : Millenial Leaders (New York : Morgan – James Publishing, 2008),
4.
[55] Ibid., 4
[56] Jeans Twenge, Generation Me dalam Y : Millenial
Leaders (New York : Morgan – James
Publishing, 2008), 7.
[57] Don Tapscott. Grown Up Digital : How the Net Generations
is Changing Your World. New York :
McGraw Hill Professional. 2008. 2
[58] Ibid., 9
[60] Don Tapscott, Grown Up Digital : How the Net Generations
is Changing Your World (New York :
McGraw Hill Professional, 2008), 7.
[61] John Palfrey dan Urs
Gasser, Born Digital : Understanding the
First Generation of Digital Natives (New York : Basi Book, 2008), 6.
[62] Carolyn A. Martyn, Rainmaker Thinking dalam Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 29
[63] Ibid., 33
[65] Jean
Baudrillard, Simulacra and Simulacrum (USA
: Michigan Press, 1994), 3
[66] Ibid., 2
[67] Ibid.
[68] Ibid., 14
[69] Ibid., 3
[70] Ibid., 3 – 6
[71] Ibid., 7 – 14
[73] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulacrum (USA : Michigan
Press, 1994), 4
[74] Lydia Plowmann dkk, Growing Up withTechnology: Young Children
Learning In A Digital World (New
York : Routledge, 2010), 17.
[75] Bea Fields dkk, Y : Millenial Leaders (New York : Morgan
– James Publishing, 2008), 5.
[76] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First
Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 6.
[77] Ibid., 7
[78] Ibid., 8
[79] Ibid., 9
[80] http://tekno.liputan6.com/read/2212024/4-kelompok-hacker-paling-ditakuti-di-dunia. Dalam salah satu artikel,
terdapat beberapa nama gen Y yang adalah hacker
paling berbahaya di dunia saat ini. https://www.wartainfo.com/2015/02/4-hacker-hebat-paling-terkenal-dan.html.
Diunduh 12 April 2016 pukul 19.57
[81] John Palfrey dan Urs Gasser, Born Digital : Understanding the First
Generation if Digital Natives (New York : Basic Book, 2008), 17 – 19.
[82] Ibid., 19
[83] Ibid., 20
[84] Ibid., 22
[85] Ibid., 23
[86] Bagi Eco, hidup dalam
dunia hiperrealitas seperti sedang berhadapan dengan Hologram. Hologram membuat
hal yang tidak nyata, ilusi, fatamorgana, utopia, 3D menjadi nyata padahal tidak pernah ada.
Lihat dalam Umberto Eco, Travels In Hyperreality. (USA : Harcourt, 1986), 8.
[87] Ibid.
[88]Ibid., 21
[89] Baudrillard mengatakan
bahwa homoseksual, orang gila atau sakit jiwa, merupakan bentuk dari
hiperrealitas akibat dari suatu tekanan tertentu. Lihat dalam Jean Baudrillard,
Simulacra and Simulacrum (USA :
Michigan Press, 1994), 4.
[90] Ibid., 22
[91] Lihat
buku Tapscott, Don. David Ticoll dan Alex Lowy. Digital Capital:Harnessing The Power of Business Webs (Boston :
Harvard Business School Press. 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar