Minggu, 21 Mei 2017

Tinjauan terhadap Generasi Muda Masa Kini berdasarkan Kitab Amsal



Hidup dengan Pantas dalam Dunia
(Suatu Tinjauan Terhadap Upaya Pembangunan Karakter Anak Muda dalam  Kitab Amsal Bagi Generasi Y)

 
Abstract
             Youth is a period when a child is ready to separate from their parents, but still need support from them. Youth is when the children need to be free from all of the their parents orders but too worry if they have to face all of their own problem alone. But one day, youth should be independent. On the other hand, the world in which these young man live is a world filled with ambiguity problems and they have to enter themselves in the reality of the world and was directly involved in it without further assistance from parents. Latest group of the youth man is called the millennium generation Y. And this paper discusses how to build the character of the youth so that they can be involved in the world in an appropriate way both intellectually, emotionally and spiritually not only for themselves but also for their communities.


Bab I
Pendahuluan
            Usia muda merupakan usia di mana seseorang perlu diperlengkapi dengan berbagai pengajaran yang baik agar mereka siap memasuki realitas dunia dengan bijak dan atau pantas. Namun keputusan untuk menerima dan menolak pengajaran berada di tangan anak itu sendiri. Dalam bagian ini penulis akan menjabarkan tentang latar belakang penulisan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan dari makalah ini.

Latar Belakang Penulisan
            Zaman ini dikenal sebagai zaman post – modern. Sebuah masa di mana semua pikiran dan tindakan berpusat pada kepuasan dan atau kenikmatan individu. Perkembangan baik itu dalam bidang tekhnologi, seni, ilmu – ilmu pengetahuan lain seolah – olah telah mendukung keberadaan peradaban ini. Generasi masa kini, yang lahir pada era post – modern, lahir dalam ketidakpedulian terhadap isu – isu sosial, politik, agama, ekologi dan bahkan hampir setiap elemen kehidupan selain diri mereka sendiri. Semua isu – isu fenomenal tidak begitu memberi pengaruh dan menjadi satu kasus yang dipandang serba relatif dan bahkan terkesan tidak penting selama hal itu tidak berdampak bagi dirinya.
            Di lain pihak, para orang tua dengan berbagai alasan justru menyetujui dan menyukai keberadaan berbagai alat pendukung perkembangan anak masa kini tanpa perlu berlelah – lelah. Misalnya, jika para orang tua sedang sibuk dengan pekerjaan mereka dan merasa anak menjadi pengganggu dalam kesibukan mereka, maka para orang tua ini akan memberikan seperangkat alat permainan agar anak mereka tidak mengganggu aktifitas mereka. Akibatnya, timbul ketidakharmonisan yang semu dalam hubungan orangtua dan anak. Orang – orang tua tanpa sadar sedang menumbuhkan anak – anak yang lemah karakter.
            Perjanjian Lama dalam hal ini Amsal menyinggung tentang upaya pembangunan karakter anak muda agar  mereka menjadi manusia – manusia yang bijaksana dalam mengarungi kehidupan di dunia. Bijaksana terhadap diri mereka sendiri, sesama, alam dalam takut akan Tuhan.  

Tujuan Penulisan
            Makalah ini dibuat sebagai sebuah usaha penyelidikan terhadap upaya pembangunan karakter anak muda berdasarkan kitab Amsal. Selain itu, makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam bidang studi etika Perjanjian Lama.

Sistematika Penulisan          
            Makalah ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari bagian pendahuluan, pembahasan tentang persoalan – persoalan yang dihadapi oleh generasi Y, penggambaran proses pembangunan karakter anak muda dalam kitab Amsal, upaya perefleksian pada pembangunan karakter generasi Y dan penutup.


Bab II
Persoalan Karakter Generasi Y
            Perkembangan masa post – modern, ilmu pengetahuan, kompleksitas zaman memberi efek pada perkembangan generasi anak – anak yang tumbuh dalam masa ini. Setidaknya, sejak awal era post- modern yang diperkirakan berawal pada tahun 1960 – 1970-an, ada tiga generasi anak yang lahir dengan karakteristik berbeda antara lain generasi X, Y dan Z.

Definisi Generasi X, Y dan Z
            Perkembangan ilmu pengetahuan terkini mengklasifikasikan generasi – generasi manusia berdasarkan pemakaian digital atau yang disebut "grow up digital". Don Tapscott yang meneliti perkembangan ini menjelaskan definisi Generasi X, Y dan Z sebagai berikut: Generasi X merupakan mereka yang lahir antara 1965 hingga 1976, Y lahir antara 1977 hingga 1997 dan  adalah anak – anak yang lahir selepas 1998. Ketiga generasi ini adalah generasi internet dan memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga disebut dalam generasi C atau "Connected Generation". Penggunaan sosial media seperti twitter, facebook, youtube, merupakan indikator awal generasi C[2]. Ada juga artikel yang menyatakan bahwa generasi X ini lahir antara tahun 1965 – 1980, Y lahir pada 1981 – 1994, Z lahir pada 1995 – 2010, dan generasi terakhir adalah generasi alpha yang lahir pada tahun 2011 – 2025[3]. Sementara majalah Femina dalam salah satu artikelnya mendefinisikan generasi Y sebagai Kelompok anak muda yang juga disebut generasi milenium adalah mereka yang berusia belasan tahun hingga awal tiga puluhan yaitu mereka yang lahir pada awal 1980 hingga awal 2000[4]. Usia generasi Y ini sekarang antara 16 – 30 tahun.

Karakteristik Generasi Y
            Generasi Y, yang biasanya juga disebut sebagai generasi millenium, merupakan generasi yang muncul setelah Generasi X. Menurut Jalal, istilah Generasi Y pertamakali muncul pada editorial koran besar di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 1993. Pada saat itu editor koran tersebut sedang membahas para remaja yang pada saat itu baru berumur 12–13 tahun, namun memiliki perilaku yang berbeda dengan Generasi X. Berdasarkan hal ini, perusahaan-perusahaan mulai mengelompokan anak-anak yang lahir setelah tahun 1980-an sebagai anak-anak Generasi Y. Namun hingga saat ini, dalam semua literatur, belum pernah ada suatu kesepakatan kapan generasi ini dimulai[5].
Jalal menguraikan beberapa pendapat tentang karakeristik generasi Y, antaralain:
Pertama, William Strauss dan Neil Howe pada tahun 1991 mencoba mendefinisikan generasi-generasi yang ada di Amerika dalam buku mereka Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069. Teori mereka tentang generasi ini banyak diambil oleh berbagai penulis jurnal dan buku yang membahas masalah-masalah antar generasi. Howe dan Strauss memakai terminologi generasi Millenium bagi Generasi Y, karena mereka yakin bahwa anggota Generasi Y sangat tidak suka bila diasosiasikan dengan Generasi X. William Strauss dan Neil Howe juga menganggap Generasi Y merupakan generasi istimewa. Dalam buku  berjudul The Fourth Turning (1997), mereka berpendapat bahwa sejarah modern akan selalu berulang sendiri setiap 4 siklus sosial. Setiap siklus memakan waktu kurang lebih 80 sampai 100 tahun. Dalam buku tersebut penulis juga meyakini bahwa 4 siklus sosial itu selalu terjadi dengan urutan yang sama. Siklus pertama (High), terjadi pada saat manusia melakukan ekspansi untuk menggantikan generasi yang sebelumnya. Siklus kedua, dinamakan sebagai siklus kebangkitan (Awakening). Orang-orang pada masa ini lebih spiritual dari siklus sebelumnya. Mereka yang hidup di masa ini mempunyai kecenderungan memberontak kepada segala sesuatu yang sudah dibuat mapan oleh generasi pertama. Siklus ketiga yang diberi nama sebagai siklus Unraveling, elemen individu dan kelompok mempengaruhi masyarakat sehingga timbul berbagai permasalahan yang kemudian memicu kebangkitan generasi keempat. Pada era ini, masyarakat mengalami berbagai kesulitan sehingga timbul kebutuhan untuk meredefinisi struktur, tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan dalam masyarakat.
Kedua, Pada tahun 2000, berdasarkan suatu penelitian demografis yang sangat luas William Strauss dan Neil Howe menulis buku yang didekasikan kepada Generasi Y dengan diberi judul Millennials Rising: The Next Great Generation. Di dalam buku ini mereka memakai 1982 dan 2001 sebagai masa di mana Generasi Y mulai dan berakhir. Mereka sangat percaya bahwa semua orang yang lulus SMA sampai tahun 2000 nanti akan sangat berbeda dengan mereka yang lulus SMA sebelum dan sesudah masa itu, karena orang-orang pada masa itu menerima banyak perhatian dari media dan perkembangan politik yang mereka terima. Bahkan William Strauss dan Neil Howe berpendapat bahwa generasi ini akan menjadi generasi yang peduli akan masalah-masalah kemasyarakatan.
Ketiga, Jean Twenge, pengarang buku Generation Me (2007), mempunyai pendapat yang berbeda tentang Generasi Y. Menurutnya, Generasi Y dan bersama-sama Generasi X termasuk generasi yang diberi nama “Generation Me”. Berdasarkan riset perilaku yang dilakukannya ia melihat bahwa generasi ini meningkat kecenderungan narcissism. Berdasarkan penelitian ini juga ia mempertanyakan pendapat Strauss & Howe tentang generasi Y.
Setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain sehingga mereka diberi penamaan yang berbeda seperti: Prophet, Nomad, Hero, and Artist. Menurut mereka Generasi Y merupakan generasi yang dikategorikan sebagai Hero, dengan karakteristik sangat percaya kepada institusi dan kewenangan, terlihat agak konvensional akan tetapi sangat berpengaruh. Kebanyakan Generasi Y ini dibesarkan pada siklus Unraveling dengan proteksi yang lebih dari generasi sebelumnya, Generasi X. Ciri-ciri Generasi Y pada setiap tahap kehidupannya akan sangat berbeda. Pada saat muda, Generasi Y ini sangat tergantung pada kerja sama kelompok. Pada saat mereka mulai dewasa mereka akan berubah menjadi orang-orang yang akan lebih bersemangat apabila bekerja secara berkelompok terutama di saat-saat krisis. Pada saat paruh baya, mereka akan semakin energetik, berani mengambil keputusan dan kebanyakan mereka mampu menjadi pemimpin yang kuat. Pada saat mereka tua, mereka akan menjadi sebagai sekelompok orang tua yang mampu memberikan kotribusi dan kritikan kepada masyarakat.
Selain itu, University of Michigan’s secara terus menerus sejak tahun 1975 melakukan penelitian terhadap para remaja. Hasil penelitian mereka memperlihatkan: pertama, pelajar yang menyatakan kekayaan itu penting, semakin meningkat setiap generasi dari 45% pada Generasi Baby Boomers menjadi 70% pada Generasi X dan 75% pada Generasi Y atau Millennials[6]. Kedua, sebaliknya, pelajar yang menyatakan bahwa selalu tahu tentang keadaan politik semakin menurun setiap generasi dari 50% pada Generasi Baby Boomers menjadi 39% pada Generasi X dan 35% pada Generasi Y atau Millennials[7]. Keempat, 73% Baby Boomers ingin mengembangkan filosofi yang bermakna, sementara hanya 45% Generasi Y yang mau melakukan hal tersebut. Kelima, 33% Baby Boomers mau terlibat dengan program membersihkan lingkungan dan hanya 33% Generasi Y yang mau melakukan hal tersebut[8].

Menurut Topscott, penyebutan dan pemakaian istilah Y merujuk kepada idealisme kaum Y yang selalu mempertanyakan "whY". Generasi Y merupakan kelompok orang – orang kritis yang suka bertanya tentang apapun yang mereka lihat, ketahui atau temui. Berdasarkan artikel ini, ada beberapa karakeristik lain yang ditampilkan oleh generasi Y, seperti pertama, tingkat pengangguran yang tinggi. Satu kajian menunjukkan Gen Y menunjukkan pengangguran tinggi, Spanyol 40%, Negara Baltic 35%, Britain 19.1% dan lebih 20% pada negara-negara lain. Kedua, berdasarkan buku "The Fourth Turning", kaum Millenial ini memiliki semangat kepahlawanan yang tinggi untuk komunitasnya baik secara positif maupun negatif. Mereka bergantung kepada kumpulan tertentu dan akan menjadi pahlawan dalam komunitasnya. Ketiga, mempunyai kepercayaan tinggi dalam kebenaran dan institusi: menjadi konvensional, tetapi sangat berkuasa. Keempat, generasi Y mempunyai tahap perkembangan yang lama berbanding generasi lain dikarenakan sindrom yang menggejala pada mereka yaitu sindrom Peter Pan atau fantasi atau khayalan[9]. Anak – anak yang lahir dalam generasi ini lahir memiliki ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri, lingkungan sosial dan dunia namun hanya sebatas ide dan jarang mau terlibat langsung dengan dunia. Generasi Y tahu dengan baik kejahatan, kekurangan, ketidakberesan dalam sistem namun tidak mengambil langkah untuk mencari dan menjadi solusi nyata dari setiap permasalahan yang ada.
            Salah satu artikel yang ditulis oleh Siagian dan diterbitkan oleh majalan Femina juga membahas tentang keberadaan generasi Y ini. Bagi penulis artikel ini, generasi Y merupakan generasi yang lebih suka menggunakan kecanggihan, kecepatan dan ketepatan tekhnologi ketimbang harus bekerja secara manual. Generasi Y justru lebih cenderung menyukai tekhnologi terbaru ketimbang dunia sosial. Di dunia kerja, mereka adalah generasi andal, karena penuh kejutan dengan menelurkan ide-ide brilian. Namun demikian, kelompok ini kurang bisa menempatkan diri dalam satu lingkungan kerja tertentu dalam waktu lama. Gen Y dianggap tidak memiliki komitmen tinggi dan loyalitas. Ketika tempat kerja tidak lagi menyenangkan atau tidak sesuai dengan gaya hidup, mereka tidak segan-segan mencari tempat kerja baru. Yang dikejar di perusahaan baru biasanya income tahunan yang lebih tinggi dan prestise  bekerja di lingkungan kerja yang lebih sophisticated. Kesempatan untuk traveling juga menjadi alasan kuat bagi generasi ini untuk berpindah kerja. Selain itu, pengaruh ikatan teman juga dengan mudah membuat mereka mengubah karier dan pekerjaan[10].
Siagian dalam artikelnya menuliskan juga bahwa di bandingkan dengan generasi - generasi sebelumnya, generasi X yang lahir tahun 1965 - 1979 dan baby boomer lahir tahun 1946 - 1964, gen Y memberi kesan sebagai generasi yang tidak terlalu membanggakan. Hal ini dikarenakan, generasi ini memiliki beberapa ciri negatif, seperti kurang  merasa bersyukur, egosentris, individualisme yang sangat tinggi, mudah bosan dan senang unjuk diri. Secara politis, gen Y juga cenderung tidak mau terlalu ambil pusing, meski mereka pada umumnya mempunyai toleransi yang tinggi meski sepintas, gen Y terlihat pintar, aktif, dan agresif. Mereka juga tergolong hebat dalam mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan dengan tekhnologi yang dimiliki. Female memberi contoh bahwa generasi Y bisa mendengarkan musik lewat iPod yang menempel di telinga, mereka bisa menulis e-mail di tablet, sekaligus chatting dengan menggunakan Smartphone. Penampilan kasual dan santai menjadi ciri khas, sehingga kesan serius pun jarang muncul sehingga generasi pendahulu sering beranggapan gen Y tidak pernah serius dan tidak disiplin. Menurut Lita Mucharom dari Human Capital Management Coach Langkah Mitra Selaras, gen Y adalah generasi yang tumbuh di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi wireless. Paparan teknologi juga mempengaruhi kepekaan gen Y terhadap perubahan. Mereka tidak takut perubahan, namun sering kali tidak sabar melalui proses menuju perubahan itu. Hal ini dikarenakan kecepatan akses teknologi yang dapat dilakukan oleh generasi Y. Mereka adalah generasi yang akrab dengan internet dan sangat aktif dalam media jejaring sosial[11].
Majalah Time menyebut generasi ini sebagai ‘me me me generation’. “Gen Y” adalah pribadi yang bekerja untuk dapat menerapkan kreativitasnya, serta mencari lingkungan kerja yang santai penuh hura-hura. Mereka bekerja tidak terlalu serius, karena bekerja bukan untuk kehidupan atau menghidupi keluarga seperti yang dilakukan generasi sebelumnya. Mereka sangat techno-minded dan berinteraksi lebih banyak melalui gadget seperti Skype, Whatsapp, Twitter, Facebook, walau dengan teman satu kantor. Gen Y juga memiliki kecenderungan yang selalu ingin tampil beda, termasuk di tempat kerja. Uniknya, dari segi keuangan, mereka tidak terlalu mempermasalahkan income bulanan, namun sangat menunggu bonus yang besar di akhir tahun untuk hura-hura atau kesenangan pribadi.”[12]  Di antara berbagai macam kelemahan, terdapat juga kekuatan yang dimiliki oleh generasi ini. Kekuatan generasi ini adalah daya kreativitasnya yang tinggi. Lewat bantuan teknologi, mereka memiliki kesempatan exposure yang lebih untuk melihat  tiap sudut di dunia ini tanpa perlu pergi ke tempat tersebut dalam waktu sangat singkat. Tekhnologi mempermudah setiap pekerjaan dan penggalian informasi bahkan ke seluruh belahan dunia yang tidak dapat mereka jangkau sekalipun[13].
Namun demikian, tekhnologi ini juga memiliki dampak positif – negatif. Teknologi masa kini dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memberikan efek nyaman dan kepuasan pada penggunanya. Tidak hanya nyaman, teknologi yang digunakan ini dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan produk yang mampu memberi efek kecanduan bagi penggunanya. Misalnya: pertama, produk pangan. Industri bahan makanan masa kini memproduksi berbagai jenis bahan makanan yang mampu memberi rasa nikmat, cepat saji dan ketagihan bagi para konsumennya. Dalam bahan makanan maupun makanan yang diproduksi tambahi dengan bahan pengawet, MSG, pewarna, dll. Dan bahan – bahan yang digunakan ini umumnya mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh. Kedua, produk kosmetik. Kebanyakan produk kosmetik saat ini dirancang untuk memperindah manusia dalam waktu singkat. Produk kosmetik ini juga mengandung bahan – bahan kimia berbahaya bagi tubuh seperti merkuri. Sebagian orang demi tampil cantik rela melakukan suntik hormon, operasi plastik, dll. Ketiga, teknologi komputer dan gadget. Masa ini adalah masa komputerisasi dan gadget. Semua kegiatan baik itu positif, negatif, membangun atau merusak dapat dilakukan dengan menggunakan alat ini.  Keempat,  teknologi informasi. Masa ini merupakan masa demokrasi bagi media. Setiap media bebas menyiarkan siaran – siaran yang dapat memperbesar income perusahan. Disediakan juga media – media sosial seperti facebook, Twitter, You Tube, dll dari raksasa – raksasa media sosial dengan dampak positif negatif bagi para pemakainya dan tergantung pada para pemakainya itu sendiri.
            Lingkungan di mana anak muda berkumpul, bergaul, berkecimpung, memberi pengaruh besar bagi mereka. Hanya saja, bagi generasi Y, lingkungan yang paling berpengaruh dan membentuk karakter, justru muncul dari pergaulan yang dihasilkan oleh teknologi terutama internet.  Dalam era generasi Y, relasi dengan sesama menjadi sangat meluas bahkan sampai ke berbagai negara di penjuru dunia. Hal ini terjadi berkat bantuan tekhnologi komunikasi seperti komputer disertai perangkat  internet atau Wifi, berbagai  jenis gadget, smartphone, dll . Orang – orang dari mana saja di seluruh dunia bisa saling berkenalan, bertukar informasi, tanpa perlu saling bertemu atau bertatapan muka. Namun demikian, teknologi ini justru bisa dan  telah menghilangkan keintiman relasi antara orang – orang sekitarnya.   Tekhnologi Internet bagi generasi Y bukan hanya sebagai pusat komunikasi, informasi, cara bekerja, namun juga pusat kehidupan dan ini menjadi paradigma kelompok ini. Hanya, dalam pergaulan ini menimbulkan gejala – gejala baru baik positif maupun negatif. Tentang apakah, mengapa, dan bagaimana teknologi ini dapat menghasilkan dampak positif dan negatif bagi penggunanya bergantung pada karakter masing – masing orang. Teknologi dapat digunakan sebagai alat kemanusiaan tercanggih namun sekaligus kejahatan tercanggih bergantung pada karakter penggunanya.

Persoalan – persoalan yang Dihadapi Anak Muda secara Umum
            Graham dalam bukunya melampirkan tiga puluh enam pertanyaan yang diajukan oleh para muda – mudi. Lima belas dari pertanyaan itu berisi tentang keinginan mereka untuk terbebas dari pengaruh orangtua namun juga ketakutan mereka akan tanggungjawab dalam pengambilan keputusan terhadap suatu masalah. Masalah umum yang terjadi yang membuat mereka berbenturan dengan orang tua adalah masalah pergaulan, percintaan, dan keinginan berdikari. Sepuluh pertanyaan berisi tentang kesadaran mereka sebagai anak Kristen namun ingin bebas dalam pergaulan. Tentang pergaulan dan seks masing – masing empat pertanyaan, satu pertanyaan tentang pendidikan dan satu kasus tentang tindakan pencurian (1985: 49 – 74).
Brownlee menggambarkan permasalahan – permasalah yang dialami oleh anak muda yang penulis klasifikasikan dalam makalah ini, antaralain:
Masalah yang Bersumber dari dalam Diri Pribadi
Ada berbagai masalah yang timbul dari dalam diri pribadi anak muda, antaralain: Pertama, keakuan atau individualisme. Kebanyakan anak muda dibudak oleh “aku”nya sendiri. Ada juga anak yang yang karena trauma menjadi takut disakiti kembali oleh lingkungan dan teman – temannya sehingga memisahkan diri dari dunia.  Ada anak yang takut bahaya atau merasa tidak aman jika harus terlepas dari orang tuanya. Anak - anak muda yang memiliki ketakutan – ketakutan untuk melangkah ke dunia luar dengan berbagai alasan telah melindungi atau terlalu mengasihi “aku”. Sebaliknya, jika anak – anak muda ini berhasil keluar dan bebas dari orang tuanya, orientasi kehidupan mereka tetap adalah “aku”. Kedua, kesenangan. Kesenangan bagi Brownlee tetap merupakan berkat Tuhan jika diterima dan digunakan dalam cara yang benar. Masa modern, bagi Brownlee, apalagi post – modern, merupakan masa di mana segala kesenangan, kenikmatan dan kepuasan bisa didapat dengan cara yang mudah. Iklan – iklan menawarkan berbagai produk untuk mencapai kepuasan, kenikmatan, dan kesenangan dengan cara yang mudah. Namun, bagi penulis, cara instan ini menimbulkan gejala baru dalam dunia anak muda yaitu gejala “malas berusaha”. Orang – orang pada masa ini menjadi “malas” untuk mengusahakan hidupnya sendiri karena adanya berbagai produk layanan dan jasa yang dapat diakses dengan mudah dan memiliki “mental menerobos” demi mendapat semua kenikmatan yang diinginkan. Akibat terburuknya pada generasi ini adalah “lumpuh kemampuan”.  Manusia berhenti untuk berjuang keras dalam mengusahakan hidupnya, kehilangan pengalaman – pengalaman penting dalam hidup dan berhenti untuk mengembangkan diri. Ketiga, materialisme. Manusia umumnya ada masa ini memiliki penghargaan yang terlalu tinggi pada materi. Hasrat yang tidak terkontrol untuk memiliki barang – barang disertai sikap konsumtif menggejala hebat pada generasi ini. Hasilnya, kepekaan terhadap lingkungan sosial dan Tuhan sendiri menjadi berkurang (1985 : 36 – 51). Tentu masih ada masalah – masalah lain yang belum tergambarkan dalam tulisan ini dan bersumber dari dalam diri pribadi anak muda. Biasanya masalah – masalah itu memiliki karakteristik dan melengkapi satu sama lain. Namun semua masalah ini berakar dari satu masalah yaitu kurangnya kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan atau yang disebut oleh Brownlee sebagai disiplin diri sendiri.  

 Masalah dalam Pergaulan Sosial
            Semua masalah ini saling berhubungan satu sama lain namun dapat dipicu lagi dengan adanya tantangan dari dunia di luar diri anak muda. Masalah – masalah pemicu itu muncul dalam pergaulan anak muda dengan sesamanya dalam beberapa lingkungan, antaralain:
Pertama, keluarga. Anak muda  bagi   Brownlee merupakan generasi anak – anak yang siap untuk melepaskan diri dari orang tua untuk berdikari dan menentukan masa depannya sendiri namun masih ingin tetap berada dalam bantuan orang tuanya terutama dalam hal materi. Anak muda ini berada dalam ketegangan antara kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan kepatuhan terhadap orang tua (1985 : 33). Pada dasarnya, memang ada anak – anak dengan orang tua yang otoriter yang ingin terus mengawasi dan mengurusi kehidupan anak mereka bahkan sampai usia di mana sang anak sudah dapat berdikari. Sebaliknya, ada anak yang tetap ingin bergantung pada orang tua walau secara usia sudah cukup bahkan matang untung mandiri. Kedua, teman. Teman merupakan tempat pelarian anak muda dari segala persoalan yang mereka alami baik di rumah, masyarakat, gereja, pemerintah, sekolah, dll.  Pada temanlah perasaan kecewa, terkekang, takut, gelisah, diungkapkan ketika keluarga dianggap tidak dapat menjadi jalan keluar dari masalah mereka. Setiap orang yang masuk dalam satu komunitas pertemanan tertentu harus menyesuaikan diri dengan peraturan – peraturan baru dalam komunitasnya agar ia bisa diterima dengan baik di sana. Keinginan untuk dapat diterima dan diakui dalam kelompok pertemanannya seringkali membuat anak muda ini kehilangan pendirian dan pandangannya sendiri. Anak – anak muda ini berusaha untuk mengeluarkan dari dari pengaruh keras peraturan di rumah namun menjebak dirinya dalam peraturan yang dibuat oleh teman – teman sebayanya. Hanya saja, tidak semua teman ini mampu memberi pengaruh baik pada anak muda. Ketiga, gereja. Kaum muda memiliki sikap kritis terhadap kehidupan gereja. Ada banyak kaum muda yang awalnya memutuskan untuk terlibat dalam kehidupan rohani berbalik dan menjadi kecewa dengan gereja. Seringkali, materi yang disampaikan di mimbar oleh para rohaniwan berbeda dengan kenyataan di lapangan. Praktik hidup para rohaniwan, kepedulian gereja terhadap masalah – masalah sosial, berbeda dengan yang dikhotbahkan di mimbar. Perpecahan – perpecahan yang terjadi dalam tubuh gereja menyebabkan kekecewaan ini terjadi semakin hebat dan ini menjadi fakta negatif dalam penilaian anak muda. Selain itu, tidak banyak gereja yang mau memfasilitasi kegiatan anak muda dan mengarahkan mereka dalam satu metode khusus dan terkini yang sesuai dengan dan atau mampu menjawab pergumulan – pergumulan anak muda masa kini. Keinginan untuk “merdeka dalam Tuhan” dihalangi oleh paradigma – paradigma lama gereja yang “bertameng firman Tuhan” membuat pemuda semakin melarikan diri dari kegiatan – kegiatan rohani gereja.  Keempat, masyarakat. Umumnya masyarakat memiliki standar- standar etika tertentu yang dianut turun – temurun dari generasi ke generasi. Standar etika ini masih dipegang kuat oleh golongan – golongan tua namun seringkali melahirkan kesulitan tersendiri bagi kaum muda. Sementara kaum muda hadir dengan kebudayaan baru yang mereka adopsi dari berbagai media dan kelompok pertemanan mereka, pendidikan agama, para golongan tua tetap bertahan pada kebiasaan lama mereka. Aspek – aspek budaya, tradisi atau adat isitiadat mewarnai etika pergaulan dalam masyarakat dan ini biasanya di berbagai tempat, waktu, strata ekonomi, agama, pendidikan, berbeda satu sama lain. Setiap orang, tidak hanya anak muda, yang ingin menggabungkan diri dalam satu komunitas masyarakat tertentu, harus hidup menurut standar yang berlaku menurut mereka. Jika tidak, akan dianggap aneh atau malah dikucilkan dari kelompok sosial ini. Karena itu, sering terjadi ketegangan antara golongan tua dan muda dalam masyarakat. Kelima, pemerintah. Ada banyak pemuda yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap hukum namun tidak sedikit juga dari kaum muda ini yang tidak peduli hukum bahkan “rabun hukum”. Kebanyakan kaum muda hanya paham hukum dalam bentuk “rambu lalu lintas” namun seringkali juga melanggarnya.  Ada banyak kaum muda yang sampai saat ini tidak memiliki kartu identitas kewarganegaraan, akte kelahiran, surat izin untun mengemudi, dll dan menganggap bahwa hal ini bukan masalah (1985 : 56 – 80). Keenam, pendidikan. Naim dalam tesisnya mengajukan satu masalah lagi dalam dunia anak muda yaitu pendidikan. Negara Indonesia umumnya sudah sedemikian rupa memprogramkan satu bentuk sistem pendidikan yang sesuai untuk dikembangkan di sekolah. Dalam kurun waktu kurang dari dua dekade terkakhir saja sudah beberapa kali terjadi pergantian metode, sistem, atau pendekatan kurikulum dalam dunia pendidikan. Namun demikian, banyak siswa Indonesia mengeluh dengan lemahnya kualitas pendidikan sehingga memilih untuk belajar di luar negeri dan banyak guru juga mengeluh dengan lemahnya daya serap para siswa (2012 : 18 – 36). Di Indonesia sendiri, masalah – masalah ini sudah umum dan sepertinya sudah membudaya sebagai karakteristik kekerabatan masyarakatnya.

Kesimpulan
Tulisan Brownlee selaras dengan pertanyaan – pertanyaan atau masalah – masalah yang paling digumuli pemuda dan dijawab oleh Graham dan juga merupakan esensi dari masalah – masalah yang sedang dihadapi oleh anak muda dan ini juga yang dialami oleh generasi Y sebagai anak muda masa kini. Persoalan – persoalan ini merupakan persoalan karakter dan ini juga yang anak muda yang melatar belakangi tindakan mereka. Lickona dalam kenangan terhadap kata – kata kepala sekolahnya mencatat demikian:
Hati – hati terhadap pikiran karena pikiran akan menjadi kata – kata. Hati – hati dengan kata – kata karena darisanalah akan timbul tindakan. Hati – hati dengan tindakan karena darisana akan timbul kebiasaan. Hati – hati dengan kebiasaan karena kebiasaan akan menjadi karakter. Hati – hati dengan karakter karena karakter akan menjadi takdir seseorang (2013 : 12).
           
            Persoalan kita adalah persoalan karakter, karena itu tepat jika pendidikan masa kini diarahkan bukan hanya kepada pendidikan intelektual namun juga karakter. Amsal menambahkan satu bentuk pendidikan yang ternyata tidak hanya mampu menyentuk aspek intelektual namun juga moral dan spiritual.


Bab III
Pembangunan Karakter Anak muda Menurut Kitab Amsal
            Dalam teks – teks kitab Amsal  terutama Amsal 1 – 9 terdapat pengajaran hikmat yang kesemuanya diarahkan kepada anak muda. Dimulai dari pengajaran orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya dan perempuan bijaksana kepada anak muda.  Kitab Amsal dibuka dengan tujuan pengajaran Amsal yaitu untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda (Amsal 1 : 4). Inilah ayat kunci bagi usaha pembangunan karakter anak muda. Untuk itu bagian ini akan menganalisis Amsal dan upaya pembangunan karakter anak muda dalam konteks Amsal ini.

Kitab Amsal Secara Umum
            Kitab Amsal merupakan salah satu dari kitab Kebijaksanaan PL. Berasal dari kata masyal yang artinya “menyerupai” atau “dibandingkan dengan” (Lasor, 2013 :89). Dan kebanyakan ahli PL sepakat bahwa Amsal merupakan kumpulan sastra yang mewakili hikmat tradisional. Terdapat banyak penggunaan gaya bahasa sastra dalam kitab ini seperti perbandingan, pertentangan, pertautan, dll. Menurut Harun, kitab ini merupakan koleksi pepatah atau peribahasa yang berisi nasihat – nasihat dan aturan dalam bertingkahlaku. Kitab ini tidak berisi banyak perintah melainkan sebuah usaha persuasif agar orang hidup pada suatu cara tertentu (2010 : 17). 

Unsur Intrinsik Amsal         
Penulis Kitab Amsal
            Amsal 1 : 1 menyebutkan nama Salomo sebagai penulis kitab Amsal. Namun hasil penelitian kritis menunjukkan bahwa kitab ini justru ditulis dari berbagai zaman yang berbeda dan ditulis oleh penulis yang berbeda pula. Menurut Blommendal, ada kemungkinan bahwa Amsal 10 dst ditulis oleh Salomo atau berasal dari masa Salomo. Salomo pernah terlibat pernikahan dengan putri Mesir dan pernah mengarang tiga ribu Amsal, jadi ada kemungkinan besar dari sini jugalah pengaruh hikmat Mesir dalam Amsal itu muncul (2012 : 154).

Latar Penulisan
            Sumber – sumber tulisan hikmat dari kitab Amsal ini sepertinya telah ada sejak Israel kuno namun baru dibukukan seluruhnya pada masa sesudah pembuangan di Babel sekitar 5 – 4 SM. Menurut Ludji, terdapat perkembangan dan keanekaragaman dalam tradisi Amsal yang menunjukkan bahwa sebelum dibukukan, kitab ini telah melewati proses panjang (2009 : 193 – 194). Perkembangan ini menurut Whybray sebagaimana dikutip Harun adalah karena kedua koleksi besar komponen Amsal yaitu Amsal – amsal Salomo (10 : 1 dan 25 : 1) dan perkataan – perkataan orang bijak – Agur – Lemuel (22 : 17; 30 : 1 ; 31 : 1) baru dilengkapi dengan kata – kata hikmat dari luar Israel dan diedit sedemikian rupa sehingga jadilah kitab Amsal seperti saat ini (2010 : 21). Menurut Simanungkalit, ada beberapa materi seperti Amsal 31 : 10 – 31 yang sebenarnya mengindikasikan kehidupan sebelum masa pembuangan namun kemudian bentuknya diedit sedemikian rupa secara akrostik pada masa sesudah pembuangan. Materi – materi yang sebenarnya sudah lama ada diedit dan ditambahi dengan muatan teologis, gaya bahasa, digabungkan dengan materi lain yang sejenis kemudian diedit ulang sampai kitab Amsal itu sendiri jadi (2010 : 6 – 7). Sementara pasal 1 – 9 merupakan tulisan dari generasi lebih muda yaitu generasi setelah pembuangan yang dikembangkan berdasarkan Amsal 31.

Penokohan
            Ada beberapa nama dan atau sebutan penting yang digunakan dalam kitab ini, nama – nama itu antara lain; pertama, Salomo. Editor Amsal menggunakan nama Salomo dalam tulisannya dengan tujuan memperkuat kapabilitas kitab ini sebagai kitab hikmat. Kedua, orang – orang bijak. Orang – orang ini tidak dituliskan namanya namun tulisan mereka tercatat dalam beberapa bagian kitab Amsal. Bisa jadi mereka adalah kaum aristokrat dan pegawai – pegawai penting pada masa kerajaan yang dikategorikan sebagai orang – orang berhikmat. Ketiga, Agur, Lemuel dan ibu Lemuel. Hikmat mereka ini kemungkinan besar ada hubungannya dengan butir hikmat yang berasal dari tanah Arab dan berisi pepatah bilangan (Harun, 2010 : 21). Keempat, personifikasi hikmat yaitu sosok “Perempuan Bijaksana” atau “Nyonya Hikmat” dan atau “Istri yang cakap”, personifikasi kebodohan yaitu “Perempuan asing” dan atau “Perempuan jalang” serta incaran mereka “Si Pemuda”.

Alur Penulisan
            Menurut Harun, kitab ini disusun dengan sangat jelas. Judul – judul yang dibuat dan disertai beberapa kalimat pembuka dalam setiap bagian membantu memilah isi tulisan dan menentukan waktu penulisannya. Harun membagi kitab Amsal ini dalam beberapa alur, antara lain: pertama, Amsal 1 – 9. Amsal ini berfungsi sebagai pengantar bagi Amsal 10 – 31 dan bertujuan untuk menyiapkan hati pembawa agar dapat menerima pepatah – pepatah yang diberikan. Namun meskipun bagian kitab ini terletak di awal, kitab ini justru diperkirakan berasal dari tahun penyusunan yang lebih muda, sebagian bahan berasal dari Babel namun kemungkinan baru rampung pengeditannya setelah masa pembuangan[14]. Kedua, Amsal 10 : 1 – 22 : 16. Bagian ini disebut sebagai kumpulan Amsal Salomo meski tidak semuanya merupakan hasil karya Salomo. Amsal ini lebih mirip dengan gurindam karena hanya terdiri dari dua baris pendek namun tampak tidak sistematis. Amsal ini membeberkan seluk – beluk kehidupan dan cara mengatasinya, isinya kebanyakan bersifat pernyataan dari pengalaman yang berlaku umum. Sampai pasal 15 gaya bahasa yang digunakan kebanyakan adalah paralelisme antitesis yang menunjukan banyaknya fenomena sebab - akibat, pasal selanjutnya memuat paralelisme sinonim dan sintesis. Ketiga, Amsal 22 : 17 – 24 : 34. Bagian ini merupakan koleksi tulisan “orang bijak”, isinya berupa ajakan – ajakan dengan didukung oleh pernyataan penjelas dan umumnya lebih dari dua baris. Kumpulan Amsal dalam bagian ini sepertinya telah mengadopsi banyak ide dari hikmat internasional seperti Amene – Emope di Mesir lalu digubah ulang agar memiliki muatan teologis pada masa kerajaan di Israel. Keempat, Amsal 25 – 29. Amsal ini merupakan kumpulan Amsal Salomo yang baru dikumpulkan kemudian oleh para pegawai Hizkia sehingga menimbulkan kesan bahwa Amsal ini terbit pada masa akhir kerajaan. Berbeda dengan Amsal Salomo lain karena dalam bagian ini pepatah yang bermuatan Tuhan sangat berkurang. Kelima, Amsal 30 – 31. Bagian ini merupakan tambahan hikmat dari Agur, Lemuel dan ditutup dengan syair tentang istri yang cakap (2010 : 17 -21).
Berbeda dengan Harun, Simanungkalit membagi kitab ini dengan tujuan kanonis dalam beberapa ulasan, antara lain; pertama, Amsal 1 : 1. Ayat ini merupakan pendahuluan sekaligus judul dari kitab Amsal. Nama Salomo digunakan bukan untuk menunjukkan otoritas Salomo sebagai pengarang namun untuk memperlihatkan kewibawaan Ilahi kitab[15]. Kedua, Amsal 1 – 9. Amsal ini memiliki perbedaan gaya, karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kitab Amsal lain. Pengajarannya berbentuk unit – unit yang besar dan berhubungan satu sama lain dalam pengajaran hikmat, sifatnya lebih teologis ketimbang bagian lain dalam Amsal dan berfungsi sebagai pembangunan moral dalam kehidupan sehari – hari sekaligus reinterpretasi panggilan ilahi sendiri. Ketiga, Amsal 10 : 1 – 31 :  10. Bagian ini tampaknya disusun oleh lebih dari satu orang dan dalam jangka waktu yang panjang. Merupakan hasil refkleksi manusia terhadap pengalaman hidupnya baik dari lingkungan Israel maupun internasional sifatnya praktis meski cukup acak – acakan namun tetap harus dilihat sebagai hasil karya yang mengandung nilai teologis. Dan terakhir, keempat, Amsal 31 : 10 – 31[16] merupakan bagian penutup dari seluruh kitab Amsal dan merupakan puncak dari gambaran tentang hikmat.
           
Unsur Ekstrinsik Amsal
Nilai Moral
            Menurut Blommendal, umumnya dunia Timur Tengah mengenal hikmat sebagai bagian dari kehidupan rohani. Hikmat itu berasal dari dewa yang berisi kesenian, tekhnik dan ilmu teoritis serta etika. Bagi orang Israel, dasar Kebijaksanaan itu bersifat religius – teologis. Pada mulanya memang bersifat ilmu namun pada akhirnya berubah menjadi hikmat kehidupan yaitu etika (2012 : 152 – 153). Menurut Wahono, dalam Amsal aksioma peribahasanya sebagian besar menekankan pada aspek moral yaitu sebab akibat. Ungkapan – ungkapan moral yang digunakan dalam Amsal sepertinya sudah cukup untuk menjawab semua masalah kehidupan (2011 : 226).

 Nilai Budaya
            Kebijaksanaan ini umumnya bersifat praktis namun berlaku di dunia internasional. Setiap kebudayaan umumnya memiliki ragam kebijaksanaan masing – masing. Biasanya dimasa lalu Kebijaksanaan ini berlaku di kalangan pegawai – pegawai tinggi istana, aristokrat, sekretaris, penulis sejarah, atau golongan – golongan cendikiawan lain. Kitab Amsal sendiri tidak murni berasal dari Israel karena terdapat resapan dari kebudayaan dan Kebijaksanaan dari Amenemope di Mesir, Babilon ataupun Asyur di dalamnya. 

Nilai Sosial
            Menurut Wahono, kalimat – kalimat dalam Amsal dialamatkan pada pribadi namun memiliki implikasi sosial. Isinya bersifat teguran terhadap tindakan anti sosial dan jahat serta merusak kehidupan masyarakat. Tindakan – tindakan jahat yang dilakukan tidak hanya akan berefek pada pribadi namun juga sosial. Hubungan yang terjalin dalam masyarakat harus bersifat konstruktif dan kreatif (2012 : 225).

Pembangunan Karakter Anak Muda Menurut Kitab Amsal
            Kitab Amsal menurut Thompson sebenarnya berisi tentang pandangan – pandangan atau falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Israel kuno. Kebanyakan dari falsafah ini diadopsi juga dari kebudayaan Mesopotamia, Mesir maupun Kanaan. Namun demikian, di dalamnya juga terdapat fungsi pengajaran yang tidak hanya mengarah pada aspek intelektual namun juga moral dan spiritual (1974 : 68 – 83). Target pengajaran secara khusus adalah anak – anak muda. Karena itu dalam bagian ini akan dijelaskan tentang upaya pembangunan karakter  atau yang bisa juga disebut dengan formasi karater bagi anak muda yang dilakukan oleh orang – orang bijaksana pada masa itu.

Latar Belakang Konteks Formasi Karakter bagi Anak Muda
            Amsal 1 – 9 ini sering disebut sebagai “Petunjuk – petunjuk ayah kepada anaknya” sebelum mereka memasuki dunia luas terlepas dari orang tuanya. Pada masa ketika bagian ini ditulis, ekploitasi dan kekerasan merajalela dalam komunitas yang berjuang untuk memperbaiki diri selama masa setelah pembuangan. Pekerjaan para nabi dan sejarahwan pada masa ini diarahkan kepada perlawanan terhadap kemiskinan dan asimilasi pada masa pasca pembuangan. Kemiskinan yang terjadi pada masa ini tidak hanya membuat banyak orang menderita secara ekonomis namun juga moral atau karakter. Orang – orang tua yang hidup miskin nekat menjual anak – anaknya kepada para orang kaya untuk dijadikan budak. Dan ini yang diperjuangkan oleh Zakaria, Hagai dan Nehemia. Di lain pihak, orang – orang Israel juga melakukan asimilasi karena perkawinan dengan perempuan – perempuan asing yang terjadi dalam umat Israel. Ezra dan Nehemia berjuang untuk melakukan pembersihan etnik bagi bangsa Israel untuk mendirikan keturunan Israel asli yang tidak bercampur dengan negara lain.   Dan Amsal 1 – 9 ini muncul di tengah situasi ini sehingga para guru – guru kebijaksanaan yang mempergumulkan masalah sosial yang sama menuliskan tentang pembangunan karakter melalui kemampuan ini bagi anak – anak muda untuk mempersiapkan mereka untuk menghadapi situasi ini (Brown, 1996 : 43 – 45).
Definisi dan Karakteristik Anak Muda
Menurut Alden, orang muda dalam teks Amsal 1 : 4 yang menjadi tujuan dari pengajaran hikmat merupakan metafora orang – orang yang dianggap tidak berpengalaman atau lugu. Orang – orang seperti ini masuk dalam kategori orang bebal yang masih dapat diampuni karena kebodohannya itu disebabkan kurangnya pengalaman. Orang muda ini tidak bertindak dalam keangkuhannya namun karena kurangnya kontak dengan dunia. Karena itu, perlu banyak belajar dari orang – orang berhikmat (2002 : 21).
Sejalan dengan itu, menurut Loke, anak muda adalah anak yang sedang bersiap – siap untuk mengarungi dunia kehidupan dan memiliki karakteristik khas yang membuatnya perlu dengan ketat mendapatkan bekal atau pengajarannya yang menjadikannya bijak dalam menilai dan berlaku dalam dunia. Orang muda merupakan orang yang mudah dipengaruhi oleh rekan – rekan sebayanya. Sayangnya, tidak semua pengaruh ini positif malah justru  berkesan negatif secara menyeluruh. Teman – teman sebayanya cenderung mempengaruhinya untuk mencari kesenangan, kekuasaan, mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang mudah, namun berakhir pada masalah. Anak muda cenderung ingin diterima dalam lingkungan seusianya. Dalam kekurangan pengalamannya, anak muda lebih mudah percaya kepada teman sebayanya sehingga lebih mudah disesatkan oleh unsur – unsur yang tidak sehat. Anak muda sulit untuk berpikir jauh tentang akibat buruk dari tindakan mereka di masa kini (2007 : 11 – 12). Atkinson menuliskan alasan lain dari karakteristik anak muda yang membuat mereka perlu mendapat pengajaran ketat adalah bahwa anak muda merupakan orang yang mudah dipengaruhi, dibohongi, tolol. Secara mental anak – anak muda ini umumnya naif (Amsal 14 : 15), secara moral penuh dengan impian namun sulit dipertanggungjawabkan (Amsal 1 : 32), pikirannya sederhana mirip atau lebih tepat jika dikatakan tidak berpendirian sehingga mudah jatuh dalam pencobaan, tidak stabil, kurang sensitif. Anak muda yang lain sering disamakan dengan orang goblok atau dalam pengertian Kebijaksanaan adalah orang – orang yang tidak memiliki pikiran atau ide tentang kesabaran dalam mencari hikmat, tidak berkonsentrasi pada pencarian hikmat, tidak memilih untuk takut akan Allah. Anak – anak muda seperti ini bisa menjadi biang masalah dalam masyarakat dan juga duka bagi orang tuanya, kasar, tidak sopan. Selain itu ada juga anak muda yang suka mencela yang menunjukkan sikap mental mereka yang buruk (1998 : 79 – 80).
            Kepada merekalah pengajaran diberikan agar terjadi perubahan sikap baik pada masa belajar maupun setelahnya. Anak – anak muda dengan bebas menentukan untuk menolak atau menerima pengajaran ini. Sang ayah, guru, maupun perempuan bijak yang menawarkan pengajaran hikmat atau hikmat itu sendiri sifatnya hanya menawarkan. Keputusan untuk menolak atau menerima berada pada anak muda. Berdasarkan Amsal 1 : 20 – 33 ada dua macam anak muda yang menjadi target pengajaran hikmat yaitu mereka yang mau menerima dan mereka yang tidak mau mendengarkan pengajaran hikmat. Orang – orang yang menolak disebut kurang berpengalaman atau orang bodoh dan mudah tertipu (Amsal 1:22), mereka ini akan membawa celaka para diri mereka sendiri (ayat 26 – 27) dan menanggung sendiri akibat dari perbuatan mereka yang bodoh (ayat 31). Yang penting di sini adalah bahwa bukan hikmat yang menghukum mereka namun diri mereka sendiri akibat sikap keras kepala dan rasa puas terhadap diri sendiri. Sebaliknya, orang yang mau mendengar hikmat akan menyadari hikmat, mencurahkan hati dan menyatakan pikiran – pikirannya kepada mereka (ayat 23). Mereka akan mendapat keselamatan, ketenangan dan terhindar dari bahaya (ayat 33). Orang berhikmat adalah orang yang mampu membuat pilihan yang tepat sehingga mereka dapat memiliki hidup (Loke, 2007 : 12 – 13). Anak muda yang mau mendengar dan menerima pengajaran hikmat ini tetap masuk dalam golongan orang – orang kurang berpengalaman namun siap untuk mengalami transformasi karakter.

Pembentukan Karakter Anak Muda dalam Amsal
Bagi Brown yang secara khusus memberikan perhatiannya pada pembangunan dan atau transformasi karakter berdasarkan kitab Kebijaksanaan, Amsal 1 – 9 ditujukan secara khusus bagi orang – orang muda. Bentuk final dari Amsal 1 – 9 ini terdapat dalam Amsal 31 yang menjadi fokus katakter dan nilai – nilai. Ada berbagai variasi nilai yang bernuansa etis dalam pembahasaan kitab Amsal. Dan bagi Brown, ketujuh ayat pertama dalam kitab Amsal ini secara tidak biasa dimuat nilai – nilai etika (1996 : 22 – 23). Bagian ini akan memuat uapaya pembentukan karakter anak muda baik dari orang tua, guru dan perempuan bijaksana.

Pembentukan Karakter Orang Tua Kepada Anaknya
Kebanyakan ahli menurut Atkinson menyatakan bahwa Amsal 1 – 9 ini merupakan Amsal yang diarahkan sebagai pengajaran orang tua kepada anaknya (1998 : 60). Menurut Loke, dalam Amsal  1 : 8 – 19 terdapat nasihat orang tua kepada anaknya sebagai modal awal dalam menjalani kehidupan di dunia. Dari sini juga tergambar dengan jelas karateristik awal anak muda berdasarkan kitab Amsal. Anak muda dalam kitab Amsal merupakan orang – orang yang dengan sangat mudah terkena pengaruh. Karena itu peringatan sang ayah dalam  teks ini lebih mengarahkan anak agar tidak sampai dipengaruhi oleh orang berdosa dan keluar dari landasan kehidupan. Nasihat sang ayah ini bertujuan memberi pertimbangan di antara sebab dan akibat yang akan ditimbulkan dari tindakannya (2007 : 11 – 12).
Brown menganggap bahwa mengapa pembentukan karakter ini perlu diawali dari rumah adalah karena pada dasarnya dan umumnya setiap anak lahir dalam lingkungan keluarga walaupun pada saat ini pengajaran karakter cenderung dilakukan juga di luar rumah. Anak – anak dapat memiliki dasar yang kuat dari setiap pelajaran sosial yang dibangun oleh keluarga dan mempraktikkannya dalam komunitas. Orang tua, dalam hal ini ayah yang bertugas mendidik anak, bertanggung jawab untuk membangun horizon, menanamkan karakter baik dan bijak dalam diri anak. Keluarga bagi Amsal adalah elemen paling dasar dalam struktur masyarakat. Di luar rumah, anak muda bisa bertemu dengan siapapun, baik - buruk, positif – negatif, kaya – miskin, pejabat – rakyat jelata, rohani – duniawi, dan dapat saja hadir dalam kehidupan anak dan mempengaruhi anak. Anak akan hidup dalam komunitas masyarakat luas dengan segala ambiguitas dan konflik, kesuksesan dan kegagalan, dibentangkan secara beranekaragam dan luas. Dan untuk inilah karakter mereka perlu dipersiapkan sedemikian rupa dalam keluarganya, agar ketika keluar, mereka menjadi orang – orang muda yang memiliki integritas dan melalui mereka, masa depan bangsa dapat terpelihara baik (1996 : 45).  

Pembentukan Karakter Guru Kepada Muridnya
            Dalam masyarakat Israel kuno ada dua model pendidikan mandiri yaitu pendidikan agama yang diajar oleh para fungsionaris agama dan pendidikan kebijaksanaan untuk calon – calon pegawai istana yang dilakukan oleh para guru kebijaksanaan. Kedua model pendidikan ini kemudian saling berkolaborasi untuk saling melengkapi dan atau mengisi kelemahan masing – masing. Jadi lulusan dari sekolah ini diharapkan tidak hanya memiliki intelektualitas tinggi namun juga memiliki nilai spiritual dan moral yang tinggi juga. Soebagjo dalam bukunya membagi tiga tahap lanjutan dalam perkembangan pendidikan di Israel kuno, antara lain:
Tahap pertama dalam Amsal 15 : 33a, mengubah sistem pendidikan dari sistem pendidikan menjadi bercitrakan agama, dengan membangun sistem pendidikan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan namun yang berasaskan pandangan tradisional yaitu “takut/ hormat akan TUHAN”. “Takut/ hormat akan TUHAN” dalam hal ini menjadi disiplin pendidikan dalam sekolah kebijaksanaan. Jadi kewibawaan tertinggi dalam sistem pendidikan ini bukan lagi terdapat pada guru – guru kebijaksanaan namun pada Tuhan sendiri. TUHAN dipandang sebagai penentu kualitas, aturan pendidikan kebijaksanaan dan pengetahuan, dan materi ajar. Sehingga dalam disiplin baru ini, para peserta diperhadapkan dengan Tuhan. Pelanggaran terhadap sistem pendidikan dianggap pelanggaran kepada Tuhan. Namun sistem ini ternyata memiliki kelemahan – kelemahan termasuk hanya menjadi alat legitimasi para guru kebijaksanaan dan pengetahuan.
Tahap kedua dalam Mazmur 111 : 10, Amsal 1 : 7 ; 9 : 10.  Tahap pertama ternyata hanya mampu menghasilkan lulusan yang memiliki etika legalitas. Karena itu, dalam tahap kedua, “takut/ hormat akan TUHAN” dijadikan bukan hanya disiplin namun juga prinsip atau sila dalam sistem pendidikan. Dengan demikian semua proses pendidikan harus berprinsip dan terintegrasi pada “takut/ hormat akan TUHAN”. Namun tahap inipun mengalami kesulitan dalam penerapannya karena dalam tahap ini perlu perubahan sikap dari para guru dan kemampuan mengintegrasikan prinsip ini ke dalam sekolah kebijaksanaan dan pengetahuan mereka, bukan semata kepentingan pribadi.
Tahap ketiga dalam Ayub 28 : 28. Dalam tahap ini, “takut/ hormat akan TUHAN” menjadi tujuan pendidikan. Tujuan dari sistem pendidikan ini adalah mendidik dan membimbing para peserta didik, agar menjadi manusia yang bijaksana, dengan ilmu, keahlian dan keterampilannya, mampu menghadapi pelbagai masalah kehidupan dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam setiap situasi. Tujuan dari sistem pendidikan ini adalah perubahan sikap yang sesuai dengan prinsip “takut/ hormat akan TUHAN” baik selama proses belajar mengajar maupun setelahnya. Inilah yang menyebabkan “takut/ hormat akan TUHAN” ini menjadi sejajar dengan kebijaksanaan dan pengetahuan. Karena itu, keberhasilan para murid tidak bergantung pada guru kebijaksanaan dan pengetahuan namun pada hubungan mereka dengan Allah. Selain itu, istilah “takut/ hormat akan TUHAN” ini menjadi suatu falsafah hidup dalam masyarakat Israel kuno (1994 : 79 – 86).

Pembentukan Karakter dengan Personifikasi Perempuan Bijaksana
Menurut Harun, hikmat dalam pengertian Amsal merupakan gambaran penciptaan adalah perempuan bijak yang mendampingi Allah saat menciptakan bumi (heqet; bentuknya feminim). Perempuan ini senang dengan kreasi Allah dalam hikmat, senang dengan hasil kreasi tersebut dan senang tinggal di antara manusia yang mencari dia. Memiliki hikmat merupakan perkara hidup dan mati. Apapun, di manapun, kapanpun, bagaimanapun, jika ingin hidup bahagia dan sukses, seseorang memerlukan hikmat. Hikmat juga menggambarkan seorang perempuan yang membuka rumah makan dan mengundang semua orang yang belum berpengalaman dan berakal budi untuk hadir di sana. Siapapun dengan bebas memilih untu masuk atau tidak ke dalam rumah makan tersebut. Menu yang ditawarkan adalah makanan dan minuman yang memberantas kebodohan dan memberikan hidup. Hikmat dalam hal ini bertindak aktif mencari manusia yang penuh kebodohan, mencintai manusia dengan penuh kasih sayang (2010 : 16 – 55).
Berbeda dengan itu, pasal 7 dari Amsal ini menggambarkan juga tentang usaha dua perempuan dalam mempengaruhi anak muda yang disebut sebagai “Dongeng tentang dua perempuan” karena menampilkan dua kontras antara dua perempuan yaitu perempuan bijaksana dan perempuan asing. Keduanya sama-sama memanggil orang muda namun dengan tujuan yang berbeda. Anehnya, Amsal justru menampilkan riwayat “Perempuan Asing” lebih banyak dari pada “Perempuan Bijaksana”. Secara leksikal, “Perempuan Asing” ini memiliki beberapa pendekatan arti, antaralain: perempuan liar, perempuan yang najis atau tidak suci, perempuan yang berasal dari etnis di luar Israel, perempuan pezinah yang sudah tidak setia pada pernikahannya. “Perempuan asing” ini memiliki karakteristik yang berbanding terbalik dari “Perempuan Bijaksana” baik dari gambaran tentang kepribadiannya, cara mereka bertutur kata, bertindak, bersikap walaupun gaya berbusana dan target mereka sama, demikian kata Stallman seperti dikutip Estes. “Perempuan asing” ini menolak segala jenis norma yang berlaku dalam masyarakat bahkan membawa orang yang mengikutinya kepada bahaya  kemiskinan, aib, dan kebinasaan. Perempuan ini dianggap sebagai jerat, racun, ataupun penyesat.  “Perempuan asing” membawa kepada kematian tapi “Perempuan Bijaksana, Kitab Hikmat dan TUHAN” menghantar kepada “Kehidupan”,  kepada Tuhan sendiri. Dari gambaran tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa “Perempuan Asing” ini merupakan “bahaya” bagi Israel, siapapun dia. 
Dari sisi etika, kedua perempuan ini memang ditampilkan sebagai secara metofora dan berlawanan satu sama lain. Namun sebenarnya, teks ini ditujukan secara etis kepada semua orang bukan hanya sebagian orang saja. Istilah “Perempuan Bijaksana” dipakai secara etis mewakili kebijaksanaan yang diatur berlawanan dengan gambaran kebodohan yang ditampilkan oleh “perempuan asing”. Sisi etisnya diekspresikan melalui praktik kehidupan yang benar atau jahat. Jadi bukti nyata dari kebijaksanaan adalah kebenaran dan sebaliknya kebodohan dimanifestasikan dengan kejahatan. Kedua orang perempuan dalam teks ini mengasihi dan setia kepada pria muda. Dengan bujukan atau rayuannya mereka mengajak pria muda untuk berhubungan dengan mereka, hanya bedanya, ajakan untuk berhubungan seks di luar pernikahan yang membuat salah satu perempuan dianggap asing.   Estes memberi kesimpulan pada artikelnya bahwa Amsal 1-9 bukan hanya sekedar “Dongeng tentang Dua Perempuan” melainkan cerita tentang sistem etika yang tergambar melalui kedua perempuan ini. Perempuan ini dikatakan asing karena kebodohannya ini terdapat pada keteguhannya untuk tetap berdiri sendiri dengan menolak Allah sebagai dasar kehidupan etis (2010 : 152 – 168).

Kesimpulan
Setelah pendahuluan tentang hikmat ini terdapat pembicaraan serius seorang ayah kepada putranya. Di dalam teks tersebut ditampilkan pameran instruksi yang bernuansa displin berupa teguran dan atau peringatan. Ada hirarki yang jelas antara orang tua dan anak. Dalam upaya pembentukan karakter dalam kitab hikmat ini terlihat etos yang bersifat egaliter namun terbukti efektif dalam dan bila dipraktikkan. Sang ayah tidak berniat untuk mengambil keuntungan apapun dari upayanya kepada anaknya, ia hanya ingin mempersiapkan anaknya menjadi orang yang bijak, berintegritas dan berpikir serta bertindak secara pantas dalam menghadapi realitas kehidupan. Hal ini berguna tidak hanya bagi pemeliharaan hidup pribadi sang anak namun berdampak juga bagi komunitas. Selanjutnya, diperlihatkan juga hirarki guru dan murid yang sifatnya lebih universal ketimbang ayah dan putranya. Dengan demikian,  dari personifikasi Amsal ini dapat dilihat ada hirarki antara  orang berhikmat dan tidak berhikmat. Teks lanjutan berbicara tentang figur perempuan bijaksana. Pendekatan yang dilakukan oleh perempuan ini tidak bermaksud untuk memberi dakwaan kepada pemirsanya. Lawan dari perempuan bijak yang anti komunitas ini adalah perempuan asing atau jalang atau bodoh. Personifikasi hubungan perjanjian umat dan Tuhan di sini diarahkan kepada bentuk perjanjian pernikahan. Dan elemen formasi karakter tetap adalah keadilan, kebenaran dan kelayakan sehingga dampaknya tidak hanya kepada individu namun juga komunitas. Instrumental kebajikan berupa sumber daya atau keahlian khusus berguna dalam memastikan kesuksesan seseorang, namun kehati-hatian dan pengertian berperan sebagai penjaga sikap agar seseorang tetap dalam jalan yang baik yaitu adil, benar dan pantas. Hikmat itu umumnya terlihat dalam persimpangan atau silang sebuah masalah. Targetnya tetap adalah orang yang tidak bijaksana. Pengkarakteran Kebijaksanaan ini dimulai dari wacana tentang kosmos atau alam semesta. Dilanjutkan dengan pemberian peraturan dan sistem konstitusi. Nilai – nilai kebenaran menyusul di belakangnya. Formasi dari kata – kata hikmat adalah kata – kata yang lurus. Tujuannya tidak hanya mendatangkan keadilan bagi komunitas namun juga integritas sehingga terbangun hubungan yang kooperatif dalam komunitas tersebut. Antonim dari cerdas adalah lidah dua. Pendekatan Kebijaksanaan merupakan pendekatan yang jelas; kekuatan formasi karakter terletak dalam kemampuannya untuk membangkitkan kesadaran dari pendengarnya saat mengambil keputusan meskipun dalam keadaan krisis (Brown, 1996 : 22 – 42).
Bagi Brown, Amsal 1 – 9 memang memprofilkan hikmat dalam berbagai macam cara sehingga lebih terlihat sebagai katalog hikmat. Namun materi hikmat justru lebih menekankan kepada aspek moral atau kumpulan nilai – nilai berupa kebenaran, keadilan, dan kepantasan seseorang dan ini merupakan keseluruhan spektrum kebijaksanaan. Baik peraturan – peraturan maupun hikmat menggambarkan dua relasi yang saling berkaitan bagi upaya pembangunan moral. Peraturan – peraturan tata tertib atau disiplin yang diajukan merupakan wacana pembentukan karakter orang tua kepada anaknya; wacana ini berubah dari bentuk kemarahan menjadi penyataan atau undangan  hikmat. Ide tentang dikotomi nilai – nilai dan juga instrumen – instrumen moral dan intelektual, sudah ada di dalam pepatah Israel kuno demi kepentingan kehidupan komunitas umat Israel. Kemampuan kognitif dan instrumen – instrumen kebijaksanaan merupakan sarana bagi peningkatan kemampuan moral dan bertindak etis dalam komunitas dan berdampak luas serta penting bagi komunitas itu sendiri  bilamana terjadi ancaman atau pengalaman - pengalaman buruk di dalamnya (1996 : 42 – 43).

Isi Pengajaran Hikmat yang Diberikan untuk Pembangunan Karakter Anak Muda dalam Kitab Amsal
Ada dua jenis pendidikan dalam masyarakat Israel kuno yaitu pendidikan agama dan kebijaksanaan. Kedua pendidikan ini pada masa yang lebih modern dipergunakan bersamaan dengan tujuan saling melengkapi. Di satu sisi pendidikan agama dibuat mengacu pada sistem pendidikan kebijaksanaan profesional dan di sisi lain, kebijaksanaan dikaitkan dengan ajaran – ajaran agamais.
Menurut Soebagyo, sistem pendidikan Kebijaksanaan di Israel kuno menanggap idiom kebijaksanaan memiliki makna sejajar dengan “takut akan TUHAN”. “Takut akan TUHAN” atau dalam hal ini hormat kepada Tuhan merupakan suatu ungkapan sikap pantas manusia kepada Tuhan yang menjadi disiplin, prinsip, ataupun tujuan pendidikan kebijaksanaan, sinonim dengan pengetahuan dan meenjadi dasar pandangan hidup manusia. Sebenarnya idiom “takut akan TUHAN” ini sudah ada jauh sebelum keberadaan bangsa Israel dalam masyarakat Mesopotamia kuno yaitu “takut akan Allah”. Istilah ini merupakan suatu standar moralitas umum tentang keberadaan sesuatu yang Ilahi dan bersangkut paut dengan kehidupan manusia di muka bumi (1994 : 34). Dalam masyarakat Israel, istilah ini diubah menjadi “Takut akan TUHAN” berdasarkan hubungan perjanjian yang terjalin di antara Allah dan Israel (Soebagyo, 1994 : 71 – 78).
Ada berbagai pengertian tentang “takut akan TUHAN” dalam PL. Ada ahli yang menghubungkan dengan perasaan takut, ngeri, takjub, hormat, dll. ada yang menghubungkan istilah “takut akan TUHAN” dengan tindakan taat atau keagamaan. Ada yang mendefinisikan “takut akan TUHAN” sebagai sebuah sikap teguh dalam memelihara perintah TUHAN dan atau berjalan dalam jalan – jalan TUHAN. Semua pengertian ini bergantung pada konteks situasi atau peristiwa yang menyertai kehadiran istilah “takut akan TUHAN” itu sendiri entah itu dalam bentuk kultus, etis atau hukum (1994 : 25 – 64). Khusus literatur Kebijaksanaan, “takut akan TUHAN” dihubungkan kebijaksanaan, moralitas dan keberuntungan hidup. Dalam Amsal, “takut akan TUHAN” dianggap sebagai dasar mutlak dari semua kebijaksanaan. Baik hormat kepada TUHAN maupun kebijaksanaan merupakan istilah sejajar yang berakar pada pengajaran guru kebijasanaan. Dalam literatur Kebijaksanaan sendiri menurut Path sebagaimana diteruskan oleh Soebagyo, “takut akan TUHAN” menggambaran sikap pantas manusia kepada TUHAN dalam kehidupan sehari – hari. Sikap pantas ini didasarkan pada kepercayaan kepada TUHAN dan merupakan unsur paling penting untuk kehidupan umat TUHAN. kebijaksanaan dalam kehidupan Israel merupakan hal praktis, diperoleh melalui pengalaman hidup sehari – hari maupun tradisi pendidikan kebijaksanaan dan dirumuskan untuk suatu kehidupan ideal berdasarkan tatanan etis yang dikehendaki Allah. Baik kebijaksanaan maupun “takut akan TUHAN” harus diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari sebagai prinsip dari semua tindakan yang berakar pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah, dan horizontal, manusia dengan sesamanya. Tindakan etis yang dilakukan oleh seseorang dilakukan berdasarkan pada keyakinan tertentu yang ia pegang (1994 : 45 – 49).
            Menurut Brown, materi yang disampaikan selain takut akan Tuhan antaralain: Pertama, petunjuk – petunjuk yang mujarab yang memastikan anak muda ini dapat sukses atau makmur dalam hidupnya di masa depan. Kedua, kebenaran, keadilan dan kepantasan. Keadilan berkaitan dengan proses peradilan, tindakan yang diambil terhadap kaum miskin dalam komunitas sosial. Kebenaran merupakan standar etika antara pribadi dan komunitas karena orang yang benar adalah orang yang loyal terhadap komunitasnya. Berbeda dengan itu, seseorang dikatakan memiliki kepantasan berkaitan dengan keadilan dan kebijaksanaannya dalam berbicara. Melalui ketiga hal ini, proses formasi karakter tidak hanya diarahkan untuk pembangunan sikap intelektual namun juga moralitas. Ketiga, kewaspadaan dan kehati – hatian. Kehati – hatian merupakan suatu bentuk kewaspadaan lawan dari kata gegabah sehingga orang yang berhati – hati ini tidak bersikap gegabah dalam mempercayai orang, dalam mengekpresikan kemarahan, pengertian, dan mencegah bahaya. Kedua hal ini merupakan instrumen dalam kebajikan dan salah satu bentuk kekuatan moral. Keempat, keahlian. Dalam konteks Amsal, keahlian ini berkaitan dengan kemampuan khusus atau seni dalam menyelesaikan masalah dalam kerajaan, menekankan kemampuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk pengalaman – pengalaman, intuisi, strategi, diplomasi, dan negoisasi. Kelima, kebijaksanaan dan instruksi. Kebijaksanaan merupakan segala jenis atau bentuk dari kebajikan dan nilai – nilai yang tercantum di dalamnya baik instrumen, intelektual baik secara etis maupun komunal. Instruksi berkaitan dengan disiplin, koreksi, dan berkaitan juga dengan hukuman (2014: 33 – 36).
            Ada berbagai tema pengajaran dalam Amsal yang ditujukan kepada pembangunan karakter anak muda. Menurut Atkinson, ada sepuluh materi yang disampaikan sang ayah kepada anaknya sebagai bekal hidupnya dalam memasuki perjalanan kehidupan di dunia luas. Pertama, berbicara tentang kelompok kejahatan (1: 8 – 19). Dalam hal ini, kemungkinan di Yerusalem terdapat kelompok – kelompok kriminal yang menyusahkan orang miskin. Pengajaran yang diberikan adalah agar anak menjadi bijaksana terhadap godaan dari kelompok ini. Kedua, berbicara mengenai menghindari orang jahat (2 : 1 – 22). Hal ini dilakukan sebagai peringatan terhadap kemungkinan kehadiran orang – orang di kota yang dapat menyesatkan si anak muda. Ketiga, berbicara tentang kewajiban terhadap Allah yang didasarkan pada kasih kepada Allah yang tercermin juga dalam kasih terhadap sesama (3 : 1 – 12). Keempat, berbicara tentang kewajiban terhadap sesama manusia (3 : 21 – 35). Kelima, berbicara tentang hikmat itu sendiri (4 : 1 – 9). Keenam, pengulangan tentang kasus kelompok kejahatan (4 : 10 – 19).  Ketujuh, berbicara tentang kewaspadaan (4 :20 – 27). Kedelapan, pembicaraan tentang isu – isu umum dan peringatan melawan kebodohan (6 : 1 – 19) seperti kemalasan, kebohongan dan hal – hal lain yang Allah benci. Kesembilan,  berbicara tentang daya pikat perempuan jalang (7 : 1 – 27). Kesepuluh, tentang undangan hikmat dan hikmat itu sendiri (8 :  1 – 36  dan  9 : 1 – 18) (1998 : 61 – 78).   
Kesemua materi ini merupakan penanaman karakter baik bagi sang anak untuk dapat masuk dan terlibat dalam isu – isu nyata dunia, dan bila si anak muda mau mengikutinya, modal ini akan menjadikannya pribadi yang sukses dan tangguh baik dalam hal intelektual, moral dan spiritual. Namun demikian, isi formasi kararkter tidak hanya digunakan sebagai modal namun juga sebagai sikap hidupnya selama di dunia.



Tujuan Pembangunan Karakter Anak Muda Menurut Kitab Amsal
Anak muda dalam pandangan Amsal merupakan orang – orang yang ingin dan akan memulai perjalanan hidupnya di dunia sebagai pribadi (Loke, 2007 : 11). Dalam usia ini, anak – anak ini mulai berdikari dan atau mulai menentukan jalan kehidupannya sendiri. Tujuannya adalah anak muda ini dapat hidup dalam dunia dengan cara yang bijak. Karena itu, perlu persiapan matang untuk memastikan kehidupan mereka berjalan dengan sehat, aman, dan sejahtera dalam dunia (Soebagjo, 1994 : 86 – 94) . Hikmat dalam hal ini berguna dalam memastikan kehidupan mereka dalam dunia (Loke, 2007 : 13). Bagi Rylaarsdam, orang bijak dalam Amsal ingin menginformasikan dan mendisplin baik pikiran dan kehidupan pada anak muda yang mudah dipengaruhi (1964 : 9 – 10). Jadi tujuan pembangunan karakter anak muda dalam kitab Amsal ini adalah memberikan informasi berupa disiplin diri sehingga mereka dapat memiliki pandangan hidup atau cara hidup yang layak dalam setiap segi kehidupan agar memastikan keberhasilan kehidupan mereka dalam dunia baik intelektual, moral dan spiritual.
Selain itu, bagi Brown, pembangunan karakter anak muda ini tidak hanya penting bagi anak muda itu sendiri namun juga bagi komunitas, masyarakat, tempatnya tinggal bahkan bangsanya. Jadi karakter individual dari anak muda ini di Israel akan berpengaruh bagi umat Israel seluruhnya. Pembangunan karakter bertujuan untuk memelihara kelangsungan komunitas di Israel. Anak muda adalah penentu nasib dan arah bangsa di masa depan, karena itu penting untuk dilakukan pembangunan karakter kepada mereka (1996 : 43 – 49).

Kesimpulan
            Manusia merupakan bukti hikmat Allah yang paling istimewa. Para orang bijak Israel pun memandang positif produk Allah dengan segala kelengkapan indra dan kemampuan rasionya. Melalui pengertian, manusia mengembangkan diri dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Untuk itu, manusia perlu melibatkan diri dengan realitas dunia agar memperoleh pengalaman, pengetahuan, tentang irama, keteraturan serta kaidah – kaidah yang berlaku dalam dunia. Orang bijak selalu memperhatikan apapun yang ada di sekelilingnya. Target formasi karakter ini adalah anak – anak muda tapi tidak berarti bahwa formasi karakter yang diberikan untuk orang muda dilakukan karena mereka rusak dan perlu reparasi. Pembangunan Karakter bertujuan untuk menjadikan mereka diri sendiri dan menjadikan mereka semakin manusiawi. Diharapkan dengan cara ini, manusia mampu mengembangkan bakat yang menjadi cirikhas manusia, dan inilah pengertian bijaksana.
Orang dikatakan bijak karena dia mampu menampilkan rasio dan pengertian yang tajam. Orang yang berhikmat adalah orang yang rendah hati, menginsyafi keadaan sesungguhnya dan hidup dengan keadaan itu. Orang bijak adalah orang yang mau bersandar sepenuhnya kepada Allah dan menerima tempat sebagai ciptaan, mengakui bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Orang lain merupakan unsur hakiki yang perlu agar seseorang berkembang, namun tidak semua orang bisa mengarahkan orang menjadi lebih baik, karena itu perlu berhati – hati dengan pergaulan. Orang bijak adalah orang yang mau menerima koreksi, mencari dan menyimpannya. Orang tua yang rendah hati, berhubungan baik dengan Tuhan, keluarga, teman, adalah orang yang bisa mengendalikan diri dan disiplin dapat disebut orang bijak. Orang tua yang bijak ini telah menjalani seluruh hidupnya sebagai seorang manusia yang manusiawi, inilah yang memantaskan dia menjadi pengajar hikmat. Namun sayangnya, seberapapun baiknya hikmat manusia, ia masih memiliki keterbatasan. Orang yang bijak tahu bahwa dia memiliki keterbatasan. Pemahaman ini justru muncul karena pengalaman hidup, bukan semata – mata iman. Manusia bijak paham benar bahwa meskipun dalam sepanjang perjalanan hidupnya ia telah menyusun rencana sedemikian rupa, tetap Allahlah penentunya. Karena itu orang bijak perlu berserah pada Tuhan. Orang Israel kuno paham betul bahwa ada banyak kejadian – kejadian dalam realitas hidup mereka berjalan di luar rencana, dan hikmat manusia terbatas untuk menebak kejadian yang di luar rencana ini. Namun demikian, keterbatasan ini bukanlah menjadi poin lemah Allah dalam penciptaan manusia, justru karena keterbatasannya, dimensi keselamatan Allah  berlaku bagi mereka. Jadi antara hikmat, pengetahuan, dan iman kepada Tuhan, semuanya saling berdampingan dan saling melengkapi.
Hikmat Israel tidak murni berasal dari Israel sepenuhnya. Hikmat ini juga ternyata banyak mengadopsi hikmat – hikmat dari negara sekitar. Hal ini dikarenakan fakta bahwa dalam keterlibatannya dengan dunia, seluruh manusia dunia memiliki kegelisahan, pergumulan, pengalaman  dan keprihatinan yang kalau tidak mau dibilang sama, setidaknya mirip satu sama lain. Setiap negara, suku, dan struktur masyarakat memiliki standar etika masing – masing. Selain itu, Wahono membagi kalimat – kalimat itu dalam tiga sasaran: hikmat duniawi yang diarahkan kepada individu dengan tujuan menjaga keberhasilan, kemakmuran dan kesejahteraan orang tersebut; kepada pribadi – pribadi namun yang berdampak luas kepada masyarakat sekitar; dan hikmat yang bertujuan memberi penekanan tentang kesalehan dan moral  (2013 : 225 – 226). 


Bab IV
Hidup dengan Pantas dalam Dunia
(Suatu Tinjauan Terhadap Upaya Pembangunan Karakter Anak Muda dalam  Kitab Amsal Bagi Generasi Y)
            Usia muda bagi Brownlee adalah usia di mana seorang anak mulai belajar untuk berdikari namun masih memerlukan pendamping untuk memastikan keamanan dan kelangsungan hidupnya. Usia ini merupakan usia di mana seorang anak menginginkan kebebasan namun takut akan tanggungjawab yang dipikul di balik kebebasan yang ia miliki. Karena itu, usia muda merupakan usia penuh ketegangan antara kebebasan dan tanggung jawab yang harus dipikul (1985 : 33). Usia ini adalah usia di mana anak diperhadapkan pada pilihan – pilihan yang akan menjadi penentu bagi masa depannya. Pilihan ini ada dalam setiap lini kehidupan anak muda, mulai dari pergaulan, pendidikan, pekerjaan, teman hidup, lingkungan sosial, dll. Karena itu diperlukan kebijakan untuk menentukan pilihan – pilihan itu. Kebijakan ini bukanlah bentuk hukum namun menjadi jaminan bagi keamanan, kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan dan keseimbangan dalam hidup.
            Generasi Y yang lahir dalam kurun waktu dua sampai tiga dekade belakangan ini merupakan generasi yang lahir dalam ketatnya budaya post – modern. Semangat individualisme, hedonisme, dan materialisme membakar jiwa setiap anak muda sehingga menjadikan dirinya sendiri sebagai satu – satunya standar kebenaran yang ada di dunia. Akibatnya, apapun yang ada di dunia ini menjadi serba relatif, tergantung dari siapa yang memandang dan apakah hal itu berdampak langsung atau tidak pada dirinya. Generasi ini merupakan generasi cerdas dengan segala kelengkapan pendukung yang mereka miliki untuk hidup di dunia. Namun mereka terbentur pada satu persoalan yaitu persoalan karakter. Kepada mereka inilah upaya intellegentsia, character, and spritual building ini diarahkan karena masa depan dunia 100% berada di tangan anak muda (Lickona, 2012 : 3). 
Kitab Amsal memperlihatkan bagaimana ketatnya orang tua, guru kebijaksanaan dan personifikasi hikmat dalam perempuan bijak mengupayakan pembentukan karakter kepada anak muda sebagai modal baginya menapaki hidupnya ke depan. Formasi karakter ini dimaksudkan tidak hanya mengarah kepada aspek intelektual namun juga kepada aspek moral dan spritual. Kebijaksanaan yang diajarkan bagi anak muda merupakan bentuk intellegentsia, character, and spritual building yang diharapkan dapat menghasilkan sikap hidup atau pandangan hidup dan atau azas atau falsafah hidup yang harus dipegang oleh si “anak muda”. Semuanya diberikan untuk memastikan bahwa si “anak muda” itu sudah hidup secara pantas di dunia. 
Memang tidak setiap bagian formasi karakter dari kitab Amsal dapat diterapkan langsung secara menyeluruh pada generasi Y dan berakhir umumnya pada pendekatan paradigmatis tentang sebuah model pembangunan karakter yang dimiliki kaum Yudais. Tapi  model ini sepertinya mengarah dan searah dengan pergumulan serta persoalan pembangunan karakter masa kini. Hanya saja, di lapangan, terutama di Indonesia, apalagi di kota – kota besar, tetap ditemui banyak kendala seperti budaya, komunikasi, waktu, tempat, dll. Komunikasi langsung antara orang tua dan anak tidak seintim waktu – waktu lalu. Teknologi yang ada justru membatasi keintiman ini dengan berbagai alasan “klasik” baik dari pihak orang tua maupun anak sehingga keluarga tidak dapat menjadi peletak dasar pembangunan karakter bagi anak – anaknya. Terutama di kota – kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Medan, kesulitan ini terlihat sangat nyata dan faktual. Sekolah yang menjadi tempat belajar mengajar lebih banyak mengarahkan pendidikan sistem pendidikan mereka kepada pembangunan intelektual meskipun gema pembangunan karakter emosional dan spiritual sudah digemakan pada dekade terakhir. Dan sayangnya, dekade terakhir ini sudah terlewatkan oleh generasi Y. Kebanyakan generasi Y sudah melewati masa SMA mereka dan sudah mulai ke luar dari keterikatan dengan orang tua untuk hidup merantau melanjutkan ke perguruan tinggi dan atau mulai bekerja. Sehingga kurikulum berbasis karakter yang ditetapkan pemerintah tidak sempat dikecap oleh kebanyakan generasi Y. Namun demikian, bagaimanapun juga, usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia ini perlu diapresiasi. Upaya pembangunan karakter harus dilakukan sepanjang hidup manusia (Naim, 2012 : 56 – 60) .  
Brownlee secara khusus membagi tiga karakteritik manusia berdasarkan cara mereka menentukan sikap dan pilihan dalam hidupnya, antaralain: pertama, jalan kebijakan. Metode ini umumnya berpusat pada kepentingan pribadi sehingga membuat orang tersebut tidak bertindak secara sembrono. Orang yang menganut metode ini akan mempertimbangkan matang – matang dampak positif atau negatif terhadap tindakan yang ia ambil bagi dirinya untuk jangka panjang. Orang – orang ini memiliki karakter tegas dan tidak mudah dipengaruhi oleh apapun, siapapun, kapanpun, dimanapun dan bagaimanapun caranya. Orang bijak mampu memakai logikanya tanpa dikuasai perasaan meskipun ia tetap adalah orang yang memiliki perasaan. Orang bijak di sini adalah orang yang tahu tujuan hidupnya dan akan berjalan terus sampai tujuan itu tercapai. Metode ini memiliki kelemahan karena hanya berorientasi pada individu penarik kebijakan dan kadang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Adakalanya seseorang perlu mengorbankan kepentingannya pribadi demi kepentingan banyak orang. Kedua,  jalan penyesuaian. Orang – orang yang menggunakan metode ini berusaha sekuat tenaga agar tingkah laku dan tindak tanduknnya tidak menyakit orang lain. Ia berusaha memberi kesan yang baik pada semua orang akan kelakuannya. Ada ketakutan untuk tidak diterima dalam kelompok sosialnya atau malah menjadi jalan masuk bagi penerimaan orang – orang di lingkungannya. Pendekatan ini berpusat pada hubungan sosial. Orang – orang yang menganut pendekatan ini menjungjung tinggi kasih dan persekutuan, pengorbanan pribadi demi kepentingan umum. Orang – orang dengan pendekatan ini mampu melihat pergumulan dunia secara luas dan berani bertindak  tanpa terpusat pada diri pribadinya.  Namun demikian, moralitas ini juga memiliki kelemahan. Karakteristik orang ini bergantung pada pandangan mayoritas. Karakteristik seperti ini akan menjadi baik jika ia adalah dalam lingkungan yang baik, begitu sebaliknya. Pendekatan etika ini memang menjawab kekurangan etika kebijakan namun terkurung dalam penilaian orang lain sehingga kehilangan kekhasan dan kebebasannya. Ketiga, jalan kebenaran.  Dalam moralitas ini, kehendak Tuhan merupakan dasar dari segala pilihan yang ia lakukan. Orang – orang dengan moralitas seperti ini tidak terkurung dalam keakuan dan atau terpenjara dalam penilaian orang lain. Mereka menganggap penilaian Tuhan lebih penting dari apapun. Orang – orang seperti ini tidak takut dengan penderitaan dan pengorbanan asal itu adalah kehendak Tuhan. Mereka percaya bahwa selalu ada penilaian dari oranglain namun tetap mereka tetap berjalan jika itu sesuai dengan kebenaran. Orang – orang dengan karakteristik ini tidak takut jika tidak populer, mau hidup bersama – sama orang lain dalam komunitas sosial dan terlibat aktif dalam pergumulan dunia (1985 : 4 – 12).  Dalam hal ini, orang – orang dengan karakteristik ini mampu melihat, bersikap dan bertindak secara etis dalam segitiga hubungan mereka dengan Allah, sesama dan dunia. 
            Generasi Y memiliki berbagai kemampuan dan penguasaan digital serta pemahaman baik dalam memetakan persoalan yang ada secara intelektual namun terkesan “liar”. Karena itu, dengan berbagai macam persoalan yang ada di dunia dan terjadi pada generasi Y, maka pendekatan yang dilakukan bagi pembangunan karakter inipun dilakukan dengan pendekatan media teknologi. Hal ini penulis katakan bukan dengan maksud bahwa metode buku sudah tidak relevan bagi generasi Y. Namun minat generasi Y sudah tidak lagi mengarah ke lembaran kertas – kertas penuh tulisan tanpa gambar. Propaganda secara aktif seharusnya dapat dilakukan lewat teknologi. Oleh sebab itu, seharusnyalah sudah ada ahli – ahli khusus dalam etika yang memiliki kemampuan teknologi baik untuk mempropagandakan pembangunan karakter ini. Atau bisa juga dilakukan kerjasama baik antara orang tua, orang – orang dan lembaga – lembaga yang memiliki perhatian terhadap permasalahan karakter generasi Y, ahli – ahli di bidang IT, lembaga – lembaga pendidikan, dll yang memasukkan propaganda termasuk materi – materi tentang pembangunan karakter melalui teknologi. Pembangunan karakter ini dapat berupa buku – buku elektronik, karikatur – karikatur, foto – foto disertai tulisan – tulisan yang memiliki pesan moral, film – film pendek atau panjang yang berbasis pada pembangunan karakter, dll.  Kelompok yang ahli dalam bidang IT dapat membuat link, blog, website untuk menampilkan materi – materi ini dalam cara yang semenarik mungkin yang dapat menggugah imajinasi mereka lalu membagi tautannya ke Facebook, Twitter, Skype, Line, Youtube dan semua provider media sosial yang biasa dikunjungi oleh generasi Y. Para pengajar etika dapat mempergunakan fasilitas ini dalam bahan pengajaran mereka agar para anak muda generasi Y mau menggunakan fasilitas teknologi yang mereka miliki untuk mengakses materi yang ada. Jika mereka tertarik, mereka akan kembali lagi berulang – ulang untuk mengunjungi situs yang sama. Berbagai pendekatan bisa diusahakan namun pilihan terakhir berada di tangan anak muda generasi Y. Generasi Y dapat dengan bebas menentukan pilihan mereka antara bersikap bijak, menyesuaikan diri atau bertindak sesuai kebenaran dan kehendak Tuhan dalam diri mereka demi masa depan dunia.   

Bab V
Kesimpulan
Hikmat merupakan bentuk etika – intelektual yang menghasilkan kualitas hidup yang pasti dalam Alkitab dengan karakteristiknya sendiri. Dalam pemahaman Kebijaksanaan, Allah adalah Allah pencipta dan pengatur segala alam semesta sedemikian rupa agar menjadi baik dan harmony. Dalam pemikiran Israel, berhikmat tidak berarti pintar, namun seirama dengan Allah dan selalu dimulai dalam takut akan Allah. Dengan demikian, pembangunan karakter anak muda diarahkan kepada usaha untuk sebisa mungkin mereka mengenal Allah, takut akan Allah, dan seirama dengan Allah. Sayangnya, Janzen  menganggap tradisi hikmat ini sebagai paradigma keluarga Israel yang tidak bisa diimitasi sepenuhnya oleh orang – orang dimasa kini. Dengan berbagai perbedaan konteks yang ada, tekhnik pembangunan karakter yang diperkenalkan dalam Amsal ini bisa dijadikan model paradigma namun bukan proyek imitasi  (1993 : 119 – 139).
Groenen juga mengakui sulitnya upaya untuk menerjemahkan “hikmat” karena artinya bisa sangat fleksibel. Namun pendapat ini bisa jadi telah menjadi jawaban bagi kesulitan yang dimiliki oleh Janzen. Yang jelas bagi Groenen, “Hikmat – Kebijaksanaan” Israel dalam hal ini termasuk kitab Amsal, bukanlah melulu “Ide” melainkan juga praktik kehidupan. Hikmat merupakan hasil akumulasi ide yang didapatkan dari pengalaman – pengalaman masa lalu, dialog dengan berbagai orang berhikmat, yang selanjutnya menjadi pedoman bagi perilaku di masa depan. Hikmat ini memang tidak kaku, seperti pengalaman, hikmat ini bisa saja fleksibel kadang berubah, termodifikasi oleh pengalaman – pengalaman baru dalam kehidupan dan akan terus menerus berkembang. Semakin banyak pengalaman hidup, semakin seseorang belajar untuk berhikmat. “Hikmat – kebijaksanaan” bagi pribadi manusia bisa  dinilai sebagai “seni kehidupan”. Hikmat mampu melihat gejala – gejala, fenomena – fenomena, lalu mengambil langkah bagi setiap fenomena yang ada. Hikmat erat kaitannya dengan hukum alam, meskipun tidak berlaku sepenuhnya, dan orang berhikmat bertindak berdasarkan hukum tersebut agar hidup tenteram, aman, bahagia dan sukses. Jadi hikmat kebijaksanaan pada manusia ialah pemahaman dan kelakuan yang sesuai berdasarkan pengalaman dan pengamatan lama tentang aturan dan hukum yang ada dalam dunia manusia. Di lain pihak, hikmat ini tetaplah bersumber dari Allah. Sehingga ketika manusia menyesuaikan diri dengan segala peraturan yang diperoleh melalui pengalaman di dunia, mereka secara otomatis juga menyesuaikan diri dengan peraturan Allah. Dengan demikian, hikmat kebijaksanaan sama dengan “takut akan Tuhan”, orang berhikmat pada saat yang sama seharusnya juga adalah orang yang “takut akan Tuhan”. Orang yang berhikmat memakai pengalamannya di dalam dunia agar senantiasa hidup sesuai dengan kehendak Allah. Sebaliknya, kebodohan merupakan ketidakmampuan melihat dan menerima pengalaman dan pengamatan, dan ketidaksediaan dalam menyesuaikan kelakukan dengan pemahaman. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak melihat dan memahami kehendak dan rencana Tuhan, serta tidak taat kepada Tuhan (1992 : 188 – 191). Karena itu, kesulitan dalam penerapan sistem pembangunan karakter Amsal sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Jurang konteks waktu, budaya, sistem masyarakat, pergumulan – pergumulan, membuat pendidikan ini tidak bisa diterapkan menyeluruh. Lagipula praanggapan bahwa sistem ini hanya berlaku dan hanya dapat diberlakukan dalam masyarakat Israel kuno membuat kesulitan dalam penerapan ini semakin besar. Ketatnya pendidikan yang diberlakukan dalam lingkungan Israel menjadi salah satu alasan metode ini tidak relevan untuk diberlakukan dalam dunia post – modern ini dan membuat metode ini hanya dapat bertahan sebagai model atau paradigma pendidikan dalam keluarga Israel.
            Di lain pihak, anak muda generasi Y tetap adalah orang – orang “cerdas” yang perlu dipersiapkan untuk masuk dalam pertarungan dunia dalam cara yang “pantas”. Karakteristik dunia post – modern masa kini sedang mengarah kepada satu dunia yang menurut penulis adalah “dunia tanpa karakter” atau yang biasa disebut orang dengan sebutan relatif dengan jargon utama post – moder yaitu relativisme. Kepada anak – anak muda generasi inilah upaya pembangunan karakter itu diperlukan. Namun pendekatan yang dilakukan pun sebaiknya sesuai dengan karakteristik hidup generasi Y. Tujuannya hanya agar mereka menjadi pintar intelektual, namun juga emosional dan spiritual dengan satu tujuan, agar mereka dapat hidup dalam cara yang “pantas” dan mempengaruhi masyarakat lewat budi baik dan integritas mereka dalam dunia post – modern ini.






























DAFTAR  KEPUSTAKAAN
Buku - buku
Alden, Robert. L.
2002    Tafsiran Praktis Kitab Amsal : Ajaran untuk Memiliki Kehidupan Teratur dan Bahagia. Malang : SAAT.
Atkinson, David.
            1998    The Message Of Proverbs. England : Inter-Varsity Press.
Birch,  Bruce C.
1991    Let Justice Roll Down : The Old Testament Ethics, and Christian Life. Kentucky : Westminster.
Blommendal , J.
2012    Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Brown, William P.
1996    Character In Crisis : A Fresh Approach to the    Wisdom Literature of the Old Testament. Cambridge : William B. Eerdmans Publishing Company.
Brown, William P.
2014    Wisdom’s Wonder : Character, Creation, and Crisis In The Bible’s Wisdom Literature. Cambridge : William B. Eerdmans Publishing Company.
Brownlee, Malcolm.
              1985  Hai Pemuda, Pilihlah!: Menghadapi Masalah – masalah Etika Pemuda. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Dell, Katharine.
2010    Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. New York : T&t Clark.
Estes, Daniel J.
2010    What Makes The Strange Women Of Proverbs 1-9 Strange? Dalam Ethical and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. T&t Clark: New York.
Graham, Billy.
              1985  Jawab Saya.    Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Groenen, C.
              1992  Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta : Kanisius.
Harun, Martin.
2010    Marilah, Makanlah Hidanganku : Hikmah Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkhotbah. Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia.
Janzen, Waldemar.
1993    The Old Testament Ethics : A Paradigmatic Approach. Kentucky : Westminster.
Lasor, W.S. et.al.
              2013  Pengantar Perjanjian Lama 2 : Sastra dan Nubuat. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Lickona, Thomas.
              2013  Character Matters. Jakarta : Bumi Aksara.
Loke, Anthony Y.F.
              2007  Memahami Kitab Amsal. Sabah : Seminari Teologi Sabah.
Ludji, Barnabas.
              2009  Pemahaman Dasar Teologi Perjanjian Lama 2. Bandung : Bina Media Informasi.
Nain, Ngainun.
2012    Character Building : Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa. Sleman : Ar – Ruz Media
Rylaarsdam, J. Coert.
1964    The Layman’s Bible Commentary Vol 10: The Proverbs, Ecclesiastes, The Song Of Solomon. Virginia : John Knox Press.
Simanungkalit, Risnawaty.
2010    Hikmat Dalam Amsal dalam Perkembangan Tradisi Hikmat Dalam Alkitab. Klender : Simposium Nasional V ISBI.
Soebagjo, Meno.
1994    Hormat Kepada Tuhan dalam Sistem Pendidikan Kebijaksanaan Israel Kuno. Semarang : Satya Wacana.
Thompson, John Mark.
1974    The Form and Function of Proverbs In Ancient Israel. The Hague : N.V. Publisher.
Wahono, Wismohady A.
2013    Di Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Artikel
-           
Didownload pada Selasa, 10 November  2015 pukul 17.59  Kenali Generasi X,Y,Z dalam http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html.
For Muda.
Didownload pada Selasa, 10 November  2015 pukul 18.04  Generarsi X,Y,Z. http://prezi.com/cketsymg6ts/generasix-y-z
Siagian, Yohana.
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.50   Cirikhas Gen Y.
Jalal, Octa Melia.
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pada pukul 17.55       Mengenal Siapa Itu Generasi Y. https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/



[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM 140101
[2] http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html di download pada Selasa, 10 November  2015 pukul 17.59
[3] http://prezi.com/cketsymg6ts/generasix-y-z di download pada Selasa, 10 November  2015 pukul 18.04
[4] http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ciri.khas.gen.y/005/001/321, di download pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.50
[5] https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/ di download pada Selasa, 10 November 2015 pada pukul 17.55

[6] Yang disurvey pada tahun 1966 dan 1978
[7] Yang disurvey pada tahun 1966 dan 1978
[8]https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/. Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.55
[9] http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html di download pada Selasa, 10 November  2015 pukul 17.59
[11]Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Ibid,.
[14] Simanungkalit mengutip Harvis dengan menyatakan bahwa hanya Amsal 1 : 1 – 7 atau  1 – 2 yang merupakan bagian pendahuluan dari kitab Amsal  (2010 : 15).
[15] Pernyataan yang cukup aneh dari Simanungkalit. Nama Salomo digunakan sebagai indikator otoritas Ilahi dalam karangan Amsal. Jika pendapat yang muncul untuk penggunaan nama ini karena popularitas dan otoritas Salomo sebagai orang paling berhikmat pada masanya sehingga memungkinkan karangan ini dapat diterima luas, mungkin akan lebih diterima. Digunakan atau tidaknya nama Salomo dalam kitab Amsal tidak serta merta mengindikasikan bahwa tulisan itu adalah firman Allah.
[16] Ditambah dengan dan 1 : 20 – 33; 8 : 1 – 36;  akan dimasukkan dalam kolom khusus tentang Hikmat dan personifikasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar