Minggu, 21 Mei 2017

Taurat dalam Masyarakat Yahudi



Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel

 
Abstract
            Israel is a holy congregation which as chosen by God. They are a covenant nation of God and must follow all of the rules so they become survive to be the nation of God. All of the rules are identified with Torah. Torah has a lot meaning on Israel thought. In this part of Israel thought, Torah is a confession collection of Israel faith.

Bab I
Pendahuluan
            Hukum merupakan salah satu indikator penting keberadaan sebuah sistem, organisasi atau lembaga resmi. Walaupun lembaga itu tidak resmi, tetap terdapat ketetapan – ketetapan di dalamnya  apalagi jika berhubungan dengan kenegaraan. Bahkan jika seseorang mendeklarasikan bahwa ia adalah pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, akhirnya kebebasan itu sendirilah yang menjadi hukumnya. Israel merupakan negara yang unik dalam sejarah dunia karena sistem pemerintahannya. Keunikan ini juga berpengaruh terhadap bentuk konstitusi negara Israel.

Latar Belakang Penulisan
            Israel merupakan satu negara yang berdaulat. Kriteria negara yang berdaulat adalah memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan dan pengakuan dari negara lain. Negara itu harus memiliki kelengkapan seperti dasar negara, hukum, peraturan – peraturan serta ketetapan yang mencirikannya sebagai satu negara yang merdeka. Di lain pihak, Israel juga adalah bangsa yang unik. Dalam hal ini, dasar keberadaan bangsa Yahudi sebagai suatu bangsa terletak pada hubungan perjanjian mereka dengan Allah. Allah  adalah pemimpin tertinggi, sistem pemerintahannya Teokrasi, dan hukum dasarnya adalah Torah. Kesatuan Torah diyakini berasal dari Sinai. Torah diberikan di Sinai dengan Musa sebagai perantaranya. Israel terus berpegang teguh pada Torah ini  sebagai hukum dasar, bukti hubungan mereka dengan Allah dan penyataan iman mereka. Mereka sangat ketat dalam pengupayaan aplikasi Torah, mulai dari hal terkecil dalam kehidupan sehari – hari sampai kepada aspek ekonomi, sosial, agama, politik pemerintahan, dll. Namun sepanjang perjalanan sejarah, Torah ini sepertinya mengalami perubahan – perubahan.

Bab II
Isi
            Bab ini akan membahas tentang deskripsi singkat tentang Torah, dilanjutkan dengan pembahasan tentang perkembangan Torah dari masa pendudukan, pra pembuangan sampai kepada masa pembuangan. Setelah itu, penulis akan melanjutkan pembahasan tentang faktor – faktor pembeda masing – masing kitab Torah dan faktor – faktor penyatunya sehingga berdasarkan hal ini, akan ditarik kesimpulan tentang alasan bagaimana dan mengapa Torah dianggap sebagai bentuk penyataan iman umat Israel.

Pengantar Kepada Torah
Definisi Torah
Sebagian ahli menyebut Torah sebagai Taurat atau Hukum Taurat. Ada juga yang mengidentifikasikan Torah sebagai Pentateukh. Apapun namanya, maksud atau tujuan dari sebutan itu adalah Torah. Kata Torah[2] secara etimologis berarti “hukum, perintah, petunjuk, pengajaran”. Namun maksud penggunaan kata torah yang dituju adalah mengajar atau melatih. Torah berasal dari kata yarah[3] yang secara etimologis berarti “melemparkan atau menembak, mengajar atau melatih”.
Menurut Crusemann, Torah dalam bahasa sehari – hari berarti petunjuk yang diberikan ibu dan ayah kepada anak – anak m­ereka agar kehidupan secara moral terhindar dari situasi yang berbahaya. Konsep Torah merupakan istilah tekhnis petunjuk keimaman kepada orang awam tapi juga dipakai dalam pengajaran hikmat/ kenabian bagi murid – murid. Torah merupakan konsep yang paling luas tentang kehendak Allah. Dalam Torah terdapat narasi – narasi, hukum – hukum, landasan hukum, dan proklamasi atau nubuatan Firman Tuhan tentang Eskatologi, berita tentang hukuman  dan kabar baik, perintah dan janji, kata – kata dan kehendak ilahi. Dari Torah inilah kehendak Allah atas seluruh ciptaan disampaikan. Torah lahir pada saat yang sama ketika dunia diciptakan, yaitu ketika sejarah dunia dimulai namun memang baru ditransmisikan pada peristiwa Sinai. Torah dimulai dari Allah. Allah sendiri yang telah menulis perintah pertama di Sinai dan kemudian ditulis ulang oleh Musa secara keseluruhan sebelum mereka memasuki sebelah barat Yordan. Yosua juga menulisnya di batu gunung Ebal. Torah merupakan formula dasar permulaan sejarah Israel dan peraturan yang bersifat relatif maupun absolut bagi individu.
Barth membagi Torah dalam empat pengertian; pertama, Torah merupakan petunjuk nyata dalam situasi tertentu yang bisa saja disampaikan oleh para imam atau nabi, orang – orang bijaksana atau tua – tua melalui penyataan Tuhan. Dengan kata lain, Torah dalam pengertian ini berarti pengajaran. Kedua, kumpulan bahan ajar atau petunjuk para imam. Ketiga, kumpulan tulisan yang berisi perintah dan larangan Tuhan. Keempat, seluruh kitab suci Israel disebut juga dengan Torah. Torah bagi Barth bukanlah kitab undang -  undang yang beku, melainkan suatu petunjuk hidup yang dinamis dan perlu direnungkan dan ditafsirkan ulang dalam setiap situasi baru. Inti perintah tetap dipelihara namun bentuknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlainan (2013 : 305 – 306).
Jadi Torah adalah petunjuk, bahan ajar, perintah, hukum pemberian Tuhan yang ditafsirkan orang dari masa ke masa sesuai dengan situasi yang menyertainya. Esensi Torah tidak pernah berubah atau diubah, hanya ditafsirkan agar tepat mengena dengan setiap manusia dari berbagai konteks untuk dilakukan.

Tujuan Pemberian Torah
Hubungan yang terjadi  antara Allah dan Israel ini bersifat alami lalu kemudian berkembang setelah ditambah dengan unsur etik yang disebut dengan perjanjian. Menurut Dyrness, Perjanjian ini bukan atau tidak sama dengan kontrak pada umumnya antara dua pihak saja, namun berlaku berlaku secara universal (1990 : 98). Sunat digunakan  sebagai tanda perjanjian ini dalam PL. Berpegang pada perjanjian merupakan syarat agar tetap bertahan dalam hubungan ini. Israel sendiri memandang perjanjian itu sebagai dasar kehidupan beragama dan sosial.
            Allah pencipta dunia menjadi raja/penguasa dunia memilih satu bangsa untuk menjadi umat pilihan-Nya. Karena itu, nilai – nilai moral dan rohani berada di atas pertimbangan politik dan ekonomi. Motivasi pemilihan Allah adalah kasih dan perjanjian-Nya kepada leluhur. Allah tidak hanya berperan sebagai Raja dalam pemerintahan  Teokrasinya, Ia juga adalah Bapa bagi Israel. Jadi hubungan yang terbentuk ini tidak hanya kingship melainkan juga fathership.
            Dalam setiap perjanjian ada ketentuan; berpegang pada perjanjian berarti memberi tanggapan berupa ketaatan berdasarkan janji itu. Dengan Allah, hal ini muncul dalam ketaatan total kepada-Nya yaitu hidup kudus. Ketentuan ini merupakan syarat yang diberikan agar Israel dapat terus menerus menikmati berkat Allah. Perjanjian diadakan dan diberlakukan atas dasar ketetapan Allah. ketetapan ini yang kemudian diulang – ulang dalam kerajaan Utara.
            Torah sendiri merupakan ungkapan perjanjian namun tidak sepenting perjanjian. Torah mengungkapkan karakteristik kehidupan dalam perjanjian. Pemberian Tuhan sama dengan pemberian sebagian dari diri Allah kepada umat dalam perjanjian dan merupakan bentuk dari penyataan kasih Allah. Torah merupakan petunjuk perilaku yang sesuai dengan status mereka sebagai umat Tuhan, umat Perjanjian. Dengan demikian, Israel tidak pernah mematuhi ketetapan yang ada agar mereka menjadi umat Allah, namun karena mereka adalah umat Allah.
Untuk sebuah hubungan seperti ini, diperlukan hukum sebagai penguat, penegas dan pengesah perjanjian. Inilah fungsi utama Torah. Dengan kata lain, Torah menjadi landasan hukum hubungan perjanjian Allah dengan Israel sebagai bangsa. Landasan hukum dalam perjanjian mutlak penting sebagai tanda legalitas sebuah perjanjian. Torah menjadi landasan bahwa hubungan Allah dan umat Israel sah secara hukum. Karena itu, tujuan pemberian Torah adalah memberi informasi, nasihat, instruksi, pembangunan norma, pembangkit kesadaran, perintah untuk tetap menjaga agar masyarakat tetap hidup sejahtera dan beruntung serta menegaskan hubungan yang terjadi antara Allah dan  manusia. .

Perkembangan Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel
            Sebenarnya tidak ada kesepakatan dari pada ahli tentang makna Hukum Taurat bagi orang Yahudi. Ada yang menyatakan Torah sebagai landasan hukum perjanjian Allah dengan umat dan sangat penting bagi hubungan Israel dengan Allah. Ada yang berpendapat bahwa perjanjian yang lebih utama baru kemudian hukum diberikan sebagai tafsiran tentang hal – hal yang harus dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap Allah.
Hubungan yang terjalin antara Allah sebagai pemimpin tertinggi dengan Israel sebagai umat adalah hubungan perjanjian. Perjanjian menurut Wellhausen adalah perjanjian yang terjadi secara alami bukan kontrak sehingga tidak ada hal yang dapat dilakukan manusia untuk dapat memperoleh hukum tersebut. Selain itu, perjanjian ini memperkuat ikatan yang terjalin antara mereka. Bentuk perjanjian ini cukup penting, diawali dengan pengakuan terhadap Allah dan mengingatkan kepada ikatan pemilihan yang terjalin di antara mereka. Bahwa Allah adalah Allah yang memproklamasikan diri-Nya sebagai Allah yang telah membebaskan Israel dari Mesir. Lalu melanjutkan  hukum perjanjian-Nya itu lebih eksplisit sebagai bentuk ikatan terhadap perjanjian itu.

Pemberian Torah Di Sinai
Dalam kisah tentang pembebasan terdapat selipan kisah ”Pemberian Hukum Di Gunung Sinai”. Tradisi Sinai menceritakan tentang Teofani Allah terhadap hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Perikop Sinai dan pemberian Dekalog ini sepertinya telah direkonstruksi dan disisipkan secara sengaja oleh sumber P. Bisa jadi sebenarnya bahan aslinya lebih singkat, namun untuk kepentingan penjelasan atau yang lain telah diberi beberapa kalimat penjelas. Teks lain yang lebih awal juga membahas tentang tradisi Sinai meskipun terbatas. Dalam sumber D sendiri terdapat berbagai tingkatan variasi dan redaksinya bisa dibagi dalam beberapa penafsiran. Allah memberikan Dekalog kepada Musa secara tertulis dalam dua loh batu. Namun dalam peristiwa pemberian dua loh batu ini terselip juga peristiwa tentang “lembu emas”. Pemberontakan, keluhan, tetap merupakan warna tersendiri yang ada dalam perjalanan bangsa Israel karena kemiskinan, penderitaan dan perasaan penuh ketidakpastian yang mereka alami selama dalam perjalanan. Walaupun mereka telah berulangkali melihat peristiwa penyelamatan Allah yang ajaib, ada masa di mana mereka mengeluh. Kisah tentang “keluhan” bangsa Israel ini telah dikombinasikan dengan legenda lokal dan tradisi individu untuk kepentingan informasi dan atau penyataan teologis. Peristiwa pemberontakan, keluhan, tangisan, tetap tidak menghalangi kasih Allah ataupun membatalkan perjanjian Allah terhadap mereka. Namun demikian, sejalan dengan tradisi ini, muncul juga diskusi tentang hukuman, kemarahan Allah, campur tangan Musa. Sumber menggambarkan bahwa setelah peristiwa Sinai, jika mereka melanggar, mereka bersalah karena memberontak terhadap pemimpin sama artinya dengan menolak Allah. Tempat di mana kasih Allah pertamakali dinyatakan, di tempat itu pula hukuman pertama diberikan. Dalam hal ini, peristiwa pemberontakan dan hukuman dimengerti dalam paradigma sejarah manusia dan pemeliharaan Allah.
Berdasarkan sejarah tradisi, Torah memang diberikan kepada Musa sebagai mediator di Sinai. Pemilihan Sinai dan Musa sendiri terjadi semata – mata karena kehendak bebas Allah. Para pemikir kuno menganggap bahwa Sinai merupakan tempat kediaman Allah karena itu perintah Allahpun disampaikan di sana. Menurut Hinson, memang sangat sulit menguraikan kejadian – kejadian sebenarnya yang terjadi di Sinai (2012 : 72). Crusemann bahkan mengatakan bahwa Sinai merupakan bagian yang penuh misteri dalam peristiwa pemberian Torah sehingga ia menganggap Sinai hanya utopia. Hal ini terjadi karena ada berbagai macam pendapat yang membahas tentang keberadaan Sinai namun tidak ada ada satupun yang dapat memastikan keberadaannya, hanya mereka – reka. Bagi Wahono, di tempat inilah hubungan perjanjian dengan Allah diteguhkan (2012 : 110). Melalui upacara korban dan pemercikan darah, Allah dan manusia terikat dalam satu kehidupan. Allah berprakarsa untuk datang kepada manusia melalui gambaran gunung yang dahsyat. Sejarah perjalanan Israel mulai dari Keluaran sampai ke Sinai memang merupakan hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun bagaimana momentum Sinai ini terjadi saat perjalanan padang gurun dilakukan memang perlu dikaji ulang, ada banyak tafsiran, namun semua hasil masih simpang siur. Yang jelas, bagi Israel Torah bukan sebatas peraturan melainkan bukti keistimewaan/ keunikan mereka baik dalam sejarah bangsa maupun keagamaan. Kehendak Allah dan kebenaran-Nya dinyatakan dalam semua institusi kehidupan berbangsa dan selalu berkaitan dengan Allah.
Barth yang memberi ruang sedikit lebih banyak tentang peristiwa Sinai ini sendiri menyatakan kesulitannya[4]. Peristiwa ini sangat penting dalam sejarah kehidupan bangsa Israrel karena merupakan moment pengesahan Israel sebagai suatu bangsa. Namun sayangnya, para penulis Alkitab sendiri sepertinya tidak menaruh perhatian lebih pada pembahasan mereka tentang Sinai ini. Dokumen perjalanan Sinai menurut Barth bisa jadi merupakan peristiwa yang sengaja disisipkan dalam rangkaian perjalanan padang gurun. Yang jelas adalah bahwa menurut Barth, dalam tradisi Gunung Sinai, ada tiga hal utama yang dapat dijadikan dasar penting dalam sejarah Israel. Pertama – tama adalah bahwa di gunung ini Allah mengikat perjanjian-Nya dengan Israel. Kedua, di Sinai juga Allah memberikan undang – undangnya dengan perantaraan Musa. Ketiga, Allah membina umat-Nya, yakni dengan memberikan “Kesepuluh Firman” untuk menguduskan, membebaskan dan mempersatukannya. Di tempat inilah pertamakalinya Allah mengadakan pertemuan dengan umat-Nya. Tempat ini merupakan saksi mata peristiwa pemberian Torah oleh Allah. Sinai merupakan saksi lahirnya legalitas Israel sebagai bangsa (2013 : 270 – 278).
Sebelum dokumen Sinai, sebenarnya sudah ada dokumen lain di Israel pada waktu itu. Allah sendiri yang menemui Musa dan menyatakan kehendak dan rencana-Nya. Perlu pendekatan waktu untuk menentukan bagian teks mana yang lebih tua dari tradisi Sinai sekaligus menemukan konteks masa itu. Bukan hanya pendekatan konteks waktu peristiwa, konteks waktu penulisan pun memberi pengaruh besar dalam penyuntingan dokumen Sinai. Jika diuji secara serius perjalanan Torah di gunung Sinai, akan ditemukan bahwa secara keseluruhan teks menekankan pada legislasi ilahi, tapi tidak ada kaitannya sama sekali dengan Sinai atau Horeb. Situasi, lokasi, masa dan waktu berbeda – beda, dengan demikian, Dokumen Sinai bukanlah dokumen abadi yang dipantekkan kepada seluruh Israel dari masa ke masa. Hukum dapat bersifat sangat luas, tidak khusus, tidak kaku, universal. Tulisan jadi hukum Sinai memang merupakan sumbangan penting sumber D. Sementara sumber D sendiri baru muncul pada masa sebelum pembuangan.   Kebanyakan peneliti berpikir bahwa ada niatan tertentu dari para penulis D untuk memuat hukum – hukum dalam perikop Sinai ini. Lebih dari itu, terlepas dari ada atau tidaknya niatan ini, Allah memberi hukum pertama bagi Israel dan diresponi oleh Musa dalam peristiwa Sinai.
Hukum yang ditulis di loh batu merupakan hal penting untuk dipelajari karena inilah Hukum asli Sinai. Hukum ini muncul jauh sebelum sumber D dapat  menyarikan berbagai hukum di Israel. Hukum ini muncul saat peristiwa anak lembu emas dan sebenarnya tidak sama sekali dimaksudkan untuk menghukum Israel melainkan justru memperkuat hubungan yang ada di antara mereka. Kisah ini sendiri dalam versi tertulis baru muncul setelah tahun 722 SM pada masa akhir kerajaan Utara. Cerita asli dikaitkan dengan peristiwa lembu emas untuk menggambarkan dosa Israel pada masa itu. Menggambarkan adanya konsekuensi dari setiap kejahatan manusia yang berakibat pada penghukuman namun diselesaikan dengan pengampunan. Israel memang dihukum atas pelanggaran mereka namun hubungan yang terjalin di antara mereka tidak akan pernah putus. Hukum PL tidak pernah menyangkut simbolisasi Loh dan anak lembu emas, benar atau salah melainkan pada kehendak ilahi. Segala sesuatu menjadi etis atau tidak selalu dalam kaitannya dengan kesadaran diri individu dan atau umat terhadap  Allah. Perintah tentang pengkultusan memberi stipulasi terhadap kehadiran Allah di Israel.
Dua loh batu yang dianggap beberapa ahli sebagai bentuk asli dari dokumen Sinai berisi ke – 10 hukum yang dikenal juga dengan istilah Dasa Titah atau Dekalog. Menurut Hinson, Dekalog merupakan pusat kehidupan seluruh kisah Keluaran bangsa Israel dari Mesir. Di dalamnya diperlihatkan bagaimana pemikiran Israel tentang Allah dan rencana-Nya untuk umat manusia berubah sebagai akibat pengalaman – pengalaman Keluaran dari Mesir (2012: 81). Menurut Wright, berdasarkan tradisi, Dekalog ini diberikan di Sinai, diucapkan dan dipahatkan di loh batu oleh Allah sendiri. Karena itu, Dekalog ini dianggap lengkap dan mutlak. Isinya berupa ringkasan sederhana tapi menyeluruh tentang ketentuan – ketentuan hakiki yang menjadi landasan hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku individu, kaum atau golongan dalam umat Allah. Dengan demikian menurut Wright, Dekalog atau dasa titah merupakan kebijaksanaan yang menentukan etos dan arah dari semua undang – undang terinci lainnya. Kepengarangan dari Dekalog ini masih dijadikan bahan perdebatan namun menurut Stamn sebagaimana dikutip Wright bahwa semua orang sepakat tentang signifikansinya yaitu sebagai piagam yang mengikat sebagai pernyataan kehendak Tuhan perjanjian itu (2012 : 153). Wahono mengatakan bahwa dalam konteksnya, Dekalog ini memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan kata – kata yang langsung disampaikan oleh Allah kepada umat-Nya . Perjanjian yang terjadi di Sinai merupakan perjanjian antara Allah sebagai Raja dengan Israel sebagai rakyat dan Dekalog dalam hal ini merupakan dokumen resmi dari perjanjian itu (2012 : 112 – 113).
            Menurut Blommendal, Dekalog ini terdiri dari dua tradisi dalam PL yaitu versi Keluaran 20 dan Ulangan 5. Versi Keluaran sepertinya ditulis oleh sumber E dan versi Ulangan oleh sumber D (Wahono, 2012:112). Hanya ada sedikit perbedaan di dalamnya yaitu di dalam hukum yang keempat, hari Sabat. Perbedaan terjadi berdasarkan pendekatannya, Kel 20 berpijak pada sejarah penciptaan dan Ul 5 pada fenomena sosial religius. Dekalog yang kita miliki saat inipun sebenarnya bukanlah bentuk aslinya karena kedua – duanya telah mengalami beberapa penambahan. Bentuk asli sendiri sudah tidak bisa direkonstruksi. Tentang waktu penulisan Dekalog sendiripun masih merupakan simpang siur (2012 : 47). Namun diperkirakan ditulis pada masa agrikultur.
            Menurut para ahli, Dekalog ini sendiri  muncul dalam dua versi yaitu versi etis dan kultis. Versi etisnya yaitu Dekalog yang pertama muncul, yang diberikan Allah langsung kepada Musa pada pembuatan loh yang pertama dalam Kel 20. Sedangkan versi kultisnya muncul setelah pembaharuan loh yang dibuat oleh Musa yaitu pada Kel 34. Sedangkan versi tertulisnya, menurut para ahli, yang paling tua sepertinya adalah Dekalog versi kultis ini. Berita inipun sebenarnya masih simpang siur.

Torah Pada Masa Pendudukan
            Setelah masa perjalanan yang sangat panjang di padang gurun, umat Israel tiba di tanah perjanjian. Di tanah ini pola kehidupan mereka berubah. Tanah menjadi identitas baru bagi Israel. Pada masa awal pendudukan ini, Israel mulai hidup mereka sebagai petani. Mereka hidup di antara orang – orang Kanaan yang kompleks budaya. Di tempat ini, Israel tetap menyembah TUHAN namun sesekali terpengaruh juga dengan pola hidup orang Kanaan. Dasa Titah tetap merupakan pedoman penting bagi mereka namun mereka membutuhkan peraturan – peraturan baru yang sesuai dengan konteks mereka saat itu. Kitab Perjanjian merupakan kitab yang lahir dari pergumulan bangsa Israel di masa pertanian ini.
Kitab Perjanjian merupakan kitab Hukum tertua dalam PL. Kitab ini mendemonstrasikan semua karakteristik yang membedakan kitab hukum yang sangat mendalam dari semua dokumen resmi di Timur Dekat Kuno. Para pemimpin Israel mengembangkan Dasa Titah namun juga mengadopsi hukum – hukum dari daerah sekitar, sehingga ada yang bersifat kasuistis maupun apodiktis. Kitab perjanjian dengan jelas menegaskan bahwa orang Israel harus melayani Allah saja dan tidak boleh terlibat dengan penyembahan orang – orang Kanaan dan menuruti kebiasaan mereka. Hukum lain bersifat sosial tentang tanggungjawab terhadap sesama yang membutuhkan pertolongan. Namun sesama di sini hanya berkait dengan orang Israel (Hinson, 2012 : 105 – 107). Komposisi hukum didominasi dengan hukum pertama dan kedua dan menampilkan firman Allah yang diberikan Israel melalui perantaraan Musa di Sinai. Buku ini memberikan gambaran yang cukup esktrim tentang hukum di Israel. Hukum kasuistik dibuat berdampingan dengan larangan – larangan, perintah – perintah dan ketetapan – ketetapan termasuk yang bersifat kondisional dan mirip dengan rumus partisip dan unik. Firman Allah dalam rangkaian hukum ini tetap mendominasi namun mayoritas isinya berbicara tentang Allah.
            Ketidaksatuan tulisan dalam kitab telah membuat waktu penulisan menjadi bahan pertanyaan penting. Kitab ini dimulai dari hukum Israel namun bentuknya menjadi sebuah kumpulan hukum yang membingungkan  karena terdiri dari berbagai macam hukum dan tradisi resmi. Secara khusus, hukum apodiktif muncul dalam Kel 34 : 11 – 26. Bagian ini merupakan bagian yang spesial dalam PL karena tidak mendapat pengaruh dari struktur Torah dalam hal kultus, hukum, agama dan etika. Teks ini merupakan surat perjanjian serah terima antara Allah dan Israel yang mengawali kehidupan mereka di tanah Kanaan. Mereka menempatkan teks ini sebagai ayat asli dari Perjanjian teks Sinai tentang “Hukum Istimewa” Allah yang menjadi dasar hubungan mereka dengan Allah. Sejarah resmi secara menyeluruh dapat digambarkan sebagai dasar hubungan dan perpanjangan Perjanjian. Di lain pihak, beberapa ahli menganggapnya sebagai produk akhir, yaitu sebuah kutipan dari teks lain. Pihak terakhir beranggapan bahwa bagian ini merupakan bagian dari penegasan D atau mungkin dari masa setelah D. Isi teks ini memang sepertinya memiliki beberapa kemiripan dengan teks lain namun nyata – nyata berbeda. Ada yang mengira mirip dengan Dekalog namun tidak ada kaitannya sama sekali dengan Dekalog. Teks ini lebih mirip perjanjian bukan hukum meski bentuknya lebih mirip hukum. Keduanya memang saling berkaitan.  Teks ini merupakan bentuk serah terima tanah Perjanjian antara Allah dan Israel yang menandakan bahwa bangsa ini siap memasuki tanah perjanjian namun dengan disertai sebuah perjanjian yang baru, Perjanjian pendudukan wilayah.
            Selain apodiktif terdapat juga kumpulan hukum kasuistis di dalamnya. Kumpulan hukum kasuistis yang disebut Mishpatim ini terformulasi dalam Kel 21 : 1 – 22 : 16 di atur dalam kesatuan yang terpisah. Teks ini dari segi bahasa, karakteristik, bentuk dan isi tidak memiliki analogi apapun dengan teks resmi PL lain namun memiliki kemiripan dengan beberapa literatur Timur Dekat. Mishpatim berpuncak pada Kel 21 : 2 – 11 yaitu hukum tentang perbudakan, tentang sumber, hukum perlindungan hak – hak  budak, waktu perbudakan, keselamatan para budak, sampai kepada pembebasan budak. Selain tentang budak, Mishpatim juga memberi perhatian kepada kasus – kasus pembunuhan baik sengaja atau tidak, penganiayaan, balas dendam, serangan ternak, dan pemberlakuan hukum talion yang semuanya menekankan kepada keadilan sosial. Keseluruhan seri Misphatim diwariskan dan terus dipakai sebagai ketetapan resmi dalam pengadilan Yerusalem dan masih berlaku sampai pada masa sebelum pembuangan. Berisi ketetapan – ketetapan sosial berupa penjaminan hak – hak seseorang baik secara ekonomi dan sosial di mata hukum. Dipakai dalam kaitannya dengan kitab Perjanjian karena memang  masih bagian dari kitab Perjanjian namun memiliki kemiripan dengan hukum negara sekitar. Mishpatim hanya merupakan hukum ketetapan dan hanya berlaku pada masa itu saja, perlu reservasi menyeluruh jika ingin diaplikasi pada masa selanjutnya. Mishpatim merupakan bagian yang cukup penting bagi pemahaman awal terhadap Kitab Perjanjian. Dengan Torah, hukum ini memiliki kemiripan dengan perintah tentang keadilan dan kebenaran. Secara teologis penting bagi kritik bentuk dan sejarah tradisi. Ketetapan dalam Mishpatim bersifat integral dan menyeluruh. Memang tidak semua komposisinya merupakan kata- kata langsung Ilahi melainkan terdapat serapan dari tradisi sekitar namun secara keluruhan merupakan bagian dari kata – kata ilahi. Masalah keadilan sosial merupakan titik beratnya dan ini bisa ditinjau dan dipahami melalui konteks.
            Dalam konteks ini, kebanyakan orang hadir menuntut keadilan dari Tuhan bagi mereka, meminta pemenuhan hak mereka sebagai warga negara. Namun pada akhirnya Hak azasi mereka dijamin Tuhan berdasarkan anugerah. Selain umat Israel secara global, secara sosial terdapat juga jaminan kepada orang – orang khusus dalam komunitas Israel. Dalam kitab perjanjian, perhatian diberikan kepada kasus orang miskin. Orang miskin yang dimaksud dalam kitab perjanjian adalah para budak, janda, anak yatim, orang- orang yang karena sesuatu kehilangan hak mereka. Orang – orang miskin ini merupakan komunitas yang unik dalam umat Allah dan membutuhkan perlindungan. Orang asing dalam artian orang yang bukan keturunan Israel belum terlalu diperhatikan dalam bagian ini dan baru menjadi perhatian setelah masa monarki. Kemiskinan merupakan masalah lama dan Allah menuntut Israel memberi perhatian khusus bagi mereka dan ini sama nilainya dengan pemujaan terhadap Allah dan menjadi dasar bagi agama Israel. Ini juga yang menjadi tanda lahirnya Torah dan menjadi peristiwa sentral sejarah teologi Alkitab dan konsep tentang Allah. Tanggapan etis  atas kegelisahan yang terjadi di lingkungan sosial merupakan respon terhadap kehadiran Allah.
Sebagai dokumen resmi tertulis, Kitab Perjanjian berkembang menjadi struktur dasar Torah. Dalam proses pengkodifikasiannya, sumber tertua dari hukum di sebut Mishpatim ini dirumuskan di kerajaan Utara yang digunakan sebagai hukum dalam pengadilan tinggi Yerusalem memiliki kemiripan dengan hukum resmi Timur dekat dan menjadi kumpulan peraturan – peraturan dasar mengenai pemujaan TUHAN secara ekslusif. Kemudian kitab Perjanjian mengalami kombinasi lagi seiring perjalanan dan pengalaman sejarah kehadiran Allah antaralain dengan perhatiannya terhadap kehidupan sosial. Hukum ini kemudian semakin berkembang tidak hanya menyentuh aspek umat namun juga individu dan menjadi bagian dari firman Allah. Tidak diketahui dengan pasti lamanya waktu kodifikasi. Tapi dalam penyempurnaan kitab Perjanjian secara tertulis, ada kemungkinan besar campur tangan pengadilan kerajaan utara, sehingga ada kemungkinan besar konspirasi kepentingan dalam penulisan kitab. Hal ini terlihat dari bagian – bagian tulisan yang sebenarnya terlepas dari konteks aslinya. Namun demikian, proklamasi nama Ilahi bisa menjadi jaminan dari kehadiran Allah dalam tulisan. Selain itu, kitab ini merupakan produk terbesar peninggalan kerajaan Utara yang hancur pada masa itu.

Torah Pada Masa Pra – Pembuangan
            Ada satu kitab lain yang diperkirakan ditulis pada masa sebelum pembuangan. Beberapa ahli memperkirakan bahwa kitab ini ditulis pada masa pemerintahan Yosia. Saat itu, keadaan politik dalam masa tenang, tidak ada intervensi dari luar. Asyur melemah sehingga perhatian diarahkan ke Babilon. Namun di lain pihak, justru terjadi kemerosotan rohani yang semakin mengkuatirkan di dalam negeri. Keadaan inilah yang menyebabkan reformasi kerajaan bisa dilakukan. Tahun 622 SM, pada saat perbaikan Bait Allah dilakukan, imam besar Hilkia menemukan sebagian kitab  yang diyakini dimuat dalam Ulangan 12 – 26 dan menjadi dasar reformasi Yosia (Blommendal, 2012: 60). Berdasarkan kesepakatan dibuat beberapa penyuntingan agar hukum tersebut menjadi lebih relevan pada masanya yaitu masa monarki. Namun tujuan utamanya tetaplah pemujaan ekslusif terhadap Allah.
Secara historis, Kitab Ulangan atau yang disebut oleh Hinson kitab Perulangan atau hukum yang diulang merupakan kitab Hukum namun tidak semua bagiannya merupakan hukum. Ada hukum yang ditulis jauh sebelumnya dan masa pembuangan disisipkan peristiwa sejarah untuk menjadi bayangan dari keberadaan hukum di Israel  dan menjadi penegas konteks bagi hukum itu sendiri. Hukum – hukum ini telah mengalami penegasan sebelumnya, adaptasi, sampai kepada penggantian komposisi hingga mencapai bentuk akhirnya. Dengan Kitab Perjanjian, hukum ini memiliki kaitan khusus karena menyajikan Kitab Perjanjian secara murni terlepas dari pengaruh hukum Timur Dekat lainnya namun memperluas jangkauannya. Dengan kata lain, Hukum Ulangan merupakan sebuah bentuk revisi dari Kitab Perjanjian. Bedanya, kata – kata Musa lebih banyak dipergunakan. Ada beberapa peraturan penting seperti pembunuhan, penganiayaan kepemilikan harta, dalam kitab Perjanjian yang disingkat atau dipersempit begitu saja dalam buku ini. Namun perlindungan sosial terhadap kaum miskin diperluas. Ada juga bagian – bagian yang tidak terdapat dalam kitab Perjanjian muncul dalam Hukum Ulangan. Di atas fenomena – fenomena inilah Torah terbentuk. Hukum Ulangan  menekankan Keesaan Allah dan kasih kepada-Nya yang wajib dilakukan oleh orang Israel. Prinsip dari tindakan ini adalah melakukan hukum dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Dengan demikian Torah dipahami berlandaskan kasih Allah yang juga menjadi dasar hubungan Allah dengan umat-Nya dan dibangun dalam kebebasan.
            Dalam logika teologisnya, hukum itu bersifat bebas namun ada juga yang harus dipatuhi dalam bentuk solidaritas. Ada beberapa hukum yang menjadi bahan penekanan dalam kitab Ulangan. Di antaranya adalah peraturan tentang persembahan persepuluhan (Ul 14 : 22 – 29 ; 26 : 12 – 15). Persembahan persepuluhan merupakan kata kunci untuk menyimpulkan pemikiran teologi dan yuridis di balik Hukum Ulangan. Persembahan persepuluhan  mengiluminasikan relasi – relasi dari variasi – variasi Hukum Ulangan. Persembahan persepuluhan yang dimaksud di sini adalah apapun yang bisa ditukar dengan uang untuk dibawa ke tempat yang Tuhan tunjukkan dan harus dinikmati oleh mereka di tempat itu. Selain itu, setiap tiga tahun persembahan persepuluhan itu harus di letakkan di beberapa kota untuk kaum Lewi dan orang – orang lain yang tidak memiliki tanah, orang asing, yatim dan janda – janda. Pendistribusiannya dilakukan di gerbang kota dan dikontrol langsung oleh umum. Pemberian ini bersifat sosial dan baru terjadi pada pemerintahan Yosia. Namun anak sulung tidak termasuk dalam komposisi persembahan ini. Persembahan persepuluhan yang dimaksud dalam Kitab Ulangan ini sepertinya dimulai pada masa monarki di kerajaan utara dan dilakukan di Bethel. Tempat ini tentunya menjadi salah satu tempat pemujaan terpenting masa itu. Persembahan persepuluhan juga masuk dalam kategori keputusan resmi kerajaan. Persembahan persepuluhan diberikan kepada orang – orang yang membutuhkan sementara donaturnya dilarang ikut menikmati. Meskipun masuk dalam ketetapan resmi, tidak ada berita bahwa pemerintah memaksakan setiap orang melakukan ketetapan ini. Setiap orang memiliki bagiannya masing – masing. Dua tahun pertama perayaan ini adalah milik mereka pribadi namun tahun ketiga adalah perayaan sosial. Konsep persembahan persepuluhan sendiri di Israel dibentuk dari kombinasi antara pemikiran D dan P. Ada masa di mana persembahan persepuluhan dimaknai dalam konteks keagamaan namun ada masanya juga dalam konteks sosial. Permintaan untuk menyatukan situs pemujaan merupakan poin tertinggi dalam Hukum Ulangan (Ul 12). Dengan demikian, persembahan persepuluhan tetap merupakan hal mutlak dalam kitab Ulangan namun dirangkai dalam cara berbeda dari yang diperkenalkan oleh kitab Perjanjian.
Hukum tentang perang juga merupakan warisan Musa meski dalam cara yang berbeda. Kebanyakan ahli menganggap bahwa hukum tentang perang dalam Ulangan ini hanyalah utopia, dan ada kemungkinan bahwa teks ini muncul ketika umat tidak memiliki tanggungawab untuk negara dan kebijakan mereka. Namun ada yang mengangkat kasus penaklukan lawan sebagai perang, meski bentuk perang yang dimaksud masih tidak jelas. Secara umum digambarkan bahwa kebangkitan nasionalisme suatu negara berpotensi dalam menghasilkan perang. Hal ini disebabkan oleh adanya otonomi umat, mekanisme perlindungan diri dari ancaman, kepedulian terhadap keamanan pada penduduk sipil dan perlindungan terhadap kebutuhan hidup. Hukum Ulangan tentang perang ini hanya menggambarkan tentang cara bersikap ketika perang terjadi bukanlah perang yang sesungguhnya. 
Hukum tentang keluarga merupakan salah satu tema paling penting yang mewarnai kitab Ulangan sebagai dasar Torah. Memang sistem kekeluargaan dalam masyarakat Israel menggunakan sistem Patriaki, namun diberi terobosan baru bagi kehadiran kaum perempuan meskipun muncul secara inklusif. Kehadiran perempuan walaupun  tidak disebutkan secara bebas merupakan figur penting yang menjadi penolong bagi laki – laki. Tentang keluarga sendiri sepertinya telah terjadi berbagai perbedaan persepsi dalam PL, hal ini semata – mata karena perbedaan konteks.
Perlu pengujian tata bahasa untuk memaham konteks sosial – historis hukum Deuteronomis. Berdasarkan bentuk, hukum ini sangat mirip dengan Mishpatim. Bedanya, Ulangan memberi lebih banyak gambaran tentang fenomena – fenomena kejahatan seksual. Hukum tentang keluarga merupakan hukum kasuistik ekslusif dalam Ulangan. Ada kasus  yang diselesaikan saat itu juga dan kasus yang butuh peninjauan ulang berdasarkan hukum tertulis. Ada revisi dari percobaan hukum menjadi hukum dan ini kemungkinan dilakukan oleh pengadilan pusat Yerusalem. Kasus – kasus dalam berbagai konteks dapat menghasilkan pengertian yang berbeda. Akhirnya konsep pikir tentang kasus dalam berbagai tempat dan masa pun berbeda. Perlu analisis mendalam terhadap suatu pokok permasalahan yang berkembang sebelum mengambil keputusan. Analisis dilakukan secara politis, perlindungan konstitusi, dan peraturan perlindungan sosial. Ada kemungkinan juga masuknya ide – ide dari hukum Timur Dekat juga Asyur. Dengan demikian kompleksnya pengaruh dunia sekitar Israel yang mempengaruhi kehidupan dan pemikiran Israel sehingga memberi warna dalam kehidupan sosial mereka. Di atas semua perjuangan dan perlindungan keadilan sosial baik untuk antara gender, individu, masyarakat teresensi satu unsur paling luhur dalam kitab Ulangan yaitu upaya pensakralan atau pengamanan terhadap hak – hak bagi semua ciptaan Tuhan. Tidak hanya manusia, alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya merupakan obyek yang perlu dilindungi dan dipelihara sebagai representasi dari ketaatan terhadap Allah.

Torah Pada Masa Pembuangan
            Pembuangan menyebabkan para pemikir masa itu mempertanyakan integritas ibadah mereka yang selama ini berpusat di Yerusalem. Sejak masa ini, lahir pemahaman baru bahwa setiap orang bisa beribadah kepada TUHAN dimanapun mereka beribadah. Selain itu juga ada rencana besar Allah baik bagi orang Yahudi maupun non – Yahudi melalui pengalaman ini. Eskatologi merupakan salah satu tema utama dalam masa pembuangan. Adanya  harapan bahwa mereka terlepas dari dominasi politik Babel dan Persia, kebebasan dari pajak dan keinginan untuk membangun Yerusalem kembali. Lilitan hutang dari sesama Yahudi yang kaya terhadap Yahudi miskin juga menjadi satu masalah pelik. Sayangnya, tidak semua orang yang berdiaspora kembali ke Yerusalem ada yang tetap tinggal baik di Babel maupun Persia bahkan mengarah ke dunia barat dan sampai saat ini telah menempati berbagai negara di seluruh dunia. Teriakan para nabi dan imam tentang perhatian terhadap kaum miskin tidak sepenuhnya didengar oleh sesama Yahudi kaya di pembuangan kecuali tentang pelaksanaan hari Sabat, sehingga harapan tentang Yerusalem baru semakin besar. Para penulis sumber P dalam hal ini bukan sepenuhnya berkepentingan dalam pengeditan Torah. Mereka ingin berbicara kepada sebuah kelompok, membawa kitab – kitab yang dahulu ada, menyalin ulang dan mengedit sesuai dengan kondisi umat yang buruk saat itu, sesuai wawasan sejarah masa itu. Meskipun banyak hasil dari salinan ini berbeda dari tulisan aslinya, namun unsur esensial tidak hilang. Justru melalui hal ini Israel menyadari keunikan mereka sebagai umat Allah namun juga secara bertahap menyesuaikan diri dengan keadaan di pembuangan (Snell, 2012 : 226 – 230). Menurut Hinson, memang runtuhnya kerajaan, kehancuran Bait Allah, membuat Israel mempertanyakan lagi tentang integritas mereka sebagai umat pilihan Allah dan keberadaan Allah di antara mereka. Namun berangsur – angsur terjadi perubahan pikiran secara radikal, mereka menyadari kesalahan mereka dan bertekad memperbaiki hubungan kembali dengan Allah. Karena itu  mereka menegakkan kembali peraturan – peraturan yang selama ini telah mereka abaikan. Masa ini merrupakan masa di mana banyak sekali hukum dan tradisi keagamaan mulai dibukukan dalam sejarah. Para penyalin dan editor tulisan – tulisan mulai mengumpulkan, mengedit dan membukukan hukum – hukum dan tradisi – tradisi yang ada secara teratur (2012 : 200 – 233).
Kitab hukum yang mengatur tentang kekudusan muncul dan merupakan kelanjutan dari kitab hukum Ulangan. Beberapa ahli memperkirakan kitab ini sebagai bagian dari tulisan para imam dan bukan merupakan kitab hukum yang bebas. Ahli lain melihat adanya paralel antara hukum Deuteronomis dan kitab Perjanjian walaupun hanya mengadopsi prosedur resminya. Berdasarkan komposisi bentuk dan isinya, kitab undang – undang kekudusan memiliki kaitan erat dengan keimaman dan keseluruhan hukum Sinai. Penekanan yang diberikan adalah tentang kemurnian dan kekudusan. Bagian integral dari tulisan iman berisi perbandingan  hukum Ulangan dan Kitab Perjanjian namun kurang memadai. Kitab hukum Kekudusan kurang lengkap dalam hukum prosedural namun menyinggung juga tentang perpuluhan dan bentuk penyembahan yang lain. Karena terdapat pola penggambaran tentang kejatuhan dan adanya tema eskatologis pasca kejatuhan kerajaan, tentang bagaimana memulai kehidupan baru, maka meskipun masih terdapat beberapa pendapat di dalamnya, kemungkinan besar kitab hukum ini ditulis pada akhir masa pembuangan dan ditulis oleh Nehemia atau Ezra atau bisa jadi ditulis oleh beberapa kelompok penulis. Masalahnya menurut Crusemann, baik dalam ide maupun praktisnya, tulisan ini tidak dapat begitu didiferensiasikan meskipun memang tidak berlawanan satu sama lain. Pada masa pembuangan, tulisan – tulisan iman ini menjadi dasar pengajaran tradisi Torah bagi orang Israel. Karena itu, agar dapat memahami tulisan ini, perlu berfokus pada konteks sejarah resminya. Pada masa pembuangan, semua hukum resmi yang ditetapkan selama mereka menjadi umat yang  merdeka, organisasi – organisasi resmi baik politik, pemerintahan, ekonomi, sosial tidak dilanjutkan lagi. Pembuangan memberikan efek yang mendalam bagi Torah. Hukum – hukum tradisional secara umum dilanjutkan dan Israel tetap berusaha mempertahankan status, tradisi dan keunikan mereka sebagai umat pilihan Tuhan. Tulisan – tulisan para imam yang ada dalam kitab ini merupakan transformasi dari semua kitab hukum terdahulu. Dalam masa ini mereka mencoba mengkombinasikan seluruh kehidupan manusia dalam kesatuannya dengan Allah, berpegang teguh pada keseluruhan tradisi Torah, dan mengkombinasikan hukum dan keagamaan, teologi dan etika. Hasilnya, kitab ini berisi lampiran isi hati Allah sejak masa Keluaran, tradisi keagamaan masa pendudukan dan fondasi kehidupan masyarakat diaspora. Sumber ini juga menginterpretasikan kitab Perjanjian secara radikal dalam cara baru yang menjadi dasar hukum yang mungkin tidak pernah ditemui pada masa pendudukan di tanah perjanjian.
            Kitab hukum kekudusan ini memberi kesan mendalam karena membangun suatu pemahaman tentang tempat penyembahan segala sesuatu dan yang berkaitan dengan itu diasosiasikan dengan jantung dan pusat teologi mereka yang berpusat di Sinai serta keinginan untuk menciptakan sebuah gambaran tentang kehidupan sebelum dan bersama Allah seperti yang terjadi pada saat sebelum penciptaan. Gambaran ini tidak diarahkan untuk kepentingan keagamaan melainkan untuk peneguhan bagi orang – orang Yahudi diaspora. Tema penciptaan bagi para penulis dokumen P merupakan tema esensi bagi upaya pembangunan kepercayaan. Karena itu mereka mengawali tulisan mereka dengan pembahasan tentang awal sejarah kehidupan yaitu penciptaan. Bagaimanapun juga, dunia tanpa agama dan kehadiran Tuhan sebagai pencipta bukanlah benar – benar agama yang bertuhan. Sumber P meneguhkan kepercayaan dan menjawab kegelisahan setiap kaum diaspora. Sinai digambarkan oleh penulis P sebagai tempat kudus Allah. Dengan demikian, para penulis menggambarkan pentingnya umat melindungi kekudusan sebagai pusat kehidupan meskipun mereka sudah tidak dapat menemui tempat ini lagi.
            Ada beberapa hal penting yang diangkat dalam upaya pembangunan kekudusan, antaralain: Hukum tentang modal dan konsumsi darah, perjanjian dan sunat, endogami, paskah, dan sabat. Hukum – hukum ini diberikan dengan tujuan untuk perlindungan terhadap kehidupan dan hak – hak azasi manusia. Upacara korban harus dikontrol sedemikian rupa dan hanya bisa dilakukan di tempat – tempat kudus demi alasan kekudusan. Perjanjian ditegaskan dengan tanda yaitu sunat. Sunat menjadi demikian penting artinya justru saat umat berdiaspora meski artinya sedikit berbeda dengan pemahaman dokumen lain. Ibadah tetap merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan Israel tanpa perlu mengkaitkannya dengan tempat – tempat suci seperti masa sebelumnya. Orang – orang yang boleh berpartisipasi dalam ibadah adalah orang – orang yang sudah bersunat. Orang – orang di luar Israel boleh masuk dalam komunitas ini hanya jika mereka disunat.
Jika dalam kitab Perjanjian, endogami merupakan masalah serius, dalam tradisi keimaman hal ini tidak dibahas. Peraturan tentang endogami bagi mereka hanyalah merupakan tradisi patriakal, bukan perintah ilahi, dan hanya bersumber dari rasa nasionalisme kalau bukan chauvunisme. Situasi diaspora tidak terlalu menganggap ini hal serius. Menurut Snell, sebenarnya Ezra dan Nehemia memiliki keprihatinan besar tentang kawin campur dengan alasan ketakutan  adanya perpecahan budaya. Hal ini terlihat dalam catatan – catatan doa ratapan Ezra tentang dosa Israel dalam hal endogami. Namun oleh para penulis P diedit sedemikian rupa mengingat konteks diaspora. Tidak semua kawin campur yang dimaksud merupakan orang perkawinan orang Yahudi dan non – Yahudi secara genital. Orang – orang yang disebut asing ini karena ketidakmampuan mereka untuk membuktikan bahwa mereka merupakan warga Yahudi yang dibuang pada masa pembuangan atau orang Samaria dan karena keturunan mereka tidak bisa berbahasa Yahudi. Tindakan Ezra untuk mempertahankan keturunan Israel dianggap terlalu radikal sehingga ia ditarik kembali oleh pemerintahan Persia (2012: 228). Namun dari sini juga cikal bakal ekslusivisme Israel.   Perayaan Paskah menjadi hal yang penting dalam masyarakat diaspora karena di dalamnya terdapat harapan tentang masa depan orang – orang dalam pembuangan. Bedanya dalam perayaan Paskah di pembuangan tidak terdapat upacara korban. Darah dalam ideologi P merupakan simbol kehidupan, bentuk proteksi terhadap ketiadaan, dan merupakan bentuk perlindungan Allah terhadap umat. Darah yang dipakai dalam peristiwa Paskah merupakan tanda bahwa Allah tidak akan menghancurkan mereka. Ada beberapa ritual lain tentang Paskah tetap dipertahankan sampai masa diaspora. Tentang Sabat, sumber P menganggapnya sebagai salah satu ide sentral dan ketetapan Allah sejak awal. Struktur Sabat sendiri menurut Crusemann sebenarnya dirancang di padang gurun dengan tujuan kekudusan hari Sabat.
            Kitab ini merupakan dokumen resmi yang berisi hukum tentang kekudusan. Peristiwa Keluaran merupakan peristiwa di mana Allah memilih kemudian menjadikan mereka bangsa yang kudus. Dasar dari kekudusan ini adalah kekudusan Allah sendiri. Allah membebaskan Israel dengan tujuan membentuk persekutuan dengan Allah dan agar Allah dapat tinggal di tengah – tengah mereka. Allah sendiri yang telah merancang mereka menjadi bangsa yang kudus. Proses menguduskan dan memimpin Israel keluar merupakan kesatuan. Allah memisahkan Israel dari bangsa lain demi alasan kekudusan sehingga Allah yang kudus dapat tinggal bersama dengan mereka. Pemisahan dan pengudusan bagi para penulis P merupakan kata yang identik.
Para penulis P memandang peristiwa Keluaran berbeda dari para penulis sumber terdahulu, bagi mereka, Keluaran merupakan bentuk kedekatan Allah dengan Israel. Kedekatan ini merupakan bentuk kebebasan yang menjadi konsep tanggungjawab Keluaran. Hubungan yang terjalin antara Israel dengan Allah tidak bergantung pada pemilikan tanah melainkan pada peristiwa Keluaran. Hal ini berbeda dengan pendapat Wrigth dan beberapa penulis lain yang sejenis yang menyatakan bahwa tanah diidentifikasikan sebagai identitas orang Israel dan kehilangan tanah sama dengan kehilangan identitas bagi Israel. Hal ini tidak salah, karena tentu dipengaruhi oleh konteks orang – orang diaspora yang pada waktu itu memang kehilangan hal mereka atas tanah. Bagi Crusemann berdasarkan ide P, fondasi hubungan Allah dan Israel adalah kekudusan.

Kesimpulan
            Seperti kata Hinson, tidak semua kitab hukum berasal dari Sinai. Hukum – hukum tertulis yang kita jumpai saat ini merupakan hasil pergumulan para penulis dari masa – kemasa pada zaman PL (2012 : 74). Memang tulisan hukum tidak berasal dari Sinai tapi hukum bersumber dari Sinai. Para penulis suka memakai nama Musa sebagai pengarangnya, kemungkinan ini hanya untuk menambah otoritas tulisan. Musa memang adalah perantara yang dipakai untuk melanjutkan kehendak Allah agar diketahui oleh seluruh umat Israel. Musa memang merupakan tokoh sejarah dalam Torah namun tidak berarti tokoh yang sama adalah penulis Torah seluruhnya. Hukum – hukum yang diberikan oleh Allah ini merupakan bagian penting dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Entahkah ikrar ini terjadi sebelum atau setelah Israel menerima Israel perjanjian, Israel memang berjanji untuk taat kepada perjanjian tersebut.
            Selain itu, setiap periode penulisan hukum dilengkapi dengan konteks yang berbeda – beda. Perkembangan lanjutan dalam komposisi hukum terjadi  karena adanya ketegangan – ketegangan baru dalam masing – masing konteks sejarah. Berdasarkan progresitas ini dibuat formula resmi dalam bentuk tulisan berisi kumpulan hukum yang selanjutnya disebut oleh D sebagai Torah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan demikian, bahwa setiap poin konteks perkembangan sejarah perjanjian terjadi berangsur – angsur sejak penegasan perjanjian dan pemberian hukum di Sinai memberi pengaruh terhadap para editor tulisan dalam pembukuan kitab – kitab hukum selanjutnya. Memang ada keunikan dalam masing – masing periode penulisan namun tidak berarti bahwa esensi dari Torah itu hilang. Torah tertulis yang sudah jadi dalam bentuk kitab hukum ini merupakan hasil pergumulan dari setiap periode – periode penting perjalanan sejarah Israel. Pergumulan disertai ketegangan – ketegangan masing – masing konteks merupakan hasil  upaya keras para penyalin hukum untuk bertahan sedemikian rupa menjaga hubungan Israel dengan Allah yaitu perjanjian.     

Unsur –unsur  Pembeda  Komposisi Torah
Sebagai Kumpulan Penyataan Iman Umat Israel dari Masa – Ke Masa
Torah merupakan kumpulan penyataan iman umat Israel dari masa – kemasa dalam PL.  Namun dalam proses pembukuannya, Torah tidak hanya menampilkan muatan rohani saja, Hukum saja sebagai elemen penyusunnya. Dalam setiap teks terdapat dokumen – dokumen lain yang disisipkan oleh penulis. Torah dalam pengertian aslinya ternyata tidak berarti sejarah atau hukum. Torah dipakai untuk menggambarkan Pentateukh secara keseluruhan termasuk bagian naratif dari abad ke 2 SM. Ada yang mengeskpresikan Torah sebagai kumpulan buku karangan Musa. Sedangkan catatan PL sendiri mengisyaratkan Torah sebagai konsep paling penting dalam hukum Ulangan yang di dalamnya terdapat formula tentang kehendak Allah (Ul 4 : 8, 44, dll) yang didalamnya juga dimuat sejarah konteks dan terdiri juga dari banyak hukum. Kadang bisa berbentuk narasi, syair, bahasa – bahasa kebijaksanaan, nubuat, dll. Torah berisi kesaksian dan petunjuk. Torah merupakan institusi yang Allah tetapkan bagi Israel agar mereka bergantung sepenuhnya pada Allah. Karena itu, di dalamnya juga terdapat berita historis tentang tindakan Allah dan tindakan Israel dalam memelihara perintah Allah.

Penulis – penulis Hukum
            Torah ditulis oleh beberapa orang dalam masa dan waktu yang lama. Setiap penulis biasanya merupakan orang yang mengumpulkan berbagai sumber – sumber tertulis maupun lisan tentang hukum, memilahnya dan menyalin ulang setiap bagian hukum sesuai dengan kebutuhan dan situasi masa penulisan. Pergumulan – pergumulan, ketegangan – ketegangan, kasus – kasus yang terjadi antara Allah dan umat Israel membuat para penulis hukum memberi pengaruh besar dalam penulisan hukum. Masing – masing penulis memiliki penekanan – penekanan khusus dalam tulisannya berdasarkan peta masalah yang ada. Pendekatan – pendekatan yang digunakan umumnya berbeda. Semuanya ini memberi pengaruh pada bentuk jadi kitab – kitab hukum tersebut. Sumber D dan P merupakan dua sumber yang memiliki perhatian khusus terhadap hukum – hukum yang berlaku di Israel. Tujuan utamanya adalah agar sebisa mungkin hubungan perjanjian antara Allah dan Israel tetap terjaga. Namun beda zaman, beda situasi, beda penekanan hukum.  

Sumber D
Sumber D muncul pada masa sebelum pembuangan. Mereka ini diperkirakan sebagai penulis Torah mula – mula. Para penulis D muncul dengan memberi perhatian mereka terhadap peristiwa perjanjian di Sinai (Wahono, 2011 : 69). Pada masa kepenulisan sumber ini, kerajaan Israel Utara telah jatuh dan penduduknya dibuang ke luar negeri. Sedangkan kerajaan Israel selatan sedang mengalami masa sulit keagamaan karena adanya ancaman kekafiran dan penyembahan berhala. Karena itu para penulis D bergumul dengan kelestarian bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah. Hanya tersisa Israel Selatan, dan para penulis D berniat untuk melakukan reformasi kerajaan.
Penekanan sumber D adalah pada keterpilihan dan kekhususan Israel sebagai Umat Allah. Israel hanya boleh setia kepada Allah. Ada peringatan – peringatan yang diberikan jika mereka menjadi sama dengan bangsa – bangsa lain, tidak boleh menjalin hubungan dengan mereka, ada dorongan kuat untuk melakukan perang rohani. Ada kontrol yang ketat bahwa Israel hanya boleh beribadah kepada Allah saja, penentangan keras terhadap praktik agama Kanaan, bahkan perintah untuk memusnahkan penduduk Kanaan. Ada perintah lain yang paling radikal yaitu pemusatan ibadah pada satu tempat suci saja. Selain itu, para penulis juga mencantumkan peraturan – peraturan tentang para pejabat, proses peradilan, keluarga, semua aspek kehidupan Israel. Tujuannya adalah mewujudkan secara penuh peranan Israel sebagai umat pilihan Allah.
           
Sumber P
            Sumber  P merupakan sumber yang tulisannya paling mudah ditemukan dalam Pentateukh karena ciri khasnya yang sangat jelas. Menurut Wahono, tulisan dari sumber P inilah yang menjadi dasar susunan dari seluruh Pentateukh masa kini. Sumber P memulai tulisannya dari sejarah penciptaan. Dalam tulisannya, P dengan sangat cermat menuliskan tahap – tahap kejadian alam semesta dan isinya. Sumber P juga yang menyusun cerita – cerita dalam Alkitab tahap demi tahap, terinci, termasuk juga penulisan silsilah. Peristiwa keluarnya Israel dari Mesir, ke Sinai, proses perjalanan 40 tahun, persiapan – persiapan untuk memasuki Kanaan, merupakan sistematisasi tulisan P (2011 : 72 – 73).
Sumber P ini menulis dalam jangka waktu yang panjang, diperkirakan dari masa pembuangan sampai pada masa sesudah pembuangan. Tujuan utama sumber P memang adalah menyajikan pandangan sistematis tentang asal – usul dan berlakunya lembaga – lembaga teokratis Israel.  Penulis P dengan cermat menceritakan segala  persiapan menuju kepada pembangunan lembaga – lembaga teokratis tersebut. P juga mengemukakan peraturan – peraturan terperinci tentang ibadah Israel kepada Allah.  Menekankan sifat ketransendenan Allah sehingga dengan demikian Israel membutuhkan perantara saat ingin menghadap Allah. Sifat ketransendenan Allah ini juga membawa kepada pemahaman tentang pentingnya kekudusan berdasarkan hakikat Allah sendiri.
Perhatian sumber P tertuju pada apa yang harus dilakukan Israel sebagai umat Allah dalam pembuangan dan pasca pembuangan. Situasi pada waktu itu memang membuat Israel mempertanyakan status mereka sebagai umat pilihan Allah. Dan melalui tulisannya, para penulis P berharap dapat melakukan reformasi mental bagi bangsa Israel. Menyadarkan mereka akan status mereka dan mempertahankan status itu dengan cara menaati kembali hukum – hukum yang ada dan berjuang menjaga kekudusannya di hadapan semua bangsa.

Konteks Masa Penulisan
Kitab perjanjian diduga muncul dalam sebuah masyarakat agrikultural yang merupakan isyarat keberhasilan dalam pendudukan Israel berusia lebih tua dari sumber D.  Dalam teks ini sendiri, ada dua bentuk perjanjian yang Allah ajukan kepada Israel yaitu pemisahan dari  para tetangga dan pemisahan hubungan Allah dengan orang – orang Kanaan. Permintaan untuk memisahkan diri dari para tetangga dalam hal ini Kanaan merupakan bentuk kewaspadaan terhadap “jerat” yang kemungkinan menyebabkan Israel terlibat dalam penyembahan dan kebudayaan setempat yang dipandang jahat oleh Allah. Allah tidak menginginkan Israel terlibat dalam berbagai bentuk penyembahan itu. Jerat ini bisa muncul dalam kegiatan yang sangat praktis hasil dari pergaulan mereka dengan penduduk Kanaan. Mulai dari kegiatan perayaan hari – hari besar, upacara keagamaan bahkan sampai kepernikahan. Allah memerintahkan Israel untuk memisahkan diri dari pergaulan dengan penduduk Kanaan karena Allah juga melakukan hal yang sama. Pemisahan Israel dari penduduk Kanaan merupakan satu perjanjian radikal dengan tujuan memastikan bangsa Israel memiliki sauh yang kuat bagi iman mereka kepada TUHAN. Sikap ini lambat laun berubah karena Israel sendiri secara pribadi, perlahan – lahan, sudah memiliki  TUHAN sebagai pemimpin dan Allah mereka. Dalam perjanjian dengan Israel, Allah menginginkan adanya satu penyembahan ekslusif dari berbagai segi kehidupan Israel. Corak agraris di tanah perjanjian menjadi satu bentuk pemujaan terhadap Allah. Ini semacam sistem bagi hasil yang biasa dipakai oleh kelompok agraris sampai saat ini. Dalam sistem bagi hasil ini, Allah adalah pemilik dari semua yang sulung; buah sulung, anak sulung, panen sulung atau panen pertama. Israel percaya bahwa Allah adalah pemberi kesuburan atas tanah, karena itu ada waktu – waktu perayaan khusus di Israel.
Kitab Hukum Deuteronomis atau hukum perulangan ditulis oleh sumber D pada masa pra pembuangan yaitu pada masa pemerintahan Yosia. Kondisi politik memang cukup stabil. Pada waktu Yosia menjadi raja, usianya masih 8 tahun. Karena itu kepemimpinannya di bantu oleh golongan “am ha ares” sebagai representasinya. Bahkan sampai Yosia meninggal, golongan yang sama ini masih berkuasa. “Am ha ares” adalah golongan tertentu yang mengendalikan pemerintahan, mereka tidak melawan raja melainkan menjadi penolong Yosia dalam mengendalikan pemerintahan dan sekaligus juga adalah guru politik bagi Yosia. Golongan ini tidak memiliki kekuasaan politik bagi diri mereka sendiri, tapi bangsa secara keseluruhan berada di tangan mereka. Hukum Ulangan kemungkinan muncul sebagai bentuk pembatasan terhadap kekuasaan kaum “Am ha ares” ini. Hukum memberikan bentuk dan legitimasinya pada masa ini. Kondisi keamanan stabil negara juga stabil karena kekuasaan Asyur yang melemah. Ekonomi stabil cukup stabil karena adanya gerakan ekonomi berbau intrik politik terpusat. Hanya kerohanian merosot, penyembahan terhadap ilah asing ramai. Diketemukannya lembaran – lembaran kitab hukum oleh imam besar Hilkia menjadi landasan baru untuk melakukan reformasi mental. Kitab ini juga ditulis oleh beberapa orang dari generasi yang berbeda dengan tujuannya masing – masing.
Pada masa pembuangan kondisi umat Israel  yang berada dalam tekanan ekonomi, sosial, politik, dan kehilangan haknya sebagai negara waktu itu menimbulkan pengaruh dalam pengeditan Pentateukh. Di bidang ekonomi, rakyat dililit dengan kewajiban untuk membayar hutang sekaligus persepuluhan. Rakyat bertanggungjawab kepada pemiliki tanah sekaligus juga kelangsungan hidup para imam sementara mereka sendiri sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Ada kebebasan sosial dan politik dalam pemikiran kitab hukum Kekudusan. Ada ruang bagi rasa bersalah dan pengakuan dosa sehingga memungkinkan ruang bagi pertobatan dan pengampunan dosa. Rasa bersalah merupakan hukuman nurani atas dosa dan tidak berpengaruh apapun dengan status hubungan Israel dengan Allah. Hubungan yang terjalin antara Allah dan Israel berdasarkan janji, janji ini tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan karena apapun, karena Allah sendiri yang menjaganya. Bentuk dari praktik kekudusan ini menjelma dalam peraturan pentahiran fisik dan ini bukan hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan namun juga etika resmi.
Situasi sulit yang terjadi pada masa pembuangan membuat peraturan – peraturan ketat dalam masa pendudukan dan monarki sepertinya bukan standar hidup lagi. Hubungan dengan Allah dalam kekudusan merupakan faktor penting. Dalam masa ini, umat Allah mencoba sedemikian rupa mempertahankan keunikan mereka sebagai umat pilihan Allah. Awalnya sempat terjadi kekecewaan, namun ada nabi – nabi yang membantu meneguhkan kembali harapan mereka tentang masa depan Israel yaitu Yehezkiel dan Deutero – Yesaya. Mereka diingatkan untuk kembali memelihara hukum – hukum Allah agar hubungan mereka di masa depan bersama Allah menjadi lebih baik (Hinson, 2012 : 214 – 215_ Hubungan Israel dengan Allah justru sangat terasa maknanya pada masa pembuangan ini. Akumulasi dari kesalahan – kesalahan yang Israel lakukan di masa lalu telah membawa mereka ke dalam kehancuran dan pembuangan. Fase ini adalah fase pemulihan hubungan antara Israel dan Allah. Kesadaran sebagai satu umat yang unik, pilihan Allah, Allah ada di tengah – tengah mereka dan harus hidup kudus, harapan tentang eskatologis berkembang pesat pada masa ini. Upacara – upacara korban dan pertobatan dilakukan semata – mata untuk menegaskan hubungan yang terjalin antara mereka dan Allah. Namun demikian, para penulis P mendiferensiasikan konsep dosa yang disengaja dan tidak. Dosa yang disengaja menuntut hukuman karena merupakan bentuk penyangkalan atas kekudusan Allah dan menyebabkan satu kaum atau bangsa terhisab dalam dosa itu. Pertobatan dan pendamaian terjadi bagi dosa yang tidak disengaja. Namun ada juga beberapa bagian dokumen yang menyatakan bahwa entah itu disengaja atau tidak dosa dapat diampuni oleh Allah. Karena konsep pengampunan sendiri bergantung pada privasi Allah bukan soal keagamaan, karena Allah yang mengenal hati manusia. Tidak ada standar keagamaan untuk sebuah tindakan berdosa manusia. Dosa lagi – lagi bukan merupakan konsep sosial, ekonomi, politik, budaya atau masyarakat atau manusia secara universal melainkan konsep Allah atau teologi.  Tugas manusia adalah kasih. Kasih adalah tuntutan etis terhadap segala sesuatu termasuk hukum, meski PL hanya membatasinya pada komunitas Israel demi alasan kekudusan.
Nehemia mencoba untuk menginterpretasikan setiap hukum resmi yang ada dalam konteks masa itu. Dan Nehemia 10 merupakan hasil interpretasi dari hukum asli dan konteks masa pembuangan. Bukan bermaksud melemahkan hukum yang terdapat dalam Pentateukh, namun karena situasi penderitaan rakyat masa itu. Oleh sebab itu, Torah mau tidak mau akhirnya dimengerti dalam dan dengan cara yang berbeda oleh berbagai macam orang berdasarkan situasi kehidupan mereka. Israel akhirnya memang kembali ke Yerusalem dan menjadi salah satu bagian provinsi di bawah kekuasaan kekaisaran Persia. Namun walaupun Bait Suci sudah dibangun ulang, semua orang Israel tidak bisa bersatu kembali seperti semula. Diaspora terjadi sangat pesat ke arah barat. Namun mereka tetap berpegang pada hukum yang diterbitkan hasil dari pengembangan tulisan – tulisan  imam yang dianggap relevan bagi mereka. Figur seperti Nehemia dan Ezra memiliki peran besar selain untuk mengajar dan mengingatkan tentang Allah, mereka juga memiliki kedekatan dengan raja dan menjadi perpanjangan keinginan raja bagi orang – orang Ibrani. Kemungkinan hukum Ezra dan Pentateukh di edit di sini.
Di Timur juga sebenarnya hukum ini memiliki pengaruh namun karena hubungan bilateral negara Persia dan Mesir yang buruk, wacana tentang hukum tidak dimasukkan dalam tulisan ini. Otoritas yang dimiliki raja Persia pada masa itu memperkuat kedudukan Nehemia dan Ezra di mata orang Israel. Sayangnya menurut Snell, penafsiran tentang otoritas raja – raja ini kemungkinan merupakan pengaruh pemikiran Barat yang memang menaruh raja dalam bidang yang demikian penting. Raja merupakan oknum penting yang memiliki otoritas dalam mencatat sejarah dan ia bisa saja menyuruh atau membayar orang untuk menulis sejarah (2012 : 10). Penekanan kuat yang diberikan oleh Crusemann terhadap otoritas raja kemungkinan juga dipengaruhi oleh sistem monarki ini. Dan menurut Snell, Jerman pada abad ke – 19 merupakan salah satu negara Eropa yang paling terpengaruh kekuasaan dinasti – dinasti kuat sehingga Crusemann bukan tidak mungkin telah terpengaruh konsep ini dan mencampurkan pemahaman historis dalam kronologi sejarah  kerajaan Persia. Karena itu masa ini ditandai dengan nubuatan – nubuatan Mesianis dan eskatologis berperan sangat besar dan merupakan masa di mana apokalitpis lahir. Terdapat harapan untuk terbebas dari dominasi Persia. Pemikiran ini yang kemudian mewarnai bagian akhir dari pengeditan Pentateukh yaitu pada peristiwa akhir kepemimpinan Musa ketika bangsa Israel akan memasuki tanah Kanaan dan Musa pergi menghadap Allah dan menghilang selamanya.

Akulturasi Budaya,  Hukum, dan Logika Bangsa Sekitar Israel
            Dalam penjelasan terdahulu tentang perkembangan Torah sebagai kumpulan penyataan iman umat Israel, terdapat poin penting bahwa tidak semua hukum ini murni berasal dari dalam umat Israel sendiri. Kebanyakan hukum justru diadaptasi dari hukum – hukum negara Timur Tengah kuno masa itu. Mishpatim merupakan kumpulan hukum kasuistik yang kemungkinan besar paling banyak mengadaptasi hukum sekitar. Bagaimanapun juga, masa ini merupakan masa awal kehidupan Israel sebagai bangsa di Kanaan. Belum ada hukum, kebijakan, ketetapan atau peraturan – peraturan yang sesuai dengan kehidupan baru mereka saat itu. Israel masih belajar menyesuaikan diri dengan status baru mereka sebagai satu bangsa dengan tanah sebagai identifikasi keberadaan mereka. Israel hidup dalam  dan di antara bangsa – bangsa sekitarnya, dan mereka mulai belajar berbagai hal, bukan hanya hukum, ekonomi, sosial, politik, praktik kehidupan sehari – hari di tanah perjanjian, dll. Israel masih terpesona dengan budaya – budaya baru yang mereka temui di Kanaan, sehingga corak asli mereka sebagai umat Allah belum kentara.
Lain halnya ketika masa monarki, mereka sudah memiliki corak tersendiri, sehingga akulturasi budaya ini tidak begitu kentara. Bahkan Crusemann menyebutkan bahwa hukum Ulangan yang lahir dari periode pra pembuangan ini merupakan bentuk lanjutan dari kitab Perjanjian namun diperluas dalam beberapa bagian tanpa ada pengaruh dari budaya sekitar. Fase ini merupakan fase stabil dalam sejarah bangsa Israel. Negara sudah mempunyai bentuk politik, ekonomi, sosial, sistem administrasi yang baik. Pengaruh dari luar sulit masuk ke dalam negara. Sayangnya, kekacauan justru hadir dari lingkungan kerajaan. Sejarah mencatat faktor – faktor penyebab kejatuhan Israel sebagai bangsa. Namun ini murni kesalahan personal bukan Torah.
Pada masa pembuangan, dimana bangsa Israel bergumul dengan iman mereka kepada Allah, pada imam berjuang keras untuk sebisa mungkin, sedemikian rupa, membuat satu kumpulan buku sejarah, hukum, tradisi, secara sistematis dan rinci. Dimulai dari penciptaan sampai ke momen- momen penting dalam paling bersejarah bagi Israel sebagai umat Tuhan. Tentu bangsa Israel yang berada di berbagai daerah sudah cukup lama berbaur dengan orang – orang di sana dan mulai kehilangan sedikit banyak budaya mereka karena proses akulturasi. Karena itu, menjadi pekerjaan rumah paling besar bagi para imam untuk memproduksi satu buku yang sesuai dengan masyarakat diaspora dari berbagai hasil akulturasi budaya untuk dapat menyadari lagi kekhususan status mereka sebagai umat pilihan Allah. Bukan sebuah proyek yang mudah untuk merangkul berbagai budaya, bersifat fleksibel terhadap hantaman budaya setempat yang mungkin pada masa sebelumnya ditentang keras agar pesan hati Allah terhadap perjanjian ini diterima dengan baik oleh kaum diaspora. Bagaimanapun Torah menekankan kekudusan dan kekhususan Israel sebagai umat Allah, masyarakat diaspora akan melihatnya dalam cara yang berbeda. Inilah tugas para penulis P agar pengambilan tindakan etis untuk tetap berpegang pada Torah dan bertahan dalam perjanjian dapat dilakukan dalam konteks mereka. Fakta akhirnya pun, ada sebagian orang yang menderita di perantauan tentu menginginkan untuk kembali dan membangun Yerusalem baru, tapi sebagian orang yang sudah berhasil memiliki kehidupan sendiri, harta sendiri, tidak banyak yang kembali.
Pentateukh sendiri dibentuk dalam satu rangkaian waktu panjang sampai ia menjadi satu produk yang utuh. Diperkirakan bahwa Pentateukh ini jadi dalam bentuk yang utuh sekitar periode pembuangan sampai awal era Hellenistik yaitu periode Persia sekitar akhir abad ke 3 atau ke 4 SM. Beberapa ahli percaya bahwa  Ezra merupakan orang yang membawa Pentateukh dari Babel ke Yerusalem. Namun ada juga yang menilai adanya pengaruh kebudayaan Persia dalam pengeditan Pentateukh ini, sehingga Pentateukh yang kita miliki saat ini adalah hasil dari akulturasi dengan kebudayaan Persia tersebut. Hukum Ezra sendiri merupakan hasil akulturasi dua budaya. Proses yang panjang dari pengeditan Pentateukh tanpa bisa dielakkan telah mentransfer logika pemikiran dan etika Persia masa itu. Masalahnya adalah, ketika hukum baru ini dibukukan dan diresmikan, hukum ini tidak dapat diubah lagi, dan hukum itulah yang kita temui dan kita reinterpretasi lagi pada masa kini.


Nilai – Nilai yang Terkandung Dalam Penulisan Torah
Yuridis
Aspek yuridis atau hukum sepertinya telah menjadi elemen penyusun pertama dan paling penting dalam Torah. Sayangnya, pembaca awam masa kini tidak seluruhnya dapat memilah tulisan mana yang merupakan hukum, ketetapan, peraturan, atau sejarah. Hukum yang ada biasanya kena mengena dengan aspek moral dan seremonial yang kemudian berujung pada pengambilan tindakan etis. Bersadarkan kriteria Wright, hukum – hukum itu dibagi antara lain:

Hukum Pidana
            Hukum pidana merupakan sistem hukum yang membahas setiap kejahatan yang oleh negara dianggap bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Menurut Wright, seorang penjahat di hukum atas nama seluruh masyarakat dihukum oleh penguasa tertinggi negara. Karena Israel merupakan sebuah negara hasil karya tebusan Allah yang historis, Dialah yang dianggap kekuasaan tertinggi dalam negara itu. Israel percaya bahwa hubungan mereka dengan Allah adalah dasar keberadaan mereka sebagai suatu bangsa sehingga keberlangsungan negara bergantung sepenuhnya pada hubungan itu. Hubungan merupakan hubungan perjanjian. Efeknya, pelanggaran apapun terhadap hubungan perjanjian dapat mengancam keamanan seluruh bangsa. Pelanggaran terhadap Allah berarti pelanggaran terhadap negara karena sejak semula, negara ini bergantung pada Allah. Hukuman – hukuman yang diberikan dalam hal ini membuktikan kesungguhan perjanjian Allah dan pentingnya melindungi perjanjian itu dari pelanggaran – pelanggaran yang membahayakan. Hukuman yang diberikan biasanya cukup serius meskipun tidak semuanya berakhir pada hukuman mati (2012 : 156 – 157).
Dalam negara modern, hukum pidana ini disebut juga dengan hukum publik. Berdasarkan sejarahnya, istilah baik hukum pidana atau public law  ini merupakan sistem hukum yang dipakai di daratan Eropa. Israel sendiri sepertinya tidak mengenal istilah ini. Ini merupakan jenis klasifikasi baru yang ditampilkan oleh Wright dkk. Hukum publik ini memang berlaku secara umum di masyarakat, mengatur setiap pelanggaran, memberi sanksi terhadap kejahatan – kejahatan yang merugikan atau dipandang buruk oleh masyarakat umum. Konsep ini yang dipakai oleh Wright untuk mengidentifikasikan jenis – jenis hukum di kalangan Yahudi.
Adapun jenis- jenis pelanggaran yang masuk dalam kategori hukum pidana berkaitan dengan pelanggaran terhadap Dekalog yang merupakan penentu batas dan kewajiban perjanjian dengan Allah, selain itu, penjabaran peraturan – peraturan dan hukum – hukum Dasa Titah dalam hal ini Mishpatim, masuk dalam kategori hukum pidana. Hukum ini biasa disebut juga dengan hukum apodiktif atau hukum absolut. Menurut Beyer, hukum ini berisi larangan atau perintah, dan umumnya menyangkut juga pokok moral dan religi. Di dalam hukum ini juga terdapat hukum talionis (2008 : 141 – 143).

Hukum Perdata
            Hukum perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan antar pribadi seringkali juga disebut dengan privat law. Dibuat pertama kali di Perancis yang mengatur hak – hak dan kepentingan individu dalam masyarakat. Kemudian dipakai oleh Belanda sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di antara mereka. Di Indonesia sendiri istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht  pada masa pendudukan jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Wright memberi indentifikasi kepada pembaca tentang hukum ini dalam Torah jika ditemukan konjungsi dalam kalimat hukum seperti “Kalau...” dan “Apabila...” untuk menjelaskan situasi di belakangnya. Ini juga yang disebut dengan hukum “kasuistis” atau hukum kasus. Hukum perdata ini mencakup perselisihan antara sesama warga. Biasanya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan konteks zaman untuk dalam melihat satu kasus. Namun tetap berpijak pada prinsip moral.
Yang termasuk dalam kategori hukum perdata terdapat dalam kitab Perjanjian berupa kasus kehancuran, kelalaian, penyerangan, kecelakaan, perselisihan atas barang yang dipinjam dan disewakan, budak, dll.

Hukum Keluarga
            Rumah tangga Israel merupakan tempat paling penting untuk mengajarkan teori sekaligus mengaplikasikan hukum. Kepala keluarga merupakan penanggungjawab dan berkuasa secara hukum atas seisi rumah termasuk anak lelaki atau orang – orang yang tinggal di tanah warisan mereka. Otoritas hukum kepala keluarga dalam hal ini tidak memakai wewenang hukum perdata maupun peradilan tua – tua. Hanya, dalam hal pemberian disiplin, para kepala keluarga ini tidak memiliki hak untuk menentukan hidup atau mati anggota keluarganya. Jika keadaan berkembang, hukum perdata dan tua – tualah yang memiliki berwenang selanjutnya.
            Adapun yang termasuk dalam hukum keluarga adalah hukum tentang perkawinan, perceraian, penerimaan budak sukarela, hukum warisan, penebusan tanah, orang, tahun Yobel diatur oleh hukum keluarga. Hukum keluarga ini memang merupakan bagian dari hukum perdata, sehingga ada sedikit kesulitan untuk mengidentifikasi keduanya secarar terpisah, namun Wrigth menegaskan bahwa sebenarnya keduanya berbeda. Apa yang bisa dibicarakan dalam keluarga, merupakan hukum keluarrga, kecuali jika terjadi pelanggaran atau masalah – masalah lain di belakangnya sehingga membutuhkan penanganan khusus dari para tua – tua. Tujuan utama dari hukum keluarga ini adalah kekudusan dalam keluarga.

Hukum Peribadatan
            Hukum ini mengatur tentang peribadatan dalam masyarakat Israel kuno mulai dari waktu dan cara beribadah. Bagi orang Israel sendiri, kehidupan beribadah itu mencakup hal – hal sederhana seperti pengaturan makanan yang haram atau halal, hari – hari Sabat, hari – hari raya, persembahan, persepuluhan, buah sulung dan peengumpunan sisa panen. Hukum peribadatan ini sepertinya memang tidak terlalu relevan jika diaplikasikan secara etis ke masa sekarang karena hanya bersifat seremonial. Namun Wrigth menekankan bahwa hukum ini sebenarnya memiliki aspek moral penting karena menyangkut juga kepedulian tidak hanya kepada Tuhan pada masa itu namun juga tanggungjawab kemanusiaan bagi orang – orang miskin, asing, yatim dan janda.

Hukum Kebajikan
            Hukum kebajikan tidak masuk dalam kategori hukum Yuridis karena perintah – perintah yang ada di dalamnya tidak dipaksakan namun tersebar dalam seeeluruh kitab – kitab hukum. Prinsip – prinsip moralnya bergantung pada kemurahan hati seseorang. Alasan dasarnya adalah perikemanusiaan, motivasinya teologis dan ternyata merupakan faktor terpenting dari sudut etis. Dasar hukum kebajikan adalah sikap Allah terhadap Israel dalam keadaan serupa. Menaati dan menjalankan hukum ini adalah bukti kasih kepada Allah yang tercermin dalam kasih kepada sesama manusia. Penggerak hukum kebajikan adalah Anugerah Allah.

Kesimpulan
            Ada berbagai macam pendekatan dalam membedakan jenis – jenis hukum. Ada ahli yang membagi hukum menjadi hukum moral dan seremonial. Ada juga yang membagi hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya yaitu hukum apodiktif dan kasuistis. Ada yang mengkategorikan hukum lebih eksplisit lagi, mulai dari hukum persembahan, ibadah, perang, budak, dll. Yang jelas adalah, apapun bentuknya, hukum membutuhkan tindakan etis. Tindakan etis dilakukan sebagai respon sukarela terhadap tindakan Allah. Sampai di sini pandangan tentang keunikan aplikasi etis secara sukarela ini muncul. Seperti kata Barth, sebenarnya Allah sendirilah melalui firman-Nya membangkitkan hati Israel dan menggerakkan mereka untuk melakukan firman itu. Jadi tindakan etis yang dilakukan umat Israel terhadap hukum, ketetapan, peraturan, berada di belakang keputusan Allah sendiri. Sehingga dalam hal ini sebenarnya Allah adalah pelaku utama (2013  : 297).

Sosial
Dalam masa pendudukan, terjadi pemisahan yang sangat radikal antara Israel dan bangsa – bangsa sekitar. Tujuan utamanya adalah pemujaan ekslusif terhadap Allah sebagai pemilik segala sesuatu. Kel 34 : 11 merupakan dokumen religius yang memisahkan umat yang memuji Allah dengan pemuja ilah lain, menjadi poin penentu bagi pemisahan mereka.  Israel  yang baru hadir di tanah perjanjian pada masa itu harus hidup dan tinggal di antara bangsa Kanaan yang jelas – jelas merupakan penyembah ilah lain dan memiliki budaya yang menjijikkan di mata Allah. Keadaan masa itu merupakan fakta dan Israel perlu waspada terhadap segala kemungkinan yang akan merusak hubungan perjanjian Israel dengan Allah. Perjanjian ini baru dimulai karena itu perlu dibuat peraturan pra-pendudukan yang dipahami dan disepakati bersama. Lama kelamaan setelah perjanjian ini mendarah daging, peraturan akan terasa lebih fleksibel. Bukan karena hukum berubah, namun  pemahaman Israel yang sudah berubah dan lebih memahami status mereka sebagai umat pilihan. Terdapat hal positif negatif terjadi pada praktis kehidupan Israel sebagai bangsa, ada konsekuensi yang diberikan akibat kesalahan mereka. Namun demikian, hubungan perjanjian antar Israel dan Allah tidak akan pernah putus.
Pada masa pra pembuangan, sisi kemanusiaan, kepedulian sosial, penghargaan terhadap hak azasi pribadi tidak hanya bagi manusia namun juga ternak pekerja sangat terasa. Ketetapan – ketetapan yang berkaitan dengan hukum sosial sering digambarkan sebagai “hukum – hukum kemanusiaan”. Karakter simpatik ini merupakan tipikal dari hukum – hukum kuno tentang orang miskin tapi tidak bersifat radikal pada hukum atau teologi kitab Ulangan. Signifikansi hukum sosial ini pertamakali muncul dalam posisinya sebagai struktur hukum dan koneksinya dengan agama lain dalam tema kesatuan pemujaan. Persepuluhan, festival tahunan, juga mengarah kepada kepentingan sosial, melibatkan bukan hanya hamba di rumah, namun juga orang dari berbagai wilayah. Kepentingan religius dalam Kitab Ulangan diaplikasikan secara etis dalam bentuk kepedulian sosial di berbagai bidang. Berkat ilahi dinyatakan jika mereka peduli dengan sesamanya dan orang – orang terlemah dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh situasi masa itu yaitu peralihan zaman besi ke zaman agrikultur. Hasil panen yang besar dipercaya merupakan hasil pengalaman bersama Allah. Jadi berbagi berkat kepada orang lain yang kurang beruntung merupakan bentuk transmisi berkat di masa depan. Selain itu terdapat kepedulian sosial yang berbentuk penghapusan hutang dalam tahun Sabat.
            Pada masa pembuangan, situasi sosial umat Israel menjadi kacau. Semua orang yang dikirim ke pembuangan memiliki status sama sebagai budak di tanah buangan. Namun ada tidak sedikit juga umat Israel yang berhasil di tanah Babilon maupun Persia. Hanya sayangnya, tidak semua orang yang berhasil ini memiliki kepedulian terhadap sesama mereka di pembuangan. Nehemia salah seorang yang begitu peduli terhadap nasib sesama sebangsanya dalam pembuangan. Tapi ada banyak orang Yahudi kaya dipembuangan yang tidak tertarik untuk terlibat dengan kehidupan saudara – saudara mereka yang sedang dalam kemiskinan (Snell, 2012 : 226 – 230).

Ekonomi
Motivasi ekonomi dalam masa pendudukan awal Israel di Kanaan tidak terlalu terasa. Israel yang masih baru menyelesaikan perjalanan 40 tahun  mereka di padang gurun masih menggantungkan seluruh segi kehidupan mereka kepada Allah, entah itu politik, sosial, bahkan sampai kepada ekonomi. Israel percaya Allah adalah sumber segala sesuatu termasuk kehidupan ekonomi mereka. Cara hidup bertani dan menetap yang menjadi cirikhas Israel masa pendudukan awal ini membuat mereka memang bergantung sepenuhnya pada belas kasih Allah. Belum ada sistem administrasi pemerintahan yang jelas, tidak ada catatan khusus tentang penggunaan mata uang di Israel masa ini. Kemungkinan sistem sirkulasi pasar dan cara pembayaran masih dengan barter. Karena itu sistem pembayaran perpuluhan pun, kepedulian sosial,  masih dalam bentuk barang.
Pada masa monarki dalam hukum Ulangan, tercantum juga hukum ekonomi termasuk di dalamnya penghapusan hutang (Ul 15). Kemiskinan merupakan faktor utama yang menyebabkan seseorang berhutang. Para pemilik tanah meminjamkan uang dan menjadikan mereka budak. Kecenderungan memperbudak sesama ini yang melahirkan hukum ekonomi. Jika mereka dapat membayar hutang dalam setahun, mereka dibebaskan dari perbudakan, jika tidak diperpanjang sampai enam tahun, dan tahun ketujuh merupakan tahun pembebasan dari hutang. Hukum ini hampir ada di semua kitab hukum Israel dan menjadi masalah paling mengakar dalam kehidupan bangsa Israel dan terus ada sampai masa PB bahkan pergumulan terbesar dunia saat ini meski telah menjelma dalam bentuk lain yaitu kemiskinan mental. Sehingga bukan lagi menjadi masalah ekonomi, sosial maupun agama, melainkan kasus umum. Dalam kitab Ulangan, kemungkinan besar karena faktor konteks situasi yang berubah dari pendudukan awal menjadi monarki, kriteria perpuluhan, pengorbanan, sepertinya mulai melemah dan menyimpang dari hakikat aslinya. Persembahan persepuluhan dan hak sulung  yang sebenarnya merupakan bagian  Allah mengerucut. Orang - orang diberi kebebasan memilih tujuan perpuluhan, entah itu untuk Allah atau kepentingan sosial. Selain itu juga diberi kebebasan untuk memberi atau tidak memberi perpuluhan, sesuatu yang awalnya mutlak dilakukan pada masa awal memasuki tanah perjanjian. Ada berbagai macam kepentingan tercampur di dalamnya, namun pemerintahan pusat sepertinya memanfaatkan hal ini juga demi kepentingan negara terutama ekonomi alih – alih demi pemusatan sistem. Hal ini juga kemungkinan terjadi  karena pengaruh perkembangan penggunaan mata uang dalam masa monarki. Mungkin saja sebenarnya tujuan awalnya baik, mengantisipasi kesulitan- kesulitan orang – orang yang lokasinya jauh dari Bait Suci Yerusalem datang beribadah dan mempersembahkan korban, namun akhirnya dicampuri dengan kepentingan – kepentingan baik politik, ekonomi, bisnis, dll.  Ibadah berubah menjadi bisnis peribadatan. Penulis kitab Ulangan juga sepertinya sudah sangat melunak dalam mensarikan hukum tentang perpuluhan, korban, dan bentuk – bentuknya. Wajar jika para penulis Ulangan memberi cap negatif pada pemerintah pusat. 


Politik
Dengan sistem Teokrasi ini sudah dapat dipastikan bahwa Allah adalah pemimpin tertinggi bangsa Israel. Kepemimpinan Musa adalah kepemimpinan kharismatis. Ia selalu bergerak karena peranan Allah. Sistem peradilan Musa dimulai di gunung Sinai antara Allah dengan Musa. Setelah itu, dalam bentuk narasi sejarah dicatat kasus – kasus hukum yang diperhadapkan dengan Musa baik antara sesama Israel, tetangga/ orang asing, bahkan dalam hal keagamaan. Umumnya masyarakat akan membawa masalah hukum kepada Musa dan Musa akan meneruskannya kepada Allah lalu Allah akan memberi keputusan terhadap kasus tersebut. Ada masalah – masalah hukum yang berada di luar jangkauan sistem norma dan hukum karea itu butuh jawaban dari Allah. Belum ada aturan baku pada masa ini, semuanya masih berasal dari kebijakan Allah.
Setelah masa pendudukan, sistem ini mulai semakin jelas. Pada masa pendudukan awal, sistem pemerintahan masih banyak mewarisi institusi Musa. Ada hukum yang sifatnya fleksibel, menampilkan sedikit norma namun juga ada yang memberi informasi detail tentang Torah. Inisiatif pribadi dan tindakan resmi tanpa bantuan perantara berlawanan dengan hukum yang mengikat. Namun pada akhirnya, hukum yang bersifat memaksa dan mengikat inipun bersifat fleksibel. Hal ini dikarenakan partisipasi dan tanggungjawab Israel terhadap hukum tidak langsung berkaitan dengan administrasi peradilan melainkan kontrak resmi dengan Allah. Meski terjadi banyak modifikasi, hukum yang berlaku pada masa sebelum pendudukan telah menjadi dasar bagi Torah. Hukum di Israel muncul dan berkaitan erat dengan kekuatan orang – orang super di dalamnya. Hukum itu menjadi resmi karena ada otorisasi orang – orang tertentu seiring semakin berkembangnya sistem pemerintahan Israel. Setidaknya ada tiga sistem peradilan resmi dalam masyarakat Israel. Pertama, pengadilan tua – tua di gerbang. Sistem peradilan inn merupakan sistem peradilan yang awal muncul di Israel dan menjadi salah satu dasar penting sistem peradilan Israel selanjutnya. Biasanya orang – orang akan membawa kasus mereka untuk diambil keputusannya di hadapan tua – tua. Orang – orang Israel taat terhadap para tua – tua dan bangsawan dan kebiasaan ini sudah menjadi tradisi di antara mereka. Para tua – tua ini berpegang pada hukum tradisi yang sudah menjadi standar etika di Israel. Bahkan sampai masa raja – raja, hukum tradisi ini tetap dipertahankan. Umumnya pengadilan lokal dan komunitas orang – orang yang memiliki kekuasaan dan merupakan representasi raja dalam institusi hukumnya dan dengan adanya kaitan dengan raja, kekuatan mereka semakin bertambah di Israel. Hukum masa ini berpusat pada keadilan dan kebenaran. Perhatian hukum selalu berkaitan dengan ketidakadilan yang terjadi secara sosial dan bentuk – bentuk eksploitasi yang terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk masuk dalam sebuah wilayah negara hukum, ia mengikat dirinya terhadap segala peraturan atau hukum yang berlaku di negara tersebut.  Kedua, institusi hukum Musa. Musa juga memiliki kedekatan dengan para tua – tua, dan ada kemungkinan institusi  hukum yang dikembangkan oleh Musa ini menjadi titik berangkat bagi lembaga kerajaan sekaligus model pemerintahan monarki. Musa bertugas menjelaskan hukum sebagai bentuk kehadiran Allah, keadilan, mendeklarasikan ketetapan – ketetapan dan petunjuk Allah. Ayah mertuanya kemudian mengajukan ide tentang sistem pemerintahan yang mungkin akan membantu dalam kepemimpinan Musa. Ada pembagian tugas yang cukup jelas dalam sistem ini. Kasus biasa ditangani oleh para tua – tua, yang rumit oleh Musa dengan membawanya kepada Allah. Tua – tua yang dimaksud tetaplah bukan orang sembarangan. Mereka adalah orang – orang bijaksana dan memang adalah pemimpin – pemimpin suku itu sendiri. Kepemimpinan mereka mewakili Musa dan berarti mewakili Allah. Musa tidak menghilangkan sistem hukum lama yang sudah lebih dulu ada di Israel namun kemudian mentransformasinya dengan satu bentuk hukum baru dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Teokrasi. Keunikan dalam sistem ini adalah karena ide pembuatan sistem justru berasal dari orang asing. Sistem yang dibentuk oleh Musa ini memang mirip dengan kepemimpinan sekitar. Bedanya, Musa menangani masalah – masalah keagamaan. Bisa jadi, kasus – kasus rumit yang dimaksud memang berkaitan dengan agama, bukan tradisi. Hal – hal yang menyangkut norma/ etika sosial, kemasyarakatan, masalah hidup sehari – hari diserahkan kepada tua – tua. Ketiga, pengadilan tinggi Yerusalem. Orang – orang dalam pengadilan ini berperan penting dalam penyusunan hukum – hukum di Israel. Pengambilan keputusan oleh mereka dilakukan atas otoritas Musa dan  berarti merupakan representasi dari hukum Allah. Bentuk komposisi hukumnya sendiri berkaitan erat dengan komposisi hukum Israel dan unik di Timur Dekat Kuno.
Pada masa monarki, segala kegiatan menyangkut ibadah, sosial, hukum dipusatkan pada kerajaan. Pemusatan pemujaan dalam tulisan D menjadi peraturan dan hukum pertama. Ini juga yang membedakannya dengan kitab Perjanjian yang justru memperkenalkan berbagai tempat agar nama Allah diwartakan (Kel 20 : 24). Sentralisasi ini terjadi di Yerusalem tepatnya di Bait Suci. Yerusalem pada waktu itu merupakan ibukota Kerajaan. Selain itu, diperkirakan juga ada motivasi ekonomi di balik pemusatan ini yaitu agar pajak ataupun persepuluhan disampaikan langsung ke ibukota. Bait Suci memang berada dalam posisi yang strategis, namun tidak berarti bahwa negara dan imam berhak mengatur persepuluhan tersebut. Memang karena hal ini, para pedagang, petani, mendapat keuntungan karena adanya pertukaran mata uang di dalamnya, namun para penulis Ulangan memandang negatif hal ini. Persepuluhan dan buah pertama tidak lagi diperlukan bagi hidup mereka, sudah bukan materi penting dalam kriteria persembahan; banyak korban tidak terkontrol karena pemotongan yang secara bebas dilakukan oleh orang awam. Upacara korban hanya dilakukan untuk alasan – alasan tertentu. Semua pembayaran korban dan pemujaan dibawa kepada satu tempat yang dipilih sendiri oleh TUHAN. Ini merupakan titik awal dari sejarah keagamaan Israel dan memiliki konsekuensi hebat. Karena hal – hal ini, Kitab Ulangan memandang negatif otoritas Kerajaan. Sistem politik pemerintahan memberi pengaruh besar bagi penulisan Kitab Ulangan dan kebanyakan ini mendapat pengaruh dari sistem konstitusi yang dibangun oleh otoritas Musa namun ada juga yang berdasarkan kedaulatan pribadi. Di negara – negara Timur Dekat, kerajaan merupakan mediator antara bumi dan surga. Bagi orang Yahudi, kerajaan dibangun TUHAN sendiri. Berdasarkan hukum dalam Ul 17 : 14 – 20, kekuasaan raja bersifat terbatas oleh orang – orang yang ditunjuk khusus oleh Allah dan oleh Torah. Karena pemilihan raja hanya terjadi karena kehendak Allah bukan prakarsa manusia, Allah tetap adalah pemimpinnya. Allah menetapkan pemimpin bagi Israel. Dengan demikian, Allah dan Israel saling bekerja sama, tidak dibiarkan berlawanan satu dengan lainnya. Namun karena manusia memaksakan diri untuk memilih raja, maka kekuatan ini berasal dari manusia. Hanya dinasti Daudlah yang dipilih oleh Allah. Kitab Ulangan menyajikan gambaran idealnya tentang raja, Torah haruslah lebih tinggi otoritasnya ketimbang raja. Raja merupakan model bagi Israel. Dari sinilah hipotesis bahwa dokumen ini ditulis pada masa monarki menjadi lebih jelas. Dalam kitab ini, pembangunan kerajaan dan kedaulatan  umat dieskpresikan dalam cara yang khusus. Kesatuan ritual keagamaan dan pemujaan ekslusif dalam kitab Hukum Ulangan dikaitkan dengan pengadilan. Karena itu, wewenang pengadilan pusat bukanlah penanganan kasus hukum biasa melainkan menerima dan menangani kasus – kasus hukum dari pengadilan daerah atau pengadilan tingkat di bawahnya, memberikan nasihat resmi tentang adanya kemungkinan perkembangan sistem peradilan di masa depan. Ini merupakan sistem organisasi hukum masa itu dan ditindaklanjuti berdasarkan otoritas Musa. Orang – orang yang ada dalam pengadilan pusat merupakan bentuk lanjut dari tua – tua di masa Musa. Selain warisan pemikiran tentang pengadilan, Ulangan juga mewarisi ide tentang kenabian dan nubuatan dari Musa. Nubuatan atau tepatnya ramalan bagi bangsa di sekitar Israel merupakan hal yang lumrah namun tidak bagi Israel. Allah berwenang untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan sesuatu di masa depan berdasarkan otoritas Allah sendiri. Allah menyatakan kehendak-Nya melalui Torah dan menegaskan ulang melalui nabi – nabi.
            Pada masa pembuangan, Israel secara otomatis kehilangan hak politik mereka dan kembali menjadi budak di negeri Babel maupun Persia. Umat Israel terpencar ke hampir seluruh dunia, kehilangan kedaulatan mereka namun tetap berusaha untuk mempertahankan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah. Karena itu masa ini ditandai dengan harapan eskatologis yang besar tentang adanya Yerusalem baru dan pemerintahan baru di masa depan. Mereka berharap kerajaan Israel akan dibangun kembali dan melepaskan mereka dari perbudakan di pembuangan.

Kesimpulan
            Dalam Torah, antara hukum moral dan seremonial, kehidupan sosial kemanusiaan, kepedulian terhadap alam dan lingkungan, politik pemerintahan, semuanya kait mengkait satu sama lain. Hanya terdapat dua garis besar Torah seperti yang disebutkan kebanyakan orang dalam dasa titah awal. Bagian hukum pertama dalam Torah merupakan bukti penyataan iman Israel kepada Allah secara ekslusif dan atau satu – satunya. Bagian hukum kedua merupakan bukti tindakan iman Israel kepada Allah melalui kepedulian sosial kepada sesama manusia yang sekaligus juga tercermin dalam kepeduliaan terhadap alam semesta. Jadi hukum itu bersifat etis dan kultis atau moral dan seremonial. Apapun konteksnya, bagaimanapun hasil tafsirannya, inilah esensi Torah.

Kesimpulan
Ada beberapa komponen  penyusun dalam Torah dan arti penting dari tiap komponen ini antaralain pengaruh Persia, Dekalog, Kongregasi dan Instruksi untuk masa depan. Pengaruh Persia telah dijelaskan di atas bagi pengeditan kumpulan kitab sebelum kemudian menjadi bentuk utuh. Hal ini menandakan bahwa hukum yang Allah berikan tidak bersifat kaku, tertutup atau absolut. Sementara Dekalog sendiri yang diduga kuat sebagai bentuk asli dari hukum Allah pun harus ditinjau ulang. Dekalog yang diberikan lewat perantaraan Musa karena keterbatasan umat terhadap Allah muncul dalam 2 jilid loh batu. Dua loh yang pertama hancur karena peristiwa anak lembu emas karena itu Allah membuatkan loh yang kedua. Dekalog ini juga muncul dalam dua versi yaitu versi kitab Keluaran dan kitab Ulangan. Versi Keluaran kemungkinan ditulis oleh sumber P. Hakikat hukum ini perlu diuji karena secara teologis sepertinya lebih berperan dalam hal etis dan katekis ketimbang hukum dalam arti yang sesungguhnya.  Baik D dan P mencoba untuk menyampaikan hukum sesuai dengan konteksnya masing – masing. Hal ini tidak terjadi karena mereka tidak konsisten, melainkan karena keterbatasan komunikator dalam mengkomunikasikan isi hati Allah dalam bentuk tulisan resmi bagi dunia sesuai dengan berbagai konteks dari berbagai zaman. Firman ini disampaikan kepada satu kongregasi yaitu Israel dan Allah menghendaki agar kongregasi ini menjadi kongregasi yang kudus. Merekalah yang akan menjadi bangsa imam untuk menghubungkan antarar Allah dan dunia. Pesan hati Allah ini disampaikan tidak hanya pada masa itu saja, konteks itu saja, namun kepada semua orang dari berbagai keturunan yang diadopsi menjadi bagian dari keluarga Israel. Hukum yang Allah wahyukan di Sinai tidak berhenti sampai di situ saja. Peraturan – peraturan itu mengalami perhitungan ulang, realisasi, tambahan, pengerasan dan penegasan. Bentuk tulisan asli tentang kehendak Allah itu kaku, tapi tidak berarti isi hati Allah itu kaku. Kanon yang menjadi prinsip tertulis dan pewartaan oral firman itu berjalan bersama – sama. Yang satu menginformasikan yang lain. Tanpa penjelasan langsung, hukum bersifat kaku. Kristenpun sampai saat ini terus menerus berinterpretasi sampai ditemukan bentuk implikasi etis yang tepat bagi dunia masa kini.

Kesatuan Torah Sebagai Kumpulan Penyataan Iman Umat Israel
            Meskipun terdapat banyak perbedaan yang mempengaruhi bentuk Torah, namun Torah tetaplah satu kesatuan. Menurut Barth, Torah memang satu kesatuan karena; pertama, seluruh hukum itu bersumber dari dan pada waktu penyataan dasar di Sinai. Memang ada catatan tentang tempat – tempat lain namun semua akhirnya mengarahkannya ke Sinai. Pemusatan ini terjadi karena di Sinailah pembentukan perjanjian dan kelahiran Israel terjadi. Dan di antara hukum – hukum lain itu, hukum Sinailah  yang berwibawa di Israel. Kedua, seluruh Torah diperoleh dengan perantaraan Musa. Musalah satu – satunya saluran penyataan kehendak Allah. Tentu ada juga hukum yang muncul di luar Musa, namun pemusatan Torah pada Musa disebabkan oleh perannya dalam peristiwa kelahiran umat Israel di Sinai. Allah mengikat perjanjian dengan Israel dan memberi hukum-Nya di Sinai dengan perantaraan Musa. Nama Musa dipakai sebagai salah satu sumber wibawa hukum di Israel. Memang Musa bukanlah penulis semua hukum, namun seluruh kumpulan hukum itu searah dengan Musa. Ketiga, seluruh hukum yang diberikan kepada Israel itu merupakan penyataan dan firman Tuhan. Di dalam hukum terkandung martabat dan wibawa Allah. Allah sendiri yang berprakarsa, Allah sendiri membuat hukum dan menyampaikannya dengan perantaraan Musa. Pernyataan – penyataan Allah ini yang kemudian ditulis dan dibukukan. Memang ada hukum yang berasal atau diadopsi dari bangsa sekitar. Namun ini tidak membatalkan peran Allah dalam pembuatan hukum karena Allah sendiri jugalah yang menanamkannya dalam pikiran manusia. Keempat, seluruh hukum Taurat diberi dengan serentak dan berlaku untuk selama – lamanya. Umat Israel  percaya bahwa hukum – hukum Allah sempurna. Mereka tidak sampai berpikir bahwa ada perbedaan jenis – jenis hukum, kumpulan hukum, sumber hukum, penulis hukum. Bagi umat Israel, hukum Allah merupakan satu kesatuan yang bulat, lengkap, memadai, untuk segala angkatan di kemudian hari. Kelima, Torah diberikan khusus kepada bangsa Israel, bukan bangsa lain. Torah memang berkembang bersama dengan pengaruh budaya Timur Dekat namun Torah juga merupakan tanda ikatan perjanjian yang terjalin antara Allah dan Israel. Torah diperuntukkan bagi bangsa Israel sebagai respon mereka terhadap perjanjian dengan Allah. Karena perjanjian terjalin di antara Allah dan Israel, maka bangsa di luar Israel tidak perlu turut serta dalam meresponi ikatan perjanjian itu. Keenam, seluruh isi Torah merupakan hukum perjanjian. Tujuan pemberian hukum ini adalah untuk memastikan bahwa umat terpelihara, Allah menegaskan hubungan yang terjalin di antara mereka, Allah memastikan berkat jatuh kepada mereka. Hukuman atau sanksi tetap ada, namun murni untuk mempertahankan perjanjian tersebut (2013 : 310 – 319).
            Dengan demikian, kesatuan hukum ini berpusat pada Allah yang satu, satu perantara, satu tempat, ditujukan kepada satu umat yaitu Israel, dengan satu penekanan, kekudusan. Meskipun pada sepanjang sejarah ada perubahan, esensinya tetap sama. 

Bab III
Torah Sebagai Kumpulan Pernyataan Iman Umat Israel : Sebuah Kesimpulan
            Allah memang berprakarsa untuk segala sesuatu yang ada termasuk terhadap perjanjian-Nya dengan Israel. Allah yang menyatakan diri-Nya baik dalam bentuk tindakan-Nya dalam sejarah maupun firman-Nya. Allah juga yang memberikan Torah kepada umat Israel sebagai bagian dari diri Allah, yaitu isi hati-Nya, untuk dituruti, agar perjanjian antara Allah dan Israel tetap terjaga. Sebagai timbal baliknya, Israel pun meresponi perjanjian ini dan berpegang teguh pada dan dalam menjalankan hukum agar hubungan perjanjian ini tetap terjaga. Usaha, kerelaan, respon yang diberikan kepada hukum – hukum Allah dari masa ke masa ini merupakan bentuk penyataan iman mereka terhadap keberadaan hubungan antara mereka dengan Allah.
            Torah yang dimiliki dalam bentuk jadi kanonnya telah berkembang selama beberapa abad setelah peristiwa Sinai. Berbagai sumber mencatat Torah asli yang diberikan oleh Allah adalah Dekalog Sinai. Dekalog sendiri ada dua versi, versi etis dan kultis. Dekalog versi etis diyakini ditulis dalam dua loh batu pertama yang hancur ketika kasus anak lembu emas. Dekalog versi kultis merupakan Dekalog revisi. Dan keyakinan bahwa Dekalog versi kedua ini asli buatan Allah dipertanyakan oleh para peniliti modern masa kini.
            Seiring perkembangan zaman, perbedaan tempat, perbedaan situasi, Dekalog yang diyakini sebagai sumber hukum tertulis awal ini mengalami tafsiran berdasarkan konteks dan kebutuhan masa itu. Inilah yang menyebabkan Dekalog ini berkembang menjadi kumpulan hukum baru yang lebih luas ditambah dengan pengaruh kebudayaan dan hukum – hukum negara sekitar. Selain itu, pengalaman dan pergumulan hidup umat Allah di tanah, dengan sesama dan bersama Allah membuat hukum – hukum itu berkali – kali harus ditafsirkan kembali, bukan hanya karena faktor pengaruh dari luar tapi dari dalam diri umat Israel sendiri. Ditambah lagi dengan konspirasi kepentingan politik, ekonomi dan administrasi negara serta peradilan, membuat hukum awal harus ditafsirkan berulang – ulang sehingga hasil hukum tertulis lebih konkret, eksplisit dan kompleks.
            Kumpulan hukum ini baru memiliki nama setelah sumber D menyebutnya sebagai Torah. Torah ini dalam berbagai masa memiliki berbagai penekanan etis dan kultis. Sebagian orang menyebutnya moral dan seremonial. Semakin ke sini, hukum ini semakin ditafsirkan lagi oleh kebanyakan orang sebagai hukum yang bersifat apodiktif maupun kasuitis. Bahkan pada akhirnya, kebanyakan orang mulai menafsirkan Dekalog sendiri sebagai hukum yang kasuistis, faktor perubahan zaman. Para penafsir masa kini mulai menekankan pentingnya arti literal ayat namun kadang terlepas dari konteks masa penulisannya sehingga mengaburkan mana hukum yang kasuistis maupun apodiktif. Mereka menyangka itulah makna sesungguhnya dari pesan Allah dalam Torah namun tidak sepenuhnya menyadari bahwa sumber bacaan saat inipun sifatnya hanya tafsiran. Tapi apapun itu, setiap orang sedang mencoba menaati hukum yang menjadi pengikat hubungan yang terjalin antara diri-Nya dengan Allah baik dalam PL maupun PB dan itulah bentuk penyataan iman mereka.
            Setiap penyataan bersumber dari kata  - kata atau proklamasi seseorang namun kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata. Allah sendiri menyatakan diri-Nya melalui dua hal ini, proklamasi dan tindakan, verbal dan nonverbal.
            Dalam beberapa peristiwa penting ketika Musa membacakan hukum kepada Israel terdapat jawaban kesiapan dari umat untuk setiap peraturan yang diberikan (Kel 19 : 7 – 8; Kel 24 : 3 ; Kel 24 : 7). Respon ini merupakan respon verbal atas perjanjian dan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Respon verbal ini menjadi semacam bentuk penyataan iman Israel terhadap perjanjian yang terjalin dengan Allah dan kesiapan mereka untuk menjalan peraturan – peraturan, hukum, dan ketetapan – ketetapan yang ada. Kredo seperti  ini dilanjutkan seperti semacam liturgi penting bagi orang – orang di Sinagoge masa PL sampai kepada orang – orang masa kini sebagai tanda adanya kesepakatan terhadap perjanjian serta peraturan – peraturan yang disampaikan.
Penyataan non verbal merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam pelaksanaan perjanjian. Tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan Torah merupakan bukti nyata penyataan iman Israel kepada Allah yaitu iman perjanjian. Dalam sepanjang perjalanan Israel sebagai suatu bangsa, mereka dengan tekun berusaha mempertahankan dan melaksanakan setiap hukum yang diberikan kepada mereka sesuai yang sudah dirancang oleh para editor sesuai dengan konteks mereka. Beberapa kali sempat terdapat keberatan di pihak mereka seperti tentang pembayaran persepuluhan dan pajak pada masa pembuangan. Ini bukti keterbatasan mereka untuk menaati namun bagaimanapun mereka telah berusaha, hanya situasi sulit membatasi mereka.
Godaan, tantangan, pergumulan hidup, pengalaman – pengalaman pahit mewarnai perjalanan Israel sebagai suatu bangsa. Namun di tempat di mana pergumulan hidup itu semakin terasa berat, di tempat itulah harapan pada perjanjian Allah semakin kuat. Torah merupakan kumpulan penyataan iman umat Israel yang dari berbagai masa yang berbeda. Dalam Torah tergambar jelas pergumulan, tantangan dan perjuangan Israel untuk mempertahankan keunikan mereka sebagai umat pilihan Allah. Peristiwa jatuh bangun Israel sebagai bangsa bukan hal yang perlu diteliti lagi, ini fakta sejarah.  Tapi di manapun mereka berada, Israel menyadari keberadaan mereka sebagai suatu bangsa hanya karena campur tangan Allah, karena mereka bergantung sepenuhnya kepada Allah. Sampai puncak dari penyataan iman mereka terhadap Allah ini lahirlah ekslusivisme di Israel. Sampai saat ini, di seluruh dunia, Israel tetap menjadi kaum Diaspora. Namun sampai saat ini juga, Torah tetap merupakan landasan hukum mereka, bukti penyataan iman mereka kepada Yahweh, Allah Israel.
            Akhir dari paper ini adalah; Torah sebagai kumpulan hukum Israel merupakan hukum yang unik di antara berbagai bangsa di dunia. Hukum ini saling kait mengkait dalam berbagai segi kehidupan umat Israel.  Torah merupakan kumpulan hukum yang  mengatur hidup Israel sebagai umat dalam kaitannya dengan Allah, manusia, segala ciptaan di alam semesta dan kembali lagi kepada Allah. Di dalamnya terdapat hukum tentang politik, sosial, budaya, moral, ekonomi, peradilan, administrasi Negara, seluruhnya dan kesemua hukum ini selalu berkaitan dengan Allah karena bermula di Allah dan kembali kepada Allah. Karena itu, melaksanakan hukum Taurat sama artinya dengan menyatakan iman kepada sumber dari Torah itu sendiri yaitu Allah. Dengan menyambut Torah dan mejalankannya, umat Israel menyatakan iman mereka kepada Allah.


















DAFTAR  KEPUSTAKAAN
Baker, David L.
2006    Satu Alkitab Dua Perjanjian : Suatu Studi Tentang Hubungan Teologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Barth, Christoph dan Marie – Claire Barth – Frommel.
2013    Teologi Perjanjian Lama I. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Blommendal , J.
2012    Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Crüsemann, Frank.
19961 The Torah : Theology and Social History of Old Testament Law. Minneapolis : Fortress Press.
Davidson, Robert.
            2011    Alkitab Berbicara. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Hinson, David F.
              2012  Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Lasor, W.S et. Al
            2008    Pengantar PL 1: Taurat dan Sejarah. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Preuss, Horst Dietrich.
            1995    Old Testament Theeology. Scotland : T & T Clark
Rogerson, John, Ed all.
2004    Theory and Practice In Old Testament Ethics. T&t Clark: New York.
Sitompul, A.A dan Ulrich Beyer
            2008    Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Snell, Daniel C
              2012  Kehidupan Di Timur Tengah Kuno 3100 – 332 SM. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wahono, Wismohady A.
2013    Di Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajar Alkitab. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wright, Christopher.
1993    Hidup Sebagai  Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. BPK Gunung Mulia: Jakarta.




[1] Mahasiswa STT Cipanas NIM 140101
[2] 8451 hr'AT towrah {to-raw'} or hr'To torah {to-raw'}
Meaning:  1) law, direction, instruction 1a) instruction, direction (human or divine) 1a1) body of prophetic teaching 1a2) instruction in Messianic age 1a3) body of priestly direction or instruction 1a4) body of legal directives 1b) law 1b1) law of the burnt offering 1b2) of special law, codes of law 1c) custom, manner 1d) the Deuteronomic or Mosaic Law
Origin:  from 03384; TWOT - 910d; n f
Usage:  AV - law 219; 219
[3] 3384 hr'y" yarah {yaw-raw'} or (2 Chr. 26:15) ar'y" yara' {yaw-raw'}
Meaning:  1) to throw, shoot, cast, pour 1a) (Qal) 1a1) to throw, cast 1a2) to cast, lay, set 1a3) to shoot arrows 1a4) to throw water, rain 1b) (Niphal) to be shot 1c) (Hiphil) 1c1) to throw, cast 1c2) to shoot 1c3) to point out, show 1c4) to direct, teach, instruct 1c5) to throw water, rain
Origin:  a primitive root; TWOT - 910; v
Usage:  AV - teach 42, shoot 18, archers 5, cast 5, teacher 4, rain 2, laid 1, direct 1, inform 1, instructed 1, shewed 1, shooters 1, through 1, watered 1; 84
[4] Istilah yang dipakai Barth “Ganjil” (2013 : 276)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar