Hidup
dengan Pantas dalam Dunia
(Suatu
Tinjauan Terhadap Upaya Pembangunan Karakter Anak Muda dalam Kitab Amsal Bagi Generasi Y)
Abstract
Youth is a period when a child is ready to separate
from their parents, but still need support from them. Youth is when the
children need to be free from all of the their parents orders but too worry if
they have to face all of their own problem alone. But one day, youth should be
independent. On the other hand, the world in which these young man live is a
world filled with ambiguity problems and they have to enter themselves in the
reality of the world and was directly involved in it without further assistance
from parents. Latest group of the youth man is called the millennium generation
Y. And this paper discusses how to build the character of the youth so that
they can be involved in the world in an appropriate way both intellectually,
emotionally and spiritually not only for themselves but also for their communities.
Bab I
Pendahuluan
Usia muda merupakan usia di mana
seseorang perlu diperlengkapi dengan berbagai pengajaran yang baik agar mereka
siap memasuki realitas dunia dengan bijak dan atau pantas. Namun keputusan
untuk menerima dan menolak pengajaran berada di tangan anak itu sendiri. Dalam
bagian ini penulis akan menjabarkan tentang latar belakang penulisan, tujuan
penulisan dan sistematika penulisan dari makalah ini.
Latar Belakang Penulisan
Zaman ini dikenal sebagai zaman post
– modern. Sebuah masa di mana semua pikiran dan tindakan berpusat pada kepuasan
dan atau kenikmatan individu. Perkembangan baik itu dalam bidang tekhnologi,
seni, ilmu – ilmu pengetahuan lain seolah – olah telah mendukung keberadaan
peradaban ini. Generasi masa kini, yang lahir pada era post – modern, lahir
dalam ketidakpedulian terhadap isu – isu sosial, politik, agama, ekologi dan
bahkan hampir setiap elemen kehidupan selain diri mereka sendiri. Semua isu –
isu fenomenal tidak begitu memberi pengaruh dan menjadi satu kasus yang
dipandang serba relatif dan bahkan terkesan tidak penting selama hal itu tidak
berdampak bagi dirinya.
Di lain pihak, para orang tua dengan
berbagai alasan justru menyetujui dan menyukai keberadaan berbagai alat
pendukung perkembangan anak masa kini tanpa perlu berlelah – lelah. Misalnya,
jika para orang tua sedang sibuk dengan pekerjaan mereka dan merasa anak
menjadi pengganggu dalam kesibukan mereka, maka para orang tua ini akan
memberikan seperangkat alat permainan agar anak mereka tidak mengganggu
aktifitas mereka. Akibatnya, timbul ketidakharmonisan yang semu dalam hubungan
orangtua dan anak. Orang – orang tua tanpa sadar sedang menumbuhkan anak – anak
yang lemah karakter.
Perjanjian Lama dalam hal ini Amsal
menyinggung tentang upaya pembangunan karakter anak muda agar mereka menjadi manusia – manusia yang
bijaksana dalam mengarungi kehidupan di dunia. Bijaksana terhadap diri mereka
sendiri, sesama, alam dalam takut akan Tuhan.
Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat sebagai sebuah
usaha penyelidikan terhadap upaya pembangunan karakter anak muda berdasarkan
kitab Amsal. Selain itu, makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam
bidang studi etika Perjanjian Lama.
Sistematika Penulisan
Makalah ini dibagi menjadi lima bab
yang terdiri dari bagian pendahuluan, pembahasan tentang persoalan – persoalan
yang dihadapi oleh generasi Y, penggambaran proses pembangunan karakter anak
muda dalam kitab Amsal, upaya perefleksian pada pembangunan karakter generasi Y
dan penutup.
Bab II
Persoalan
Karakter Generasi Y
Perkembangan
masa post – modern, ilmu pengetahuan, kompleksitas zaman memberi efek pada
perkembangan generasi anak – anak yang tumbuh dalam masa ini. Setidaknya, sejak
awal era post- modern yang diperkirakan berawal pada tahun 1960 – 1970-an, ada
tiga generasi anak yang lahir dengan karakteristik berbeda antara lain generasi
X, Y dan Z.
Definisi Generasi X, Y dan Z
Perkembangan ilmu
pengetahuan terkini mengklasifikasikan generasi – generasi manusia berdasarkan
pemakaian digital atau yang disebut "grow up digital". Don Tapscott yang meneliti
perkembangan ini menjelaskan definisi Generasi X, Y dan Z sebagai berikut: Generasi X merupakan mereka yang
lahir antara 1965 hingga 1976, Y lahir
antara 1977 hingga 1997 dan Z adalah anak – anak yang lahir
selepas 1998. Ketiga generasi ini adalah generasi internet dan memiliki
keterkaitan satu sama lain sehingga disebut dalam generasi C atau "Connected Generation". Penggunaan
sosial media seperti twitter, facebook,
youtube, merupakan indikator awal generasi C[2].
Ada juga artikel yang menyatakan bahwa generasi X ini lahir antara tahun 1965 –
1980, Y lahir pada 1981 – 1994, Z lahir pada 1995 – 2010, dan generasi terakhir
adalah generasi alpha yang lahir pada tahun 2011 – 2025[3].
Sementara majalah Femina dalam salah satu artikelnya mendefinisikan generasi Y
sebagai Kelompok anak muda yang
juga disebut generasi milenium adalah mereka yang berusia belasan tahun hingga
awal tiga puluhan yaitu mereka yang lahir pada awal 1980 hingga awal 2000[4].
Usia generasi Y ini sekarang antara 16 – 30 tahun.
Karakteristik Generasi Y
Generasi Y, yang
biasanya juga disebut sebagai generasi millenium, merupakan generasi yang
muncul setelah Generasi X. Menurut Jalal, istilah Generasi Y pertamakali muncul
pada editorial koran besar di Amerika Serikat bulan Agustus tahun 1993. Pada
saat itu editor koran tersebut sedang membahas para remaja yang pada saat itu
baru berumur 12–13 tahun, namun memiliki perilaku yang berbeda dengan Generasi
X. Berdasarkan hal ini, perusahaan-perusahaan mulai mengelompokan anak-anak
yang lahir setelah tahun 1980-an sebagai anak-anak Generasi Y. Namun hingga
saat ini, dalam semua literatur, belum pernah ada suatu kesepakatan kapan
generasi ini dimulai[5].
Jalal menguraikan beberapa pendapat
tentang karakeristik generasi Y, antaralain:
Pertama, William Strauss dan Neil Howe pada tahun 1991 mencoba mendefinisikan
generasi-generasi yang ada di Amerika dalam buku mereka Generations: The History of
America’s Future, 1584 to 2069. Teori mereka tentang generasi ini
banyak diambil oleh berbagai penulis jurnal dan buku yang membahas masalah-masalah
antar generasi. Howe dan Strauss memakai terminologi generasi Millenium bagi
Generasi Y, karena mereka yakin bahwa anggota Generasi Y sangat tidak suka bila
diasosiasikan dengan Generasi X. William Strauss dan Neil Howe juga menganggap
Generasi Y merupakan generasi istimewa. Dalam buku berjudul The Fourth Turning (1997), mereka berpendapat bahwa
sejarah modern akan selalu berulang sendiri setiap 4 siklus sosial. Setiap
siklus memakan waktu kurang lebih 80 sampai 100 tahun. Dalam buku tersebut
penulis juga meyakini bahwa 4 siklus sosial itu selalu terjadi dengan urutan
yang sama. Siklus pertama (High), terjadi pada saat manusia melakukan ekspansi
untuk menggantikan generasi yang sebelumnya. Siklus kedua, dinamakan sebagai
siklus kebangkitan (Awakening). Orang-orang
pada masa ini lebih spiritual dari siklus sebelumnya. Mereka yang hidup di masa
ini mempunyai kecenderungan memberontak kepada segala sesuatu yang sudah dibuat
mapan oleh generasi pertama. Siklus ketiga yang diberi nama sebagai siklus Unraveling, elemen
individu dan kelompok mempengaruhi masyarakat sehingga timbul berbagai
permasalahan yang kemudian memicu kebangkitan generasi keempat. Pada era ini,
masyarakat mengalami berbagai kesulitan sehingga timbul kebutuhan untuk
meredefinisi struktur, tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan dalam
masyarakat.
Kedua, Pada tahun 2000, berdasarkan suatu penelitian demografis yang sangat
luas William Strauss dan Neil Howe menulis buku yang didekasikan kepada
Generasi Y dengan diberi judul Millennials Rising: The Next
Great Generation. Di dalam buku ini mereka memakai 1982 dan 2001
sebagai masa di mana Generasi Y mulai dan berakhir. Mereka sangat percaya bahwa
semua orang yang lulus SMA sampai tahun 2000 nanti akan sangat berbeda dengan
mereka yang lulus SMA sebelum dan sesudah masa itu, karena orang-orang pada
masa itu menerima banyak perhatian dari media dan perkembangan politik yang
mereka terima. Bahkan William Strauss dan Neil Howe berpendapat bahwa generasi
ini akan menjadi generasi yang peduli akan masalah-masalah kemasyarakatan.
Ketiga, Jean Twenge, pengarang buku Generation Me (2007),
mempunyai pendapat yang berbeda tentang Generasi Y. Menurutnya, Generasi Y dan
bersama-sama Generasi X termasuk generasi yang diberi nama “Generation Me”. Berdasarkan riset perilaku yang dilakukannya ia
melihat bahwa generasi ini meningkat kecenderungan narcissism. Berdasarkan penelitian ini juga ia mempertanyakan
pendapat Strauss & Howe tentang generasi Y.
Setiap
generasi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain sehingga mereka
diberi penamaan yang berbeda seperti: Prophet, Nomad, Hero, and Artist. Menurut
mereka Generasi Y merupakan generasi yang dikategorikan sebagai Hero, dengan
karakteristik sangat percaya kepada institusi dan kewenangan, terlihat agak
konvensional akan tetapi sangat berpengaruh. Kebanyakan Generasi Y ini
dibesarkan pada siklus Unraveling dengan proteksi yang lebih dari generasi
sebelumnya, Generasi X. Ciri-ciri Generasi Y pada setiap tahap kehidupannya
akan sangat berbeda. Pada saat muda, Generasi Y ini sangat tergantung pada
kerja sama kelompok. Pada saat mereka mulai dewasa mereka akan berubah menjadi
orang-orang yang akan lebih bersemangat apabila bekerja secara berkelompok terutama
di saat-saat krisis. Pada saat paruh baya, mereka akan semakin energetik,
berani mengambil keputusan dan kebanyakan mereka mampu menjadi pemimpin yang
kuat. Pada saat mereka tua, mereka akan menjadi sebagai sekelompok orang tua
yang mampu memberikan kotribusi dan kritikan kepada masyarakat.
Selain
itu, University of Michigan’s secara terus menerus sejak tahun 1975 melakukan
penelitian terhadap para remaja. Hasil penelitian mereka memperlihatkan: pertama, pelajar yang menyatakan
kekayaan itu penting, semakin meningkat setiap generasi dari 45% pada Generasi
Baby Boomers menjadi 70% pada Generasi X dan 75% pada Generasi Y atau
Millennials[6]. Kedua, sebaliknya, pelajar yang
menyatakan bahwa selalu tahu tentang keadaan politik semakin menurun setiap
generasi dari 50% pada Generasi Baby Boomers menjadi 39% pada Generasi X dan
35% pada Generasi Y atau Millennials[7].
Keempat, 73% Baby Boomers ingin
mengembangkan filosofi yang bermakna, sementara hanya 45% Generasi Y yang mau
melakukan hal tersebut. Kelima, 33%
Baby Boomers mau terlibat dengan program membersihkan lingkungan dan hanya 33%
Generasi Y yang mau melakukan hal tersebut[8].
Menurut Topscott, penyebutan dan
pemakaian istilah Y merujuk kepada idealisme kaum Y yang selalu mempertanyakan "whY".
Generasi Y merupakan kelompok orang – orang kritis yang suka bertanya tentang
apapun yang mereka lihat, ketahui atau temui. Berdasarkan artikel ini, ada
beberapa karakeristik lain yang ditampilkan oleh generasi Y, seperti pertama, tingkat pengangguran yang
tinggi. Satu kajian menunjukkan Gen Y menunjukkan pengangguran tinggi, Spanyol
40%, Negara Baltic 35%, Britain 19.1% dan lebih 20% pada negara-negara lain. Kedua, berdasarkan buku "The
Fourth Turning", kaum Millenial ini memiliki semangat kepahlawanan yang
tinggi untuk komunitasnya baik secara positif maupun negatif. Mereka bergantung
kepada kumpulan tertentu dan akan menjadi pahlawan dalam komunitasnya. Ketiga, mempunyai kepercayaan tinggi
dalam kebenaran dan institusi: menjadi konvensional, tetapi sangat berkuasa. Keempat, generasi Y mempunyai tahap perkembangan
yang lama berbanding generasi lain dikarenakan sindrom yang menggejala pada
mereka yaitu sindrom Peter Pan atau
fantasi atau khayalan[9].
Anak – anak yang lahir dalam generasi ini lahir memiliki ekspektasi tinggi
terhadap diri sendiri, lingkungan sosial dan dunia namun hanya sebatas ide dan
jarang mau terlibat langsung dengan dunia. Generasi Y tahu dengan baik
kejahatan, kekurangan, ketidakberesan dalam sistem namun tidak mengambil
langkah untuk mencari dan menjadi solusi nyata dari setiap permasalahan yang
ada.
Salah satu artikel yang ditulis oleh
Siagian dan diterbitkan oleh majalan Femina juga membahas tentang keberadaan
generasi Y ini. Bagi penulis artikel ini, generasi Y merupakan generasi yang
lebih suka menggunakan kecanggihan, kecepatan dan ketepatan tekhnologi
ketimbang harus bekerja secara manual. Generasi
Y justru lebih cenderung menyukai tekhnologi terbaru ketimbang dunia sosial. Di
dunia kerja, mereka adalah generasi andal, karena penuh kejutan dengan
menelurkan ide-ide brilian. Namun demikian, kelompok ini kurang bisa
menempatkan diri dalam satu lingkungan kerja tertentu dalam waktu lama. Gen Y dianggap tidak memiliki komitmen tinggi dan
loyalitas. Ketika tempat kerja tidak lagi menyenangkan atau tidak sesuai dengan
gaya hidup, mereka tidak segan-segan mencari tempat kerja baru. Yang dikejar di
perusahaan baru biasanya income
tahunan yang lebih tinggi dan prestise
bekerja di lingkungan kerja yang lebih sophisticated.
Kesempatan untuk traveling juga
menjadi alasan kuat bagi generasi ini untuk berpindah kerja. Selain itu,
pengaruh ikatan teman juga dengan mudah membuat mereka mengubah karier dan
pekerjaan[10].
Siagian dalam artikelnya menuliskan juga bahwa di bandingkan
dengan generasi - generasi sebelumnya, generasi X yang lahir tahun 1965 - 1979
dan baby boomer lahir tahun 1946 -
1964, gen Y memberi kesan sebagai generasi yang tidak terlalu membanggakan. Hal
ini dikarenakan, generasi ini memiliki beberapa ciri negatif, seperti kurang merasa bersyukur, egosentris, individualisme
yang sangat tinggi, mudah bosan dan senang unjuk diri. Secara politis, gen Y
juga cenderung tidak mau terlalu ambil pusing, meski mereka pada umumnya
mempunyai toleransi yang tinggi meski sepintas, gen Y terlihat pintar, aktif,
dan agresif. Mereka juga tergolong hebat dalam mengerjakan banyak hal dalam
waktu bersamaan dengan tekhnologi yang dimiliki. Female memberi contoh bahwa
generasi Y bisa mendengarkan musik lewat iPod yang menempel di telinga, mereka
bisa menulis e-mail di tablet, sekaligus chatting
dengan menggunakan Smartphone.
Penampilan kasual dan santai menjadi ciri khas, sehingga kesan serius pun
jarang muncul sehingga generasi pendahulu sering beranggapan gen Y tidak pernah
serius dan tidak disiplin. Menurut Lita Mucharom dari Human Capital Management Coach Langkah Mitra
Selaras, gen Y adalah generasi yang tumbuh di tengah hiruk pikuknya
perkembangan teknologi wireless.
Paparan teknologi juga mempengaruhi kepekaan gen Y terhadap perubahan. Mereka
tidak takut perubahan, namun sering kali tidak sabar melalui proses menuju
perubahan itu. Hal ini dikarenakan kecepatan akses teknologi yang dapat
dilakukan oleh generasi Y. Mereka adalah generasi yang akrab dengan internet
dan sangat aktif dalam media jejaring sosial[11].
Majalah Time menyebut generasi ini sebagai ‘me me me generation’.
“Gen Y” adalah pribadi yang bekerja untuk dapat
menerapkan kreativitasnya, serta mencari lingkungan kerja yang santai penuh
hura-hura. Mereka bekerja tidak terlalu serius, karena bekerja bukan untuk
kehidupan atau menghidupi keluarga seperti yang dilakukan generasi sebelumnya.
Mereka sangat techno-minded dan
berinteraksi lebih banyak melalui gadget seperti Skype, Whatsapp, Twitter, Facebook, walau dengan teman satu kantor.
Gen Y juga memiliki kecenderungan yang selalu ingin tampil beda, termasuk di
tempat kerja. Uniknya, dari segi keuangan, mereka tidak terlalu
mempermasalahkan income bulanan,
namun sangat menunggu bonus yang besar di akhir tahun untuk hura-hura atau
kesenangan pribadi.”[12] Di antara berbagai macam
kelemahan, terdapat juga kekuatan yang dimiliki oleh generasi ini. Kekuatan generasi ini adalah daya kreativitasnya yang
tinggi. Lewat bantuan teknologi, mereka memiliki kesempatan exposure yang lebih untuk melihat
tiap sudut di dunia ini tanpa perlu pergi ke tempat tersebut dalam waktu sangat
singkat. Tekhnologi mempermudah setiap pekerjaan dan penggalian informasi
bahkan ke seluruh belahan dunia yang tidak dapat mereka jangkau sekalipun[13].
Namun
demikian, tekhnologi ini juga memiliki dampak positif – negatif. Teknologi masa
kini dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memberikan efek nyaman dan
kepuasan pada penggunanya. Tidak hanya nyaman, teknologi yang digunakan ini
dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan produk yang mampu memberi efek
kecanduan bagi penggunanya. Misalnya: pertama,
produk pangan. Industri bahan makanan masa kini memproduksi berbagai jenis
bahan makanan yang mampu memberi rasa nikmat, cepat saji dan ketagihan bagi
para konsumennya. Dalam bahan makanan maupun makanan yang diproduksi tambahi
dengan bahan pengawet, MSG, pewarna, dll. Dan bahan – bahan yang digunakan ini
umumnya mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh. Kedua, produk kosmetik. Kebanyakan produk kosmetik saat ini
dirancang untuk memperindah manusia dalam waktu singkat. Produk kosmetik ini
juga mengandung bahan – bahan kimia berbahaya bagi tubuh seperti merkuri.
Sebagian orang demi tampil cantik rela melakukan suntik hormon, operasi
plastik, dll. Ketiga, teknologi
komputer dan gadget. Masa ini adalah
masa komputerisasi dan gadget. Semua
kegiatan baik itu positif, negatif, membangun atau merusak dapat dilakukan
dengan menggunakan alat ini. Keempat,
teknologi informasi. Masa ini merupakan masa demokrasi bagi media.
Setiap media bebas menyiarkan siaran – siaran yang dapat memperbesar income perusahan. Disediakan juga media
– media sosial seperti facebook, Twitter, You Tube, dll dari raksasa – raksasa
media sosial dengan dampak positif negatif bagi para pemakainya dan tergantung
pada para pemakainya itu sendiri.
Lingkungan di mana anak muda
berkumpul, bergaul, berkecimpung, memberi pengaruh besar bagi mereka. Hanya
saja, bagi generasi Y, lingkungan yang paling berpengaruh dan membentuk
karakter, justru muncul dari pergaulan yang dihasilkan oleh teknologi terutama
internet. Dalam era generasi Y, relasi
dengan sesama menjadi sangat meluas bahkan sampai ke berbagai negara di penjuru
dunia. Hal ini terjadi berkat bantuan tekhnologi komunikasi seperti komputer
disertai perangkat internet atau Wifi,
berbagai jenis gadget, smartphone, dll . Orang – orang dari mana saja di
seluruh dunia bisa saling berkenalan, bertukar informasi, tanpa perlu saling
bertemu atau bertatapan muka. Namun demikian, teknologi ini justru bisa
dan telah menghilangkan keintiman relasi
antara orang – orang sekitarnya. Tekhnologi Internet bagi generasi Y bukan
hanya sebagai pusat komunikasi, informasi, cara bekerja, namun juga pusat
kehidupan dan ini menjadi paradigma kelompok ini. Hanya, dalam pergaulan ini
menimbulkan gejala – gejala baru baik positif maupun negatif. Tentang apakah,
mengapa, dan bagaimana teknologi ini dapat menghasilkan dampak positif dan
negatif bagi penggunanya bergantung pada karakter masing – masing orang.
Teknologi dapat digunakan sebagai alat kemanusiaan tercanggih namun sekaligus
kejahatan tercanggih bergantung pada karakter penggunanya.
Persoalan – persoalan yang Dihadapi Anak Muda secara
Umum
Graham dalam bukunya melampirkan
tiga puluh enam pertanyaan yang diajukan oleh para muda – mudi. Lima belas dari
pertanyaan itu berisi tentang keinginan mereka untuk terbebas dari pengaruh
orangtua namun juga ketakutan mereka akan tanggungjawab dalam pengambilan
keputusan terhadap suatu masalah. Masalah umum yang terjadi yang membuat mereka
berbenturan dengan orang tua adalah masalah pergaulan, percintaan, dan
keinginan berdikari. Sepuluh pertanyaan berisi tentang kesadaran mereka sebagai
anak Kristen namun ingin bebas dalam pergaulan. Tentang pergaulan dan seks
masing – masing empat pertanyaan, satu pertanyaan tentang pendidikan dan satu
kasus tentang tindakan pencurian (1985: 49 – 74).
Brownlee
menggambarkan permasalahan – permasalah yang dialami oleh anak muda yang
penulis klasifikasikan dalam makalah ini, antaralain:
Masalah
yang Bersumber dari dalam Diri Pribadi
Ada
berbagai masalah yang timbul dari dalam diri pribadi anak muda, antaralain: Pertama, keakuan atau individualisme.
Kebanyakan anak muda dibudak oleh “aku”nya sendiri. Ada juga anak yang yang
karena trauma menjadi takut disakiti kembali oleh lingkungan dan teman –
temannya sehingga memisahkan diri dari dunia.
Ada anak yang takut bahaya atau merasa tidak aman jika harus terlepas
dari orang tuanya. Anak - anak muda yang memiliki ketakutan – ketakutan untuk
melangkah ke dunia luar dengan berbagai alasan telah melindungi atau terlalu
mengasihi “aku”. Sebaliknya, jika anak – anak muda ini berhasil keluar dan
bebas dari orang tuanya, orientasi kehidupan mereka tetap adalah “aku”. Kedua, kesenangan. Kesenangan bagi
Brownlee tetap merupakan berkat Tuhan jika diterima dan digunakan dalam cara
yang benar. Masa modern, bagi Brownlee, apalagi post – modern, merupakan masa
di mana segala kesenangan, kenikmatan dan kepuasan bisa didapat dengan cara
yang mudah. Iklan – iklan menawarkan berbagai produk untuk mencapai kepuasan,
kenikmatan, dan kesenangan dengan cara yang mudah. Namun, bagi penulis, cara
instan ini menimbulkan gejala baru dalam dunia anak muda yaitu gejala “malas
berusaha”. Orang – orang pada masa ini menjadi “malas” untuk mengusahakan
hidupnya sendiri karena adanya berbagai produk layanan dan jasa yang dapat
diakses dengan mudah dan memiliki “mental menerobos” demi mendapat semua
kenikmatan yang diinginkan. Akibat terburuknya pada generasi ini adalah “lumpuh
kemampuan”. Manusia berhenti untuk
berjuang keras dalam mengusahakan hidupnya, kehilangan pengalaman – pengalaman
penting dalam hidup dan berhenti untuk mengembangkan diri. Ketiga, materialisme. Manusia umumnya ada masa ini memiliki
penghargaan yang terlalu tinggi pada materi. Hasrat yang tidak terkontrol untuk
memiliki barang – barang disertai sikap konsumtif menggejala hebat pada
generasi ini. Hasilnya, kepekaan terhadap lingkungan sosial dan Tuhan sendiri
menjadi berkurang (1985 : 36 – 51). Tentu masih ada masalah – masalah lain yang
belum tergambarkan dalam tulisan ini dan bersumber dari dalam diri pribadi anak
muda. Biasanya masalah – masalah itu memiliki karakteristik dan melengkapi satu
sama lain. Namun semua masalah ini berakar dari satu masalah yaitu kurangnya
kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan atau yang disebut oleh Brownlee
sebagai disiplin diri sendiri.
Masalah dalam Pergaulan Sosial
Semua masalah ini saling berhubungan
satu sama lain namun dapat dipicu lagi dengan adanya tantangan dari dunia di
luar diri anak muda. Masalah – masalah pemicu itu muncul dalam pergaulan anak
muda dengan sesamanya dalam beberapa lingkungan, antaralain:
Pertama, keluarga. Anak
muda bagi Brownlee merupakan generasi anak – anak yang
siap untuk melepaskan diri dari orang tua untuk berdikari dan menentukan masa
depannya sendiri namun masih ingin tetap berada dalam bantuan orang tuanya
terutama dalam hal materi. Anak muda ini berada dalam ketegangan antara
kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan kepatuhan terhadap orang
tua (1985 : 33). Pada dasarnya, memang ada anak – anak dengan orang tua yang
otoriter yang ingin terus mengawasi dan mengurusi kehidupan anak mereka bahkan
sampai usia di mana sang anak sudah dapat berdikari. Sebaliknya, ada anak yang
tetap ingin bergantung pada orang tua walau secara usia sudah cukup bahkan
matang untung mandiri. Kedua, teman. Teman
merupakan tempat pelarian anak muda dari segala persoalan yang mereka alami
baik di rumah, masyarakat, gereja, pemerintah, sekolah, dll. Pada temanlah perasaan kecewa, terkekang,
takut, gelisah, diungkapkan ketika keluarga dianggap tidak dapat menjadi jalan
keluar dari masalah mereka. Setiap orang yang masuk dalam satu komunitas
pertemanan tertentu harus menyesuaikan diri dengan peraturan – peraturan baru
dalam komunitasnya agar ia bisa diterima dengan baik di sana. Keinginan untuk
dapat diterima dan diakui dalam kelompok pertemanannya seringkali membuat anak
muda ini kehilangan pendirian dan pandangannya sendiri. Anak – anak muda ini
berusaha untuk mengeluarkan dari dari pengaruh keras peraturan di rumah namun
menjebak dirinya dalam peraturan yang dibuat oleh teman – teman sebayanya.
Hanya saja, tidak semua teman ini mampu memberi pengaruh baik pada anak muda. Ketiga, gereja. Kaum muda memiliki sikap
kritis terhadap kehidupan gereja. Ada banyak kaum muda yang awalnya memutuskan
untuk terlibat dalam kehidupan rohani berbalik dan menjadi kecewa dengan gereja.
Seringkali, materi yang disampaikan di mimbar oleh para rohaniwan berbeda
dengan kenyataan di lapangan. Praktik hidup para rohaniwan, kepedulian gereja
terhadap masalah – masalah sosial, berbeda dengan yang dikhotbahkan di mimbar.
Perpecahan – perpecahan yang terjadi dalam tubuh gereja menyebabkan kekecewaan
ini terjadi semakin hebat dan ini menjadi fakta negatif dalam penilaian anak
muda. Selain itu, tidak banyak gereja yang mau memfasilitasi kegiatan anak muda
dan mengarahkan mereka dalam satu metode khusus dan terkini yang sesuai dengan
dan atau mampu menjawab pergumulan – pergumulan anak muda masa kini. Keinginan
untuk “merdeka dalam Tuhan” dihalangi oleh paradigma – paradigma lama gereja
yang “bertameng firman Tuhan” membuat pemuda semakin melarikan diri dari
kegiatan – kegiatan rohani gereja. Keempat, masyarakat. Umumnya masyarakat
memiliki standar- standar etika tertentu yang dianut turun – temurun dari
generasi ke generasi. Standar etika ini masih dipegang kuat oleh golongan –
golongan tua namun seringkali melahirkan kesulitan tersendiri bagi kaum muda. Sementara
kaum muda hadir dengan kebudayaan baru yang mereka adopsi dari berbagai media
dan kelompok pertemanan mereka, pendidikan agama, para golongan tua tetap
bertahan pada kebiasaan lama mereka. Aspek – aspek budaya, tradisi atau adat
isitiadat mewarnai etika pergaulan dalam masyarakat dan ini biasanya di
berbagai tempat, waktu, strata ekonomi, agama, pendidikan, berbeda satu sama
lain. Setiap orang, tidak hanya anak muda, yang ingin menggabungkan diri dalam
satu komunitas masyarakat tertentu, harus hidup menurut standar yang berlaku
menurut mereka. Jika tidak, akan dianggap aneh atau malah dikucilkan dari
kelompok sosial ini. Karena itu, sering terjadi ketegangan antara golongan tua
dan muda dalam masyarakat. Kelima, pemerintah.
Ada banyak pemuda yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap hukum namun tidak
sedikit juga dari kaum muda ini yang tidak peduli hukum bahkan “rabun hukum”.
Kebanyakan kaum muda hanya paham hukum dalam bentuk “rambu lalu lintas” namun
seringkali juga melanggarnya. Ada banyak
kaum muda yang sampai saat ini tidak memiliki kartu identitas kewarganegaraan,
akte kelahiran, surat izin untun mengemudi, dll dan menganggap bahwa hal ini
bukan masalah (1985 : 56 – 80). Keenam, pendidikan.
Naim dalam tesisnya mengajukan satu masalah lagi dalam dunia anak muda yaitu
pendidikan. Negara Indonesia umumnya sudah sedemikian rupa memprogramkan satu
bentuk sistem pendidikan yang sesuai untuk dikembangkan di sekolah. Dalam kurun
waktu kurang dari dua dekade terkakhir saja sudah beberapa kali terjadi
pergantian metode, sistem, atau pendekatan kurikulum dalam dunia pendidikan.
Namun demikian, banyak siswa Indonesia mengeluh dengan lemahnya kualitas
pendidikan sehingga memilih untuk belajar di luar negeri dan banyak guru juga
mengeluh dengan lemahnya daya serap para siswa (2012 : 18 – 36). Di Indonesia
sendiri, masalah – masalah ini sudah umum dan sepertinya sudah membudaya
sebagai karakteristik kekerabatan masyarakatnya.
Kesimpulan
Tulisan
Brownlee selaras dengan pertanyaan – pertanyaan atau masalah – masalah yang
paling digumuli pemuda dan dijawab oleh Graham dan juga merupakan esensi dari
masalah – masalah yang sedang dihadapi oleh anak muda dan ini juga yang dialami
oleh generasi Y sebagai anak muda masa kini. Persoalan – persoalan ini
merupakan persoalan karakter dan ini juga yang anak muda yang melatar belakangi
tindakan mereka. Lickona dalam kenangan terhadap kata – kata kepala sekolahnya
mencatat demikian:
Hati
– hati terhadap pikiran karena pikiran akan menjadi kata – kata. Hati – hati
dengan kata – kata karena darisanalah akan timbul tindakan. Hati – hati dengan
tindakan karena darisana akan timbul kebiasaan. Hati – hati dengan kebiasaan
karena kebiasaan akan menjadi karakter. Hati – hati dengan karakter karena
karakter akan menjadi takdir seseorang (2013 : 12).
Persoalan kita adalah persoalan
karakter, karena itu tepat jika pendidikan masa kini diarahkan bukan hanya
kepada pendidikan intelektual namun juga karakter. Amsal menambahkan satu
bentuk pendidikan yang ternyata tidak hanya mampu menyentuk aspek intelektual
namun juga moral dan spiritual.
Bab
III
Pembangunan
Karakter Anak muda Menurut Kitab Amsal
Dalam
teks – teks kitab Amsal terutama Amsal 1
– 9 terdapat pengajaran hikmat yang kesemuanya diarahkan kepada anak muda.
Dimulai dari pengajaran orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya dan perempuan
bijaksana kepada anak muda. Kitab Amsal
dibuka dengan tujuan pengajaran Amsal yaitu untuk memberikan kecerdasan kepada
orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang
muda (Amsal 1 : 4). Inilah ayat kunci bagi usaha pembangunan karakter anak
muda. Untuk itu bagian ini akan menganalisis Amsal dan upaya pembangunan
karakter anak muda dalam konteks Amsal ini.
Kitab Amsal Secara Umum
Kitab
Amsal merupakan salah satu dari kitab Kebijaksanaan PL. Berasal dari kata masyal yang artinya “menyerupai” atau
“dibandingkan dengan” (Lasor, 2013 :89). Dan kebanyakan ahli PL sepakat bahwa
Amsal merupakan kumpulan sastra yang mewakili hikmat tradisional. Terdapat
banyak penggunaan gaya bahasa sastra dalam kitab ini seperti perbandingan,
pertentangan, pertautan, dll. Menurut Harun, kitab ini merupakan koleksi
pepatah atau peribahasa yang berisi nasihat – nasihat dan aturan dalam
bertingkahlaku. Kitab ini tidak berisi banyak perintah melainkan sebuah usaha
persuasif agar orang hidup pada suatu cara tertentu (2010 : 17).
Unsur
Intrinsik Amsal
Penulis
Kitab Amsal
Amsal 1 : 1 menyebutkan nama Salomo sebagai
penulis kitab Amsal. Namun hasil penelitian kritis menunjukkan bahwa kitab ini
justru ditulis dari berbagai zaman yang berbeda dan ditulis oleh penulis yang
berbeda pula. Menurut Blommendal, ada kemungkinan bahwa Amsal 10 dst ditulis
oleh Salomo atau berasal dari masa Salomo. Salomo pernah terlibat pernikahan
dengan putri Mesir dan pernah mengarang tiga ribu Amsal, jadi ada kemungkinan
besar dari sini jugalah pengaruh hikmat Mesir dalam Amsal itu muncul (2012 :
154).
Latar
Penulisan
Sumber – sumber tulisan hikmat dari
kitab Amsal ini sepertinya telah ada sejak Israel kuno namun baru dibukukan
seluruhnya pada masa sesudah pembuangan di Babel sekitar 5 – 4 SM. Menurut
Ludji, terdapat perkembangan dan keanekaragaman dalam tradisi Amsal yang
menunjukkan bahwa sebelum dibukukan, kitab ini telah melewati proses panjang
(2009 : 193 – 194). Perkembangan ini menurut Whybray sebagaimana dikutip Harun
adalah karena kedua koleksi besar komponen Amsal yaitu Amsal – amsal Salomo (10
: 1 dan 25 : 1) dan perkataan – perkataan orang bijak – Agur – Lemuel (22 : 17;
30 : 1 ; 31 : 1) baru dilengkapi dengan kata – kata hikmat dari luar Israel dan
diedit sedemikian rupa sehingga jadilah kitab Amsal seperti saat ini (2010 :
21). Menurut Simanungkalit, ada beberapa materi seperti Amsal 31 : 10 – 31 yang
sebenarnya mengindikasikan kehidupan sebelum masa pembuangan namun kemudian
bentuknya diedit sedemikian rupa secara akrostik pada masa sesudah pembuangan.
Materi – materi yang sebenarnya sudah lama ada diedit dan ditambahi dengan
muatan teologis, gaya bahasa, digabungkan dengan materi lain yang sejenis
kemudian diedit ulang sampai kitab Amsal itu sendiri jadi (2010 : 6 – 7). Sementara
pasal 1 – 9 merupakan tulisan dari generasi lebih muda yaitu generasi setelah
pembuangan yang dikembangkan berdasarkan Amsal 31.
Penokohan
Ada beberapa nama dan atau sebutan
penting yang digunakan dalam kitab ini, nama – nama itu antara lain; pertama, Salomo. Editor Amsal
menggunakan nama Salomo dalam tulisannya dengan tujuan memperkuat kapabilitas
kitab ini sebagai kitab hikmat. Kedua, orang
– orang bijak. Orang – orang ini tidak dituliskan namanya namun tulisan mereka
tercatat dalam beberapa bagian kitab Amsal. Bisa jadi mereka adalah kaum
aristokrat dan pegawai – pegawai penting pada masa kerajaan yang dikategorikan
sebagai orang – orang berhikmat. Ketiga,
Agur, Lemuel dan ibu Lemuel. Hikmat mereka ini kemungkinan besar ada
hubungannya dengan butir hikmat yang berasal dari tanah Arab dan berisi pepatah
bilangan (Harun, 2010 : 21). Keempat, personifikasi
hikmat yaitu sosok “Perempuan Bijaksana” atau “Nyonya Hikmat” dan atau “Istri
yang cakap”, personifikasi kebodohan yaitu “Perempuan asing” dan atau
“Perempuan jalang” serta incaran mereka “Si Pemuda”.
Alur
Penulisan
Menurut Harun, kitab ini disusun
dengan sangat jelas. Judul – judul yang dibuat dan disertai beberapa kalimat
pembuka dalam setiap bagian membantu memilah isi tulisan dan menentukan waktu
penulisannya. Harun membagi kitab Amsal ini dalam beberapa alur, antara lain: pertama, Amsal 1 – 9. Amsal ini
berfungsi sebagai pengantar bagi Amsal 10 – 31 dan bertujuan untuk menyiapkan
hati pembawa agar dapat menerima pepatah – pepatah yang diberikan. Namun
meskipun bagian kitab ini terletak di awal, kitab ini justru diperkirakan
berasal dari tahun penyusunan yang lebih muda, sebagian bahan berasal dari
Babel namun kemungkinan baru rampung pengeditannya setelah masa pembuangan[14]. Kedua, Amsal 10 : 1 – 22 : 16. Bagian
ini disebut sebagai kumpulan Amsal Salomo meski tidak semuanya merupakan hasil
karya Salomo. Amsal ini lebih mirip dengan gurindam
karena hanya terdiri dari dua baris pendek namun tampak tidak sistematis. Amsal
ini membeberkan seluk – beluk kehidupan dan cara mengatasinya, isinya
kebanyakan bersifat pernyataan dari pengalaman yang berlaku umum. Sampai pasal
15 gaya bahasa yang digunakan kebanyakan adalah paralelisme antitesis yang
menunjukan banyaknya fenomena sebab - akibat, pasal selanjutnya memuat
paralelisme sinonim dan sintesis. Ketiga,
Amsal 22 : 17 – 24 : 34. Bagian ini merupakan koleksi tulisan “orang bijak”,
isinya berupa ajakan – ajakan dengan didukung oleh pernyataan penjelas dan
umumnya lebih dari dua baris. Kumpulan Amsal dalam bagian ini sepertinya telah
mengadopsi banyak ide dari hikmat internasional seperti Amene – Emope di Mesir
lalu digubah ulang agar memiliki muatan teologis pada masa kerajaan di Israel. Keempat, Amsal 25 – 29. Amsal ini
merupakan kumpulan Amsal Salomo yang baru dikumpulkan kemudian oleh para
pegawai Hizkia sehingga menimbulkan kesan bahwa Amsal ini terbit pada masa
akhir kerajaan. Berbeda dengan Amsal Salomo lain karena dalam bagian ini
pepatah yang bermuatan Tuhan sangat berkurang. Kelima, Amsal 30 – 31. Bagian ini merupakan tambahan hikmat dari
Agur, Lemuel dan ditutup dengan syair tentang istri yang cakap (2010 : 17 -21).
Berbeda
dengan Harun, Simanungkalit membagi kitab ini dengan tujuan kanonis dalam
beberapa ulasan, antara lain; pertama, Amsal
1 : 1. Ayat ini merupakan pendahuluan sekaligus judul dari kitab Amsal. Nama
Salomo digunakan bukan untuk menunjukkan otoritas Salomo sebagai pengarang
namun untuk memperlihatkan kewibawaan Ilahi kitab[15]. Kedua, Amsal 1 – 9. Amsal ini memiliki
perbedaan gaya, karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kitab Amsal
lain. Pengajarannya berbentuk unit – unit yang besar dan berhubungan satu sama
lain dalam pengajaran hikmat, sifatnya lebih teologis ketimbang bagian lain
dalam Amsal dan berfungsi sebagai pembangunan moral dalam kehidupan sehari –
hari sekaligus reinterpretasi panggilan ilahi sendiri. Ketiga, Amsal 10 : 1 – 31 :
10. Bagian ini tampaknya disusun oleh lebih dari satu orang dan dalam
jangka waktu yang panjang. Merupakan hasil refkleksi manusia terhadap
pengalaman hidupnya baik dari lingkungan Israel maupun internasional sifatnya
praktis meski cukup acak – acakan
namun tetap harus dilihat sebagai hasil karya yang mengandung nilai teologis.
Dan terakhir, keempat, Amsal 31 : 10
– 31[16]
merupakan bagian penutup dari seluruh kitab Amsal dan merupakan puncak dari
gambaran tentang hikmat.
Unsur
Ekstrinsik Amsal
Nilai
Moral
Menurut Blommendal, umumnya dunia
Timur Tengah mengenal hikmat sebagai bagian dari kehidupan rohani. Hikmat itu
berasal dari dewa yang berisi kesenian, tekhnik dan ilmu teoritis serta etika.
Bagi orang Israel, dasar Kebijaksanaan itu bersifat religius – teologis. Pada
mulanya memang bersifat ilmu namun pada akhirnya berubah menjadi hikmat
kehidupan yaitu etika (2012 : 152 – 153). Menurut Wahono, dalam Amsal aksioma
peribahasanya sebagian besar menekankan pada aspek moral yaitu sebab akibat.
Ungkapan – ungkapan moral yang digunakan dalam Amsal sepertinya sudah cukup
untuk menjawab semua masalah kehidupan (2011 : 226).
Nilai Budaya
Kebijaksanaan ini umumnya bersifat
praktis namun berlaku di dunia internasional. Setiap kebudayaan umumnya
memiliki ragam kebijaksanaan masing – masing. Biasanya dimasa lalu
Kebijaksanaan ini berlaku di kalangan pegawai – pegawai tinggi istana, aristokrat,
sekretaris, penulis sejarah, atau golongan – golongan cendikiawan lain. Kitab
Amsal sendiri tidak murni berasal dari Israel karena terdapat resapan dari
kebudayaan dan Kebijaksanaan dari Amenemope di Mesir, Babilon ataupun Asyur di
dalamnya.
Nilai
Sosial
Menurut Wahono, kalimat – kalimat
dalam Amsal dialamatkan pada pribadi namun memiliki implikasi sosial. Isinya
bersifat teguran terhadap tindakan anti sosial dan jahat serta merusak
kehidupan masyarakat. Tindakan – tindakan jahat yang dilakukan tidak hanya akan
berefek pada pribadi namun juga sosial. Hubungan yang terjalin dalam masyarakat
harus bersifat konstruktif dan kreatif (2012 : 225).
Pembangunan Karakter Anak Muda Menurut Kitab Amsal
Kitab
Amsal menurut Thompson sebenarnya berisi tentang pandangan – pandangan atau
falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Israel kuno. Kebanyakan dari
falsafah ini diadopsi juga dari kebudayaan Mesopotamia, Mesir maupun Kanaan.
Namun demikian, di dalamnya juga terdapat fungsi pengajaran yang tidak hanya
mengarah pada aspek intelektual namun juga moral dan spiritual (1974 : 68 –
83). Target pengajaran secara khusus adalah anak – anak muda. Karena itu dalam
bagian ini akan dijelaskan tentang upaya pembangunan karakter atau yang bisa juga disebut dengan formasi
karater bagi anak muda yang dilakukan oleh orang – orang bijaksana pada masa
itu.
Latar
Belakang Konteks Formasi Karakter bagi Anak Muda
Amsal 1 – 9 ini sering disebut
sebagai “Petunjuk – petunjuk ayah kepada anaknya” sebelum mereka memasuki dunia
luas terlepas dari orang tuanya. Pada masa ketika bagian ini ditulis, ekploitasi
dan kekerasan merajalela dalam komunitas yang berjuang untuk memperbaiki diri
selama masa setelah pembuangan. Pekerjaan para nabi dan sejarahwan pada masa
ini diarahkan kepada perlawanan terhadap kemiskinan dan asimilasi pada masa pasca
pembuangan. Kemiskinan yang terjadi pada masa ini tidak hanya membuat banyak
orang menderita secara ekonomis namun juga moral atau karakter. Orang – orang tua
yang hidup miskin nekat menjual anak – anaknya kepada para orang kaya untuk
dijadikan budak. Dan ini yang diperjuangkan oleh Zakaria, Hagai dan Nehemia. Di
lain pihak, orang – orang Israel juga melakukan asimilasi karena perkawinan
dengan perempuan – perempuan asing yang terjadi dalam umat Israel. Ezra dan
Nehemia berjuang untuk melakukan pembersihan etnik bagi bangsa Israel untuk
mendirikan keturunan Israel asli yang tidak bercampur dengan negara lain. Dan
Amsal 1 – 9 ini muncul di tengah situasi ini sehingga para guru – guru
kebijaksanaan yang mempergumulkan masalah sosial yang sama menuliskan tentang
pembangunan karakter melalui kemampuan ini bagi anak – anak muda untuk
mempersiapkan mereka untuk menghadapi situasi ini (Brown, 1996 : 43 – 45).
Definisi
dan Karakteristik Anak Muda
Menurut
Alden, orang muda dalam teks Amsal 1 : 4 yang menjadi tujuan dari pengajaran
hikmat merupakan metafora orang – orang yang dianggap tidak berpengalaman atau
lugu. Orang – orang seperti ini masuk dalam kategori orang bebal yang masih
dapat diampuni karena kebodohannya itu disebabkan kurangnya pengalaman. Orang
muda ini tidak bertindak dalam keangkuhannya namun karena kurangnya kontak
dengan dunia. Karena itu, perlu banyak belajar dari orang – orang berhikmat
(2002 : 21).
Sejalan
dengan itu, menurut Loke, anak muda adalah anak yang sedang bersiap – siap
untuk mengarungi dunia kehidupan dan memiliki karakteristik khas yang
membuatnya perlu dengan ketat mendapatkan bekal atau pengajarannya yang
menjadikannya bijak dalam menilai dan berlaku dalam dunia. Orang muda merupakan
orang yang mudah dipengaruhi oleh rekan – rekan sebayanya. Sayangnya, tidak
semua pengaruh ini positif malah justru
berkesan negatif secara menyeluruh. Teman – teman sebayanya cenderung
mempengaruhinya untuk mencari kesenangan, kekuasaan, mengumpulkan kekayaan
dengan jalan yang mudah, namun berakhir pada masalah. Anak muda cenderung ingin
diterima dalam lingkungan seusianya. Dalam kekurangan pengalamannya, anak muda
lebih mudah percaya kepada teman sebayanya sehingga lebih mudah disesatkan oleh
unsur – unsur yang tidak sehat. Anak muda sulit untuk berpikir jauh tentang
akibat buruk dari tindakan mereka di masa kini (2007 : 11 – 12). Atkinson
menuliskan alasan lain dari karakteristik anak muda yang membuat mereka perlu
mendapat pengajaran ketat adalah bahwa anak muda merupakan orang yang mudah
dipengaruhi, dibohongi, tolol. Secara mental anak – anak muda ini umumnya naif
(Amsal 14 : 15), secara moral penuh dengan impian namun sulit
dipertanggungjawabkan (Amsal 1 : 32), pikirannya sederhana mirip atau lebih
tepat jika dikatakan tidak berpendirian sehingga mudah jatuh dalam pencobaan,
tidak stabil, kurang sensitif. Anak muda yang lain sering disamakan dengan
orang goblok atau dalam pengertian Kebijaksanaan adalah orang – orang yang
tidak memiliki pikiran atau ide tentang kesabaran dalam mencari hikmat, tidak
berkonsentrasi pada pencarian hikmat, tidak memilih untuk takut akan Allah.
Anak – anak muda seperti ini bisa menjadi biang masalah dalam masyarakat dan
juga duka bagi orang tuanya, kasar, tidak sopan. Selain itu ada juga anak muda
yang suka mencela yang menunjukkan sikap mental mereka yang buruk (1998 : 79 –
80).
Kepada
merekalah pengajaran diberikan agar terjadi perubahan sikap baik pada masa
belajar maupun setelahnya. Anak – anak muda dengan bebas menentukan untuk menolak
atau menerima pengajaran ini. Sang ayah, guru, maupun perempuan bijak yang
menawarkan pengajaran hikmat atau hikmat itu sendiri sifatnya hanya menawarkan.
Keputusan untuk menolak atau menerima berada pada anak muda. Berdasarkan Amsal
1 : 20 – 33 ada dua macam anak muda yang menjadi target pengajaran hikmat yaitu
mereka yang mau menerima dan mereka yang tidak mau mendengarkan pengajaran
hikmat. Orang – orang yang menolak disebut kurang berpengalaman atau orang
bodoh dan mudah tertipu (Amsal 1:22), mereka ini akan membawa celaka para diri
mereka sendiri (ayat 26 – 27) dan menanggung sendiri akibat dari perbuatan
mereka yang bodoh (ayat 31). Yang penting di sini adalah bahwa bukan hikmat
yang menghukum mereka namun diri mereka sendiri akibat sikap keras kepala dan
rasa puas terhadap diri sendiri. Sebaliknya, orang yang mau mendengar hikmat
akan menyadari hikmat, mencurahkan hati dan menyatakan pikiran – pikirannya
kepada mereka (ayat 23). Mereka akan mendapat keselamatan, ketenangan dan
terhindar dari bahaya (ayat 33). Orang berhikmat adalah orang yang mampu
membuat pilihan yang tepat sehingga mereka dapat memiliki hidup (Loke, 2007 :
12 – 13). Anak muda yang mau mendengar dan menerima pengajaran hikmat ini tetap
masuk dalam golongan orang – orang kurang berpengalaman namun siap untuk
mengalami transformasi karakter.
Pembentukan
Karakter Anak Muda dalam Amsal
Bagi
Brown yang secara khusus memberikan perhatiannya pada pembangunan dan atau
transformasi karakter berdasarkan kitab Kebijaksanaan, Amsal 1 – 9 ditujukan
secara khusus bagi orang – orang muda. Bentuk final dari Amsal 1 – 9 ini
terdapat dalam Amsal 31 yang menjadi fokus katakter dan nilai – nilai. Ada
berbagai variasi nilai yang bernuansa etis dalam pembahasaan kitab Amsal. Dan
bagi Brown, ketujuh ayat pertama dalam kitab Amsal ini secara tidak biasa
dimuat nilai – nilai etika (1996 : 22 – 23). Bagian ini akan memuat uapaya pembentukan
karakter anak muda baik dari orang tua, guru dan perempuan bijaksana.
Pembentukan Karakter Orang Tua Kepada Anaknya
Kebanyakan
ahli menurut Atkinson menyatakan bahwa Amsal 1 – 9 ini merupakan Amsal yang
diarahkan sebagai pengajaran orang tua kepada anaknya (1998 : 60). Menurut
Loke, dalam Amsal 1 : 8 – 19 terdapat
nasihat orang tua kepada anaknya sebagai modal awal dalam menjalani kehidupan
di dunia. Dari sini juga tergambar dengan jelas karateristik awal anak muda
berdasarkan kitab Amsal. Anak muda dalam kitab Amsal merupakan orang – orang
yang dengan sangat mudah terkena pengaruh. Karena itu peringatan sang ayah dalam teks ini lebih mengarahkan anak agar tidak
sampai dipengaruhi oleh orang berdosa dan keluar dari landasan kehidupan.
Nasihat sang ayah ini bertujuan memberi pertimbangan di antara sebab dan akibat
yang akan ditimbulkan dari tindakannya (2007 : 11 – 12).
Brown
menganggap bahwa mengapa pembentukan karakter ini perlu diawali dari rumah
adalah karena pada dasarnya dan umumnya setiap anak lahir dalam lingkungan
keluarga walaupun pada saat ini pengajaran karakter cenderung dilakukan juga di
luar rumah. Anak – anak dapat memiliki dasar yang kuat dari setiap pelajaran
sosial yang dibangun oleh keluarga dan mempraktikkannya dalam komunitas. Orang
tua, dalam hal ini ayah yang bertugas mendidik anak, bertanggung jawab untuk
membangun horizon, menanamkan karakter baik dan bijak dalam diri anak. Keluarga
bagi Amsal adalah elemen paling dasar dalam struktur masyarakat. Di luar rumah,
anak muda bisa bertemu dengan siapapun, baik - buruk, positif – negatif, kaya –
miskin, pejabat – rakyat jelata, rohani – duniawi, dan dapat saja hadir dalam
kehidupan anak dan mempengaruhi anak. Anak akan hidup dalam komunitas
masyarakat luas dengan segala ambiguitas dan konflik, kesuksesan dan kegagalan,
dibentangkan secara beranekaragam dan luas. Dan untuk inilah karakter mereka perlu
dipersiapkan sedemikian rupa dalam keluarganya, agar ketika keluar, mereka
menjadi orang – orang muda yang memiliki integritas dan melalui mereka, masa
depan bangsa dapat terpelihara baik (1996 : 45).
Pembentukan
Karakter Guru Kepada Muridnya
Dalam masyarakat Israel kuno ada dua
model pendidikan mandiri yaitu pendidikan agama yang diajar oleh para
fungsionaris agama dan pendidikan kebijaksanaan untuk calon – calon pegawai
istana yang dilakukan oleh para guru kebijaksanaan. Kedua model pendidikan ini
kemudian saling berkolaborasi untuk saling melengkapi dan atau mengisi
kelemahan masing – masing. Jadi lulusan dari sekolah ini diharapkan tidak hanya
memiliki intelektualitas tinggi namun juga memiliki nilai spiritual dan moral
yang tinggi juga. Soebagjo dalam bukunya membagi tiga tahap lanjutan dalam
perkembangan pendidikan di Israel kuno, antara lain:
Tahap pertama dalam Amsal
15 : 33a, mengubah sistem pendidikan dari sistem
pendidikan menjadi bercitrakan agama, dengan membangun sistem pendidikan
kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan namun yang berasaskan pandangan tradisional
yaitu “takut/ hormat akan TUHAN”. “Takut/ hormat akan TUHAN” dalam hal ini
menjadi disiplin pendidikan dalam sekolah kebijaksanaan. Jadi kewibawaan
tertinggi dalam sistem pendidikan ini bukan lagi terdapat pada guru – guru
kebijaksanaan namun pada Tuhan sendiri. TUHAN dipandang sebagai penentu
kualitas, aturan pendidikan kebijaksanaan dan pengetahuan, dan materi ajar.
Sehingga dalam disiplin baru ini, para peserta diperhadapkan dengan Tuhan. Pelanggaran
terhadap sistem pendidikan dianggap pelanggaran kepada Tuhan. Namun sistem ini
ternyata memiliki kelemahan – kelemahan termasuk hanya menjadi alat legitimasi
para guru kebijaksanaan dan pengetahuan.
Tahap kedua dalam Mazmur
111 : 10, Amsal 1 : 7 ; 9 : 10. Tahap pertama ternyata hanya
mampu menghasilkan lulusan yang memiliki etika legalitas. Karena itu, dalam
tahap kedua, “takut/ hormat akan TUHAN” dijadikan bukan hanya disiplin namun
juga prinsip atau sila dalam sistem pendidikan. Dengan demikian semua proses
pendidikan harus berprinsip dan terintegrasi pada “takut/ hormat akan TUHAN”.
Namun tahap inipun mengalami kesulitan dalam penerapannya karena dalam tahap
ini perlu perubahan sikap dari para guru dan kemampuan mengintegrasikan prinsip
ini ke dalam sekolah kebijaksanaan dan pengetahuan mereka, bukan semata
kepentingan pribadi.
Tahap ketiga dalam Ayub
28 : 28. Dalam tahap ini, “takut/ hormat akan
TUHAN” menjadi tujuan pendidikan. Tujuan dari sistem pendidikan ini adalah
mendidik dan membimbing para peserta didik, agar menjadi manusia yang
bijaksana, dengan ilmu, keahlian dan keterampilannya, mampu menghadapi pelbagai
masalah kehidupan dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam setiap
situasi. Tujuan dari sistem pendidikan ini adalah perubahan sikap yang sesuai
dengan prinsip “takut/ hormat akan TUHAN” baik selama proses belajar mengajar
maupun setelahnya. Inilah yang menyebabkan “takut/ hormat akan TUHAN” ini
menjadi sejajar dengan kebijaksanaan dan pengetahuan. Karena itu, keberhasilan
para murid tidak bergantung pada guru kebijaksanaan dan pengetahuan namun pada
hubungan mereka dengan Allah. Selain itu, istilah “takut/ hormat akan TUHAN”
ini menjadi suatu falsafah hidup dalam masyarakat Israel kuno (1994 : 79 – 86).
Pembentukan
Karakter dengan Personifikasi Perempuan Bijaksana
Menurut
Harun, hikmat dalam pengertian Amsal merupakan gambaran penciptaan adalah
perempuan bijak yang mendampingi Allah saat menciptakan bumi (heqet; bentuknya feminim). Perempuan ini
senang dengan kreasi Allah dalam hikmat, senang dengan hasil kreasi tersebut
dan senang tinggal di antara manusia yang mencari dia. Memiliki hikmat merupakan
perkara hidup dan mati. Apapun, di manapun, kapanpun, bagaimanapun, jika ingin
hidup bahagia dan sukses, seseorang memerlukan hikmat. Hikmat juga
menggambarkan seorang perempuan yang membuka rumah makan dan mengundang semua
orang yang belum berpengalaman dan berakal budi untuk hadir di sana. Siapapun
dengan bebas memilih untu masuk atau tidak ke dalam rumah makan tersebut. Menu
yang ditawarkan adalah makanan dan minuman yang memberantas kebodohan dan
memberikan hidup. Hikmat dalam hal ini bertindak aktif mencari manusia yang
penuh kebodohan, mencintai manusia dengan penuh kasih sayang (2010 : 16 – 55).
Berbeda
dengan itu, pasal 7 dari Amsal ini menggambarkan juga tentang usaha dua
perempuan dalam mempengaruhi anak muda yang disebut sebagai “Dongeng tentang
dua perempuan” karena menampilkan dua kontras antara dua perempuan yaitu
perempuan bijaksana dan perempuan asing. Keduanya sama-sama memanggil orang
muda namun dengan tujuan yang berbeda. Anehnya, Amsal justru menampilkan
riwayat “Perempuan Asing” lebih banyak dari pada “Perempuan Bijaksana”. Secara
leksikal, “Perempuan Asing” ini memiliki beberapa pendekatan arti, antaralain: perempuan
liar, perempuan yang najis atau tidak suci, perempuan yang berasal dari etnis
di luar Israel, perempuan pezinah yang sudah tidak setia pada pernikahannya.
“Perempuan asing” ini memiliki karakteristik yang berbanding terbalik dari
“Perempuan Bijaksana” baik dari gambaran tentang kepribadiannya, cara mereka
bertutur kata, bertindak, bersikap walaupun gaya berbusana dan target mereka
sama, demikian kata Stallman seperti dikutip Estes. “Perempuan asing” ini menolak
segala jenis norma yang berlaku dalam masyarakat bahkan membawa orang yang
mengikutinya kepada bahaya kemiskinan,
aib, dan kebinasaan. Perempuan ini dianggap sebagai jerat, racun, ataupun
penyesat. “Perempuan asing” membawa
kepada kematian tapi “Perempuan Bijaksana, Kitab Hikmat dan TUHAN” menghantar
kepada “Kehidupan”, kepada Tuhan
sendiri. Dari gambaran tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa “Perempuan Asing”
ini merupakan “bahaya” bagi Israel, siapapun dia.
Dari
sisi etika, kedua perempuan ini memang ditampilkan sebagai secara metofora dan
berlawanan satu sama lain. Namun sebenarnya, teks ini ditujukan secara etis
kepada semua orang bukan hanya sebagian orang saja. Istilah “Perempuan
Bijaksana” dipakai secara etis mewakili kebijaksanaan yang diatur berlawanan
dengan gambaran kebodohan yang ditampilkan oleh “perempuan asing”. Sisi etisnya
diekspresikan melalui praktik kehidupan yang benar atau jahat. Jadi bukti nyata
dari kebijaksanaan adalah kebenaran dan sebaliknya kebodohan dimanifestasikan
dengan kejahatan. Kedua orang perempuan dalam teks ini mengasihi dan setia
kepada pria muda. Dengan bujukan atau rayuannya mereka mengajak pria muda untuk
berhubungan dengan mereka, hanya bedanya, ajakan untuk berhubungan seks di luar
pernikahan yang membuat salah satu perempuan dianggap asing. Estes memberi kesimpulan pada artikelnya
bahwa Amsal 1-9 bukan hanya sekedar “Dongeng tentang Dua Perempuan” melainkan
cerita tentang sistem etika yang tergambar melalui kedua perempuan ini. Perempuan
ini dikatakan asing karena kebodohannya ini terdapat pada keteguhannya untuk
tetap berdiri sendiri dengan menolak Allah sebagai dasar kehidupan etis (2010 :
152 – 168).
Kesimpulan
Setelah
pendahuluan tentang hikmat ini terdapat pembicaraan serius seorang ayah kepada
putranya. Di dalam teks tersebut ditampilkan pameran instruksi yang bernuansa
displin berupa teguran dan atau peringatan. Ada hirarki yang jelas antara orang
tua dan anak. Dalam upaya pembentukan karakter dalam kitab hikmat ini terlihat
etos yang bersifat egaliter namun terbukti efektif dalam dan bila dipraktikkan.
Sang ayah tidak berniat untuk mengambil keuntungan apapun dari upayanya kepada
anaknya, ia hanya ingin mempersiapkan anaknya menjadi orang yang bijak,
berintegritas dan berpikir serta bertindak secara pantas dalam menghadapi
realitas kehidupan. Hal ini berguna tidak hanya bagi pemeliharaan hidup pribadi
sang anak namun berdampak juga bagi komunitas. Selanjutnya, diperlihatkan juga
hirarki guru dan murid yang sifatnya lebih universal ketimbang ayah dan
putranya. Dengan demikian, dari
personifikasi Amsal ini dapat dilihat ada hirarki antara orang berhikmat dan tidak berhikmat. Teks
lanjutan berbicara tentang figur perempuan bijaksana. Pendekatan yang dilakukan
oleh perempuan ini tidak bermaksud untuk memberi dakwaan kepada pemirsanya.
Lawan dari perempuan bijak yang anti komunitas ini adalah perempuan asing atau
jalang atau bodoh. Personifikasi hubungan perjanjian umat dan Tuhan di sini
diarahkan kepada bentuk perjanjian pernikahan. Dan elemen formasi karakter
tetap adalah keadilan, kebenaran dan kelayakan sehingga dampaknya tidak hanya
kepada individu namun juga komunitas. Instrumental kebajikan berupa sumber daya
atau keahlian khusus berguna dalam memastikan kesuksesan seseorang, namun
kehati-hatian dan pengertian berperan sebagai penjaga sikap agar seseorang
tetap dalam jalan yang baik yaitu adil, benar dan pantas. Hikmat itu umumnya
terlihat dalam persimpangan atau silang sebuah masalah. Targetnya tetap adalah
orang yang tidak bijaksana. Pengkarakteran Kebijaksanaan ini dimulai dari
wacana tentang kosmos atau alam semesta. Dilanjutkan dengan pemberian peraturan
dan sistem konstitusi. Nilai – nilai kebenaran menyusul di belakangnya. Formasi
dari kata – kata hikmat adalah kata – kata yang lurus. Tujuannya tidak hanya
mendatangkan keadilan bagi komunitas namun juga integritas sehingga terbangun
hubungan yang kooperatif dalam komunitas tersebut. Antonim dari cerdas adalah
lidah dua. Pendekatan Kebijaksanaan merupakan pendekatan yang jelas; kekuatan
formasi karakter terletak dalam kemampuannya untuk membangkitkan kesadaran dari
pendengarnya saat mengambil keputusan meskipun dalam keadaan krisis (Brown,
1996 : 22 – 42).
Bagi
Brown, Amsal 1 – 9 memang memprofilkan hikmat dalam berbagai macam cara
sehingga lebih terlihat sebagai katalog hikmat. Namun materi hikmat justru
lebih menekankan kepada aspek moral atau kumpulan nilai – nilai berupa kebenaran,
keadilan, dan kepantasan seseorang dan ini merupakan keseluruhan spektrum
kebijaksanaan. Baik peraturan – peraturan maupun hikmat menggambarkan dua
relasi yang saling berkaitan bagi upaya pembangunan moral. Peraturan –
peraturan tata tertib atau disiplin yang diajukan merupakan wacana pembentukan
karakter orang tua kepada anaknya; wacana ini berubah dari bentuk kemarahan
menjadi penyataan atau undangan hikmat.
Ide tentang dikotomi nilai – nilai dan juga instrumen – instrumen moral dan
intelektual, sudah ada di dalam pepatah Israel kuno demi kepentingan kehidupan
komunitas umat Israel. Kemampuan kognitif dan instrumen – instrumen
kebijaksanaan merupakan sarana bagi peningkatan kemampuan moral dan bertindak
etis dalam komunitas dan berdampak luas serta penting bagi komunitas itu sendiri bilamana terjadi ancaman atau pengalaman -
pengalaman buruk di dalamnya (1996 : 42 – 43).
Isi Pengajaran Hikmat yang Diberikan untuk Pembangunan
Karakter Anak Muda dalam Kitab Amsal
Ada
dua jenis pendidikan dalam masyarakat Israel kuno yaitu pendidikan agama dan
kebijaksanaan. Kedua pendidikan ini pada masa yang lebih modern dipergunakan
bersamaan dengan tujuan saling melengkapi. Di satu sisi pendidikan agama dibuat
mengacu pada sistem pendidikan kebijaksanaan profesional dan di sisi lain,
kebijaksanaan dikaitkan dengan ajaran – ajaran agamais.
Menurut
Soebagyo, sistem pendidikan Kebijaksanaan di Israel kuno menanggap idiom
kebijaksanaan memiliki makna sejajar dengan “takut akan TUHAN”. “Takut akan
TUHAN” atau dalam hal ini hormat kepada Tuhan merupakan suatu ungkapan sikap
pantas manusia kepada Tuhan yang menjadi disiplin, prinsip, ataupun tujuan
pendidikan kebijaksanaan, sinonim dengan pengetahuan dan meenjadi dasar
pandangan hidup manusia. Sebenarnya idiom “takut akan TUHAN” ini sudah ada jauh
sebelum keberadaan bangsa Israel dalam masyarakat Mesopotamia kuno yaitu “takut
akan Allah”. Istilah ini merupakan suatu standar moralitas umum tentang
keberadaan sesuatu yang Ilahi dan bersangkut paut dengan kehidupan manusia di
muka bumi (1994 : 34). Dalam masyarakat Israel, istilah ini diubah menjadi
“Takut akan TUHAN” berdasarkan hubungan perjanjian yang terjalin di antara
Allah dan Israel (Soebagyo, 1994 : 71 – 78).
Ada
berbagai pengertian tentang “takut akan TUHAN” dalam PL. Ada ahli yang
menghubungkan dengan perasaan takut, ngeri, takjub, hormat, dll. ada yang
menghubungkan istilah “takut akan TUHAN” dengan tindakan taat atau keagamaan.
Ada yang mendefinisikan “takut akan TUHAN” sebagai sebuah sikap teguh dalam
memelihara perintah TUHAN dan atau berjalan dalam jalan – jalan TUHAN. Semua
pengertian ini bergantung pada konteks situasi atau peristiwa yang menyertai
kehadiran istilah “takut akan TUHAN” itu sendiri entah itu dalam bentuk kultus,
etis atau hukum (1994 : 25 – 64). Khusus literatur Kebijaksanaan, “takut akan
TUHAN” dihubungkan kebijaksanaan, moralitas dan keberuntungan hidup. Dalam
Amsal, “takut akan TUHAN” dianggap sebagai dasar mutlak dari semua
kebijaksanaan. Baik hormat kepada TUHAN maupun kebijaksanaan merupakan istilah
sejajar yang berakar pada pengajaran guru kebijasanaan. Dalam literatur
Kebijaksanaan sendiri menurut Path sebagaimana diteruskan oleh Soebagyo, “takut
akan TUHAN” menggambaran sikap pantas manusia kepada TUHAN dalam kehidupan
sehari – hari. Sikap pantas ini didasarkan pada kepercayaan kepada TUHAN dan
merupakan unsur paling penting untuk kehidupan umat TUHAN. kebijaksanaan dalam
kehidupan Israel merupakan hal praktis, diperoleh melalui pengalaman hidup
sehari – hari maupun tradisi pendidikan kebijaksanaan dan dirumuskan untuk
suatu kehidupan ideal berdasarkan tatanan etis yang dikehendaki Allah. Baik
kebijaksanaan maupun “takut akan TUHAN” harus diwujudkan dalam kehidupan sehari
– hari sebagai prinsip dari semua tindakan yang berakar pada hubungan vertikal,
manusia dengan Allah, dan horizontal, manusia dengan sesamanya. Tindakan etis
yang dilakukan oleh seseorang dilakukan berdasarkan pada keyakinan tertentu
yang ia pegang (1994 : 45 – 49).
Menurut Brown, materi yang
disampaikan selain takut akan Tuhan antaralain: Pertama, petunjuk – petunjuk yang mujarab yang memastikan anak muda
ini dapat sukses atau makmur dalam hidupnya di masa depan. Kedua, kebenaran, keadilan dan kepantasan. Keadilan berkaitan
dengan proses peradilan, tindakan yang diambil terhadap kaum miskin dalam
komunitas sosial. Kebenaran merupakan standar etika antara pribadi dan
komunitas karena orang yang benar adalah orang yang loyal terhadap
komunitasnya. Berbeda dengan itu, seseorang dikatakan memiliki kepantasan
berkaitan dengan keadilan dan kebijaksanaannya dalam berbicara. Melalui ketiga
hal ini, proses formasi karakter tidak hanya diarahkan untuk pembangunan sikap
intelektual namun juga moralitas. Ketiga,
kewaspadaan dan kehati – hatian. Kehati – hatian merupakan suatu bentuk kewaspadaan
lawan dari kata gegabah sehingga orang yang berhati – hati ini tidak bersikap
gegabah dalam mempercayai orang, dalam mengekpresikan kemarahan, pengertian,
dan mencegah bahaya. Kedua hal ini merupakan instrumen dalam kebajikan dan
salah satu bentuk kekuatan moral. Keempat,
keahlian. Dalam konteks Amsal, keahlian ini berkaitan dengan kemampuan
khusus atau seni dalam menyelesaikan masalah dalam kerajaan, menekankan
kemampuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk
pengalaman – pengalaman, intuisi, strategi, diplomasi, dan negoisasi. Kelima, kebijaksanaan dan instruksi.
Kebijaksanaan merupakan segala jenis atau bentuk dari kebajikan dan nilai –
nilai yang tercantum di dalamnya baik instrumen, intelektual baik secara etis
maupun komunal. Instruksi berkaitan dengan disiplin, koreksi, dan berkaitan
juga dengan hukuman (2014: 33 – 36).
Ada berbagai tema pengajaran dalam
Amsal yang ditujukan kepada pembangunan karakter anak muda. Menurut Atkinson,
ada sepuluh materi yang disampaikan sang ayah kepada anaknya sebagai bekal
hidupnya dalam memasuki perjalanan kehidupan di dunia luas. Pertama, berbicara tentang kelompok
kejahatan (1: 8 – 19). Dalam hal ini, kemungkinan di Yerusalem terdapat
kelompok – kelompok kriminal yang menyusahkan orang miskin. Pengajaran yang
diberikan adalah agar anak menjadi bijaksana terhadap godaan dari kelompok ini.
Kedua, berbicara mengenai menghindari
orang jahat (2 : 1 – 22). Hal ini dilakukan sebagai peringatan terhadap
kemungkinan kehadiran orang – orang di kota yang dapat menyesatkan si anak
muda. Ketiga, berbicara tentang
kewajiban terhadap Allah yang didasarkan pada kasih kepada Allah yang tercermin
juga dalam kasih terhadap sesama (3 : 1 – 12). Keempat, berbicara tentang kewajiban terhadap sesama manusia (3 :
21 – 35). Kelima, berbicara tentang
hikmat itu sendiri (4 : 1 – 9). Keenam, pengulangan
tentang kasus kelompok kejahatan (4 : 10 – 19). Ketujuh,
berbicara tentang kewaspadaan (4 :20 – 27). Kedelapan, pembicaraan tentang isu – isu umum dan peringatan
melawan kebodohan (6 : 1 – 19) seperti kemalasan, kebohongan dan hal – hal lain
yang Allah benci. Kesembilan, berbicara tentang daya pikat perempuan jalang (7 : 1 – 27). Kesepuluh, tentang undangan hikmat dan hikmat itu sendiri (8 : 1 – 36
dan 9 : 1 – 18) (1998 : 61 – 78).
Kesemua
materi ini merupakan penanaman karakter baik bagi sang anak untuk dapat masuk
dan terlibat dalam isu – isu nyata dunia, dan bila si anak muda mau
mengikutinya, modal ini akan menjadikannya pribadi yang sukses dan tangguh baik
dalam hal intelektual, moral dan spiritual. Namun demikian, isi formasi
kararkter tidak hanya digunakan sebagai modal namun juga sebagai sikap hidupnya
selama di dunia.
Tujuan Pembangunan Karakter Anak Muda Menurut Kitab
Amsal
Anak
muda dalam pandangan Amsal merupakan orang – orang yang ingin dan akan memulai
perjalanan hidupnya di dunia sebagai pribadi (Loke, 2007 : 11). Dalam usia ini,
anak – anak ini mulai berdikari dan atau mulai menentukan jalan kehidupannya
sendiri. Tujuannya adalah anak muda ini dapat hidup dalam dunia dengan cara
yang bijak. Karena itu, perlu persiapan matang untuk memastikan kehidupan
mereka berjalan dengan sehat, aman, dan sejahtera dalam dunia (Soebagjo, 1994 :
86 – 94) . Hikmat dalam hal ini berguna dalam memastikan kehidupan mereka dalam
dunia (Loke, 2007 : 13). Bagi Rylaarsdam, orang bijak dalam Amsal ingin
menginformasikan dan mendisplin baik pikiran dan kehidupan pada anak muda yang
mudah dipengaruhi (1964 : 9 – 10). Jadi tujuan pembangunan karakter anak muda
dalam kitab Amsal ini adalah memberikan informasi berupa disiplin diri sehingga
mereka dapat memiliki pandangan hidup atau cara hidup yang layak dalam setiap
segi kehidupan agar memastikan keberhasilan kehidupan mereka dalam dunia baik
intelektual, moral dan spiritual.
Selain
itu, bagi Brown, pembangunan karakter anak muda ini tidak hanya penting bagi
anak muda itu sendiri namun juga bagi komunitas, masyarakat, tempatnya tinggal
bahkan bangsanya. Jadi karakter individual dari anak muda ini di Israel akan
berpengaruh bagi umat Israel seluruhnya. Pembangunan karakter bertujuan untuk
memelihara kelangsungan komunitas di Israel. Anak muda adalah penentu nasib dan
arah bangsa di masa depan, karena itu penting untuk dilakukan pembangunan
karakter kepada mereka (1996 : 43 – 49).
Kesimpulan
Manusia merupakan bukti hikmat Allah
yang paling istimewa. Para orang bijak Israel pun memandang positif produk
Allah dengan segala kelengkapan indra dan kemampuan rasionya. Melalui
pengertian, manusia mengembangkan diri dan mengembangkan sisi kemanusiaannya.
Untuk itu, manusia perlu melibatkan diri dengan realitas dunia agar memperoleh
pengalaman, pengetahuan, tentang irama, keteraturan serta kaidah – kaidah yang
berlaku dalam dunia. Orang bijak selalu memperhatikan apapun yang ada di
sekelilingnya. Target formasi karakter ini adalah anak – anak muda tapi tidak
berarti bahwa formasi karakter yang diberikan untuk orang muda dilakukan karena
mereka rusak dan perlu reparasi. Pembangunan Karakter bertujuan untuk
menjadikan mereka diri sendiri dan menjadikan mereka semakin manusiawi.
Diharapkan dengan cara ini, manusia mampu mengembangkan bakat yang menjadi
cirikhas manusia, dan inilah pengertian bijaksana.
Orang
dikatakan bijak karena dia mampu menampilkan rasio dan pengertian yang tajam.
Orang yang berhikmat adalah orang yang rendah hati, menginsyafi keadaan
sesungguhnya dan hidup dengan keadaan itu. Orang bijak adalah orang yang mau
bersandar sepenuhnya kepada Allah dan menerima tempat sebagai ciptaan, mengakui
bahwa dirinya masih membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Orang lain merupakan
unsur hakiki yang perlu agar seseorang berkembang, namun tidak semua orang bisa
mengarahkan orang menjadi lebih baik, karena itu perlu berhati – hati dengan
pergaulan. Orang bijak adalah orang yang mau menerima koreksi, mencari dan
menyimpannya. Orang tua yang rendah hati, berhubungan baik dengan Tuhan,
keluarga, teman, adalah orang yang bisa mengendalikan diri dan disiplin dapat
disebut orang bijak. Orang tua yang bijak ini telah menjalani seluruh hidupnya
sebagai seorang manusia yang manusiawi, inilah yang memantaskan dia menjadi
pengajar hikmat. Namun sayangnya, seberapapun baiknya hikmat manusia, ia masih
memiliki keterbatasan. Orang yang bijak tahu bahwa dia memiliki keterbatasan.
Pemahaman ini justru muncul karena pengalaman hidup, bukan semata – mata iman.
Manusia bijak paham benar bahwa meskipun dalam sepanjang perjalanan hidupnya ia
telah menyusun rencana sedemikian rupa, tetap Allahlah penentunya. Karena itu
orang bijak perlu berserah pada Tuhan. Orang Israel kuno paham betul bahwa ada
banyak kejadian – kejadian dalam realitas hidup mereka berjalan di luar
rencana, dan hikmat manusia terbatas untuk menebak kejadian yang di luar
rencana ini. Namun demikian, keterbatasan ini bukanlah menjadi poin lemah Allah
dalam penciptaan manusia, justru karena keterbatasannya, dimensi keselamatan
Allah berlaku bagi mereka. Jadi antara
hikmat, pengetahuan, dan iman kepada Tuhan, semuanya saling berdampingan dan
saling melengkapi.
Hikmat
Israel tidak murni berasal dari Israel sepenuhnya. Hikmat ini juga ternyata
banyak mengadopsi hikmat – hikmat dari negara sekitar. Hal ini dikarenakan
fakta bahwa dalam keterlibatannya dengan dunia, seluruh manusia dunia memiliki
kegelisahan, pergumulan, pengalaman dan
keprihatinan yang kalau tidak mau dibilang sama, setidaknya mirip satu sama
lain. Setiap negara, suku, dan struktur masyarakat memiliki standar etika
masing – masing. Selain itu, Wahono membagi kalimat – kalimat itu dalam tiga
sasaran: hikmat duniawi yang diarahkan kepada individu dengan tujuan menjaga
keberhasilan, kemakmuran dan kesejahteraan orang tersebut; kepada pribadi –
pribadi namun yang berdampak luas kepada masyarakat sekitar; dan hikmat yang
bertujuan memberi penekanan tentang kesalehan dan moral (2013 : 225 – 226).
Bab
IV
Hidup
dengan Pantas dalam Dunia
(Suatu
Tinjauan Terhadap Upaya Pembangunan Karakter Anak Muda dalam Kitab Amsal Bagi Generasi Y)
Usia
muda bagi Brownlee adalah usia di mana seorang anak mulai belajar untuk
berdikari namun masih memerlukan pendamping untuk memastikan keamanan dan
kelangsungan hidupnya. Usia ini merupakan usia di mana seorang anak
menginginkan kebebasan namun takut akan tanggungjawab yang dipikul di balik
kebebasan yang ia miliki. Karena itu, usia muda merupakan usia penuh ketegangan
antara kebebasan dan tanggung jawab yang harus dipikul (1985 : 33). Usia ini
adalah usia di mana anak diperhadapkan pada pilihan – pilihan yang akan menjadi
penentu bagi masa depannya. Pilihan ini ada dalam setiap lini kehidupan anak
muda, mulai dari pergaulan, pendidikan, pekerjaan, teman hidup, lingkungan
sosial, dll. Karena itu diperlukan kebijakan untuk menentukan pilihan – pilihan
itu. Kebijakan ini bukanlah bentuk hukum namun menjadi jaminan bagi keamanan,
kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan dan keseimbangan dalam hidup.
Generasi Y yang lahir dalam kurun
waktu dua sampai tiga dekade belakangan ini merupakan generasi yang lahir dalam
ketatnya budaya post – modern. Semangat individualisme, hedonisme, dan
materialisme membakar jiwa setiap anak muda sehingga menjadikan dirinya sendiri
sebagai satu – satunya standar kebenaran yang ada di dunia. Akibatnya, apapun
yang ada di dunia ini menjadi serba relatif, tergantung dari siapa yang
memandang dan apakah hal itu berdampak langsung atau tidak pada dirinya. Generasi
ini merupakan generasi cerdas dengan segala kelengkapan pendukung yang mereka
miliki untuk hidup di dunia. Namun mereka terbentur pada satu persoalan yaitu
persoalan karakter. Kepada mereka inilah upaya intellegentsia, character, and spritual building ini diarahkan
karena masa depan dunia 100% berada di tangan anak muda (Lickona, 2012 :
3).
Kitab
Amsal memperlihatkan bagaimana ketatnya orang tua, guru kebijaksanaan dan
personifikasi hikmat dalam perempuan bijak mengupayakan pembentukan karakter
kepada anak muda sebagai modal baginya menapaki hidupnya ke depan. Formasi
karakter ini dimaksudkan tidak hanya mengarah kepada aspek intelektual namun
juga kepada aspek moral dan spritual. Kebijaksanaan yang diajarkan bagi anak
muda merupakan bentuk intellegentsia,
character, and spritual building yang diharapkan dapat menghasilkan sikap
hidup atau pandangan hidup dan atau azas atau falsafah hidup yang harus
dipegang oleh si “anak muda”. Semuanya diberikan untuk memastikan bahwa si
“anak muda” itu sudah hidup secara pantas di dunia.
Memang
tidak setiap bagian formasi karakter dari kitab Amsal dapat diterapkan langsung
secara menyeluruh pada generasi Y dan berakhir umumnya pada pendekatan
paradigmatis tentang sebuah model pembangunan karakter yang dimiliki kaum
Yudais. Tapi model ini sepertinya
mengarah dan searah dengan pergumulan serta persoalan pembangunan karakter masa
kini. Hanya saja, di lapangan, terutama di Indonesia, apalagi di kota – kota
besar, tetap ditemui banyak kendala seperti budaya, komunikasi, waktu, tempat,
dll. Komunikasi langsung antara orang tua dan anak tidak seintim waktu – waktu
lalu. Teknologi yang ada justru membatasi keintiman ini dengan berbagai alasan
“klasik” baik dari pihak orang tua
maupun anak sehingga keluarga tidak dapat menjadi peletak dasar pembangunan
karakter bagi anak – anaknya. Terutama di kota – kota besar seperti
Jabodetabek, Bandung, Medan, kesulitan ini terlihat sangat nyata dan faktual.
Sekolah yang menjadi tempat belajar mengajar lebih banyak mengarahkan
pendidikan sistem pendidikan mereka kepada pembangunan intelektual meskipun
gema pembangunan karakter emosional dan spiritual sudah digemakan pada dekade
terakhir. Dan sayangnya, dekade terakhir ini sudah terlewatkan oleh generasi Y.
Kebanyakan generasi Y sudah melewati masa SMA mereka dan sudah mulai ke luar
dari keterikatan dengan orang tua untuk hidup merantau melanjutkan ke perguruan
tinggi dan atau mulai bekerja. Sehingga kurikulum berbasis karakter yang
ditetapkan pemerintah tidak sempat dikecap oleh kebanyakan generasi Y. Namun demikian,
bagaimanapun juga, usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia ini perlu
diapresiasi. Upaya pembangunan karakter harus dilakukan sepanjang hidup manusia
(Naim, 2012 : 56 – 60) .
Brownlee
secara khusus membagi tiga karakteritik manusia berdasarkan cara mereka
menentukan sikap dan pilihan dalam hidupnya, antaralain: pertama, jalan kebijakan. Metode ini umumnya berpusat pada
kepentingan pribadi sehingga membuat orang tersebut tidak bertindak secara
sembrono. Orang yang menganut metode ini akan mempertimbangkan matang – matang
dampak positif atau negatif terhadap tindakan yang ia ambil bagi dirinya untuk
jangka panjang. Orang – orang ini memiliki karakter tegas dan tidak mudah
dipengaruhi oleh apapun, siapapun, kapanpun, dimanapun dan bagaimanapun
caranya. Orang bijak mampu memakai logikanya tanpa dikuasai perasaan meskipun
ia tetap adalah orang yang memiliki perasaan. Orang bijak di sini adalah orang
yang tahu tujuan hidupnya dan akan berjalan terus sampai tujuan itu tercapai.
Metode ini memiliki kelemahan karena hanya berorientasi pada individu penarik
kebijakan dan kadang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Adakalanya seseorang
perlu mengorbankan kepentingannya pribadi demi kepentingan banyak orang. Kedua, jalan penyesuaian. Orang – orang yang
menggunakan metode ini berusaha sekuat tenaga agar tingkah laku dan tindak tanduknnya
tidak menyakit orang lain. Ia berusaha memberi kesan yang baik pada semua orang
akan kelakuannya. Ada ketakutan untuk tidak diterima dalam kelompok sosialnya
atau malah menjadi jalan masuk bagi penerimaan orang – orang di lingkungannya.
Pendekatan ini berpusat pada hubungan sosial. Orang – orang yang menganut
pendekatan ini menjungjung tinggi kasih dan persekutuan, pengorbanan pribadi
demi kepentingan umum. Orang – orang dengan pendekatan ini mampu melihat
pergumulan dunia secara luas dan berani bertindak tanpa terpusat pada diri pribadinya. Namun demikian, moralitas ini juga memiliki
kelemahan. Karakteristik orang ini bergantung pada pandangan mayoritas.
Karakteristik seperti ini akan menjadi baik jika ia adalah dalam lingkungan
yang baik, begitu sebaliknya. Pendekatan etika ini memang menjawab kekurangan
etika kebijakan namun terkurung dalam penilaian orang lain sehingga kehilangan
kekhasan dan kebebasannya. Ketiga, jalan
kebenaran. Dalam moralitas ini, kehendak
Tuhan merupakan dasar dari segala pilihan yang ia lakukan. Orang – orang dengan
moralitas seperti ini tidak terkurung dalam keakuan dan atau terpenjara dalam
penilaian orang lain. Mereka menganggap penilaian Tuhan lebih penting dari
apapun. Orang – orang seperti ini tidak takut dengan penderitaan dan
pengorbanan asal itu adalah kehendak Tuhan. Mereka percaya bahwa selalu ada
penilaian dari oranglain namun tetap mereka tetap berjalan jika itu sesuai
dengan kebenaran. Orang – orang dengan karakteristik ini tidak takut jika tidak
populer, mau hidup bersama – sama orang lain dalam komunitas sosial dan
terlibat aktif dalam pergumulan dunia (1985 : 4 – 12). Dalam hal ini, orang – orang dengan
karakteristik ini mampu melihat, bersikap dan bertindak secara etis dalam
segitiga hubungan mereka dengan Allah, sesama dan dunia.
Generasi Y memiliki berbagai
kemampuan dan penguasaan digital serta
pemahaman baik dalam memetakan persoalan yang ada secara intelektual namun
terkesan “liar”. Karena itu, dengan berbagai macam persoalan yang ada di dunia
dan terjadi pada generasi Y, maka pendekatan yang dilakukan bagi pembangunan
karakter inipun dilakukan dengan pendekatan media teknologi. Hal ini penulis
katakan bukan dengan maksud bahwa metode buku sudah tidak relevan bagi generasi
Y. Namun minat generasi Y sudah tidak lagi mengarah ke lembaran kertas – kertas
penuh tulisan tanpa gambar. Propaganda secara aktif seharusnya dapat dilakukan
lewat teknologi. Oleh sebab itu, seharusnyalah sudah ada ahli – ahli khusus
dalam etika yang memiliki kemampuan teknologi baik untuk mempropagandakan
pembangunan karakter ini. Atau bisa juga dilakukan kerjasama baik antara orang
tua, orang – orang dan lembaga – lembaga yang memiliki perhatian terhadap
permasalahan karakter generasi Y, ahli – ahli di bidang IT, lembaga – lembaga
pendidikan, dll yang memasukkan propaganda termasuk materi – materi tentang
pembangunan karakter melalui teknologi. Pembangunan karakter ini dapat berupa
buku – buku elektronik, karikatur – karikatur, foto – foto disertai tulisan –
tulisan yang memiliki pesan moral, film – film pendek atau panjang yang
berbasis pada pembangunan karakter, dll.
Kelompok yang ahli dalam bidang IT dapat membuat link, blog, website untuk menampilkan materi – materi ini dalam
cara yang semenarik mungkin yang dapat menggugah imajinasi mereka lalu membagi
tautannya ke Facebook, Twitter, Skype,
Line, Youtube dan semua provider
media sosial yang biasa dikunjungi oleh generasi Y. Para pengajar etika dapat
mempergunakan fasilitas ini dalam bahan pengajaran mereka agar para anak muda
generasi Y mau menggunakan fasilitas teknologi yang mereka miliki untuk
mengakses materi yang ada. Jika mereka tertarik, mereka akan kembali lagi
berulang – ulang untuk mengunjungi situs yang sama. Berbagai pendekatan bisa
diusahakan namun pilihan terakhir berada di tangan anak muda generasi Y.
Generasi Y dapat dengan bebas menentukan pilihan mereka antara bersikap bijak,
menyesuaikan diri atau bertindak sesuai kebenaran dan kehendak Tuhan dalam diri
mereka demi masa depan dunia.
Bab
V
Kesimpulan
Hikmat
merupakan bentuk etika – intelektual yang menghasilkan kualitas hidup yang
pasti dalam Alkitab dengan karakteristiknya sendiri. Dalam pemahaman Kebijaksanaan,
Allah adalah Allah pencipta dan pengatur segala alam semesta sedemikian rupa
agar menjadi baik dan harmony. Dalam
pemikiran Israel, berhikmat tidak berarti pintar, namun seirama dengan Allah
dan selalu dimulai dalam takut akan Allah. Dengan demikian, pembangunan
karakter anak muda diarahkan kepada usaha untuk sebisa mungkin mereka mengenal
Allah, takut akan Allah, dan seirama dengan Allah. Sayangnya, Janzen menganggap tradisi hikmat ini sebagai
paradigma keluarga Israel yang tidak bisa diimitasi sepenuhnya oleh orang –
orang dimasa kini. Dengan berbagai perbedaan konteks yang ada, tekhnik
pembangunan karakter yang diperkenalkan dalam Amsal ini bisa dijadikan model paradigma
namun bukan proyek imitasi (1993 : 119 –
139).
Groenen
juga mengakui sulitnya upaya untuk menerjemahkan “hikmat” karena artinya bisa
sangat fleksibel. Namun pendapat ini bisa jadi telah menjadi jawaban bagi
kesulitan yang dimiliki oleh Janzen. Yang jelas bagi Groenen, “Hikmat –
Kebijaksanaan” Israel dalam hal ini termasuk kitab Amsal, bukanlah melulu “Ide”
melainkan juga praktik kehidupan. Hikmat merupakan hasil akumulasi ide yang
didapatkan dari pengalaman – pengalaman masa lalu, dialog dengan berbagai orang
berhikmat, yang selanjutnya menjadi pedoman bagi perilaku di masa depan. Hikmat
ini memang tidak kaku, seperti pengalaman, hikmat ini bisa saja fleksibel
kadang berubah, termodifikasi oleh pengalaman – pengalaman baru dalam kehidupan
dan akan terus menerus berkembang. Semakin banyak pengalaman hidup, semakin
seseorang belajar untuk berhikmat. “Hikmat – kebijaksanaan” bagi pribadi
manusia bisa dinilai sebagai “seni
kehidupan”. Hikmat mampu melihat gejala – gejala, fenomena – fenomena, lalu mengambil
langkah bagi setiap fenomena yang ada. Hikmat erat kaitannya dengan hukum alam,
meskipun tidak berlaku sepenuhnya, dan orang berhikmat bertindak berdasarkan
hukum tersebut agar hidup tenteram, aman, bahagia dan sukses. Jadi hikmat
kebijaksanaan pada manusia ialah pemahaman dan kelakuan yang sesuai berdasarkan
pengalaman dan pengamatan lama tentang aturan dan hukum yang ada dalam dunia
manusia. Di lain pihak, hikmat ini tetaplah bersumber dari Allah. Sehingga
ketika manusia menyesuaikan diri dengan segala peraturan yang diperoleh melalui
pengalaman di dunia, mereka secara otomatis juga menyesuaikan diri dengan
peraturan Allah. Dengan demikian, hikmat kebijaksanaan sama dengan “takut akan
Tuhan”, orang berhikmat pada saat yang sama seharusnya juga adalah orang yang
“takut akan Tuhan”. Orang yang berhikmat memakai pengalamannya di dalam dunia
agar senantiasa hidup sesuai dengan kehendak Allah. Sebaliknya, kebodohan
merupakan ketidakmampuan melihat dan menerima pengalaman dan pengamatan, dan
ketidaksediaan dalam menyesuaikan kelakukan dengan pemahaman. Orang yang bodoh
adalah orang yang tidak melihat dan memahami kehendak dan rencana Tuhan, serta
tidak taat kepada Tuhan (1992 : 188 – 191). Karena itu, kesulitan dalam
penerapan sistem pembangunan karakter Amsal sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi. Jurang konteks waktu, budaya, sistem masyarakat, pergumulan – pergumulan,
membuat pendidikan ini tidak bisa diterapkan menyeluruh. Lagipula praanggapan
bahwa sistem ini hanya berlaku dan hanya dapat diberlakukan dalam masyarakat
Israel kuno membuat kesulitan dalam penerapan ini semakin besar. Ketatnya
pendidikan yang diberlakukan dalam lingkungan Israel menjadi salah satu alasan
metode ini tidak relevan untuk diberlakukan dalam dunia post – modern ini dan
membuat metode ini hanya dapat bertahan sebagai model atau paradigma pendidikan
dalam keluarga Israel.
Di lain pihak, anak muda generasi Y
tetap adalah orang – orang “cerdas” yang perlu dipersiapkan untuk masuk dalam
pertarungan dunia dalam cara yang “pantas”. Karakteristik dunia post – modern
masa kini sedang mengarah kepada satu dunia yang menurut penulis adalah “dunia
tanpa karakter” atau yang biasa disebut orang dengan sebutan relatif dengan
jargon utama post – moder yaitu relativisme. Kepada anak – anak muda generasi
inilah upaya pembangunan karakter itu diperlukan. Namun pendekatan yang
dilakukan pun sebaiknya sesuai dengan karakteristik hidup generasi Y. Tujuannya
hanya agar mereka menjadi pintar intelektual, namun juga emosional dan
spiritual dengan satu tujuan, agar mereka dapat hidup dalam cara yang “pantas” dan
mempengaruhi masyarakat lewat budi baik dan integritas mereka dalam dunia post
– modern ini.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Buku - buku
Alden,
Robert. L.
2002 Tafsiran
Praktis Kitab Amsal : Ajaran untuk Memiliki Kehidupan Teratur dan Bahagia. Malang
: SAAT.
Atkinson,
David.
1998 The Message Of Proverbs. England
: Inter-Varsity Press.
Birch, Bruce C.
1991 Let
Justice Roll Down : The Old Testament Ethics, and Christian Life. Kentucky
: Westminster.
Blommendal , J.
2012 Pengantar
Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Brown,
William P.
1996 Character
In Crisis : A Fresh Approach to the
Wisdom Literature of the Old Testament. Cambridge : William B.
Eerdmans Publishing Company.
Brown,
William P.
2014 Wisdom’s
Wonder : Character, Creation, and Crisis In The Bible’s Wisdom Literature. Cambridge
: William B. Eerdmans Publishing Company.
Brownlee, Malcolm.
1985 Hai
Pemuda, Pilihlah!: Menghadapi Masalah – masalah Etika Pemuda. Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
Dell, Katharine.
2010 Ethical
and Unethical In The Old Testament: God and Humans In Dialogue. New
York : T&t Clark.
Estes,
Daniel J.
2010 What Makes The Strange Women Of Proverbs 1-9
Strange? Dalam Ethical and Unethical In The Old Testament: God and
Humans In Dialogue. T&t
Clark: New York.
Graham,
Billy.
1985 Jawab Saya. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Groenen,
C.
1992 Pengantar Ke Dalam
Perjanjian Lama. Yogyakarta : Kanisius.
Harun, Martin.
2010 Marilah,
Makanlah Hidanganku : Hikmah Israel dalam Amsal, Ayub, & Pengkhotbah. Jakarta
: Lembaga Alkitab Indonesia.
Janzen,
Waldemar.
1993 The
Old Testament Ethics : A Paradigmatic Approach. Kentucky : Westminster.
Lasor, W.S. et.al.
2013 Pengantar Perjanjian Lama
2 : Sastra dan Nubuat. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Lickona,
Thomas.
2013 Character Matters.
Jakarta : Bumi Aksara.
Loke,
Anthony Y.F.
2007 Memahami Kitab Amsal.
Sabah : Seminari Teologi Sabah.
Ludji,
Barnabas.
2009 Pemahaman Dasar Teologi Perjanjian
Lama 2. Bandung : Bina Media Informasi.
Nain, Ngainun.
2012 Character
Building : Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu dan
Pembentukan Karakter Bangsa. Sleman : Ar – Ruz Media
Rylaarsdam, J. Coert.
1964 The
Layman’s Bible Commentary Vol 10: The Proverbs, Ecclesiastes, The Song Of
Solomon. Virginia : John Knox Press.
Simanungkalit, Risnawaty.
2010 Hikmat
Dalam Amsal dalam Perkembangan Tradisi Hikmat Dalam Alkitab. Klender : Simposium Nasional V ISBI.
Soebagjo, Meno.
1994 Hormat
Kepada Tuhan dalam Sistem Pendidikan Kebijaksanaan Israel Kuno.
Semarang : Satya Wacana.
Thompson, John Mark.
1974 The
Form and Function of Proverbs In Ancient Israel. The Hague : N.V.
Publisher.
Wahono, Wismohady A.
2013 Di
Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
Artikel
-
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.59 Kenali Generasi X,Y,Z dalam
http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html.
For Muda.
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pukul 18.04 Generarsi X,Y,Z. http://prezi.com/cketsymg6ts/generasix-y-z
Siagian, Yohana.
Didownload pada
Selasa, 10 November 2015 pukul 17.50 Cirikhas Gen Y.
Jalal, Octa Melia.
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pada pukul
17.55 Mengenal Siapa Itu Generasi Y. https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/
[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM
140101
[2]
http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html
di download pada Selasa, 10 November
2015 pukul 17.59
[3]
http://prezi.com/cketsymg6ts/generasix-y-z
di download pada Selasa, 10 November
2015 pukul 18.04
[4]
http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ciri.khas.gen.y/005/001/321,
di download pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.50
[5]
https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/
di download pada Selasa, 10 November 2015 pada pukul 17.55
[6] Yang disurvey pada tahun
1966 dan 1978
[7] Yang disurvey pada tahun
1966 dan 1978
[8]https://manajemenppm.wordpress.com/2013/07/08/mengenal-siapa-itu-generasi-y/.
Didownload pada Selasa, 10 November 2015 pukul 17.55
[9] http://ampa21genx.blogspot.co.id/2011/05/kenali-generasi-x-y-z.html di download pada Selasa,
10 November 2015 pukul 17.59
[10]
http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ciri.khas.gen.y/005/001/321,
Selasa, 10 November pukul 2015, 17.50
[11]Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Ibid,.
[14] Simanungkalit mengutip
Harvis dengan menyatakan bahwa hanya Amsal 1 : 1 – 7 atau 1 – 2 yang merupakan bagian pendahuluan dari
kitab Amsal (2010 : 15).
[15] Pernyataan yang cukup aneh
dari Simanungkalit. Nama Salomo digunakan sebagai indikator otoritas Ilahi
dalam karangan Amsal. Jika pendapat yang muncul untuk penggunaan nama ini
karena popularitas dan otoritas Salomo sebagai orang paling berhikmat pada
masanya sehingga memungkinkan karangan ini dapat diterima luas, mungkin akan
lebih diterima. Digunakan atau tidaknya nama Salomo dalam kitab Amsal tidak
serta merta mengindikasikan bahwa tulisan itu adalah firman Allah.
[16] Ditambah dengan dan 1 : 20
– 33; 8 : 1 – 36; akan dimasukkan dalam
kolom khusus tentang Hikmat dan personifikasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar