Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel
Abstract
Israel is a holy
congregation which as chosen by God. They are a covenant nation of God and must
follow all of the rules so they become survive to be the nation of God. All of
the rules are identified with Torah. Torah has a lot meaning on Israel thought.
In this part of Israel thought, Torah is a confession collection of Israel
faith.
Bab I
Pendahuluan
Hukum merupakan salah satu indikator penting keberadaan
sebuah sistem, organisasi atau lembaga resmi. Walaupun lembaga itu tidak resmi,
tetap terdapat ketetapan – ketetapan di dalamnya apalagi jika berhubungan dengan kenegaraan. Bahkan
jika seseorang mendeklarasikan bahwa ia adalah pribadi yang bebas tanpa ikatan
hukum, akhirnya kebebasan itu sendirilah yang menjadi hukumnya. Israel
merupakan negara yang unik dalam sejarah dunia karena sistem pemerintahannya.
Keunikan ini juga berpengaruh terhadap bentuk konstitusi negara Israel.
Latar Belakang Penulisan
Israel
merupakan satu negara yang berdaulat. Kriteria negara yang berdaulat adalah
memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan dan pengakuan dari negara lain. Negara
itu harus memiliki kelengkapan seperti dasar negara, hukum, peraturan –
peraturan serta ketetapan yang mencirikannya sebagai satu negara yang merdeka. Di
lain pihak, Israel juga adalah bangsa yang unik. Dalam hal ini, dasar
keberadaan bangsa Yahudi sebagai suatu bangsa terletak pada hubungan perjanjian
mereka dengan Allah. Allah adalah
pemimpin tertinggi, sistem pemerintahannya Teokrasi, dan hukum dasarnya adalah
Torah. Kesatuan Torah diyakini berasal dari Sinai. Torah diberikan di Sinai
dengan Musa sebagai perantaranya. Israel terus berpegang teguh pada Torah
ini sebagai hukum dasar, bukti hubungan
mereka dengan Allah dan penyataan iman mereka. Mereka sangat ketat dalam
pengupayaan aplikasi Torah, mulai dari hal terkecil dalam kehidupan sehari –
hari sampai kepada aspek ekonomi, sosial, agama, politik pemerintahan, dll. Namun
sepanjang perjalanan sejarah, Torah ini sepertinya mengalami perubahan –
perubahan.
Bab II
Isi
Bab ini akan membahas
tentang deskripsi singkat tentang Torah, dilanjutkan dengan pembahasan tentang
perkembangan Torah dari masa pendudukan, pra pembuangan sampai kepada masa
pembuangan. Setelah itu, penulis akan melanjutkan pembahasan tentang faktor –
faktor pembeda masing – masing kitab Torah dan faktor – faktor penyatunya
sehingga berdasarkan hal ini, akan ditarik kesimpulan tentang alasan bagaimana
dan mengapa Torah dianggap sebagai bentuk penyataan iman umat Israel.
Pengantar Kepada Torah
Definisi Torah
Sebagian ahli
menyebut Torah sebagai Taurat atau Hukum Taurat. Ada juga yang
mengidentifikasikan Torah sebagai Pentateukh. Apapun namanya, maksud atau
tujuan dari sebutan itu adalah Torah. Kata Torah[2]
secara etimologis berarti “hukum, perintah, petunjuk, pengajaran”. Namun maksud
penggunaan kata torah yang dituju
adalah mengajar atau melatih. Torah berasal dari kata yarah[3]
yang secara etimologis berarti “melemparkan atau menembak, mengajar atau
melatih”.
Menurut Crusemann, Torah dalam bahasa sehari – hari
berarti petunjuk yang diberikan ibu dan ayah kepada anak – anak mereka agar
kehidupan secara moral terhindar dari situasi yang berbahaya. Konsep Torah merupakan
istilah tekhnis petunjuk keimaman kepada orang awam tapi juga dipakai dalam
pengajaran hikmat/ kenabian bagi murid – murid. Torah merupakan konsep yang
paling luas tentang kehendak Allah. Dalam Torah terdapat narasi – narasi, hukum
– hukum, landasan hukum, dan proklamasi atau nubuatan Firman Tuhan tentang
Eskatologi, berita tentang hukuman dan kabar
baik, perintah dan janji, kata – kata dan kehendak ilahi. Dari Torah inilah
kehendak Allah atas seluruh ciptaan disampaikan. Torah lahir pada saat yang
sama ketika dunia diciptakan, yaitu ketika sejarah dunia dimulai namun memang
baru ditransmisikan pada peristiwa Sinai. Torah dimulai dari Allah. Allah
sendiri yang telah menulis perintah pertama di Sinai dan kemudian ditulis ulang
oleh Musa secara keseluruhan sebelum mereka memasuki sebelah barat Yordan.
Yosua juga menulisnya di batu gunung Ebal. Torah merupakan formula dasar
permulaan sejarah Israel dan peraturan yang bersifat relatif maupun absolut
bagi individu.
Barth membagi Torah dalam empat pengertian; pertama, Torah merupakan petunjuk nyata
dalam situasi tertentu yang bisa saja disampaikan oleh para imam atau nabi,
orang – orang bijaksana atau tua – tua melalui penyataan Tuhan. Dengan kata
lain, Torah dalam pengertian ini berarti pengajaran. Kedua, kumpulan bahan ajar atau petunjuk para imam. Ketiga, kumpulan tulisan yang berisi
perintah dan larangan Tuhan. Keempat, seluruh
kitab suci Israel disebut juga dengan Torah. Torah bagi Barth bukanlah kitab
undang - undang yang beku, melainkan
suatu petunjuk hidup yang dinamis dan perlu direnungkan dan ditafsirkan ulang
dalam setiap situasi baru. Inti perintah tetap dipelihara namun bentuknya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlainan (2013 : 305 – 306).
Jadi Torah adalah petunjuk, bahan ajar, perintah,
hukum pemberian Tuhan yang ditafsirkan orang dari masa ke masa sesuai dengan
situasi yang menyertainya. Esensi Torah tidak pernah berubah atau diubah, hanya
ditafsirkan agar tepat mengena dengan setiap manusia dari berbagai konteks
untuk dilakukan.
Tujuan Pemberian Torah
Hubungan yang
terjadi antara Allah dan Israel ini
bersifat alami lalu kemudian berkembang setelah ditambah dengan unsur etik yang
disebut dengan perjanjian. Menurut Dyrness, Perjanjian ini bukan atau tidak
sama dengan kontrak pada umumnya antara dua pihak saja, namun berlaku berlaku
secara universal (1990 : 98). Sunat digunakan
sebagai tanda perjanjian ini dalam PL. Berpegang pada perjanjian merupakan
syarat agar tetap bertahan dalam hubungan ini. Israel sendiri memandang
perjanjian itu sebagai dasar kehidupan beragama dan sosial.
Allah pencipta dunia menjadi raja/penguasa dunia memilih
satu bangsa untuk menjadi umat pilihan-Nya. Karena itu, nilai – nilai moral dan
rohani berada di atas pertimbangan politik dan ekonomi. Motivasi pemilihan
Allah adalah kasih dan perjanjian-Nya kepada leluhur. Allah tidak hanya
berperan sebagai Raja dalam pemerintahan
Teokrasinya, Ia juga adalah Bapa bagi Israel. Jadi hubungan yang
terbentuk ini tidak hanya kingship melainkan
juga fathership.
Dalam setiap perjanjian ada ketentuan; berpegang pada perjanjian
berarti memberi tanggapan berupa ketaatan berdasarkan janji itu. Dengan Allah,
hal ini muncul dalam ketaatan total kepada-Nya yaitu hidup kudus. Ketentuan ini
merupakan syarat yang diberikan agar Israel dapat terus menerus menikmati
berkat Allah. Perjanjian diadakan dan diberlakukan atas dasar ketetapan Allah.
ketetapan ini yang kemudian diulang – ulang dalam kerajaan Utara.
Torah sendiri merupakan ungkapan perjanjian namun tidak
sepenting perjanjian. Torah mengungkapkan karakteristik kehidupan dalam
perjanjian. Pemberian Tuhan sama dengan pemberian sebagian dari diri Allah
kepada umat dalam perjanjian dan merupakan bentuk dari penyataan kasih Allah.
Torah merupakan petunjuk perilaku yang sesuai dengan status mereka sebagai umat
Tuhan, umat Perjanjian. Dengan demikian, Israel tidak pernah mematuhi ketetapan
yang ada agar mereka menjadi umat Allah, namun karena mereka adalah umat Allah.
Untuk sebuah
hubungan seperti ini, diperlukan hukum sebagai penguat, penegas dan pengesah
perjanjian. Inilah fungsi utama Torah. Dengan kata lain, Torah menjadi landasan
hukum hubungan perjanjian Allah dengan Israel sebagai bangsa. Landasan hukum
dalam perjanjian mutlak penting sebagai tanda legalitas sebuah perjanjian.
Torah menjadi landasan bahwa hubungan Allah dan umat Israel sah secara hukum.
Karena itu, tujuan pemberian Torah adalah memberi informasi, nasihat,
instruksi, pembangunan norma, pembangkit kesadaran, perintah untuk tetap
menjaga agar masyarakat tetap hidup sejahtera dan beruntung
serta menegaskan hubungan yang terjadi antara Allah dan manusia. .
Perkembangan
Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel
Sebenarnya tidak ada kesepakatan dari pada ahli tentang
makna Hukum Taurat bagi orang Yahudi. Ada yang menyatakan Torah sebagai
landasan hukum perjanjian Allah dengan umat dan sangat penting bagi hubungan
Israel dengan Allah. Ada yang berpendapat bahwa perjanjian yang lebih utama
baru kemudian hukum diberikan sebagai tafsiran tentang hal – hal yang harus
dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap Allah.
Hubungan yang terjalin antara Allah sebagai pemimpin
tertinggi dengan Israel sebagai umat adalah hubungan perjanjian. Perjanjian
menurut Wellhausen adalah perjanjian yang terjadi secara alami bukan kontrak
sehingga tidak ada hal yang dapat dilakukan manusia untuk dapat memperoleh
hukum tersebut. Selain itu, perjanjian ini memperkuat ikatan yang terjalin antara
mereka. Bentuk perjanjian ini cukup penting, diawali dengan pengakuan terhadap
Allah dan mengingatkan kepada ikatan pemilihan yang terjalin di antara mereka.
Bahwa Allah adalah Allah yang memproklamasikan diri-Nya sebagai Allah yang
telah membebaskan Israel dari Mesir. Lalu melanjutkan hukum perjanjian-Nya itu lebih eksplisit
sebagai bentuk ikatan terhadap perjanjian itu.
Pemberian Torah Di Sinai
Dalam kisah tentang pembebasan terdapat selipan kisah ”Pemberian
Hukum Di Gunung Sinai”. Tradisi Sinai menceritakan tentang Teofani Allah terhadap hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Perikop
Sinai dan pemberian Dekalog ini sepertinya telah direkonstruksi dan disisipkan
secara sengaja oleh sumber P. Bisa jadi sebenarnya bahan aslinya lebih singkat,
namun untuk kepentingan penjelasan atau yang lain telah diberi beberapa kalimat
penjelas. Teks lain yang lebih awal juga membahas tentang tradisi Sinai
meskipun terbatas. Dalam sumber D sendiri terdapat berbagai tingkatan variasi
dan redaksinya bisa dibagi dalam beberapa penafsiran. Allah memberikan Dekalog
kepada Musa secara tertulis dalam dua loh batu. Namun dalam peristiwa pemberian
dua loh batu ini terselip juga peristiwa tentang “lembu emas”. Pemberontakan,
keluhan, tetap merupakan warna tersendiri yang ada dalam perjalanan bangsa
Israel karena kemiskinan, penderitaan dan perasaan penuh ketidakpastian yang
mereka alami selama dalam perjalanan. Walaupun mereka telah berulangkali
melihat peristiwa penyelamatan Allah yang ajaib, ada masa di mana mereka
mengeluh. Kisah tentang “keluhan” bangsa Israel ini telah dikombinasikan dengan
legenda lokal dan tradisi individu untuk kepentingan informasi dan atau
penyataan teologis. Peristiwa pemberontakan, keluhan, tangisan, tetap tidak
menghalangi kasih Allah ataupun membatalkan perjanjian Allah terhadap mereka.
Namun demikian, sejalan dengan tradisi ini, muncul juga diskusi tentang
hukuman, kemarahan Allah, campur tangan Musa. Sumber menggambarkan bahwa
setelah peristiwa Sinai, jika mereka melanggar, mereka bersalah karena memberontak
terhadap pemimpin sama artinya dengan menolak Allah. Tempat di mana kasih Allah
pertamakali dinyatakan, di tempat itu pula hukuman pertama diberikan. Dalam hal
ini, peristiwa pemberontakan dan hukuman dimengerti dalam paradigma sejarah
manusia dan pemeliharaan Allah.
Berdasarkan sejarah tradisi, Torah memang diberikan
kepada Musa sebagai mediator di Sinai. Pemilihan Sinai dan Musa sendiri terjadi
semata – mata karena kehendak bebas Allah. Para pemikir kuno menganggap bahwa Sinai
merupakan tempat kediaman Allah karena itu perintah Allahpun disampaikan di
sana. Menurut Hinson, memang sangat sulit menguraikan kejadian – kejadian
sebenarnya yang terjadi di Sinai (2012 : 72). Crusemann bahkan mengatakan bahwa
Sinai merupakan bagian yang penuh misteri dalam peristiwa pemberian Torah
sehingga ia menganggap Sinai hanya utopia. Hal ini terjadi karena ada berbagai
macam pendapat yang membahas tentang keberadaan Sinai namun tidak ada ada
satupun yang dapat memastikan keberadaannya, hanya mereka – reka. Bagi Wahono,
di tempat inilah hubungan perjanjian dengan Allah diteguhkan (2012 : 110).
Melalui upacara korban dan pemercikan darah, Allah dan manusia terikat dalam
satu kehidupan. Allah berprakarsa untuk datang kepada manusia melalui gambaran
gunung yang dahsyat. Sejarah perjalanan Israel mulai dari Keluaran sampai ke
Sinai memang merupakan hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun bagaimana
momentum Sinai ini terjadi saat perjalanan padang gurun dilakukan memang perlu
dikaji ulang, ada banyak tafsiran, namun semua hasil masih simpang siur. Yang
jelas, bagi Israel Torah bukan sebatas peraturan melainkan bukti keistimewaan/
keunikan mereka baik dalam sejarah bangsa maupun keagamaan. Kehendak Allah dan
kebenaran-Nya dinyatakan dalam semua institusi kehidupan berbangsa dan selalu
berkaitan dengan Allah.
Barth yang memberi ruang sedikit lebih banyak tentang
peristiwa Sinai ini sendiri menyatakan kesulitannya[4]. Peristiwa
ini sangat penting dalam sejarah kehidupan bangsa Israrel karena merupakan
moment pengesahan Israel sebagai suatu bangsa. Namun sayangnya, para penulis
Alkitab sendiri sepertinya tidak menaruh perhatian lebih pada pembahasan mereka
tentang Sinai ini. Dokumen perjalanan Sinai menurut Barth bisa jadi merupakan
peristiwa yang sengaja disisipkan dalam rangkaian perjalanan padang gurun. Yang
jelas adalah bahwa menurut Barth, dalam tradisi Gunung Sinai, ada tiga hal
utama yang dapat dijadikan dasar penting dalam sejarah Israel. Pertama – tama adalah bahwa di gunung
ini Allah mengikat perjanjian-Nya dengan Israel. Kedua, di Sinai juga Allah memberikan undang – undangnya dengan
perantaraan Musa. Ketiga, Allah
membina umat-Nya, yakni dengan memberikan “Kesepuluh Firman” untuk menguduskan,
membebaskan dan mempersatukannya. Di tempat inilah pertamakalinya Allah
mengadakan pertemuan dengan umat-Nya. Tempat ini merupakan saksi mata peristiwa
pemberian Torah oleh Allah. Sinai merupakan saksi lahirnya legalitas Israel
sebagai bangsa (2013 : 270 – 278).
Sebelum dokumen Sinai, sebenarnya sudah ada dokumen
lain di Israel pada waktu itu. Allah sendiri yang menemui Musa dan menyatakan
kehendak dan rencana-Nya. Perlu pendekatan waktu untuk menentukan bagian teks
mana yang lebih tua dari tradisi Sinai sekaligus menemukan konteks masa itu. Bukan
hanya pendekatan konteks waktu peristiwa, konteks waktu penulisan pun memberi
pengaruh besar dalam penyuntingan dokumen Sinai. Jika diuji secara serius
perjalanan Torah di gunung Sinai, akan ditemukan bahwa secara keseluruhan teks
menekankan pada legislasi ilahi, tapi tidak ada kaitannya sama sekali dengan
Sinai atau Horeb. Situasi, lokasi, masa dan waktu berbeda – beda, dengan
demikian, Dokumen Sinai bukanlah dokumen abadi yang dipantekkan kepada seluruh
Israel dari masa ke masa. Hukum dapat bersifat sangat luas, tidak khusus, tidak
kaku, universal. Tulisan jadi hukum Sinai memang merupakan sumbangan penting
sumber D. Sementara sumber D sendiri baru muncul pada masa sebelum
pembuangan. Kebanyakan peneliti
berpikir bahwa ada niatan tertentu dari para penulis D untuk memuat hukum –
hukum dalam perikop Sinai ini. Lebih dari itu, terlepas dari ada atau tidaknya
niatan ini, Allah memberi hukum pertama bagi Israel dan diresponi oleh Musa
dalam peristiwa Sinai.
Hukum yang ditulis di loh batu merupakan hal penting
untuk dipelajari karena inilah Hukum asli Sinai. Hukum ini muncul jauh sebelum
sumber D dapat menyarikan berbagai hukum
di Israel. Hukum ini muncul saat peristiwa anak lembu emas dan sebenarnya tidak
sama sekali dimaksudkan untuk menghukum Israel melainkan justru memperkuat
hubungan yang ada di antara mereka. Kisah ini sendiri dalam versi tertulis baru
muncul setelah tahun 722 SM pada masa akhir kerajaan Utara. Cerita asli
dikaitkan dengan peristiwa lembu emas untuk menggambarkan dosa Israel pada masa
itu. Menggambarkan adanya konsekuensi dari setiap kejahatan manusia yang
berakibat pada penghukuman namun diselesaikan dengan pengampunan. Israel memang
dihukum atas pelanggaran mereka namun hubungan yang terjalin di antara mereka
tidak akan pernah putus. Hukum PL tidak pernah menyangkut simbolisasi Loh dan
anak lembu emas, benar atau salah melainkan pada kehendak ilahi. Segala sesuatu
menjadi etis atau tidak selalu dalam kaitannya dengan kesadaran diri individu
dan atau umat terhadap Allah. Perintah
tentang pengkultusan memberi stipulasi terhadap kehadiran Allah di Israel.
Dua loh batu yang dianggap beberapa ahli sebagai
bentuk asli dari dokumen Sinai berisi ke – 10 hukum yang dikenal juga dengan
istilah Dasa Titah atau Dekalog. Menurut Hinson, Dekalog merupakan pusat
kehidupan seluruh kisah Keluaran bangsa Israel dari Mesir. Di dalamnya diperlihatkan bagaimana pemikiran Israel
tentang Allah dan rencana-Nya untuk umat manusia berubah sebagai akibat
pengalaman – pengalaman Keluaran dari Mesir (2012: 81). Menurut Wright,
berdasarkan tradisi, Dekalog ini diberikan di Sinai, diucapkan dan dipahatkan
di loh batu oleh Allah sendiri. Karena itu, Dekalog ini dianggap lengkap dan
mutlak. Isinya berupa ringkasan sederhana tapi menyeluruh tentang ketentuan –
ketentuan hakiki yang menjadi landasan hubungan perjanjian dan membatasi
tingkah laku individu, kaum atau golongan dalam umat Allah. Dengan demikian
menurut Wright, Dekalog atau dasa titah merupakan kebijaksanaan yang menentukan
etos dan arah dari semua undang – undang terinci lainnya. Kepengarangan dari
Dekalog ini masih dijadikan bahan perdebatan namun menurut Stamn sebagaimana
dikutip Wright bahwa semua orang sepakat tentang signifikansinya yaitu sebagai
piagam yang mengikat sebagai pernyataan kehendak Tuhan perjanjian itu (2012 :
153). Wahono mengatakan bahwa dalam konteksnya, Dekalog ini memiliki
keistimewaan tersendiri karena merupakan kata – kata yang langsung disampaikan
oleh Allah kepada umat-Nya . Perjanjian yang terjadi di Sinai merupakan
perjanjian antara Allah sebagai Raja dengan Israel sebagai rakyat dan Dekalog
dalam hal ini merupakan dokumen resmi dari perjanjian itu (2012 : 112 – 113).
Menurut Blommendal,
Dekalog ini terdiri dari dua tradisi dalam PL yaitu versi Keluaran 20 dan
Ulangan 5. Versi Keluaran sepertinya ditulis oleh sumber E dan versi Ulangan
oleh sumber D (Wahono, 2012:112). Hanya ada sedikit perbedaan di dalamnya yaitu
di dalam hukum yang keempat, hari Sabat. Perbedaan terjadi berdasarkan
pendekatannya, Kel 20 berpijak pada sejarah penciptaan dan Ul 5 pada fenomena
sosial religius. Dekalog yang kita miliki saat inipun sebenarnya bukanlah
bentuk aslinya karena kedua – duanya telah mengalami beberapa penambahan.
Bentuk asli sendiri sudah tidak bisa direkonstruksi. Tentang waktu penulisan
Dekalog sendiripun masih merupakan simpang siur (2012 : 47). Namun diperkirakan
ditulis pada masa agrikultur.
Menurut para ahli,
Dekalog ini sendiri muncul dalam dua
versi yaitu versi etis dan kultis. Versi etisnya yaitu Dekalog yang pertama
muncul, yang diberikan Allah langsung kepada Musa pada pembuatan loh yang
pertama dalam Kel 20. Sedangkan versi kultisnya muncul setelah pembaharuan loh
yang dibuat oleh Musa yaitu pada Kel 34. Sedangkan versi tertulisnya, menurut
para ahli, yang paling tua sepertinya adalah Dekalog versi kultis ini. Berita
inipun sebenarnya masih simpang siur.
Torah Pada Masa Pendudukan
Setelah masa perjalanan yang sangat panjang di padang
gurun, umat Israel tiba di tanah perjanjian. Di tanah ini pola kehidupan mereka
berubah. Tanah menjadi identitas baru bagi Israel. Pada masa awal pendudukan
ini, Israel mulai hidup mereka sebagai petani. Mereka hidup di antara orang –
orang Kanaan yang kompleks budaya. Di tempat ini, Israel tetap menyembah TUHAN
namun sesekali terpengaruh juga dengan pola hidup orang Kanaan. Dasa Titah
tetap merupakan pedoman penting bagi mereka namun mereka membutuhkan peraturan
– peraturan baru yang sesuai dengan konteks mereka saat itu. Kitab Perjanjian
merupakan kitab yang lahir dari pergumulan bangsa Israel di masa pertanian ini.
Kitab
Perjanjian merupakan kitab Hukum tertua dalam PL. Kitab ini mendemonstrasikan
semua karakteristik yang membedakan kitab hukum yang sangat mendalam dari semua
dokumen resmi di Timur Dekat Kuno. Para pemimpin Israel mengembangkan Dasa Titah namun
juga mengadopsi hukum – hukum dari daerah sekitar, sehingga ada yang bersifat
kasuistis maupun apodiktis. Kitab perjanjian dengan jelas menegaskan bahwa
orang Israel harus melayani Allah saja dan tidak boleh terlibat dengan
penyembahan orang – orang Kanaan dan menuruti kebiasaan mereka. Hukum lain
bersifat sosial tentang tanggungjawab terhadap sesama yang membutuhkan pertolongan.
Namun sesama di sini hanya berkait dengan orang Israel (Hinson, 2012 : 105 –
107). Komposisi hukum didominasi dengan hukum pertama dan kedua dan menampilkan
firman Allah yang diberikan Israel melalui perantaraan Musa di Sinai. Buku ini
memberikan gambaran yang cukup esktrim tentang hukum di Israel. Hukum kasuistik
dibuat berdampingan dengan larangan – larangan, perintah – perintah dan
ketetapan – ketetapan termasuk yang bersifat kondisional dan mirip dengan rumus
partisip dan unik. Firman Allah dalam rangkaian hukum ini tetap mendominasi
namun mayoritas isinya berbicara tentang Allah.
Ketidaksatuan tulisan dalam kitab telah membuat waktu penulisan menjadi bahan
pertanyaan penting. Kitab ini dimulai dari hukum Israel namun bentuknya menjadi
sebuah kumpulan hukum yang membingungkan
karena terdiri dari berbagai macam hukum dan tradisi resmi. Secara
khusus, hukum apodiktif muncul dalam Kel 34 : 11 – 26. Bagian ini merupakan
bagian yang spesial dalam PL karena tidak mendapat pengaruh dari struktur Torah
dalam hal kultus, hukum, agama dan etika. Teks ini merupakan surat perjanjian
serah terima antara Allah dan Israel yang mengawali kehidupan mereka di tanah
Kanaan. Mereka menempatkan teks ini sebagai ayat asli dari Perjanjian teks
Sinai tentang “Hukum Istimewa” Allah yang menjadi dasar hubungan mereka dengan
Allah. Sejarah resmi secara menyeluruh dapat digambarkan sebagai dasar hubungan
dan perpanjangan Perjanjian. Di lain pihak, beberapa ahli menganggapnya sebagai
produk akhir, yaitu sebuah kutipan dari teks lain. Pihak terakhir beranggapan
bahwa bagian ini merupakan bagian dari penegasan D atau mungkin dari masa
setelah D. Isi teks ini memang sepertinya memiliki beberapa kemiripan dengan
teks lain namun nyata – nyata berbeda. Ada yang mengira mirip dengan Dekalog
namun tidak ada kaitannya sama sekali dengan Dekalog. Teks ini lebih mirip
perjanjian bukan hukum meski bentuknya lebih mirip hukum. Keduanya memang
saling berkaitan. Teks ini merupakan
bentuk serah terima tanah Perjanjian antara Allah dan Israel yang menandakan
bahwa bangsa ini siap memasuki tanah perjanjian namun dengan disertai sebuah
perjanjian yang baru, Perjanjian pendudukan wilayah.
Selain apodiktif terdapat juga kumpulan hukum kasuistis
di dalamnya. Kumpulan hukum kasuistis yang disebut Mishpatim ini terformulasi
dalam Kel 21 : 1 – 22 : 16 di atur dalam kesatuan yang terpisah. Teks ini dari
segi bahasa, karakteristik, bentuk dan isi tidak memiliki analogi apapun dengan
teks resmi PL lain namun memiliki kemiripan dengan beberapa literatur Timur
Dekat. Mishpatim berpuncak pada Kel 21 : 2 – 11 yaitu hukum tentang perbudakan,
tentang sumber, hukum perlindungan hak – hak
budak, waktu perbudakan, keselamatan para budak, sampai kepada
pembebasan budak. Selain tentang budak, Mishpatim juga memberi perhatian kepada
kasus – kasus pembunuhan baik sengaja atau tidak, penganiayaan, balas dendam,
serangan ternak, dan pemberlakuan hukum talion yang semuanya menekankan kepada
keadilan sosial. Keseluruhan seri Misphatim diwariskan dan terus dipakai
sebagai ketetapan resmi dalam pengadilan Yerusalem dan masih berlaku sampai
pada masa sebelum pembuangan. Berisi ketetapan – ketetapan sosial berupa
penjaminan hak – hak seseorang baik secara ekonomi dan sosial di mata hukum.
Dipakai dalam kaitannya dengan kitab Perjanjian karena memang masih bagian dari kitab Perjanjian namun
memiliki kemiripan dengan hukum negara sekitar. Mishpatim hanya merupakan hukum
ketetapan dan hanya berlaku pada masa itu saja, perlu reservasi menyeluruh jika
ingin diaplikasi pada masa selanjutnya. Mishpatim merupakan bagian yang cukup
penting bagi pemahaman awal terhadap Kitab Perjanjian. Dengan Torah, hukum ini
memiliki kemiripan dengan perintah tentang keadilan dan kebenaran. Secara
teologis penting bagi kritik bentuk dan sejarah tradisi. Ketetapan dalam
Mishpatim bersifat integral dan menyeluruh. Memang tidak semua komposisinya
merupakan kata- kata langsung Ilahi melainkan terdapat serapan dari tradisi
sekitar namun secara keluruhan merupakan bagian dari kata – kata ilahi. Masalah
keadilan sosial merupakan titik beratnya dan ini bisa ditinjau dan dipahami
melalui konteks.
Dalam konteks ini, kebanyakan orang hadir menuntut
keadilan dari Tuhan bagi mereka, meminta pemenuhan hak mereka sebagai warga
negara. Namun pada akhirnya Hak azasi mereka dijamin Tuhan berdasarkan
anugerah. Selain umat Israel secara global, secara sosial terdapat juga jaminan
kepada orang – orang khusus dalam komunitas Israel. Dalam kitab perjanjian,
perhatian diberikan kepada kasus orang miskin. Orang miskin yang dimaksud dalam
kitab perjanjian adalah para budak, janda, anak yatim, orang- orang yang karena
sesuatu kehilangan hak mereka. Orang – orang miskin ini merupakan komunitas
yang unik dalam umat Allah dan membutuhkan perlindungan. Orang asing dalam
artian orang yang bukan keturunan Israel belum terlalu diperhatikan dalam
bagian ini dan baru menjadi perhatian setelah masa monarki. Kemiskinan
merupakan masalah lama dan Allah menuntut Israel memberi perhatian khusus bagi
mereka dan ini sama nilainya dengan pemujaan terhadap Allah dan menjadi dasar
bagi agama Israel. Ini juga yang menjadi tanda lahirnya Torah dan menjadi
peristiwa sentral sejarah teologi Alkitab dan konsep tentang Allah. Tanggapan
etis atas kegelisahan yang terjadi di
lingkungan sosial merupakan respon terhadap kehadiran Allah.
Sebagai dokumen resmi tertulis, Kitab Perjanjian
berkembang menjadi struktur dasar Torah. Dalam proses pengkodifikasiannya,
sumber tertua dari hukum di sebut Mishpatim ini dirumuskan di kerajaan Utara
yang digunakan sebagai hukum dalam pengadilan tinggi Yerusalem memiliki
kemiripan dengan hukum resmi Timur dekat dan menjadi kumpulan peraturan –
peraturan dasar mengenai pemujaan TUHAN secara ekslusif. Kemudian kitab
Perjanjian mengalami kombinasi lagi seiring perjalanan dan pengalaman sejarah
kehadiran Allah antaralain dengan perhatiannya terhadap kehidupan sosial. Hukum
ini kemudian semakin berkembang tidak hanya menyentuh aspek umat namun juga
individu dan menjadi bagian dari firman Allah. Tidak diketahui dengan pasti
lamanya waktu kodifikasi. Tapi dalam penyempurnaan kitab Perjanjian secara
tertulis, ada kemungkinan besar campur tangan pengadilan kerajaan utara,
sehingga ada kemungkinan besar konspirasi kepentingan dalam penulisan kitab.
Hal ini terlihat dari bagian – bagian tulisan yang sebenarnya terlepas dari
konteks aslinya. Namun demikian, proklamasi nama Ilahi bisa menjadi jaminan
dari kehadiran Allah dalam tulisan. Selain itu, kitab ini merupakan produk
terbesar peninggalan kerajaan Utara yang hancur pada masa itu.
Torah Pada Masa Pra – Pembuangan
Ada satu kitab lain yang diperkirakan ditulis pada masa
sebelum pembuangan. Beberapa ahli memperkirakan bahwa kitab ini ditulis pada
masa pemerintahan Yosia. Saat itu, keadaan politik dalam masa tenang, tidak ada
intervensi dari luar. Asyur melemah sehingga perhatian diarahkan ke Babilon. Namun
di lain pihak, justru terjadi kemerosotan rohani yang semakin mengkuatirkan di
dalam negeri. Keadaan inilah yang menyebabkan reformasi kerajaan bisa
dilakukan. Tahun 622 SM, pada saat perbaikan Bait Allah dilakukan, imam besar
Hilkia menemukan sebagian kitab yang
diyakini dimuat dalam Ulangan 12 – 26 dan menjadi dasar reformasi Yosia (Blommendal,
2012: 60). Berdasarkan kesepakatan dibuat beberapa penyuntingan agar hukum
tersebut menjadi lebih relevan pada masanya yaitu masa monarki. Namun tujuan
utamanya tetaplah pemujaan ekslusif terhadap Allah.
Secara
historis, Kitab Ulangan atau yang disebut oleh Hinson kitab Perulangan atau
hukum yang diulang merupakan kitab Hukum namun tidak semua bagiannya merupakan
hukum. Ada hukum yang ditulis jauh sebelumnya dan masa pembuangan disisipkan
peristiwa sejarah untuk menjadi bayangan dari keberadaan hukum di Israel dan menjadi penegas konteks bagi hukum itu
sendiri. Hukum – hukum ini telah mengalami penegasan sebelumnya, adaptasi,
sampai kepada penggantian komposisi hingga mencapai bentuk akhirnya. Dengan
Kitab Perjanjian, hukum ini memiliki kaitan khusus karena menyajikan Kitab
Perjanjian secara murni terlepas dari pengaruh hukum Timur Dekat lainnya namun
memperluas jangkauannya. Dengan kata lain, Hukum Ulangan merupakan sebuah
bentuk revisi dari Kitab Perjanjian. Bedanya, kata – kata Musa lebih banyak
dipergunakan. Ada beberapa peraturan penting seperti pembunuhan, penganiayaan
kepemilikan harta, dalam kitab Perjanjian yang disingkat atau dipersempit
begitu saja dalam buku ini. Namun perlindungan sosial terhadap kaum miskin
diperluas. Ada juga bagian – bagian yang tidak terdapat dalam kitab Perjanjian
muncul dalam Hukum Ulangan. Di atas fenomena – fenomena inilah Torah terbentuk.
Hukum Ulangan menekankan Keesaan Allah
dan kasih kepada-Nya yang wajib dilakukan oleh orang Israel. Prinsip dari
tindakan ini adalah melakukan hukum dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.
Dengan demikian Torah dipahami berlandaskan kasih Allah yang juga menjadi dasar
hubungan Allah dengan umat-Nya dan dibangun dalam kebebasan.
Dalam logika teologisnya, hukum itu bersifat bebas namun
ada juga yang harus dipatuhi dalam bentuk solidaritas. Ada beberapa hukum yang
menjadi bahan penekanan dalam kitab Ulangan. Di antaranya adalah peraturan
tentang persembahan persepuluhan (Ul 14 : 22 – 29 ; 26 : 12 – 15). Persembahan
persepuluhan merupakan kata kunci untuk menyimpulkan pemikiran teologi dan
yuridis di balik Hukum Ulangan. Persembahan persepuluhan mengiluminasikan relasi – relasi dari variasi
– variasi Hukum Ulangan. Persembahan persepuluhan yang dimaksud di sini adalah
apapun yang bisa ditukar dengan uang untuk dibawa ke tempat yang Tuhan
tunjukkan dan harus dinikmati oleh mereka di tempat itu. Selain itu, setiap
tiga tahun persembahan persepuluhan itu harus di letakkan di beberapa kota
untuk kaum Lewi dan orang – orang lain yang tidak memiliki tanah, orang asing,
yatim dan janda – janda. Pendistribusiannya dilakukan di gerbang kota dan
dikontrol langsung oleh umum. Pemberian ini bersifat sosial dan baru terjadi
pada pemerintahan Yosia. Namun anak sulung tidak termasuk dalam komposisi
persembahan ini. Persembahan persepuluhan yang dimaksud dalam Kitab Ulangan ini
sepertinya dimulai pada masa monarki di kerajaan utara dan dilakukan di Bethel.
Tempat ini tentunya menjadi salah satu tempat pemujaan terpenting masa itu.
Persembahan persepuluhan juga masuk dalam kategori keputusan resmi kerajaan.
Persembahan persepuluhan diberikan kepada orang – orang yang membutuhkan
sementara donaturnya dilarang ikut menikmati. Meskipun masuk dalam ketetapan
resmi, tidak ada berita bahwa pemerintah memaksakan setiap orang melakukan
ketetapan ini. Setiap orang memiliki bagiannya masing – masing. Dua tahun
pertama perayaan ini adalah milik mereka pribadi namun tahun ketiga adalah
perayaan sosial. Konsep persembahan persepuluhan sendiri di Israel dibentuk dari
kombinasi antara pemikiran D dan P. Ada masa di mana
persembahan persepuluhan dimaknai dalam konteks keagamaan namun ada masanya
juga dalam konteks sosial. Permintaan untuk menyatukan situs pemujaan merupakan
poin tertinggi dalam Hukum Ulangan (Ul 12). Dengan demikian, persembahan
persepuluhan tetap merupakan hal mutlak dalam kitab Ulangan namun dirangkai
dalam cara berbeda dari yang diperkenalkan oleh kitab Perjanjian.
Hukum tentang
perang juga merupakan warisan Musa meski dalam cara yang berbeda. Kebanyakan
ahli menganggap bahwa hukum tentang perang dalam Ulangan ini hanyalah utopia,
dan ada kemungkinan bahwa teks ini muncul ketika umat tidak memiliki
tanggungawab untuk negara dan kebijakan mereka. Namun ada yang mengangkat kasus
penaklukan lawan sebagai perang, meski bentuk perang yang dimaksud masih tidak
jelas. Secara umum digambarkan bahwa kebangkitan nasionalisme suatu negara
berpotensi dalam menghasilkan perang. Hal ini disebabkan oleh adanya otonomi
umat, mekanisme perlindungan diri dari ancaman, kepedulian terhadap keamanan
pada penduduk sipil dan perlindungan terhadap kebutuhan hidup. Hukum Ulangan
tentang perang ini hanya menggambarkan tentang cara bersikap ketika perang
terjadi bukanlah perang yang sesungguhnya.
Hukum tentang keluarga merupakan salah satu tema
paling penting yang mewarnai kitab Ulangan sebagai dasar Torah. Memang sistem
kekeluargaan dalam masyarakat Israel menggunakan sistem Patriaki, namun diberi
terobosan baru bagi kehadiran kaum perempuan meskipun muncul secara inklusif.
Kehadiran perempuan walaupun tidak
disebutkan secara bebas merupakan figur penting yang menjadi penolong bagi laki
– laki. Tentang keluarga sendiri sepertinya telah terjadi berbagai perbedaan
persepsi dalam PL, hal ini semata – mata karena perbedaan konteks.
Perlu pengujian tata bahasa untuk memaham konteks
sosial – historis hukum Deuteronomis. Berdasarkan bentuk, hukum ini sangat
mirip dengan Mishpatim. Bedanya, Ulangan memberi lebih banyak gambaran tentang
fenomena – fenomena kejahatan seksual. Hukum tentang keluarga merupakan hukum
kasuistik ekslusif dalam Ulangan. Ada kasus
yang diselesaikan saat itu juga dan kasus yang butuh peninjauan ulang
berdasarkan hukum tertulis. Ada revisi dari percobaan hukum menjadi hukum dan
ini kemungkinan dilakukan oleh pengadilan pusat Yerusalem. Kasus – kasus dalam
berbagai konteks dapat menghasilkan pengertian yang berbeda. Akhirnya konsep
pikir tentang kasus dalam berbagai tempat dan masa pun berbeda. Perlu analisis
mendalam terhadap suatu pokok permasalahan yang berkembang sebelum mengambil
keputusan. Analisis dilakukan secara politis, perlindungan konstitusi, dan
peraturan perlindungan sosial. Ada kemungkinan juga masuknya ide – ide dari
hukum Timur Dekat juga Asyur. Dengan demikian kompleksnya pengaruh dunia
sekitar Israel yang mempengaruhi kehidupan dan pemikiran Israel sehingga
memberi warna dalam kehidupan sosial mereka. Di atas semua perjuangan dan
perlindungan keadilan sosial baik untuk antara gender, individu, masyarakat
teresensi satu unsur paling luhur dalam kitab Ulangan yaitu upaya pensakralan
atau pengamanan terhadap hak – hak bagi semua ciptaan Tuhan. Tidak hanya
manusia, alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya merupakan obyek yang
perlu dilindungi dan dipelihara sebagai representasi dari ketaatan terhadap
Allah.
Torah Pada Masa Pembuangan
Pembuangan menyebabkan para pemikir masa itu
mempertanyakan integritas ibadah mereka yang selama ini berpusat di Yerusalem.
Sejak masa ini, lahir pemahaman baru bahwa setiap orang bisa beribadah kepada
TUHAN dimanapun mereka beribadah. Selain itu juga ada rencana besar Allah baik
bagi orang Yahudi maupun non – Yahudi melalui pengalaman ini. Eskatologi
merupakan salah satu tema utama dalam masa pembuangan. Adanya harapan bahwa mereka terlepas dari dominasi
politik Babel dan Persia, kebebasan dari pajak dan keinginan untuk membangun
Yerusalem kembali. Lilitan hutang dari sesama Yahudi yang kaya terhadap Yahudi
miskin juga menjadi satu masalah pelik. Sayangnya, tidak semua orang yang
berdiaspora kembali ke Yerusalem ada yang tetap tinggal baik di Babel maupun
Persia bahkan mengarah ke dunia barat dan sampai saat ini telah menempati
berbagai negara di seluruh dunia. Teriakan para nabi dan imam tentang perhatian
terhadap kaum miskin tidak sepenuhnya didengar oleh sesama Yahudi kaya di
pembuangan kecuali tentang pelaksanaan hari Sabat, sehingga harapan tentang
Yerusalem baru semakin besar. Para penulis sumber P dalam hal ini bukan
sepenuhnya berkepentingan dalam pengeditan Torah. Mereka ingin berbicara kepada
sebuah kelompok, membawa kitab – kitab yang dahulu ada, menyalin ulang dan
mengedit sesuai dengan kondisi umat yang buruk saat itu, sesuai wawasan sejarah
masa itu. Meskipun banyak hasil dari salinan ini berbeda dari tulisan aslinya,
namun unsur esensial tidak hilang. Justru melalui hal ini Israel menyadari
keunikan mereka sebagai umat Allah namun juga secara bertahap menyesuaikan diri
dengan keadaan di pembuangan (Snell, 2012 : 226 – 230). Menurut Hinson, memang
runtuhnya kerajaan, kehancuran Bait Allah, membuat Israel mempertanyakan lagi
tentang integritas mereka sebagai umat pilihan Allah dan keberadaan Allah di
antara mereka. Namun berangsur – angsur terjadi perubahan pikiran secara radikal,
mereka menyadari kesalahan mereka dan bertekad memperbaiki hubungan kembali
dengan Allah. Karena itu mereka
menegakkan kembali peraturan – peraturan yang selama ini telah mereka abaikan.
Masa ini merrupakan masa di mana banyak sekali hukum dan tradisi keagamaan
mulai dibukukan dalam sejarah. Para penyalin dan editor tulisan – tulisan mulai
mengumpulkan, mengedit dan membukukan hukum – hukum dan tradisi – tradisi yang
ada secara teratur (2012 : 200 – 233).
Kitab hukum
yang mengatur tentang kekudusan muncul dan merupakan kelanjutan dari kitab
hukum Ulangan. Beberapa ahli memperkirakan kitab ini sebagai bagian dari
tulisan para imam dan bukan merupakan kitab hukum yang bebas. Ahli lain melihat
adanya paralel antara hukum Deuteronomis dan kitab Perjanjian walaupun hanya
mengadopsi prosedur resminya. Berdasarkan komposisi bentuk dan isinya, kitab
undang – undang kekudusan memiliki kaitan erat dengan keimaman dan keseluruhan
hukum Sinai. Penekanan yang diberikan adalah tentang kemurnian dan kekudusan.
Bagian integral dari tulisan iman berisi perbandingan hukum Ulangan dan Kitab Perjanjian namun
kurang memadai. Kitab hukum Kekudusan kurang lengkap dalam hukum prosedural
namun menyinggung juga tentang perpuluhan dan bentuk penyembahan yang lain.
Karena terdapat pola penggambaran tentang kejatuhan dan adanya tema eskatologis
pasca kejatuhan kerajaan, tentang bagaimana memulai kehidupan baru, maka
meskipun masih terdapat beberapa pendapat di dalamnya, kemungkinan besar kitab
hukum ini ditulis pada akhir masa pembuangan dan ditulis oleh Nehemia atau Ezra
atau bisa jadi ditulis oleh beberapa kelompok penulis. Masalahnya menurut
Crusemann, baik dalam ide maupun praktisnya, tulisan ini tidak dapat begitu
didiferensiasikan meskipun memang tidak berlawanan satu sama lain. Pada masa
pembuangan, tulisan – tulisan iman ini menjadi dasar pengajaran tradisi Torah
bagi orang Israel. Karena itu, agar dapat memahami tulisan ini, perlu berfokus
pada konteks sejarah resminya. Pada masa pembuangan, semua hukum resmi yang
ditetapkan selama mereka menjadi umat yang
merdeka, organisasi – organisasi resmi baik politik, pemerintahan,
ekonomi, sosial tidak dilanjutkan lagi. Pembuangan memberikan efek yang
mendalam bagi Torah. Hukum – hukum tradisional secara umum dilanjutkan dan
Israel tetap berusaha mempertahankan status, tradisi dan keunikan mereka
sebagai umat pilihan Tuhan. Tulisan – tulisan para imam yang ada dalam kitab
ini merupakan transformasi dari semua kitab hukum terdahulu. Dalam masa ini
mereka mencoba mengkombinasikan seluruh kehidupan manusia dalam kesatuannya
dengan Allah, berpegang teguh pada keseluruhan tradisi Torah, dan
mengkombinasikan hukum dan keagamaan, teologi dan etika. Hasilnya, kitab ini
berisi lampiran isi hati Allah sejak masa Keluaran, tradisi keagamaan masa
pendudukan dan fondasi kehidupan masyarakat diaspora. Sumber ini juga
menginterpretasikan kitab Perjanjian secara radikal dalam cara baru yang
menjadi dasar hukum yang mungkin tidak pernah ditemui pada masa pendudukan di
tanah perjanjian.
Kitab hukum kekudusan ini memberi kesan mendalam karena
membangun suatu pemahaman tentang tempat penyembahan segala sesuatu dan yang
berkaitan dengan itu diasosiasikan dengan jantung dan pusat teologi mereka yang
berpusat di Sinai serta keinginan untuk menciptakan
sebuah gambaran tentang kehidupan sebelum dan bersama Allah seperti yang
terjadi pada saat sebelum penciptaan. Gambaran ini tidak diarahkan untuk
kepentingan keagamaan melainkan untuk peneguhan bagi orang – orang Yahudi
diaspora. Tema penciptaan bagi para penulis dokumen P merupakan tema esensi
bagi upaya pembangunan kepercayaan. Karena itu mereka mengawali tulisan mereka
dengan pembahasan tentang awal sejarah kehidupan yaitu penciptaan. Bagaimanapun
juga, dunia tanpa agama dan kehadiran Tuhan sebagai pencipta bukanlah benar –
benar agama yang bertuhan. Sumber P meneguhkan kepercayaan dan menjawab
kegelisahan setiap kaum diaspora. Sinai digambarkan oleh penulis P sebagai
tempat kudus Allah. Dengan demikian, para penulis menggambarkan pentingnya umat
melindungi kekudusan sebagai pusat kehidupan meskipun mereka sudah tidak dapat
menemui tempat ini lagi.
Ada beberapa hal penting yang diangkat dalam upaya
pembangunan kekudusan, antaralain: Hukum tentang modal dan konsumsi darah,
perjanjian dan sunat, endogami, paskah, dan sabat. Hukum – hukum ini diberikan
dengan tujuan untuk perlindungan terhadap kehidupan dan hak – hak azasi
manusia. Upacara korban harus dikontrol sedemikian rupa dan hanya bisa
dilakukan di tempat – tempat kudus demi alasan kekudusan. Perjanjian ditegaskan
dengan tanda yaitu sunat. Sunat menjadi demikian penting artinya justru saat
umat berdiaspora meski artinya sedikit berbeda dengan pemahaman dokumen lain.
Ibadah tetap merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan Israel tanpa
perlu mengkaitkannya dengan tempat – tempat suci seperti masa sebelumnya. Orang
– orang yang boleh berpartisipasi dalam ibadah adalah orang – orang yang sudah
bersunat. Orang – orang di luar Israel boleh masuk dalam komunitas ini hanya
jika mereka disunat.
Jika dalam kitab
Perjanjian, endogami merupakan masalah serius, dalam tradisi keimaman hal ini
tidak dibahas. Peraturan tentang endogami bagi mereka hanyalah merupakan
tradisi patriakal, bukan perintah ilahi, dan hanya bersumber dari rasa
nasionalisme kalau bukan chauvunisme. Situasi diaspora tidak terlalu menganggap
ini hal serius. Menurut Snell, sebenarnya Ezra dan Nehemia memiliki
keprihatinan besar tentang kawin campur dengan alasan ketakutan adanya perpecahan budaya. Hal ini terlihat
dalam catatan – catatan doa ratapan Ezra tentang dosa Israel dalam hal
endogami. Namun oleh para penulis P diedit sedemikian rupa mengingat konteks
diaspora. Tidak semua kawin campur yang dimaksud merupakan orang perkawinan
orang Yahudi dan non – Yahudi secara genital. Orang – orang yang disebut asing
ini karena ketidakmampuan mereka untuk membuktikan bahwa mereka merupakan warga
Yahudi yang dibuang pada masa pembuangan atau orang Samaria dan karena keturunan mereka tidak bisa
berbahasa Yahudi. Tindakan Ezra untuk mempertahankan keturunan Israel dianggap
terlalu radikal sehingga ia ditarik kembali oleh pemerintahan Persia (2012:
228). Namun dari sini juga cikal bakal ekslusivisme Israel. Perayaan Paskah menjadi hal yang penting
dalam masyarakat diaspora karena di dalamnya terdapat harapan tentang masa
depan orang – orang dalam pembuangan. Bedanya dalam perayaan Paskah di
pembuangan tidak terdapat upacara korban. Darah dalam ideologi P merupakan
simbol kehidupan, bentuk proteksi terhadap ketiadaan, dan merupakan bentuk
perlindungan Allah terhadap umat. Darah yang dipakai dalam peristiwa Paskah
merupakan tanda bahwa Allah tidak akan menghancurkan mereka. Ada beberapa
ritual lain tentang Paskah tetap dipertahankan sampai masa diaspora. Tentang
Sabat, sumber P menganggapnya sebagai salah satu ide sentral dan ketetapan
Allah sejak awal. Struktur Sabat sendiri menurut Crusemann sebenarnya dirancang
di padang gurun dengan tujuan kekudusan hari Sabat.
Kitab ini merupakan dokumen resmi yang berisi hukum
tentang kekudusan. Peristiwa Keluaran merupakan peristiwa di mana Allah memilih
kemudian menjadikan mereka bangsa yang kudus. Dasar dari kekudusan ini adalah
kekudusan Allah sendiri. Allah membebaskan Israel dengan tujuan membentuk
persekutuan dengan Allah dan agar Allah dapat tinggal di tengah – tengah
mereka. Allah sendiri yang telah merancang mereka menjadi bangsa yang kudus.
Proses menguduskan dan memimpin Israel keluar merupakan kesatuan. Allah
memisahkan Israel dari bangsa lain demi alasan kekudusan sehingga Allah yang
kudus dapat tinggal bersama dengan mereka. Pemisahan dan pengudusan bagi para
penulis P merupakan kata yang identik.
Para penulis
P memandang peristiwa Keluaran berbeda dari para penulis sumber terdahulu, bagi
mereka, Keluaran merupakan bentuk kedekatan Allah dengan Israel. Kedekatan ini
merupakan bentuk kebebasan yang menjadi konsep tanggungjawab Keluaran. Hubungan
yang terjalin antara Israel dengan Allah tidak bergantung pada pemilikan tanah
melainkan pada peristiwa Keluaran. Hal ini berbeda dengan pendapat Wrigth dan
beberapa penulis lain yang sejenis yang menyatakan bahwa tanah
diidentifikasikan sebagai identitas orang Israel dan kehilangan tanah sama
dengan kehilangan identitas bagi Israel. Hal ini tidak salah, karena tentu
dipengaruhi oleh konteks orang – orang diaspora yang pada waktu itu memang
kehilangan hal mereka atas tanah. Bagi Crusemann berdasarkan ide P, fondasi
hubungan Allah dan Israel adalah kekudusan.
Kesimpulan
Seperti kata Hinson,
tidak semua kitab hukum
berasal dari Sinai. Hukum – hukum tertulis yang kita jumpai saat ini merupakan
hasil pergumulan para penulis dari masa – kemasa pada zaman PL (2012 : 74).
Memang tulisan hukum tidak berasal dari Sinai
tapi hukum bersumber dari Sinai. Para
penulis suka memakai nama Musa sebagai pengarangnya, kemungkinan ini hanya
untuk menambah otoritas tulisan. Musa memang adalah perantara yang dipakai
untuk melanjutkan kehendak Allah agar diketahui oleh seluruh umat Israel. Musa
memang merupakan tokoh sejarah dalam Torah namun tidak berarti tokoh yang sama
adalah penulis Torah seluruhnya. Hukum – hukum yang diberikan oleh Allah ini
merupakan bagian penting dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Entahkah
ikrar ini terjadi sebelum atau setelah Israel menerima Israel perjanjian,
Israel memang berjanji untuk taat kepada perjanjian tersebut.
Selain itu, setiap
periode penulisan hukum dilengkapi dengan konteks yang berbeda – beda.
Perkembangan lanjutan dalam komposisi hukum terjadi karena adanya ketegangan – ketegangan baru
dalam masing – masing konteks sejarah. Berdasarkan progresitas ini dibuat
formula resmi dalam bentuk tulisan berisi kumpulan hukum yang selanjutnya
disebut oleh D sebagai Torah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
demikian, bahwa setiap poin konteks perkembangan sejarah perjanjian terjadi
berangsur – angsur sejak penegasan perjanjian dan pemberian hukum di Sinai
memberi pengaruh terhadap para editor tulisan dalam pembukuan kitab – kitab
hukum selanjutnya. Memang ada keunikan dalam masing – masing periode penulisan
namun tidak berarti bahwa esensi dari Torah itu hilang. Torah tertulis yang
sudah jadi dalam bentuk kitab hukum ini merupakan hasil pergumulan dari setiap
periode – periode penting perjalanan sejarah Israel. Pergumulan disertai
ketegangan – ketegangan masing – masing konteks merupakan hasil upaya keras para penyalin hukum untuk
bertahan sedemikian rupa menjaga hubungan Israel dengan Allah yaitu
perjanjian.
Unsur –unsur Pembeda
Komposisi Torah
Sebagai Kumpulan Penyataan Iman Umat Israel dari Masa
– Ke Masa
Torah
merupakan kumpulan penyataan iman umat Israel dari masa – kemasa dalam PL. Namun dalam proses pembukuannya, Torah tidak
hanya menampilkan muatan rohani saja, Hukum saja sebagai elemen penyusunnya.
Dalam setiap teks terdapat dokumen – dokumen lain yang disisipkan oleh penulis.
Torah dalam pengertian aslinya ternyata tidak berarti sejarah atau hukum. Torah
dipakai untuk menggambarkan Pentateukh secara keseluruhan termasuk bagian
naratif dari abad ke 2 SM. Ada yang mengeskpresikan Torah sebagai kumpulan buku
karangan Musa. Sedangkan catatan PL sendiri mengisyaratkan Torah sebagai konsep
paling penting dalam hukum Ulangan yang di dalamnya terdapat formula tentang
kehendak Allah (Ul 4 : 8, 44, dll) yang didalamnya juga dimuat sejarah konteks
dan terdiri juga dari banyak hukum. Kadang bisa berbentuk narasi, syair, bahasa
– bahasa kebijaksanaan, nubuat, dll. Torah berisi kesaksian dan petunjuk. Torah
merupakan institusi yang Allah tetapkan bagi Israel agar mereka bergantung
sepenuhnya pada Allah. Karena itu, di dalamnya juga terdapat berita historis
tentang tindakan Allah dan tindakan Israel dalam memelihara perintah Allah.
Penulis – penulis Hukum
Torah ditulis oleh beberapa orang
dalam masa dan waktu yang lama. Setiap penulis biasanya merupakan orang yang
mengumpulkan berbagai sumber – sumber tertulis maupun lisan tentang hukum,
memilahnya dan menyalin ulang setiap bagian hukum sesuai dengan kebutuhan dan
situasi masa penulisan. Pergumulan – pergumulan, ketegangan – ketegangan, kasus
– kasus yang terjadi antara Allah dan umat Israel membuat para penulis hukum
memberi pengaruh besar dalam penulisan hukum. Masing – masing penulis memiliki
penekanan – penekanan khusus dalam tulisannya berdasarkan peta masalah yang
ada. Pendekatan – pendekatan yang digunakan umumnya berbeda. Semuanya ini
memberi pengaruh pada bentuk jadi kitab – kitab hukum tersebut. Sumber D dan P
merupakan dua sumber yang memiliki perhatian khusus terhadap hukum – hukum yang
berlaku di Israel. Tujuan utamanya adalah agar sebisa mungkin hubungan
perjanjian antara Allah dan Israel tetap terjaga. Namun beda zaman, beda
situasi, beda penekanan hukum.
Sumber
D
Sumber D muncul pada masa sebelum pembuangan. Mereka
ini diperkirakan sebagai penulis Torah mula – mula. Para penulis D muncul
dengan memberi perhatian mereka terhadap peristiwa perjanjian di Sinai (Wahono,
2011 : 69). Pada masa kepenulisan sumber ini, kerajaan Israel Utara telah jatuh
dan penduduknya dibuang ke luar negeri. Sedangkan kerajaan Israel selatan
sedang mengalami masa sulit keagamaan karena adanya ancaman kekafiran dan
penyembahan berhala. Karena itu para penulis D bergumul dengan kelestarian
bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah. Hanya tersisa Israel Selatan, dan para
penulis D berniat untuk melakukan reformasi kerajaan.
Penekanan sumber D adalah pada keterpilihan dan
kekhususan Israel sebagai Umat Allah. Israel hanya boleh setia kepada Allah.
Ada peringatan – peringatan yang diberikan jika mereka menjadi sama dengan
bangsa – bangsa lain, tidak boleh menjalin hubungan dengan mereka, ada dorongan
kuat untuk melakukan perang rohani. Ada kontrol yang ketat bahwa Israel hanya
boleh beribadah kepada Allah saja, penentangan keras terhadap praktik agama
Kanaan, bahkan perintah untuk memusnahkan penduduk Kanaan. Ada perintah lain
yang paling radikal yaitu pemusatan ibadah pada satu tempat suci saja. Selain
itu, para penulis juga mencantumkan peraturan – peraturan tentang para pejabat,
proses peradilan, keluarga, semua aspek kehidupan Israel. Tujuannya adalah
mewujudkan secara penuh peranan Israel sebagai umat pilihan Allah.
Sumber
P
Sumber P merupakan sumber yang tulisannya paling
mudah ditemukan dalam Pentateukh karena ciri khasnya yang sangat jelas. Menurut
Wahono, tulisan dari sumber P inilah yang menjadi dasar susunan dari seluruh
Pentateukh masa kini. Sumber P memulai tulisannya dari sejarah penciptaan.
Dalam tulisannya, P dengan sangat cermat menuliskan tahap – tahap kejadian alam
semesta dan isinya. Sumber P juga yang menyusun cerita – cerita dalam Alkitab
tahap demi tahap, terinci, termasuk juga penulisan silsilah. Peristiwa
keluarnya Israel dari Mesir, ke Sinai, proses perjalanan 40 tahun, persiapan –
persiapan untuk memasuki Kanaan, merupakan sistematisasi tulisan P (2011 : 72 –
73).
Sumber P ini menulis dalam jangka waktu yang panjang,
diperkirakan dari masa pembuangan sampai pada masa sesudah pembuangan. Tujuan
utama sumber P memang adalah menyajikan pandangan sistematis tentang asal –
usul dan berlakunya lembaga – lembaga teokratis Israel. Penulis P dengan cermat menceritakan
segala persiapan menuju kepada
pembangunan lembaga – lembaga teokratis tersebut. P juga mengemukakan peraturan
– peraturan terperinci tentang ibadah Israel kepada Allah. Menekankan sifat ketransendenan Allah
sehingga dengan demikian Israel membutuhkan perantara saat ingin menghadap
Allah. Sifat ketransendenan Allah ini juga membawa kepada pemahaman tentang
pentingnya kekudusan berdasarkan hakikat Allah sendiri.
Perhatian sumber P tertuju pada apa yang harus
dilakukan Israel sebagai umat Allah dalam pembuangan dan pasca pembuangan.
Situasi pada waktu itu memang membuat Israel mempertanyakan status mereka
sebagai umat pilihan Allah. Dan melalui tulisannya, para penulis P berharap
dapat melakukan reformasi mental bagi bangsa Israel. Menyadarkan mereka akan
status mereka dan mempertahankan status itu dengan cara menaati kembali hukum –
hukum yang ada dan berjuang menjaga kekudusannya di hadapan semua bangsa.
Konteks Masa Penulisan
Kitab
perjanjian diduga muncul dalam sebuah masyarakat agrikultural yang merupakan
isyarat keberhasilan dalam pendudukan Israel berusia lebih tua dari sumber D. Dalam teks ini sendiri, ada dua bentuk
perjanjian yang Allah ajukan kepada Israel yaitu pemisahan dari para tetangga dan pemisahan hubungan Allah
dengan orang – orang Kanaan. Permintaan untuk memisahkan diri dari para
tetangga dalam hal ini Kanaan merupakan bentuk kewaspadaan terhadap “jerat”
yang kemungkinan menyebabkan Israel terlibat dalam penyembahan dan kebudayaan
setempat yang dipandang jahat oleh Allah. Allah tidak menginginkan Israel
terlibat dalam berbagai bentuk penyembahan itu. Jerat ini bisa muncul dalam
kegiatan yang sangat praktis hasil dari pergaulan mereka dengan penduduk
Kanaan. Mulai dari kegiatan perayaan hari – hari besar, upacara keagamaan
bahkan sampai kepernikahan. Allah memerintahkan Israel untuk memisahkan diri
dari pergaulan dengan penduduk Kanaan karena Allah juga melakukan hal yang
sama. Pemisahan Israel dari penduduk Kanaan merupakan satu perjanjian radikal
dengan tujuan memastikan bangsa Israel memiliki sauh yang kuat bagi iman mereka
kepada TUHAN. Sikap ini lambat laun berubah karena Israel sendiri secara
pribadi, perlahan – lahan, sudah memiliki
TUHAN sebagai pemimpin dan Allah mereka. Dalam perjanjian dengan Israel,
Allah menginginkan adanya satu penyembahan ekslusif dari berbagai segi kehidupan
Israel. Corak agraris di tanah perjanjian menjadi satu bentuk pemujaan terhadap
Allah. Ini semacam sistem bagi hasil yang biasa dipakai oleh kelompok agraris
sampai saat ini. Dalam sistem bagi hasil ini, Allah adalah pemilik dari semua
yang sulung; buah sulung, anak sulung, panen sulung atau panen pertama. Israel
percaya bahwa Allah adalah pemberi kesuburan atas tanah, karena itu ada waktu –
waktu perayaan khusus di Israel.
Kitab Hukum
Deuteronomis atau hukum perulangan ditulis oleh sumber D pada masa pra
pembuangan yaitu pada masa pemerintahan Yosia. Kondisi politik memang cukup
stabil. Pada waktu Yosia menjadi raja, usianya masih 8 tahun. Karena itu
kepemimpinannya di bantu oleh golongan “am ha ares” sebagai representasinya.
Bahkan sampai Yosia meninggal, golongan yang sama ini masih berkuasa. “Am ha
ares” adalah golongan tertentu yang mengendalikan pemerintahan, mereka tidak
melawan raja melainkan menjadi penolong Yosia dalam mengendalikan pemerintahan
dan sekaligus juga adalah guru politik bagi Yosia. Golongan ini tidak memiliki
kekuasaan politik bagi diri mereka sendiri, tapi bangsa secara keseluruhan
berada di tangan mereka. Hukum Ulangan kemungkinan muncul sebagai bentuk
pembatasan terhadap kekuasaan kaum “Am ha ares” ini. Hukum memberikan bentuk
dan legitimasinya pada masa ini. Kondisi keamanan stabil negara juga stabil
karena kekuasaan Asyur yang melemah. Ekonomi stabil cukup stabil karena adanya
gerakan ekonomi berbau intrik politik terpusat. Hanya kerohanian merosot, penyembahan
terhadap ilah asing ramai. Diketemukannya lembaran – lembaran kitab hukum oleh
imam besar Hilkia menjadi landasan baru untuk melakukan reformasi
mental. Kitab ini juga ditulis oleh beberapa orang dari
generasi yang berbeda dengan tujuannya masing – masing.
Pada masa
pembuangan kondisi umat Israel yang berada
dalam tekanan ekonomi, sosial, politik, dan kehilangan haknya sebagai negara
waktu itu menimbulkan pengaruh dalam pengeditan Pentateukh. Di bidang ekonomi,
rakyat dililit dengan kewajiban untuk membayar hutang sekaligus persepuluhan.
Rakyat bertanggungjawab kepada pemiliki tanah sekaligus juga kelangsungan hidup
para imam sementara mereka sendiri sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Ada
kebebasan sosial dan politik dalam pemikiran kitab hukum Kekudusan. Ada ruang
bagi rasa bersalah dan pengakuan dosa sehingga memungkinkan ruang bagi
pertobatan dan pengampunan dosa. Rasa bersalah merupakan hukuman nurani atas
dosa dan tidak berpengaruh apapun dengan status hubungan Israel dengan Allah.
Hubungan yang terjalin antara Allah dan Israel berdasarkan janji, janji ini
tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan karena apapun, karena Allah sendiri
yang menjaganya. Bentuk dari praktik kekudusan ini menjelma dalam peraturan
pentahiran fisik dan ini bukan hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan namun
juga etika resmi.
Situasi sulit
yang terjadi pada masa pembuangan membuat peraturan – peraturan ketat dalam
masa pendudukan dan monarki sepertinya bukan standar hidup lagi. Hubungan
dengan Allah dalam kekudusan merupakan faktor penting. Dalam masa ini, umat
Allah mencoba sedemikian rupa mempertahankan keunikan mereka sebagai umat
pilihan Allah. Awalnya sempat terjadi kekecewaan, namun ada nabi – nabi yang
membantu meneguhkan kembali harapan mereka tentang masa depan Israel yaitu
Yehezkiel dan Deutero – Yesaya. Mereka diingatkan untuk kembali memelihara
hukum – hukum Allah agar hubungan mereka di masa depan bersama Allah menjadi
lebih baik (Hinson, 2012 : 214 – 215_ Hubungan Israel dengan Allah justru
sangat terasa maknanya pada masa pembuangan ini. Akumulasi dari kesalahan – kesalahan
yang Israel lakukan di masa lalu telah membawa mereka ke dalam kehancuran dan
pembuangan. Fase ini adalah fase pemulihan hubungan antara Israel dan Allah.
Kesadaran sebagai satu umat yang unik, pilihan Allah, Allah ada di tengah –
tengah mereka dan harus hidup kudus, harapan tentang eskatologis berkembang
pesat pada masa ini. Upacara – upacara korban dan pertobatan dilakukan semata –
mata untuk menegaskan hubungan yang terjalin antara mereka dan Allah. Namun
demikian, para penulis P mendiferensiasikan konsep dosa yang disengaja dan
tidak. Dosa yang disengaja menuntut hukuman karena merupakan bentuk
penyangkalan atas kekudusan Allah dan menyebabkan satu kaum atau bangsa
terhisab dalam dosa itu. Pertobatan dan pendamaian terjadi bagi dosa yang tidak
disengaja. Namun ada juga beberapa bagian dokumen yang menyatakan bahwa entah
itu disengaja atau tidak dosa dapat diampuni oleh Allah. Karena konsep
pengampunan sendiri bergantung pada privasi Allah bukan soal keagamaan, karena
Allah yang mengenal hati manusia. Tidak ada standar keagamaan untuk sebuah
tindakan berdosa manusia. Dosa lagi – lagi bukan merupakan konsep sosial,
ekonomi, politik, budaya atau masyarakat atau manusia secara universal
melainkan konsep Allah atau teologi.
Tugas manusia adalah kasih. Kasih adalah tuntutan etis terhadap segala
sesuatu termasuk hukum, meski PL hanya membatasinya pada komunitas Israel demi
alasan kekudusan.
Nehemia
mencoba untuk menginterpretasikan setiap hukum resmi yang ada dalam konteks
masa itu. Dan Nehemia 10 merupakan hasil interpretasi dari hukum asli dan
konteks masa pembuangan. Bukan bermaksud melemahkan hukum yang terdapat dalam
Pentateukh, namun karena situasi penderitaan rakyat masa itu. Oleh sebab itu,
Torah mau tidak mau akhirnya dimengerti dalam dan dengan cara yang berbeda oleh
berbagai macam orang berdasarkan situasi kehidupan mereka. Israel akhirnya
memang kembali ke Yerusalem dan menjadi salah satu bagian provinsi di bawah
kekuasaan kekaisaran Persia. Namun walaupun Bait Suci sudah dibangun ulang, semua
orang Israel tidak bisa bersatu kembali seperti semula. Diaspora terjadi sangat
pesat ke arah barat. Namun mereka tetap berpegang pada hukum yang diterbitkan
hasil dari pengembangan tulisan – tulisan
imam yang dianggap relevan bagi mereka. Figur seperti Nehemia dan Ezra
memiliki peran besar selain untuk mengajar dan mengingatkan tentang Allah,
mereka juga memiliki kedekatan dengan raja dan menjadi perpanjangan keinginan
raja bagi orang – orang Ibrani. Kemungkinan hukum Ezra dan Pentateukh di edit
di sini.
Di Timur juga
sebenarnya hukum ini memiliki pengaruh namun karena hubungan bilateral negara
Persia dan Mesir yang buruk, wacana tentang hukum tidak dimasukkan dalam
tulisan ini. Otoritas yang dimiliki raja Persia pada masa itu memperkuat
kedudukan Nehemia dan Ezra di mata orang Israel. Sayangnya menurut Snell,
penafsiran tentang otoritas raja – raja ini kemungkinan merupakan pengaruh
pemikiran Barat yang memang menaruh raja dalam bidang yang demikian penting.
Raja merupakan oknum penting yang memiliki otoritas dalam mencatat sejarah dan
ia bisa saja menyuruh atau membayar orang untuk menulis sejarah (2012 : 10).
Penekanan kuat yang diberikan oleh Crusemann terhadap otoritas raja kemungkinan
juga dipengaruhi oleh sistem monarki ini. Dan menurut Snell, Jerman pada abad
ke – 19 merupakan salah satu negara Eropa yang paling terpengaruh kekuasaan
dinasti – dinasti kuat sehingga Crusemann bukan tidak mungkin telah terpengaruh
konsep ini dan mencampurkan pemahaman historis dalam kronologi sejarah kerajaan Persia. Karena itu masa ini ditandai
dengan nubuatan – nubuatan Mesianis dan eskatologis berperan sangat besar dan
merupakan masa di mana apokalitpis lahir. Terdapat harapan untuk terbebas dari
dominasi Persia. Pemikiran ini yang kemudian mewarnai bagian akhir dari
pengeditan Pentateukh yaitu pada peristiwa akhir kepemimpinan Musa ketika
bangsa Israel akan memasuki tanah Kanaan dan Musa pergi menghadap Allah dan
menghilang selamanya.
Akulturasi Budaya, Hukum, dan Logika Bangsa Sekitar Israel
Dalam penjelasan terdahulu tentang perkembangan Torah
sebagai kumpulan penyataan iman umat Israel, terdapat poin penting bahwa tidak
semua hukum ini murni berasal dari dalam umat Israel sendiri. Kebanyakan hukum
justru diadaptasi dari hukum – hukum negara Timur Tengah kuno masa itu.
Mishpatim merupakan kumpulan hukum kasuistik yang kemungkinan besar paling
banyak mengadaptasi hukum sekitar. Bagaimanapun juga, masa ini merupakan masa
awal kehidupan Israel sebagai bangsa di Kanaan. Belum ada hukum, kebijakan,
ketetapan atau peraturan – peraturan yang sesuai dengan kehidupan baru mereka
saat itu. Israel masih belajar menyesuaikan diri dengan status baru mereka
sebagai satu bangsa dengan tanah sebagai identifikasi keberadaan mereka. Israel
hidup dalam dan di antara bangsa – bangsa
sekitarnya, dan mereka mulai belajar berbagai hal, bukan hanya hukum, ekonomi,
sosial, politik, praktik kehidupan sehari – hari di tanah perjanjian, dll. Israel
masih terpesona dengan budaya – budaya baru yang mereka temui di Kanaan,
sehingga corak asli mereka sebagai umat Allah belum kentara.
Lain halnya
ketika masa monarki, mereka sudah memiliki corak tersendiri, sehingga
akulturasi budaya ini tidak begitu kentara. Bahkan Crusemann menyebutkan bahwa
hukum Ulangan yang lahir dari periode pra pembuangan ini merupakan bentuk
lanjutan dari kitab Perjanjian namun diperluas dalam beberapa bagian tanpa ada
pengaruh dari budaya sekitar. Fase ini merupakan fase stabil dalam sejarah
bangsa Israel. Negara sudah mempunyai bentuk politik, ekonomi, sosial, sistem
administrasi yang baik. Pengaruh dari luar sulit masuk ke dalam negara.
Sayangnya, kekacauan justru hadir dari lingkungan kerajaan. Sejarah mencatat
faktor – faktor penyebab kejatuhan Israel sebagai bangsa. Namun ini murni
kesalahan personal bukan Torah.
Pada masa
pembuangan, dimana bangsa Israel bergumul dengan iman mereka kepada Allah, pada
imam berjuang keras untuk sebisa mungkin, sedemikian rupa, membuat satu
kumpulan buku sejarah, hukum, tradisi, secara sistematis dan rinci. Dimulai
dari penciptaan sampai ke momen- momen penting dalam paling bersejarah bagi
Israel sebagai umat Tuhan. Tentu bangsa Israel yang berada di berbagai daerah
sudah cukup lama berbaur dengan orang – orang di sana dan mulai kehilangan
sedikit banyak budaya mereka karena proses akulturasi. Karena itu, menjadi
pekerjaan rumah paling besar bagi para imam untuk memproduksi satu buku yang
sesuai dengan masyarakat diaspora dari berbagai hasil akulturasi budaya untuk
dapat menyadari lagi kekhususan status mereka sebagai umat pilihan Allah. Bukan
sebuah proyek yang mudah untuk merangkul berbagai budaya, bersifat fleksibel
terhadap hantaman budaya setempat yang mungkin pada masa sebelumnya ditentang
keras agar pesan hati Allah terhadap perjanjian ini diterima dengan baik oleh
kaum diaspora. Bagaimanapun Torah menekankan kekudusan dan kekhususan Israel
sebagai umat Allah, masyarakat diaspora akan melihatnya dalam cara yang
berbeda. Inilah tugas para penulis P agar pengambilan tindakan etis untuk tetap
berpegang pada Torah dan bertahan dalam perjanjian dapat dilakukan dalam
konteks mereka. Fakta akhirnya pun, ada sebagian orang yang menderita di
perantauan tentu menginginkan untuk kembali dan membangun Yerusalem baru, tapi
sebagian orang yang sudah berhasil memiliki kehidupan sendiri, harta sendiri,
tidak banyak yang kembali.
Pentateukh
sendiri dibentuk dalam satu rangkaian waktu panjang sampai ia menjadi satu
produk yang utuh. Diperkirakan bahwa Pentateukh ini jadi dalam bentuk yang utuh
sekitar periode pembuangan sampai awal era Hellenistik yaitu periode Persia
sekitar akhir abad ke 3 atau ke 4 SM. Beberapa ahli percaya bahwa Ezra merupakan orang yang membawa Pentateukh
dari Babel ke Yerusalem. Namun ada juga yang menilai adanya pengaruh kebudayaan
Persia dalam pengeditan Pentateukh ini, sehingga Pentateukh yang kita miliki saat
ini adalah hasil dari akulturasi dengan kebudayaan Persia tersebut. Hukum Ezra
sendiri merupakan hasil akulturasi dua budaya. Proses yang panjang dari
pengeditan Pentateukh tanpa bisa dielakkan telah mentransfer logika pemikiran
dan etika Persia masa itu. Masalahnya adalah, ketika hukum baru ini dibukukan
dan diresmikan, hukum ini tidak dapat diubah lagi, dan hukum itulah yang kita
temui dan kita reinterpretasi lagi pada masa kini.
Nilai – Nilai yang Terkandung Dalam Penulisan Torah
Yuridis
Aspek yuridis
atau hukum sepertinya telah menjadi elemen penyusun pertama dan paling penting
dalam Torah. Sayangnya, pembaca awam masa kini tidak seluruhnya dapat memilah
tulisan mana yang merupakan hukum, ketetapan, peraturan, atau sejarah. Hukum
yang ada biasanya kena mengena dengan aspek moral dan seremonial yang kemudian
berujung pada pengambilan tindakan etis. Bersadarkan kriteria Wright, hukum –
hukum itu dibagi antara lain:
Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan
sistem hukum yang membahas setiap kejahatan yang oleh negara dianggap
bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Menurut Wright, seorang penjahat di
hukum atas nama seluruh masyarakat dihukum oleh penguasa tertinggi negara.
Karena Israel merupakan sebuah negara hasil karya tebusan Allah yang historis,
Dialah yang dianggap kekuasaan tertinggi dalam negara itu. Israel percaya bahwa
hubungan mereka dengan Allah adalah dasar keberadaan mereka sebagai suatu
bangsa sehingga keberlangsungan negara bergantung sepenuhnya pada hubungan itu.
Hubungan merupakan hubungan perjanjian. Efeknya, pelanggaran apapun terhadap
hubungan perjanjian dapat mengancam keamanan seluruh bangsa. Pelanggaran
terhadap Allah berarti pelanggaran terhadap negara karena sejak semula, negara
ini bergantung pada Allah. Hukuman – hukuman yang diberikan dalam hal ini
membuktikan kesungguhan perjanjian Allah dan pentingnya melindungi perjanjian
itu dari pelanggaran – pelanggaran yang membahayakan. Hukuman yang diberikan
biasanya cukup serius meskipun tidak semuanya berakhir pada hukuman mati (2012
: 156 – 157).
Dalam negara modern, hukum pidana ini disebut juga
dengan hukum publik. Berdasarkan sejarahnya, istilah baik hukum pidana atau public law
ini merupakan sistem hukum yang dipakai di daratan Eropa. Israel
sendiri sepertinya tidak mengenal istilah ini. Ini merupakan jenis klasifikasi
baru yang ditampilkan oleh Wright dkk. Hukum publik ini memang berlaku secara
umum di masyarakat, mengatur setiap pelanggaran, memberi sanksi terhadap
kejahatan – kejahatan yang merugikan atau dipandang buruk oleh masyarakat umum.
Konsep ini yang dipakai oleh Wright untuk mengidentifikasikan jenis – jenis
hukum di kalangan Yahudi.
Adapun jenis- jenis pelanggaran yang masuk dalam
kategori hukum pidana berkaitan dengan pelanggaran terhadap Dekalog yang merupakan
penentu batas dan kewajiban perjanjian dengan Allah, selain itu, penjabaran
peraturan – peraturan dan hukum – hukum Dasa Titah dalam hal ini Mishpatim,
masuk dalam kategori hukum pidana. Hukum ini biasa disebut juga dengan hukum
apodiktif atau hukum absolut. Menurut Beyer, hukum ini berisi larangan atau
perintah, dan umumnya menyangkut juga pokok moral dan religi. Di dalam hukum
ini juga terdapat hukum talionis (2008 : 141 – 143).
Hukum Perdata
Hukum perdata merupakan
hukum yang mengatur hubungan antar pribadi seringkali juga disebut dengan privat law. Dibuat pertama kali di
Perancis yang mengatur hak – hak dan kepentingan individu dalam masyarakat.
Kemudian dipakai oleh Belanda sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di
antara mereka. Di Indonesia sendiri
istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
terjemahan dari burgerlijkrecht pada
masa pendudukan jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Wright memberi indentifikasi kepada pembaca tentang
hukum ini dalam Torah jika ditemukan konjungsi dalam kalimat hukum seperti
“Kalau...” dan “Apabila...” untuk menjelaskan situasi di belakangnya. Ini juga
yang disebut dengan hukum “kasuistis” atau hukum kasus. Hukum perdata ini
mencakup perselisihan antara sesama warga. Biasanya sangat dipengaruhi oleh
pengalaman dan konteks zaman untuk dalam melihat satu kasus. Namun tetap
berpijak pada prinsip moral.
Yang termasuk dalam kategori hukum perdata terdapat
dalam kitab Perjanjian berupa kasus kehancuran, kelalaian, penyerangan,
kecelakaan, perselisihan atas barang yang dipinjam dan disewakan, budak, dll.
Hukum Keluarga
Rumah tangga Israel
merupakan tempat paling penting untuk mengajarkan teori sekaligus
mengaplikasikan hukum. Kepala keluarga merupakan penanggungjawab dan berkuasa
secara hukum atas seisi rumah termasuk anak lelaki atau orang – orang yang
tinggal di tanah warisan mereka. Otoritas hukum kepala keluarga dalam hal ini
tidak memakai wewenang hukum perdata maupun peradilan tua – tua. Hanya, dalam
hal pemberian disiplin, para kepala keluarga ini tidak memiliki hak untuk
menentukan hidup atau mati anggota keluarganya. Jika keadaan berkembang, hukum
perdata dan tua – tualah yang memiliki berwenang selanjutnya.
Adapun yang termasuk
dalam hukum keluarga adalah hukum tentang perkawinan, perceraian, penerimaan
budak sukarela, hukum warisan, penebusan tanah, orang, tahun Yobel diatur oleh
hukum keluarga. Hukum keluarga ini memang merupakan bagian dari hukum perdata,
sehingga ada sedikit kesulitan untuk mengidentifikasi keduanya secarar
terpisah, namun Wrigth menegaskan bahwa sebenarnya keduanya berbeda. Apa yang
bisa dibicarakan dalam keluarga, merupakan hukum keluarrga, kecuali jika
terjadi pelanggaran atau masalah – masalah lain di belakangnya sehingga
membutuhkan penanganan khusus dari para tua – tua. Tujuan utama dari hukum
keluarga ini adalah kekudusan dalam keluarga.
Hukum Peribadatan
Hukum ini mengatur
tentang peribadatan dalam masyarakat Israel kuno mulai dari waktu dan cara
beribadah. Bagi orang Israel sendiri, kehidupan beribadah itu mencakup hal –
hal sederhana seperti pengaturan makanan yang haram atau halal, hari – hari
Sabat, hari – hari raya, persembahan, persepuluhan, buah sulung dan
peengumpunan sisa panen. Hukum peribadatan ini sepertinya memang tidak terlalu
relevan jika diaplikasikan secara etis ke masa sekarang karena hanya bersifat
seremonial. Namun Wrigth menekankan bahwa hukum ini sebenarnya memiliki aspek
moral penting karena menyangkut juga kepedulian tidak hanya kepada Tuhan pada
masa itu namun juga tanggungjawab kemanusiaan bagi orang – orang miskin, asing,
yatim dan janda.
Hukum Kebajikan
Hukum kebajikan tidak
masuk dalam kategori hukum Yuridis karena perintah – perintah yang ada di
dalamnya tidak dipaksakan namun tersebar dalam seeeluruh kitab – kitab hukum.
Prinsip – prinsip moralnya bergantung pada kemurahan hati seseorang. Alasan
dasarnya adalah perikemanusiaan, motivasinya teologis dan ternyata merupakan
faktor terpenting dari sudut etis. Dasar hukum kebajikan adalah sikap Allah
terhadap Israel dalam keadaan serupa. Menaati dan menjalankan hukum ini adalah
bukti kasih kepada Allah yang tercermin dalam kasih kepada sesama manusia.
Penggerak hukum kebajikan adalah Anugerah Allah.
Kesimpulan
Ada berbagai macam
pendekatan dalam membedakan jenis – jenis hukum. Ada ahli yang membagi hukum
menjadi hukum moral dan seremonial. Ada juga yang membagi hukum berdasarkan
kekuatan mengikatnya yaitu hukum apodiktif dan kasuistis. Ada yang
mengkategorikan hukum lebih eksplisit lagi, mulai dari hukum persembahan,
ibadah, perang, budak, dll. Yang jelas adalah, apapun bentuknya, hukum
membutuhkan tindakan etis. Tindakan etis dilakukan sebagai respon sukarela
terhadap tindakan Allah. Sampai di sini pandangan tentang keunikan aplikasi
etis secara sukarela ini muncul. Seperti kata Barth, sebenarnya Allah
sendirilah melalui firman-Nya membangkitkan hati Israel dan menggerakkan mereka
untuk melakukan firman itu. Jadi tindakan etis yang dilakukan umat Israel
terhadap hukum, ketetapan, peraturan, berada di belakang keputusan Allah sendiri.
Sehingga dalam hal ini sebenarnya Allah adalah pelaku utama (2013 : 297).
Sosial
Dalam masa
pendudukan, terjadi pemisahan yang sangat radikal antara Israel dan bangsa –
bangsa sekitar. Tujuan utamanya adalah pemujaan ekslusif terhadap Allah sebagai
pemilik segala sesuatu. Kel 34 : 11 merupakan dokumen religius yang memisahkan
umat yang memuji Allah dengan pemuja ilah lain, menjadi poin penentu bagi
pemisahan mereka. Israel yang baru hadir di tanah perjanjian pada masa
itu harus hidup dan tinggal di antara bangsa Kanaan yang jelas – jelas
merupakan penyembah ilah lain dan memiliki budaya yang menjijikkan di mata
Allah. Keadaan masa itu merupakan fakta dan Israel perlu waspada terhadap
segala kemungkinan yang akan merusak hubungan perjanjian Israel dengan Allah.
Perjanjian ini baru dimulai karena itu perlu dibuat peraturan pra-pendudukan
yang dipahami dan disepakati bersama. Lama kelamaan setelah perjanjian ini
mendarah daging, peraturan akan terasa lebih fleksibel. Bukan karena hukum
berubah, namun pemahaman Israel yang
sudah berubah dan lebih memahami status mereka sebagai umat pilihan. Terdapat
hal positif negatif terjadi pada praktis kehidupan Israel sebagai bangsa, ada
konsekuensi yang diberikan akibat kesalahan mereka. Namun demikian, hubungan
perjanjian antar Israel dan Allah tidak akan pernah putus.
Pada masa pra
pembuangan, sisi kemanusiaan, kepedulian sosial, penghargaan terhadap hak azasi
pribadi tidak hanya bagi manusia namun juga ternak pekerja sangat terasa.
Ketetapan – ketetapan yang berkaitan dengan hukum sosial sering digambarkan
sebagai “hukum – hukum kemanusiaan”. Karakter simpatik ini merupakan tipikal
dari hukum – hukum kuno tentang orang miskin tapi tidak bersifat radikal pada
hukum atau teologi kitab Ulangan. Signifikansi hukum sosial ini pertamakali
muncul dalam posisinya sebagai struktur hukum dan koneksinya dengan agama lain
dalam tema kesatuan pemujaan. Persepuluhan, festival tahunan, juga mengarah
kepada kepentingan sosial, melibatkan bukan hanya hamba di rumah, namun juga
orang dari berbagai wilayah. Kepentingan religius dalam Kitab Ulangan
diaplikasikan secara etis dalam bentuk kepedulian sosial di berbagai bidang.
Berkat ilahi dinyatakan jika mereka peduli dengan sesamanya dan orang – orang terlemah
dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh situasi masa itu yaitu peralihan zaman
besi ke zaman agrikultur. Hasil panen yang besar dipercaya merupakan hasil
pengalaman bersama Allah. Jadi berbagi berkat kepada orang lain yang kurang
beruntung merupakan bentuk transmisi berkat di masa depan. Selain itu terdapat
kepedulian sosial yang berbentuk penghapusan hutang dalam tahun Sabat.
Pada masa pembuangan,
situasi sosial umat Israel menjadi kacau. Semua orang yang dikirim ke
pembuangan memiliki status sama sebagai budak di tanah buangan. Namun ada tidak
sedikit juga umat Israel yang berhasil di tanah Babilon maupun Persia. Hanya
sayangnya, tidak semua orang yang berhasil ini memiliki kepedulian terhadap
sesama mereka di pembuangan. Nehemia salah seorang yang begitu peduli terhadap
nasib sesama sebangsanya dalam pembuangan. Tapi ada banyak orang Yahudi kaya
dipembuangan yang tidak tertarik untuk terlibat dengan kehidupan saudara –
saudara mereka yang sedang dalam kemiskinan (Snell, 2012 : 226 – 230).
Ekonomi
Motivasi ekonomi dalam masa pendudukan awal Israel di
Kanaan tidak terlalu terasa. Israel yang masih baru menyelesaikan perjalanan 40
tahun mereka di padang gurun masih
menggantungkan seluruh segi kehidupan mereka kepada Allah, entah itu politik,
sosial, bahkan sampai kepada ekonomi. Israel percaya Allah adalah sumber segala
sesuatu termasuk kehidupan ekonomi mereka. Cara hidup bertani dan menetap yang
menjadi cirikhas Israel masa pendudukan awal ini membuat mereka memang
bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah. Belum ada sistem administrasi
pemerintahan yang jelas, tidak ada catatan khusus tentang penggunaan mata uang
di Israel masa ini. Kemungkinan sistem sirkulasi pasar dan cara pembayaran
masih dengan barter. Karena itu sistem pembayaran perpuluhan pun, kepedulian
sosial, masih dalam bentuk barang.
Pada masa
monarki dalam hukum Ulangan, tercantum juga hukum ekonomi termasuk di dalamnya
penghapusan hutang (Ul 15). Kemiskinan merupakan faktor utama yang menyebabkan
seseorang berhutang. Para pemilik tanah meminjamkan uang dan menjadikan mereka
budak. Kecenderungan memperbudak sesama ini yang melahirkan hukum ekonomi. Jika
mereka dapat membayar hutang dalam setahun, mereka dibebaskan dari perbudakan,
jika tidak diperpanjang sampai enam tahun, dan tahun ketujuh merupakan tahun
pembebasan dari hutang. Hukum ini hampir ada di semua kitab hukum Israel dan
menjadi masalah paling mengakar dalam kehidupan bangsa Israel dan terus ada
sampai masa PB bahkan pergumulan terbesar dunia saat ini meski telah menjelma dalam
bentuk lain yaitu kemiskinan mental. Sehingga bukan lagi menjadi masalah
ekonomi, sosial maupun agama, melainkan kasus umum. Dalam kitab Ulangan,
kemungkinan besar karena faktor konteks situasi yang berubah dari pendudukan
awal menjadi monarki, kriteria perpuluhan, pengorbanan, sepertinya mulai
melemah dan menyimpang dari hakikat aslinya. Persembahan persepuluhan dan hak
sulung yang sebenarnya merupakan
bagian Allah mengerucut. Orang - orang
diberi kebebasan memilih tujuan perpuluhan, entah itu untuk Allah atau
kepentingan sosial. Selain itu juga diberi kebebasan untuk memberi atau tidak
memberi perpuluhan, sesuatu yang awalnya mutlak dilakukan pada masa awal
memasuki tanah perjanjian. Ada berbagai macam kepentingan tercampur di
dalamnya, namun pemerintahan pusat sepertinya memanfaatkan hal ini juga demi
kepentingan negara terutama ekonomi alih – alih demi pemusatan sistem. Hal ini
juga kemungkinan terjadi karena pengaruh
perkembangan penggunaan mata uang dalam masa monarki. Mungkin saja sebenarnya tujuan
awalnya baik, mengantisipasi kesulitan- kesulitan orang – orang yang lokasinya
jauh dari Bait Suci Yerusalem datang beribadah dan mempersembahkan korban,
namun akhirnya dicampuri dengan kepentingan – kepentingan baik politik,
ekonomi, bisnis, dll. Ibadah berubah
menjadi bisnis peribadatan. Penulis kitab Ulangan juga sepertinya sudah sangat
melunak dalam mensarikan hukum tentang perpuluhan, korban, dan bentuk –
bentuknya. Wajar jika para penulis Ulangan memberi cap negatif pada pemerintah
pusat.
Politik
Dengan sistem
Teokrasi ini sudah dapat dipastikan bahwa Allah adalah pemimpin tertinggi
bangsa Israel. Kepemimpinan Musa adalah kepemimpinan kharismatis. Ia selalu
bergerak karena peranan Allah. Sistem peradilan Musa dimulai di gunung Sinai
antara Allah dengan Musa. Setelah itu, dalam bentuk narasi sejarah dicatat
kasus – kasus hukum yang diperhadapkan dengan Musa baik antara sesama Israel,
tetangga/ orang asing, bahkan dalam hal keagamaan. Umumnya masyarakat akan
membawa masalah hukum kepada Musa dan Musa akan meneruskannya kepada Allah lalu
Allah akan memberi keputusan terhadap kasus tersebut. Ada masalah – masalah
hukum yang berada di luar jangkauan sistem norma dan hukum karea itu butuh
jawaban dari Allah. Belum ada aturan baku pada masa ini, semuanya masih berasal
dari kebijakan Allah.
Setelah masa
pendudukan, sistem ini mulai semakin jelas. Pada masa pendudukan awal, sistem
pemerintahan masih banyak mewarisi institusi Musa. Ada hukum yang sifatnya
fleksibel, menampilkan sedikit norma namun juga ada yang memberi informasi
detail tentang Torah. Inisiatif pribadi dan tindakan resmi tanpa bantuan
perantara berlawanan dengan hukum yang mengikat. Namun pada akhirnya, hukum
yang bersifat memaksa dan mengikat inipun bersifat fleksibel. Hal ini dikarenakan
partisipasi dan tanggungjawab Israel terhadap hukum tidak langsung berkaitan
dengan administrasi peradilan melainkan kontrak resmi dengan Allah. Meski
terjadi banyak modifikasi, hukum yang berlaku pada masa sebelum pendudukan
telah menjadi dasar bagi Torah. Hukum di Israel muncul dan berkaitan erat
dengan kekuatan orang – orang super di dalamnya. Hukum itu menjadi resmi karena
ada otorisasi orang – orang tertentu seiring semakin berkembangnya sistem
pemerintahan Israel. Setidaknya ada tiga sistem peradilan resmi dalam
masyarakat Israel. Pertama, pengadilan
tua – tua di gerbang. Sistem peradilan inn merupakan sistem peradilan yang awal
muncul di Israel dan menjadi salah satu dasar penting sistem peradilan Israel
selanjutnya. Biasanya orang – orang akan membawa kasus mereka untuk diambil
keputusannya di hadapan tua – tua. Orang – orang Israel taat terhadap para tua
– tua dan bangsawan dan kebiasaan ini sudah menjadi tradisi di antara mereka.
Para tua – tua ini berpegang pada hukum tradisi yang sudah menjadi standar
etika di Israel. Bahkan sampai masa raja – raja, hukum tradisi ini tetap
dipertahankan. Umumnya pengadilan lokal dan komunitas orang – orang yang
memiliki kekuasaan dan merupakan representasi raja dalam institusi hukumnya dan
dengan adanya kaitan dengan raja, kekuatan mereka semakin bertambah di Israel.
Hukum masa ini berpusat pada keadilan dan kebenaran. Perhatian hukum selalu
berkaitan dengan ketidakadilan yang terjadi secara sosial dan bentuk – bentuk
eksploitasi yang terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk masuk dalam sebuah
wilayah negara hukum, ia mengikat dirinya terhadap segala peraturan atau hukum
yang berlaku di negara tersebut. Kedua, institusi hukum Musa. Musa juga
memiliki kedekatan dengan para tua – tua, dan ada kemungkinan institusi hukum yang dikembangkan oleh Musa ini menjadi
titik berangkat bagi lembaga kerajaan sekaligus model pemerintahan monarki.
Musa bertugas menjelaskan hukum sebagai bentuk kehadiran Allah, keadilan,
mendeklarasikan ketetapan – ketetapan dan petunjuk Allah. Ayah mertuanya
kemudian mengajukan ide tentang sistem pemerintahan yang mungkin akan membantu
dalam kepemimpinan Musa. Ada pembagian tugas yang cukup jelas dalam sistem ini.
Kasus biasa ditangani oleh para tua – tua, yang rumit oleh Musa dengan
membawanya kepada Allah. Tua – tua yang dimaksud tetaplah bukan orang
sembarangan. Mereka adalah orang – orang bijaksana dan memang adalah pemimpin –
pemimpin suku itu sendiri. Kepemimpinan mereka mewakili Musa dan berarti
mewakili Allah. Musa tidak menghilangkan sistem hukum lama yang sudah lebih
dulu ada di Israel namun kemudian mentransformasinya dengan satu bentuk hukum
baru dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Teokrasi. Keunikan dalam sistem
ini adalah karena ide pembuatan sistem justru berasal dari orang asing. Sistem
yang dibentuk oleh Musa ini memang mirip dengan kepemimpinan sekitar. Bedanya,
Musa menangani masalah – masalah keagamaan. Bisa jadi, kasus – kasus rumit yang
dimaksud memang berkaitan dengan agama, bukan tradisi. Hal – hal yang
menyangkut norma/ etika sosial, kemasyarakatan, masalah hidup sehari – hari
diserahkan kepada tua – tua. Ketiga, pengadilan
tinggi Yerusalem. Orang – orang dalam pengadilan ini berperan penting dalam
penyusunan hukum – hukum di Israel. Pengambilan keputusan oleh mereka dilakukan
atas otoritas Musa dan berarti merupakan
representasi dari hukum Allah. Bentuk komposisi hukumnya sendiri berkaitan erat
dengan komposisi hukum Israel dan unik di Timur Dekat Kuno.
Pada masa
monarki, segala kegiatan menyangkut ibadah, sosial, hukum dipusatkan pada
kerajaan. Pemusatan pemujaan dalam tulisan D menjadi peraturan dan hukum
pertama. Ini juga yang membedakannya dengan kitab Perjanjian yang justru
memperkenalkan berbagai tempat agar nama Allah diwartakan (Kel 20 : 24).
Sentralisasi ini terjadi di Yerusalem tepatnya di Bait Suci. Yerusalem pada
waktu itu merupakan ibukota Kerajaan. Selain itu, diperkirakan juga ada
motivasi ekonomi di balik pemusatan ini yaitu agar pajak ataupun persepuluhan
disampaikan langsung ke ibukota. Bait Suci memang berada dalam posisi yang
strategis, namun tidak berarti bahwa negara dan imam berhak mengatur
persepuluhan tersebut. Memang karena hal ini, para pedagang, petani, mendapat
keuntungan karena adanya pertukaran mata uang di dalamnya, namun para penulis
Ulangan memandang negatif hal ini. Persepuluhan dan buah pertama tidak lagi
diperlukan bagi hidup mereka, sudah bukan materi penting dalam kriteria
persembahan; banyak korban tidak terkontrol karena pemotongan yang secara bebas
dilakukan oleh orang awam. Upacara korban hanya dilakukan untuk alasan – alasan
tertentu. Semua pembayaran korban dan pemujaan dibawa kepada satu tempat yang
dipilih sendiri oleh TUHAN. Ini merupakan titik awal dari sejarah keagamaan
Israel dan memiliki konsekuensi hebat. Karena hal – hal ini, Kitab Ulangan
memandang negatif otoritas Kerajaan. Sistem politik pemerintahan memberi
pengaruh besar bagi penulisan Kitab Ulangan dan kebanyakan ini mendapat
pengaruh dari sistem konstitusi yang dibangun oleh otoritas Musa namun ada juga
yang berdasarkan kedaulatan pribadi. Di negara – negara Timur Dekat, kerajaan
merupakan mediator antara bumi dan surga. Bagi orang Yahudi, kerajaan dibangun
TUHAN sendiri. Berdasarkan hukum dalam Ul 17 : 14 – 20, kekuasaan raja bersifat
terbatas oleh orang – orang yang ditunjuk khusus oleh Allah dan oleh Torah.
Karena pemilihan raja hanya terjadi karena kehendak Allah bukan prakarsa
manusia, Allah tetap adalah pemimpinnya. Allah menetapkan pemimpin bagi Israel.
Dengan demikian, Allah dan Israel saling bekerja sama, tidak dibiarkan
berlawanan satu dengan lainnya. Namun karena manusia memaksakan diri untuk
memilih raja, maka kekuatan ini berasal dari manusia. Hanya dinasti Daudlah
yang dipilih oleh Allah. Kitab Ulangan menyajikan gambaran idealnya tentang
raja, Torah haruslah lebih tinggi otoritasnya ketimbang raja. Raja merupakan
model bagi Israel. Dari sinilah hipotesis bahwa dokumen ini ditulis pada masa
monarki menjadi lebih jelas. Dalam kitab ini, pembangunan kerajaan dan
kedaulatan umat dieskpresikan dalam cara
yang khusus. Kesatuan ritual keagamaan dan pemujaan ekslusif dalam kitab Hukum
Ulangan dikaitkan dengan pengadilan. Karena itu, wewenang pengadilan pusat
bukanlah penanganan kasus hukum biasa melainkan menerima dan menangani kasus –
kasus hukum dari pengadilan daerah atau pengadilan tingkat di bawahnya,
memberikan nasihat resmi tentang adanya kemungkinan perkembangan sistem
peradilan di masa depan. Ini merupakan sistem organisasi hukum masa itu dan
ditindaklanjuti berdasarkan otoritas Musa. Orang – orang yang ada dalam
pengadilan pusat merupakan bentuk lanjut dari tua – tua di masa Musa. Selain
warisan pemikiran tentang pengadilan, Ulangan juga mewarisi ide tentang
kenabian dan nubuatan dari Musa. Nubuatan atau tepatnya ramalan bagi bangsa di
sekitar Israel merupakan hal yang lumrah namun tidak bagi Israel. Allah
berwenang untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan sesuatu di masa depan
berdasarkan otoritas Allah sendiri. Allah menyatakan kehendak-Nya melalui Torah
dan menegaskan ulang melalui nabi – nabi.
Pada masa pembuangan,
Israel secara otomatis kehilangan hak politik mereka dan kembali menjadi budak
di negeri Babel maupun Persia. Umat Israel terpencar ke hampir seluruh dunia,
kehilangan kedaulatan mereka namun tetap berusaha untuk mempertahankan
identitas mereka sebagai umat pilihan Allah. Karena itu masa ini ditandai
dengan harapan eskatologis yang besar tentang adanya Yerusalem baru dan
pemerintahan baru di masa depan. Mereka berharap kerajaan Israel akan dibangun
kembali dan melepaskan mereka dari perbudakan di pembuangan.
Kesimpulan
Dalam Torah, antara
hukum moral dan seremonial, kehidupan sosial kemanusiaan, kepedulian terhadap
alam dan lingkungan, politik pemerintahan, semuanya kait mengkait satu sama
lain. Hanya terdapat dua garis besar Torah seperti yang disebutkan kebanyakan
orang dalam dasa titah awal. Bagian hukum pertama dalam Torah merupakan bukti
penyataan iman Israel kepada Allah secara ekslusif dan atau satu – satunya. Bagian
hukum kedua merupakan bukti tindakan iman Israel kepada Allah melalui
kepedulian sosial kepada sesama manusia yang sekaligus juga tercermin dalam
kepeduliaan terhadap alam semesta. Jadi hukum itu bersifat
etis dan kultis atau moral dan seremonial. Apapun
konteksnya, bagaimanapun hasil tafsirannya, inilah esensi Torah.
Kesimpulan
Ada beberapa komponen
penyusun dalam Torah dan arti penting dari tiap komponen ini antaralain
pengaruh Persia, Dekalog, Kongregasi dan Instruksi untuk masa depan. Pengaruh
Persia telah dijelaskan di atas bagi pengeditan kumpulan kitab sebelum kemudian
menjadi bentuk utuh. Hal ini menandakan bahwa hukum yang Allah berikan tidak
bersifat kaku, tertutup atau absolut. Sementara Dekalog sendiri yang diduga
kuat sebagai bentuk asli dari hukum Allah pun harus ditinjau ulang. Dekalog
yang diberikan lewat perantaraan Musa karena keterbatasan umat terhadap Allah
muncul dalam 2 jilid loh batu. Dua loh yang pertama hancur karena peristiwa
anak lembu emas karena itu Allah membuatkan loh yang kedua. Dekalog ini juga
muncul dalam dua versi yaitu versi kitab Keluaran dan kitab Ulangan. Versi
Keluaran kemungkinan ditulis oleh sumber P. Hakikat hukum ini perlu diuji
karena secara teologis sepertinya lebih berperan dalam hal etis dan katekis
ketimbang hukum dalam arti yang sesungguhnya.
Baik D dan P mencoba untuk menyampaikan hukum sesuai dengan konteksnya
masing – masing. Hal ini tidak terjadi karena mereka tidak konsisten, melainkan
karena keterbatasan komunikator dalam mengkomunikasikan isi hati Allah dalam
bentuk tulisan resmi bagi dunia sesuai dengan berbagai konteks dari berbagai
zaman. Firman ini disampaikan kepada satu kongregasi yaitu Israel dan Allah
menghendaki agar kongregasi ini menjadi kongregasi yang kudus. Merekalah yang
akan menjadi bangsa imam untuk menghubungkan antarar Allah dan dunia. Pesan
hati Allah ini disampaikan tidak hanya pada masa itu saja, konteks itu saja,
namun kepada semua orang dari berbagai keturunan yang diadopsi menjadi bagian
dari keluarga Israel. Hukum yang Allah wahyukan di Sinai tidak berhenti sampai
di situ saja. Peraturan – peraturan itu mengalami perhitungan ulang, realisasi,
tambahan, pengerasan dan penegasan. Bentuk tulisan asli tentang kehendak Allah
itu kaku, tapi tidak berarti isi hati Allah itu kaku. Kanon yang menjadi
prinsip tertulis dan pewartaan oral firman itu berjalan bersama – sama. Yang
satu menginformasikan yang lain. Tanpa penjelasan langsung, hukum bersifat
kaku. Kristenpun sampai saat ini terus menerus berinterpretasi sampai ditemukan
bentuk implikasi etis yang tepat bagi dunia masa kini.
Kesatuan Torah Sebagai Kumpulan Penyataan Iman Umat
Israel
Meskipun terdapat
banyak perbedaan yang mempengaruhi bentuk Torah, namun Torah tetaplah satu
kesatuan. Menurut Barth, Torah memang satu kesatuan karena; pertama, seluruh hukum itu bersumber
dari dan pada waktu penyataan dasar di Sinai. Memang ada catatan tentang tempat
– tempat lain namun semua akhirnya mengarahkannya ke Sinai. Pemusatan ini
terjadi karena di Sinailah pembentukan perjanjian dan kelahiran Israel terjadi.
Dan di antara hukum – hukum lain itu, hukum Sinailah yang berwibawa di Israel. Kedua, seluruh Torah diperoleh dengan
perantaraan Musa. Musalah satu – satunya saluran penyataan kehendak Allah. Tentu
ada juga hukum yang muncul di luar Musa, namun pemusatan Torah pada Musa
disebabkan oleh perannya dalam peristiwa kelahiran umat Israel di Sinai. Allah
mengikat perjanjian dengan Israel dan memberi hukum-Nya di Sinai dengan
perantaraan Musa. Nama Musa dipakai sebagai salah satu sumber wibawa hukum di
Israel. Memang Musa bukanlah penulis semua hukum, namun seluruh kumpulan hukum
itu searah dengan Musa. Ketiga,
seluruh hukum yang diberikan kepada Israel itu merupakan penyataan dan firman
Tuhan. Di dalam hukum terkandung martabat dan wibawa Allah. Allah sendiri yang
berprakarsa, Allah sendiri membuat hukum dan menyampaikannya dengan perantaraan
Musa. Pernyataan – penyataan Allah ini yang kemudian ditulis dan dibukukan.
Memang ada hukum yang berasal atau diadopsi dari bangsa sekitar. Namun ini tidak membatalkan peran Allah dalam pembuatan hukum
karena Allah sendiri jugalah yang menanamkannya dalam pikiran manusia. Keempat, seluruh hukum Taurat diberi
dengan serentak dan berlaku untuk selama – lamanya. Umat Israel percaya bahwa hukum – hukum Allah sempurna.
Mereka tidak sampai berpikir bahwa ada perbedaan jenis – jenis hukum, kumpulan
hukum, sumber hukum, penulis hukum. Bagi umat Israel, hukum Allah merupakan
satu kesatuan yang bulat, lengkap, memadai, untuk segala angkatan di kemudian
hari. Kelima, Torah diberikan khusus
kepada bangsa Israel, bukan bangsa lain. Torah memang berkembang bersama dengan
pengaruh budaya Timur Dekat namun Torah juga merupakan tanda ikatan perjanjian
yang terjalin antara Allah dan Israel. Torah diperuntukkan bagi bangsa Israel
sebagai respon mereka terhadap perjanjian dengan Allah. Karena perjanjian
terjalin di antara Allah dan Israel, maka bangsa di luar Israel tidak perlu
turut serta dalam meresponi ikatan perjanjian itu. Keenam, seluruh isi Torah merupakan hukum perjanjian. Tujuan
pemberian hukum ini adalah untuk memastikan bahwa umat terpelihara, Allah
menegaskan hubungan yang terjalin di antara mereka, Allah memastikan berkat
jatuh kepada mereka. Hukuman atau sanksi tetap ada, namun murni untuk
mempertahankan perjanjian tersebut (2013 : 310 – 319).
Dengan demikian,
kesatuan hukum ini berpusat pada Allah yang satu, satu perantara, satu tempat,
ditujukan kepada satu umat yaitu Israel, dengan satu penekanan, kekudusan.
Meskipun pada sepanjang sejarah ada perubahan, esensinya tetap sama.
Bab III
Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel :
Sebuah Kesimpulan
Allah memang
berprakarsa untuk segala sesuatu yang ada termasuk terhadap perjanjian-Nya
dengan Israel. Allah yang menyatakan diri-Nya baik dalam bentuk tindakan-Nya
dalam sejarah maupun firman-Nya. Allah juga yang memberikan Torah kepada umat
Israel sebagai bagian dari diri Allah, yaitu isi hati-Nya, untuk dituruti, agar
perjanjian antara Allah dan Israel tetap terjaga. Sebagai timbal baliknya,
Israel pun meresponi perjanjian ini dan berpegang teguh pada
dan dalam menjalankan hukum agar hubungan perjanjian ini
tetap terjaga. Usaha, kerelaan, respon yang diberikan kepada hukum – hukum
Allah dari masa ke masa ini merupakan bentuk penyataan iman mereka terhadap
keberadaan hubungan antara mereka dengan Allah.
Torah yang dimiliki
dalam bentuk jadi kanonnya telah berkembang selama beberapa abad setelah
peristiwa Sinai. Berbagai sumber mencatat Torah asli yang diberikan oleh Allah
adalah Dekalog Sinai. Dekalog sendiri ada dua versi, versi etis dan kultis.
Dekalog versi etis
diyakini ditulis dalam dua loh batu pertama yang hancur ketika kasus anak lembu
emas. Dekalog versi kultis merupakan Dekalog revisi. Dan keyakinan bahwa
Dekalog versi kedua ini asli buatan Allah dipertanyakan oleh para peniliti
modern masa kini.
Seiring perkembangan
zaman, perbedaan tempat, perbedaan situasi, Dekalog yang diyakini sebagai
sumber hukum tertulis awal ini mengalami tafsiran berdasarkan konteks dan
kebutuhan masa itu. Inilah yang menyebabkan Dekalog ini berkembang menjadi
kumpulan hukum baru yang lebih luas ditambah dengan pengaruh kebudayaan dan
hukum – hukum negara sekitar. Selain itu, pengalaman dan pergumulan hidup umat
Allah di tanah, dengan sesama dan bersama Allah membuat hukum – hukum itu
berkali – kali harus ditafsirkan kembali, bukan hanya karena faktor pengaruh
dari luar tapi dari dalam diri umat Israel sendiri. Ditambah lagi dengan konspirasi kepentingan politik,
ekonomi dan administrasi negara serta peradilan, membuat hukum awal harus
ditafsirkan berulang – ulang sehingga hasil hukum tertulis lebih konkret,
eksplisit dan kompleks.
Kumpulan hukum ini baru
memiliki nama setelah sumber D menyebutnya sebagai Torah. Torah ini dalam
berbagai masa memiliki berbagai penekanan etis dan kultis. Sebagian orang
menyebutnya moral dan seremonial. Semakin ke sini, hukum ini semakin
ditafsirkan lagi oleh kebanyakan orang sebagai hukum yang bersifat apodiktif
maupun kasuitis. Bahkan pada akhirnya, kebanyakan orang mulai menafsirkan
Dekalog sendiri sebagai hukum yang kasuistis, faktor perubahan zaman. Para
penafsir masa kini mulai menekankan pentingnya arti literal ayat namun kadang
terlepas dari konteks masa penulisannya sehingga mengaburkan mana hukum yang
kasuistis maupun apodiktif. Mereka menyangka itulah makna sesungguhnya dari
pesan Allah dalam Torah namun tidak sepenuhnya menyadari bahwa sumber bacaan
saat inipun sifatnya hanya tafsiran. Tapi apapun itu, setiap orang sedang mencoba
menaati hukum yang menjadi pengikat hubungan yang terjalin antara diri-Nya
dengan Allah baik dalam PL maupun PB dan itulah bentuk penyataan iman mereka.
Setiap penyataan bersumber dari kata - kata atau proklamasi seseorang namun
kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata. Allah sendiri menyatakan diri-Nya
melalui dua hal ini, proklamasi dan tindakan, verbal dan nonverbal.
Dalam
beberapa peristiwa penting ketika Musa membacakan hukum kepada Israel terdapat
jawaban kesiapan dari umat untuk setiap peraturan yang diberikan (Kel 19 : 7 –
8; Kel 24 : 3 ; Kel 24 : 7). Respon ini merupakan respon verbal atas perjanjian
dan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Respon verbal ini menjadi
semacam bentuk penyataan iman Israel terhadap perjanjian yang terjalin dengan
Allah dan kesiapan mereka untuk menjalan peraturan – peraturan, hukum, dan
ketetapan – ketetapan yang ada. Kredo seperti
ini dilanjutkan seperti semacam liturgi penting bagi orang – orang di
Sinagoge masa PL sampai kepada orang – orang masa kini sebagai tanda adanya
kesepakatan terhadap perjanjian serta peraturan – peraturan yang disampaikan.
Penyataan non verbal merupakan faktor yang tidak kalah
penting dalam pelaksanaan perjanjian. Tindakan yang dilakukan untuk
melaksanakan Torah merupakan bukti nyata penyataan iman Israel kepada Allah
yaitu iman perjanjian. Dalam sepanjang perjalanan Israel sebagai suatu bangsa,
mereka dengan tekun berusaha mempertahankan dan melaksanakan setiap hukum yang
diberikan kepada mereka sesuai yang sudah dirancang oleh para editor sesuai
dengan konteks mereka. Beberapa kali sempat terdapat keberatan di pihak mereka
seperti tentang pembayaran persepuluhan dan pajak
pada masa pembuangan. Ini bukti
keterbatasan mereka untuk menaati namun bagaimanapun mereka telah berusaha,
hanya situasi sulit membatasi mereka.
Godaan, tantangan, pergumulan hidup, pengalaman –
pengalaman pahit mewarnai perjalanan Israel sebagai suatu bangsa. Namun di
tempat di mana pergumulan hidup itu semakin terasa berat, di tempat itulah
harapan pada perjanjian Allah semakin kuat. Torah merupakan kumpulan penyataan
iman umat Israel yang dari berbagai masa yang berbeda. Dalam Torah tergambar
jelas pergumulan, tantangan dan perjuangan Israel untuk mempertahankan keunikan
mereka sebagai umat pilihan Allah. Peristiwa jatuh bangun Israel sebagai bangsa
bukan hal yang perlu diteliti lagi, ini fakta sejarah. Tapi di manapun mereka berada, Israel
menyadari keberadaan mereka sebagai suatu bangsa hanya karena campur tangan
Allah, karena mereka bergantung sepenuhnya kepada Allah. Sampai puncak dari penyataan iman mereka terhadap
Allah ini lahirlah ekslusivisme di Israel. Sampai saat ini, di seluruh dunia,
Israel tetap menjadi kaum Diaspora. Namun sampai saat ini juga, Torah tetap
merupakan landasan hukum mereka, bukti penyataan iman mereka kepada Yahweh, Allah
Israel.
Akhir dari paper ini
adalah; Torah sebagai kumpulan hukum Israel merupakan hukum yang unik di antara
berbagai bangsa di dunia. Hukum ini saling kait mengkait dalam berbagai segi
kehidupan umat Israel. Torah merupakan
kumpulan hukum yang mengatur hidup
Israel sebagai umat dalam kaitannya dengan Allah, manusia, segala ciptaan di
alam semesta dan kembali lagi kepada Allah. Di dalamnya terdapat hukum tentang
politik, sosial, budaya, moral, ekonomi, peradilan, administrasi Negara,
seluruhnya dan kesemua hukum ini selalu berkaitan dengan
Allah karena bermula di Allah dan kembali
kepada Allah. Karena itu, melaksanakan hukum Taurat sama artinya dengan
menyatakan iman kepada sumber dari Torah itu sendiri yaitu Allah. Dengan
menyambut Torah dan mejalankannya, umat Israel menyatakan iman mereka kepada
Allah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Baker, David L.
2006 Satu
Alkitab Dua Perjanjian : Suatu Studi Tentang Hubungan Teologis antara
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Barth, Christoph dan Marie –
Claire Barth – Frommel.
2013 Teologi
Perjanjian Lama I. Jakarta : BPK
Gunung Mulia.
Blommendal , J.
2012 Pengantar
Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Crüsemann, Frank.
19961
The Torah : Theology and Social History
of Old Testament Law. Minneapolis : Fortress Press.
Davidson, Robert.
2011 Alkitab Berbicara. Jakarta : BPK
Gunung Mulia
Hinson, David F.
2012 Sejarah Israel Pada Zaman
Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Lasor, W.S et. Al
2008 Pengantar PL 1: Taurat dan Sejarah.
Jakarta : BPK Gunung Mulia
Preuss, Horst Dietrich.
1995 Old Testament Theeology. Scotland
: T & T Clark
Rogerson, John, Ed all.
2004 Theory
and Practice In Old Testament Ethics. T&t Clark: New York.
Sitompul,
A.A dan Ulrich Beyer
2008 Metode Penafsiran Alkitab.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Snell,
Daniel C
2012 Kehidupan Di Timur Tengah
Kuno 3100 – 332 SM. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wahono, Wismohady A.
2013 Di
Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta :
BPK Gunung Mulia.
Wright, Christopher.
1993 Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. BPK
Gunung Mulia: Jakarta.
[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM
140101
Meaning: 1) law, direction, instruction 1a) instruction, direction
(human or divine) 1a1) body of prophetic teaching 1a2) instruction in Messianic
age 1a3) body of priestly direction or instruction 1a4) body of legal
directives 1b) law 1b1) law of the burnt offering 1b2) of special law, codes of
law 1c) custom, manner 1d) the Deuteronomic or Mosaic Law
Origin: from 03384; TWOT - 910d; n f
Usage: AV - law 219; 219
Meaning: 1) to throw, shoot, cast,
pour 1a) (Qal) 1a1) to throw, cast 1a2) to cast, lay, set 1a3) to shoot arrows
1a4) to throw water, rain 1b) (Niphal) to be shot 1c) (Hiphil) 1c1) to throw,
cast 1c2) to shoot 1c3) to point out, show 1c4) to direct, teach, instruct 1c5)
to throw water, rain
Origin: a primitive root; TWOT -
910; v
Usage: AV - teach 42, shoot 18,
archers 5, cast 5, teacher 4, rain 2, laid 1, direct 1, inform 1, instructed 1,
shewed 1, shooters 1, through 1, watered 1; 84
[4] Istilah yang dipakai Barth “Ganjil” (2013 : 276)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar