LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN DALAM PERJANJIAN LAMA
DEFINISI
Laki-laki
dalam bahasa Ibraninya adalah zakar[1]. Secara
etimologis, kata ini berarti laki-laki atau jantan. Dari akar katanya, kata ini
berarti mengingat, memanggil ulang, memikirkan ulang, merekam, dll.
Perempuan
sendiri dalam bahasa aslinya adalah neqebah[2]. Secara
etimologis, kata ini berarti perempuan atau betina. Jika dilihat dari akar
katanya naqab, kata ini secara
etimologis berarti menembus, menyerbu, menusuk, melubangi, menunjuk.
Sebelum Hawa diciptakan,
manusia itu disebut adam dan ciptaan
lain yang sama dengan dia yang sama-sama berasal dari debu tanah disebut adama. Sampai pada saat diciptakannya
Hawa, manusia masih disebut Ha’adam.
Namun setelah kehadiran Hawa, manusia itu memiliki perubahan kata yaitu is sementara perempuan itu issa (kata ini merupakan kata benda
generik). Pemakaian kata ini muncul
karena kedua kata sebelumnya yaitu zakar dan neqevah tidak mampu memperlihatkan
perbedaan di antara kedua jender. Pasangan kata yang baru menyatakan
kesepadanan antara kedua makhluk itu. Kedua kata ini secara linguistik
sebenarnya tidak berhubungan namun keduanya membentuk permainan kata yang
menarik. Kata ini menunjukkan kesatuan,
kesalingan, kesamaan dan solidaritas. Jadi setiap kali Adam memanggail istrinya
(Issa), ia memanggil dirinya sendiri. Kata ini menunjukkan adanya kesetaraan di
antara mereka berdua. Issa baru dinamai Hawa ketika mereka sudah jatuh ke dalam
dosa[3].
PENCIPTAAN LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN
Laki-Laki
Kata Laki-laki = zaakar[4]
(jenis kelamin laki-laki). Adam adalah seorang laki-laki yang pertama kali
diciptakan oleh Allah (Kej. 2:19-20).
Arti dari Adam adalah tanah. Menurut ayat Kej 1:7, Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya
sehingga ia menjadi makhluk yang hidup. Dan kepada manusia ini, Allah memberi
tugas-tugas tertentu[5].
Adamlah yang memberi nama kepada setiap hewan atau binatang yang diciptakan
oleh Allah. Alkitab mencatat bagaimana peranan seorang laki-laki.
Pada zaman Alkitab, anak
laki-laki harus menyokong orang tua mereka bila mereka menjadi tua dan kemudian
memberikan pemakaman yang semestinya. Anak laki-laki yang sulung mempunyai
tempat kehormatan yang amat istimewa di dalam keluarga. Ia diharapkan menjadi
kepala keluarga berikutnya. Sepanjang hidupnya, ia diharapkan akan mengambil
tanggung jawab lebih besar atas perbuatannya sendiri dan perbuatan
adik-adiknya. Oleh karena hal inilah Ruben, sebagai kakak yang tertua
memperlihatkan keprihatinan lebih besar terhadap nyawa Yusuf, ketika saudara-saudaranya
sepakat untuk membunuh dia (Kej. 37:21, 29). Ketika sang ayah meninggal dunia,
anak laki-laki yang sulung menerima dua bagian dari warisan keluarga (Ul.
21:17; 2 Taw. 21:2-3).[6]
Perempuan
Perempuan pertama kali adalah Hawa = Chawah =
pemberi hidup (Kej. 3:20). Kata untuk perempuan adalah bana, yang berarti
membangun. Kata ini dalam PL dipakai untuk menjelaskan pembangunan yang
biasanya dilakukan arsitek seperti pembangun menara, gedung, pembangunan
sesuatu yang keras. Dengan begitu, perempuan diasosiakan bukan sebagai makhluk
yang lemah. Dalam hal fisik maupun mental, perempuan memiliki beberapa
keunggulan. Allah
melihat bahwa manusia itu seorang diri saja sehingga Ia menyediakan seorang
penolong yang sepadan bagi dia. Ketika manusia itu tidur nyenyak, Ia mengambil
salah satu rusuknya dan dengan rusuk itu, dibangun-Nyalah perempuan. Dengan
begitu, terlihatlah kesatuan di antara mereka[7].
Perempuan dan laki-laki dijadikan ‘dalam gambar Allah’ (Kej. 1:27), dan
perempuan adalah ‘penolong yang sepadan’ bagi laki-laki (Kej. 2:20)[8]. Kehadiran perempuan dalam hubungannya dengan
laki-laki pada awal penciptaan disebutkan sebagai ‘ézér kenégdo (Kej. 2:18,20
“penolong yang sepadan”)[9].
Laki-laki itu membutuhkan perempuan untuk suatu tugas yang tidak bisa
dilakukannya seorang diri yaitu beranak cucu dan bertambah banyak.
Dyrness membagi penciptaan laki-laki dan perempuan
ini dalam tiga bagian:
1. Hubungan khusus
dengan ciptaan
Laki-laki dan perempuan
merupak mahkota ciptaan, mereka diciptakan untuk memerintah. Penciptaan mereka
didahului dengan keputusan tegas dan tindakan nyata dari pihak Allah. Manusia
pertama dibuat dari sesuatu yang tidak bernyawa yaitu debu tanah. Manusia
memiliki solidaritas dengan alam, namun ketika kutukan dosa menimpa, tanah jadi
terkena kutukan. Meskipun manusia solider dengan tatanan alam, mereka melebihi
tatanan itu. Hubungan fundamental dengan Allah menyebabkan mereka memiliki
kebebasan fundamental terhadap ciptaan, termasuk binatang. Namun diantara semua
ciptaan tidak ada yang pantas berperan sebagai penolong Adam, karena ia unggul
dari semua ciptaan yang ada. Hal ini terlihat dari pemberian nama oleh Adam
bagi binatang-binatang yang ada. Kekuasaannya
menunjukkan bahwa ada jurang pemisah antara ia dengan ciptaan lainnya. Ia masih
membutuhkan seorang penolong.
2. Hubungan khusus
antara orang-orang
Manusia diciptakan untuk
saling mengasihi, berhubungan satu sama lain, dan saling melengkapi. Kej 1:27
menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Mereka akan merasa
tidak lengkap tanpa yang lain, keduanya sederajat di hadapan Allah. Allah juga
memberikan berkat tambahan kepada manusia, yaitu kesuburan (Kej 1:28). Untuk
itu diperkenalkan perkawinan (Kej 2:22-25) sebagai lembaga yang utama dan
bersifat monogami. Sehingga melalui wadah ini mereka bisa beranak cucu dan
bertambah banyak. Namun hubungan yang terjalin antara manusia lebih dari
sekedar ikatan perkawinan. Mereka juga bertanggungjawab dalam kehidupan
kelompok, bermasyarakat dan berbangsa.
3. Hubungan khusus
dengan Allah
Puncak dari tujuan penciptaan
manusia adalah agar manusia mengasihi Allah. Manusia diciptakan untuk
memuliakan Allah dan untuk mendapatkan tujuan tertinggi dalam puji-pujian
tersebut. Hidup manusia dalam arti yang unik adalah anugerah ilahi, dimaksudkan
untuk mencerminkan sifat Allah sendiri. Manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah. Gambar menunjukkan keserupaan bentuk, rupa menunjukkan kesamaan.
Jadi kekuasaan yang dimiliki manusia juga mencerminkan kekuasaan Allah. Manusia
tidak boleh bermalas-malasan, namun mereka harus berusaha menyenangi
pekerjaannya serta mengenal dan mengasihi Allah dalam segala perbuatan mereka[10].
HUBUNGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
1. Kesamaan
Berasarkan Kej 1: 26-28, kita
dapat mengetahui bahwa manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya dan Ia
menciptakan mereka laki-laki dan perempuan seraya menugaskan kepada mereka
untuk berkembang biak dan memberikan kepada mereka kekuasaan atas bumi dan
segala binatang yang ada di dalamnya. Apa sajapun yang esensial manusiawi dalam
pria dan wanita merupakan gambar ilahi yang sama yang diletakkan Allah. Memiliki
panggilan yang sama untuk menguasai bumi dan mengelola kekayaan yang ada di
dalamnya untuk kepentingan bersama. Dalam PL, suami atau bapak dianggap sebagai
Baal namun tidak berarti kaum wanita lantas dipandang rendah dan diperlakukan
tidak baik. Mereka tetap merupakan bagian integral dari umat perjanjian.
Terdapat juga kesepadanan seks di antara mereka.
2. Sifatnya yang
komplemeter
Meskipun mereka sederajat,
mereka tidaklah serupa. Kesederajatan dan keserupaan merupakan hal yang
berbeda. Kedua manusia itu berbeda dan mereka saling mengisimelalui kualitas
tersendiri dari seksualitas masing-masing baik secara psikologis maupun
fisiologis. Kej 2 menjelaskan bahwa ‘sepadan’ tidak berarti serupa, melainkan
saling mengisi (komplementer).
Kesepadanan menunjukkan bahwa
tidak ada inferioritas diantara laki-laki dan perempuan. Komplementer
menunjukkan bahwa mereka tidak serupa. Sepadan menunjukkan bahwa mereka harus
saling menghormati, mengasihi, melayani, dan bukan saling membenci.
Komplementer menunjukkan bahwa mereka harus saling melengkapi[11].
PERANAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Laki-laki dan perempuan tidak
bisa hidup sendiri-sendiri. Karena melalui merekalah adanya keturunan. Tanpa
perempuan dan laki-laki, tentunya tidak mungkin adanya generasi atau keturunan.
Oleh karena itu, dalam hal ini Allah memberikan tanggung jawab yang besar
kepada manusia untuk menjalankan hidup sebagaimana mestinya sebagai manusia
milik Allah.
Bagi orang Ibrani, seperti
yang terungkap dalam hukum mereka, mereka sangat menekankan bahwa seorang ibu
harus dihormati (Kel. 20:12), disegani (Im. 19:3), dan ditaati (Ul. 21:18).
Dalam rumah tangga, peranan seorang perempuan atau ibu sangat penting karena
memberi nama kepada anak, dan bertanggung jawab dalam mendidik anak pada usia
dini mereka. Dalam Kitab Keluaran pasal duapuluh dikatakan, perempuan
dibebaskan dari pekerjaan pada hari sabat. Dan apabila perempuan dijual sebagai
budak, maka dibebaskan sama seperti laki-laki pada tahun ketujuh.[12]
Jika seorang laki-laki
meninggal dalam keadaan telah mempunyai istri, maka istrinya yang telah janda
itu diberikan pada saudara terdekat dari orang yang meninggal itu (Ul.
25:5-10). Dalam hal ini berarti bahwa, seorang perempuan yang telah janda itu
menjadi tangung jawab dari keluarga suami yang telah meninggal itu. Seorang
laki-laki yang telah dewasa, akan mencari seorang wanita yang sepadan dengan
dia dan membuatnya sebagai istri. Setelah demikian, maka mereka menjadi
keluarga. Dalam arti yang paling mendasar, suatu keluarga Ibrani terdiri atas
seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka. Bila sang suami memiliki
lebih dari seorang istri, “keluarga” itu mencakup semua istri dan anak-anak
dalam berbagai hubungan mereka (Kej. 30). Biasanya, keluarga mencakup setiap
orang yang tinggal dalam tempat kediaman yang sama di bawah perlindungan kepala
keluarga itu.
Dari uraian diatas, yang
menjadi dasar teologisnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah
sebuah anugerah yang Allah berikan. Allah menginginkan agar suatu kehidupan
keluarga itu tahu akan hak dan kewajibannya sebagai manusia yang memiliki
kodrat berbeda. Mereka hidup dimasa hukum taurat.
Dalam Perjanjian Lama tidak
ada hukum Tuhan yang mengatakan bahwa laki-laki lebih berkuasa mutlak atas
perempuan. Karena jika ada kemutlakkan, berarti akan ada penindasan terhadap
kaum perempuan. Mereka diberi kebebasan untuk hidup saling menghargai dan
tolong menolong. Namun, yang terjadi adalah manusianya sendiri yang membuat
aturan bahwa ia lebih bisa mengatur dirinya, bahkan perempuan yang lemah
dijadikan sebagai alasan dalam beretika hidup. Perempuan diperlakukan sebagai
barang dagang, diperjual belikan sebagai budak menurut aturan mereka ketika
itu. Laki-laki kadang mempunyai istri lebih satu, tetapi kurang dipersoalkan.
Sedangkan jika perempuan yang mempunyai
lebih dari satu suami dianggap berzinah dan itu harus diproses secara hukum
yang berlaku.
MAKNA TEOLOGIS
Di mata Allah tidak ada perbedaan nilai antara
laki-laki dan perempuan.
Meaning: n m 1) male (of
humans and animals) adj 2) male (of humans)
Origin: from 02142; TWOT -
551e
Usage: AV - male 67, man
7, child 4, mankind 2, him 1; 81
2142 rk;z" zakar {zaw-kar'}
Meaning: 1) to remember,
recall, call to mind 1a) (Qal) to remember, recall 1b) (Niphal) to be brought
to remembrance, be remembered, be thought of, be brought to mind 1c) (Hiphil)
1c1) to cause to remember, remind 1c2) to cause to be remembered, keep in
remembrance 1c3) to mention 1c4) to record 1c5) to make a memorial, make remembrance
Origin: a primitive root;
TWOT - 551; v
Usage: AV - remember 172,
mention 21, remembrance 10, recorder 9, mindful 6, think 3, bring to
remembrance 2, record 2, misc 8; 233
Meaning: 1) female 1a)
woman, female child 1b) female animal
Origin: from 05344; TWOT -
1409b; n f
Usage: AV - female 18,
woman 3, maid 1; 22
5344 bq;n" naqab {naw-kab'}
Meaning: 1) to pierce,
perforate, bore, appoint 1a) (Qal) 1a1) to pierce, bore 1a2) to prick off,
designate 1b) (Niphal) to be pricked off, be designated, be specified 2) (Qal)
to curse, blaspheme
Origin: a primitive root;
TWOT - 1409; v
Usage: AV - curse 6,
expressed 6, blaspheme 3, bore 2, name 2, pierce 2, Appoint 1, holes 1, pierce
through 1, strike through 1; 25
[3] Yonki
Karman, Bunga Rampai Teologi PL, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 57-58
[6] J.I. Packer (et al), Ensiklopedi
Fakta Alkitab Bible Almanac ~1, (Malang: Gandum Mas, 2003) p. 851
[7] F.L. Baker, Sejarah Kerajaan
Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 21-22
[8]
Vorlander et al, H. ENSIKLOPEDI ALKITAB
MASA KINI M-Z, hlm. 240
[10]
William Dyrnes, Tema-tema dalam Teologi
Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2009), 63-68
[12] Ibid..,
trima kasih kakak atas pengetahuan yang sudah dibagikan
BalasHapus