Minggu, 21 Mei 2017

Etika PL: Hidup Sebagai Umat Allah

ETIKA PERJANJIAN LAMA: HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH
Data Buku : Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1993. ISBN: 979-415-688-4 17-64


Pemahaman dan penerapan PL secara etis hanya dapat dilakukan dengan cara menempatkan diri dalam kedudukan bangsa Israel yaitu dalam hubungan mereka dengan Allah dan pengaruhnya di masyarakat. Ada tiga faktor penting dalam etika yaitu Allah, Israel dan tanah dan ketiganya digambarkan dalam satu segitiga yang berhubungan dan saling mempengaruhi. Ketiga sudurt segitiga ini memiliki artinya masing-masing. Allah merupakan sudut teologis, Israel sebagai sudut sosial dan tanah merupakan faktor ekonomi masyarakat Israel.

Sudut Teologis; Etika dalam PL bersifat teologis karena dalam segala hal dihubungkan dengan kehendak, karya-karya dan tujuan-tujuan-Nya. Hal ini didasarkan fakta bahwa segala sesuatunya berpusat pada Allah dari Allah dan kembali kepada Allah. Allah merupakan asal mula segala sesuatu. Allah pemrakarsa dan manusia bertindak memberi respon. Respon atas prakarsa Allah inilah yang disebut dengan etika. Perjalanan kehidupan sejarah manusia juga berpusat pada Allah. Israel sendiri yang merupakan gambaran dasar perjalanan sejarah iman Kristen percaya bahwa Allah berkarya terus menerus di dalam sejarah. Gambaran ini seperti tampak dalam tulisan para penulis sejarah PL yang walaupun sering dicap “moralistis” namun telah mampu memberikan makna etis yang sangat besar melalui tulisannya. Nilai etis karya mereka ini terlihat pada cara kerja Allah dalam sejarah. Ada dua dimensi kepercayaan Israel akan sejarah: pertama, dimensi penyelamatan yang menggambarkan tindakan Allah di masa lalu dalam membebaskan umat-Nya dan menghukum musuh-Nya. Kedua, dimensi eskatologis yang menunjukkan kepercayaan pada karya penyelamatan Allah yang terus-menerus sampai kepada kepenuhan yang sempurna. Bangsa Israel bertindak dan bertingkahlaku berdasarkan refleksi mereka terhadap sifat Allah pada masa lampau. Refleksi pengalaman pribadi bersama Allah ini merupakan motivasi untuk bertindak secara konsisten di masa kini. Oleh sebab itu, tindakan manusia itu merupakan refleksi dari sifat Allah yang berkarya terus menerus dalam sejarah dan dinyatakan secara tertulis oleh para penulis sejarah PL sebagai penyelamat di masa lalu sampai masa depan (eskatologis).

Sudut Sosial ; Manusia jatuh ke dalam dosa namun Allah memilih untuk menebus dan memulihkan mereka. Pelaksanaan penyelamatan ini meliputi seluruh sejarah manusia, secara garis besar sebagai berikut: Pemilihan, penciptaan dan pembentukan suatu bangsa. Ketiga aspek ini dimulai dari perpecahan di Babel (Kej11), pemilihan Abraham (Kej 12), Ishak, Yakub, kedua belas suku, sampai dengan peristiwa keluaran. Israel sama dengan bangsa lain pada umumnya namun berbeda karena mereka “Kudus bagi TUHAN”. Penekanan etis dalam hal ini tidak hanya bersifat pribadi namun sosial. Sebagai bangsa yang khusus di hadapan Allah, Israel memiliki beberapa kekhususan yang membedakan mereka dari bangsa lain di sekitarnya. Israel sendiri percaya tentang keunikan asal usul historis mereka sebagai suatu bangsa. Allah sendiri juga melalui para nabi telah berulang-ulang mengingatkan kekhususan agama mereka dengan tegas. Mereka bangsa yang khusus, secara histroris, rohani, dan etis yang tercermin dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Kristen masa kini hendaknya menilai Israel dengan paradigmatis bahwa bagaimanapun juga mereka memiliki aspek historis yang penting namun tidak bisa ditiru keseluruhannya secara harfiah. Pendekatan ini menjadi seimbang jika digandengkan dengan paradigma jemaat Kristen mula-mula, ajaran Yesus, maupun para rasul tentang kehidupan sosial.

Sudut Ekonomis; Untuk menilai sudut ini, adalah penting mengingat bahwa perekonomian Israel erat kaitannya dengan tanah dan Allah sebagai pemiliknya. Tanah dalam riwayat Israel merupakan pemberian Allah berdasarkan janji kepada Abraham, nenek moyang Israel. Ini merupakan tema utama kelima kitab Taurat, Yosua, kitab para nabi, dan pembangunan kerajaan Daud. Wright sendiri melihat adanya ketegangan “yang luar biasa” tentang tanah dalam riwayat Israel. Meskipun dalam setiap bagian kitab tersebut sering tidak membahas secara tersirat atau bahkan seolah melupakan janji ini dan menggantikannya dengan cerita perjalanan Israel, hukum dsb, namun tema besar dari kitab-kitab ini adalah tentang tanah. Dalam perjalanan sejarah, tidak hanya tentang janji tetapi juga tentang pembagian dan cara mempertahankan tanah yang mereka miliki. Tanah juga erat kaitannya dengan persoalan ekonomi. Selain itu, Wright juga menjabarkan beberapa implikasi tentang pembagian tanah sebagai pemberian Allah. Sejak Abraham, Israel merupakan bangsa pengembara. Tanpa Allah, mereka tidak memiliki tanah. Karena itu, pemberian tanah menunjukkan kebergantungan Israel kepada Allah yang mereka andalkan dalam seluruh kehidupan mereka, simbol hubungan Allah dengan Israel, menunjukkan hak kepemilikan pribadi, dan kecaman para nabi karena penghisapan ekonomis. Israel merupakan umat Allah karena itu tanah diberikan kepada mereka. Sebagai anak Allah, mereka adalah pewaris dari tanah yang dijanjikan. Pemberian tersebut semata-mata adalah karya Allah dan dinikmati sebagai berkat dan tanggung jawab moral kepada Allah. Pemberian tanah ini diberikan secara merata kepada semua lapisan masyarakat. Tanah bagi Israel menyangkut masalah identitas. Karena itu, kehilangan tanah bagi Israel tidak hanya menyangkut masalah ekonomi namun juga terhapusnya hubungan dengan Allah. Pemberian ini semata-mata karya Allah dan dinikmati sebagai suatu berkat dan tanggung jawab moral kepada Allah. Menurut Karman, tanah merupakan bukti keterlibatan secara aktif Tuhan dengan Israel. Namun di tanah ini jugalah ajang pergumulan iman bangsa Israel. Tanah diberikan agar Israel memiliki relasi permanen dengan Allah. Allah ingin agar bangsa Israel bergantung sepenuhnya pada Allah. Karena itu kesejahteraan mereka bergantung juga pada relasi yang baik dengan Allah. Sudut ekonomis tanah ini sendiri berperan sebagai termometer rohani hubungan antara Allah dan Israel (Teologi) dan Israel dengan sesamanya (Sosiologi). Ada beberapa pengaturan seperti pembebasan budak, tahun Yobel, menyisakan hasil panen bagi orang asing dan orang miskin, dll yang tidak sesuai dengan perhitungan ekonomis. Kesemuanya ini menuntut komitmen untuk taat dan percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Allah ingin agar bukan hanya Israel yang menikmati berkat Allah secara ekonomis, budak, orang asing dan tanah garapan pun merasakan karunia Allah. Peraturan ini juga yang ternyata menjadi salah satu bentuk keunikan dari Undang-undang atau hukum yang berlaku di Israel. Sebagai wakil Allah dalam dunia, Israel harus bertanggung jawab kepada Allah dengan memperhatikan sesama dan juga lingkungan di mana mereka berada. Bertanggung jawab terhadap sesama berarti kesiapan untuk berbagi dengan sesama termasuk materi. Menurut ekonomi umum ini merugikan namun bagi Israel ini wujud etika. Wujud sosial Israel juga dilihat secara khusus dalam pengertian ekonomis. Perubahan dari pemerintahan Teokrasi ke kerajaan jelas-jelas telah merusak keunikan sosial Israel. Israel menjadikan dirinya serupa dengan negara lain di sekitarnya dengan penekanan ekonomi dari pihak pemerintah kerajaan sebagai efek logisnya. Israel menjerat diri mereka dengan peraturan-peraturan birokrasi dan administrasi negara yang rumit dan memaksa untuk tunduk jika ingin tetap menjadi bagian dari negara. Dan ini berulang-ulang sudah diperingatkan oleh Samuel dan nabi-nabi lainnya. Bersama Allah mereka dapat merasakan berkat Allah itu secara bebas, dan mereka hanya perlu bertanggungjawab kepada Allah. Namun bersama pemerintah, mereka terikat dengan peraturan negara. Tema-Tema PL Sebagai salah satu tema penting dalam PL, hubungan antara ekonomi dan tanah ini dapat dipandang dari beberapa segi: Penciptaan, penebusan dan etika Kristen. Dalam kaitannya dengan penciptaan, Wright membagi tema kecil ini dalam beberapa bagian, pemilikan dan pemberian Allah yang terdiri dari sumber-sumber yang merupakan milik bersama, hak dan tanggungjawab bekerja, pertumbuhan, dan hak untuk mengkonsumsi sumber-sumber alam bersama dengan orang lain. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tanah merupakan pemilikan dan pemberian Allah. Allah adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu yang kemudian mempercayakan bumi kepada manusia sebagai wakil-Nya. Dalam hal ini, bumi merupakan hak istimewa yang Allah berikan untuk dikuasai, namun sekaligus juga membutuhkan usaha untuk tetap mempertahankan keberadaannya. Bumi pada mulanya dipercayakan kepada umat manusia secara keseluruhan agar menjadi milik bersama bukan pribadi. Memang terdapat pula hak-hak pribadi di dalamnya namun hal ini tidak bersifat mutlak. Setiap manusia berhak untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber-sumber bumi. Untuk itu, walaupun di dalamnya tetap terdapat hak kepemilikan pribadi, namun manusia perlu bertanggungjawab atas tugas yang Tuhan berikan kepada-Nya dan tanggung jawab ini kemudian ditunjukkan dengan cara memperhatikan sesamanya. Tanggungjawab ini diwujudnyatakan dengan bekerja di muka bumi. Kerja merupakan bentuk nyata dari identitas manusia yang segambar dengan Allah karena Allah juga adalah Allah yang bekerja. Manusia mengelola sumber-sumber bumi, memproduksi, mengkonsumsi dan melakukan kegiatan ekonomi. Pengelolaan ini dilakukan mengingat adanya pertumbuhan jumlah penduduk bumi melalui proses reproduksi. Pertumbuhan penduduk berjalan setara dengan tingkat kebutuhan baik itu pangan, papan, maupun pakaian. Namun tidak setiap bagian bumi memberikan hasil yang sama, karena itu terjadi proses tukar menukar barang produksi demi kepentingan konsumsi yang merata. Proses tukar menukar ini dinamakan dengan kegiatan ekonomi. Setiap orang mengambil peranan masing-masing dan bekerjasama dalam mengelola bumi dan saling berbagi. Di lain pihak, kejatuhan manusia ke dalam dosa membawa kutuk bagi seluruh kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama dan lingkungannya. Hal ini terlihat melalui beberapa hal seperti: tanah dan sumber alam menjadi penyebab perselisihan di antara manusia, kerja menjadi beban yang melelahkan dan disertai frustasi bagi manusia, terjadi penyelewengan ekonomi di antara sesama manusia, obsesi manusia terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga hasil akhir dari proses ekonomi ini dipergunakan secara tidak adil. Manusia tidak mau lagi bertanggungjawab kepada Allah apalagi sesamanya. Dampak dalam bidang ekonomi ini juga menjurus kepada bidang rohani. Manusia menjadi budak ekonomi sehingga mengalami kegelapan secara rohani. Allah yang prihatin memutuskan untuk menebus manusia dengan memenuhi janji-Nya kepada Abraham yaitu tanah. Penebusan ini sendiri bersifat menyeluruh. Wrigth menuliskan makna peristiwa pembebasan ini rangkap empat: secara politis dari kekuasaan asing, secara sosial dari gangguan campur tangan negara dalam kehidupan keluarga mereka, secara ekonomis dari beban kerja paksa, secara rohani dari lingkungan ilah-ilah asing sehingga mereka bisa menyembah TUHAN dengan bebas. Penebusan dimulai dengan pembebasan bangsa Israel di Mesir dan dilanjutkan dengan pengambil alihan tanah Kanaan. Wrigth menyusun sistematika penulisan sub bab tentang penebusan ini sama dengan hal penciptaan karena menurut beliau, terdapat nilai-nilai penciptaan dalam konteks penebusan. Penciptaan merupakan bentuk penebusan Allah bagi dunia. Sementara itu, pemberian dan pemilikan tanah dalam konteks ini dilakukan berdasarkan janji. Kepemilikan Israel merupakan jawaban Allah atas kejatuhan manusia, inipun merupakan penebusan. Israel dan tanahnya menjadi model bagi seluruh dunia, tempat tinggal dan kehadiran berkat Allah. Mereka menjadi model agar melalui mereka, bangsa-bangsa lain datang kepada Allah dan memperoleh penebusan. Sebagai suatu bangsa, Israel mulai dikenai peraturan-peraturan atau hukum yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan, sesama dan lingkungan. Sehubungan dengan khaidah mereka sebagai umat tebusan Allah, peraturan berlaku dalam hal bekerja, mengolah sumber-sumber bumi, proses ekonomi, dll. Pada perkembangannya, kejatuhan manusia dalam dosa melahirkan hasrat yang tidak pernah terpuaskan untuk menguasai bidang-bidang ekonomi. Akibatnya, muncullah kejahatan ekonomi. Namun seperti kata Wright, tujuan akhir penebusan juga mencakup penghukuman dan penghancuran atas penindasan dan ketidakadilan di bidang ekonomi. Kekacauan menegaskan kembali tentang adanya penatalayanan di mana manusia harus bertanggungjawab kepada Allah atas tindakan ekonomi mereka. Tanggung jawab kepada Allah erat kaitannya dengan tanggung jawab mereka kepada sesamanya. Tanggung jawab kepada sesamanya terlihat dalam tradisi Israel yang melakukan penebusan bagi kaum kerabatnya (go’el). Tindakan menebus memerlukan pengorbanan dan pelepasan kepentingan pribadi yang berharga. Tentang hal ini Wright menjelaskan bahwa memang tidak ada penebusan tanpa pengorbanan. Dan pengorbanan dilakukan berdasarkan kasih. Dalam etika Kristen tentang penebusan, ekonomi dan tanah ini menyangkut tiga pola penafsiran: paradigmatis, eskatologis, dan tipologis. Secara eskatologis, Israel yang telah ditebus akan mendapat berkat besar hingga “Firdaus Kedua”. Kejatuhan manusia dalam dosa membuat umat dan tanah masuk ke dalam suatu rangkaian proses penebusan, belum sampai ke tahap sempurna. Secara tipologis, tanah dan sistem kekerabatan tidak memiliki makna Teologis dalam PB maupun dalam kaitannya dengan masa depan. Kekudusan tanah dan kekerabatan yang erat dalam PL telah dipindahkan kepada Kristus sendiri. Hal ini membuka luas juga kesempatan untuk orang-orang di luar Yahudi masuk dalam komunitas umat Allah yang tanpa tanah. Ikatan yang muncul dalam umat yang baru memang tidak berdasarkan gen tetapi bersifat eskatologis dalam bentuk koinonia bersama Allah. Dengan demikian pola sosio-ekonomis PL yang hanya berlaku bagi Israel menjelma sehingga berlaku bagi siapa saja dalam Kristus. Bab tentang tanah ekonomi dan tanah ini sebenarnya memuat materi yang sama dengan bab sebelumnya. Penulis sempat berpikir alasan Wrigth tidak langsung saja menggabungkan keduanya dalam satu bab tanpa memecahnya memberi lebih banyak ruang pembahasan. Hanya perlu ditambahkan tentang pengertian tanah ini sendiri dalam etika Kristen masa kini.

Beralih dari pembahasan tentang Allah dengan tindakan-tindakan-Nya dalam sejarah, tanah dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, Wrigth memberi tempat khusus juga terhadap manusia sebagai pelaku tindakan di dunia. Pembahasan tentang manusia ini dimulai dari hubungannya secara personal dengan dirinya sendiri, masyarakat sekitar dan dunia. Anehnya, ia membagi susunan tema-tema tentang kemasyarakatan dalam bukunya secara deduktif. Bagi penulis, alangkah lebih menarik jika diulas secara induktif, dimulai dari lingkup terkecil; organisme, populasi masyarakat dan kebudayaannya secara regional dan diakhiri dengan lingkungan universal yaitu dunia dan politik di dalamnya. Di antara pembahasan tentang masyarakat diselipkan judul tentang kebenaran dan keadilan serta hukum dan perundang-undangan. Namun ternyata, ia mempunyai alasannya sendiri tentang hal ini. Menurut Wright, individu dalam PL tidak bisa dilepaskan dari masyarakat sebagai umat pilihan Allah. Sedangkan penebusan yang Allah lakukan pertama-tama diarahkan kepada Israel sebagai umat yang nantinya juga akan menyentuh aspek individu sebagai komponen terkecil di dalamnya. Karena itu penting untuk memberi perhatian terlebih dahulu bagi Wrigth untuk mengupas tentang aspek-aspek sosial sebelum individu. Masalah Etika Perorangan: Umumnya, individu merupakan komponen terkecil dalam masyarakat. Individu ini hidup, bergaul dan bertindak dalam suatu komunitas tertentu yang disebut dengan masyarakat. Akibatnya, harus diakui juga bahwa etika pribadi setiap individu terbentuk sesuai dengan kebiasaan lingkungan atau masyarakat di mana ia berasal. Berbanding terbalik dengan yang ada dalam PL, Allah menciptakan suatu umat yang akan dijadikan teladan agar tercipta masyarakat baru yang sesuai dengan rencana-Nya. Etika pribadi didasarkan pada teologi tentang umat tebusan Allah yang didasarkan pada perjanjian. Sehingga segala sesuatu yang ditetapkan untuk masyarakat berimplikasi pada tindakan yang harus diambil oleh individu dalam masyarakat tersebut. Setiap orang secara pribadi bertanggung jawab atas tindakannya baik bagi Allah ataupun sesamanya. Untuk memperjelas tentang karakteristik etika perorangan, dalam PL diberikan contoh-contoh nyata seperti hikmat yang benar, moral yang benar dan ibadah yang benar. Ketiga contoh yang diberikan ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab puisi dan kitab para nabi. Ketiganya berhubungan satu sama lain dan berpusat pada Allah sendiri. Ketiganya merupakan refleksi Allah, oleh karena itu etika perorangan dalam PL merupakan implikasi etis terhadap sikap dan tindakan Allah dalam dunia. Namun manusia mempunyai keterbatasan dalam menghadapi tuntutan Allah tentang satu umat yang dapat diteladani. Keterbatasan ini dapat muncul dari tindakan yang terang-terangan atau bahkan karena faktor kelemahan. Kesadaran manusia dan pengakuan mereka dari dosa menjadi titik berangkat penebusan. Penebusan Allah terjadi kepada semua manusia secara obyektif, tetapi pengalaman pengampunan itu subyektif. Kekuatan penebusan menjadikan individu mampu untuk bertindak secara etis di dalam komunitas masyarakat dan dunia. Masyarakat dan kebudayaan: Sebagai satu komunitas masyarakat, bangsa Israel juga berhubungan dengan bangsa lainnya. Hal ini menandakan bahwa mereka juga terlibat baik secara aktif atau pasif bersamaan dengan komunitas dari kebudayaan lain. Sebagai bangsa yang khusus, Israel tentu memberi respon terhadap kebudayaan sekitar, baik dalam bentuk toleransi maupun penolakan disertai kecaman keras. Allah merupakan tolak ukur dalam bergaul bagi bangsa Israel. Penolakan disertai ancaman keras muncul jika hal ini berhubungan dengan praktik keagamaan yang bersifat menjijikkan bagi Allah, seperti penyembahan berhala, pelacuran bakti, pengorbanan anak, dll seperti yang dilakukan bangsa Kanaan. Toleransi terhadap kebudayaan Kanaan ini akan mengakibatkan hilangnya keunikan Israel dan sanksi yang tegas dari Allah. Namun bangsa Israel dapat juga bertoleransi dengan beberapa kebiasaan dari kebudayaan bangsa lain dengan tetap terkendali. Misalnya; sejak semua Allah menciptakan hanya satu laki-laki bagi satu perempuan. Namun ternyata masih terdapat poligami. Poligami umumnya terbatas pada raja-raja, para pemimpin atau pejabat tinggi. Seorang pria yang memiliki lebih dari satu orang istri tetap harus bertanggungjawab penuh baik secara materi atau seks kepada wanita yang menjadi istri atau selirnya. Ada beberapa kasus perceraian yang tercatat dalam Alkitab di antara umat Israel. Pada dasarnya perceraian tidak diizinkan karena menghancurkan hubungan yang Allah kehendaki. Tetapi hal ini kemudian ditoleransi selama ada dalam batas-batas hukum dan merupakan kasus yang fatal. Kesimpulan sementara tentang kasus ini adalah lebih baik jika ada penyatuan daripada perpisahan. Seolah-olah poligami lebih mendapat toleransi daripada perceraian. Penulis berpikir bahwa bukankah keduanya menyakitkan? Contoh lain adalah tentang perbudakan. Perbudakan dalam bangsa Israel memang sulit untuk dimusnahkan walau bagi Allah sebenarnya kedudukan semua orang sama. Untuk itu, terdapat pengaturan khusus tentang cara berhubungan dengan budak dalam bangsa Israel. Tentang berapa lama mereka harus mengabdi, hak-hak yang mereka terima, dll. Lepas dari semua contoh tentang sikap toleransi budaya itu, sejarah Alkitab juga mencatat adanya penerimaan bahkan pengukuhan terhadap kebudayaan sekitar dan meresap dalam kebudayaan Israel. Kebudayaan itu seperti kekerabatan dalam keluarga dan masalah tanah yang diserap dari bangsa Semit kuno. Keluarga bagi mereka merupakan satu kesatuan luas antara beberapa generasi dan keluarga inti ditambah dengan beberapa pekerja dan budak yang tinggal bersama dengan mereka. Ajaib juga karena dalam hal ini budak dan kaum tumpangan dianggap sebagai anggota keluarga asal tinggal bersama-sama dengan mereka. Terdapat ikatan yang kuat di antara keluarga tersebut. Garis silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi bangsa Semit, sehingga ikatan di antara mereka tetap dipelihara. Selain itu, tanah merupakan pengikat kuat antar generasi keluarga di masa lalu dan di masa depan. Israel mengadopsi sistem kekeluargaan ini, bahkan lebih dari itu, kesatuan dalam keluarga merupakan titik temu antara Allah, Israel dan Tanah yang ada pada mereka. Dengan menjadi keluarga, seseorang mendapat identitasnya sebagai bangsa Israel pewaris tanah perjanjian dari Allah. Dalam PL, keluarga dan tanah merupakan struktur dasar sosial Israel, sistem ekonomi yaitu kepemilikan, dan teologis berupa hubungan perjanjian. Kekeluargaan merupakan hal penting yang dilindungi baik secara teologis dan hukum. Perlindungan ini diberikan baik secara lahir maupun batin dengan Undang-undang yang tergambar jelas dalam dasa Titah. Hukum pertama sampai keempat menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Hukum kelima sampai dengan kesepuluh menggambarkan hubungan dengan sesama manusia. Kembali lagi, perlu diakui bahwa dunia sepenuhnya telah jatuh ke dalam dosa. Tidak ada budaya yang sempurna. Karena itu selektif merupakan cara yang baik bagi Kekristenan di dunia saat ini. Beberapa hal dalam kebudayaan perlu dihindari, ada yang bisa ditoleransi dan ada juga yang perlu dipertahankan bahkan mendapat penegasan ulang. Kekeluargaan tetap merupakan hal yang patut untuk dilanjutkan dan ditingkatkan. Namun perlu diakui juga bahwa ada rentang waktu antara masa PL, PB dan dunia modern saat ini. Dalam dunia modern, tanah bukan lagi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam kekerabatan. Memang ada suku-suku tertentu yang masih memberi penghargaan tinggi kepada tanah sebagai milik keluarga yang perlu dipertahankan. Penulis melihat hal ini dalam beberapa suku atau kebudayaan di Indonesia, namun tidak menyeluruh. Terjadi pernikahan di antara kaum kerabat untuk dapat mempertahankan tanah warisan mereka. Akan tetapi kebiasaan ini mulai pudar seiring perkembangan waktu. Perkembangan dunia modern disertai mobilitas yang tinggi, persaingan ekonomi, hukum, politik, mengurangi makna tanah bagi keluarga. Namun kesatuan keluarga ini tetap terikat berdasarkan faktor keturunan dan terjadi untuk lingkup keluarga terdekat. Berbanding terbalik dengan keadaan ini, secara tipologis dalam PB, kekeluargaan ini tidak hanya menyangkut hubungan darah, namun lebih luas lagi dalam satu lingkup keluarga baru yaitu keluarga Allah yang juga adalah pewaris dari Kerajaan Allah, jemaat. Kembali lagi, bukan karena tanah, kesatuan keluarga ini menemui makna barunya dalam pengorbanan Kristus. Hukum dan Sistem Perundang-undangan: Dalam lingkup Israel sebagai suatu bangsa yang berdaulat, sudah dapat dipastikan bahwa mereka memiliki Hukum dan sistem perundang-undangan. Menurut Dyrness, Hukum ini ada bukan agar mereka menjadi umat Allah tapi karena mereka adalah umat Allah (h.110). Pemberian hukum merupakan bagian dari pemberian diri Allah kepada umat-Nya yang berada dalam perjanjian dan menyatakan maksud kasih Allah. Hukum diberikan agar menjadi petunjuk yang ideal bagi umat kepunyaan Allah (h.109) Hukum bukanlah merupakan hal yang asing bagi Israel karena sejak sedini mungkin hal ini sudah diajarkan kepada mereka di rumah masing-masing. Pada kelima kitab Taurat terdapat empat kelompok hukum, antara lain Dasa Titah, kitab perjanjian, kitab Imamat, dan kumpulan Ulangan. Berdasarkan latar belakang sosial Israel kuno, hukum-hukum dalam PL dibagi menjadi hukum pidana, hukum perdata, hukum keluarga, hukum peribadatan, hukum kebajikan. Hukum-hukum ini umum berlaku secara yuridis dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan fungsinya masing-masing, kecuali hukum kebajikan. Sifat hukum kebijakan tidak dipaksakan namun tersebar di seluruh kitab hukum. Biasanya berupa sifat praktis kehidupan yang erat kaitannya dengan perikemanusiaan. Tidak terdapat sanksi hukum legal, semuanya bersumber dari hati nurani manusia dalam hubungannya dengan Allah, Si Pemberi Hukum. Namun secara Teologis, apapun jenis hukumnya, yang paling penting bagi Israel adalah bahwa semua hukum adalah hukum Allah. Apapun yang berkaitan dengan pelanggaran hukum adalah dosa. Sebaliknya, memelihara hukum berarti memelihara hubungan dan pengenalan pribadi dengan Allah. Kembali lagi, hukum Taurat dipandang bukanlah sebagai beban, melainkan anugerah yang menyatakan adanya relasi antara mereka dengan Allah. Hukum itu dibuat bukan agar mereka menjadi umat Allah tapi karena mereka adalah umat Allah. Jadi, hukum merupakan tanda dari adanya hubungan tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, terdapat skala nilai yang dipakai pada bangsa Israel, bahwa kehidupan lebih utama dari harta benda dan manusia lebih utama daripada hukuman. Memang terdapat konsekuensi dari pelanggaran hukum namun dalam rangkaian yang sistematis. Ada yang mendatangkan vonis mati, ada yang lebih ringan bahkan ada yang hampir tidak mungkin masuk proses peradilan. Pelaksanaan hukum sendiripun pada umumnya bersifat lokal dan demokrasi. Ide untuk melaksanakan keadilan berasal dari masing-masing orang, tanpa perlu polisi, pengacara seperti kasus hukum masa kini. Kedatangan Kristus menggenapi Hukum Taurat. Namun Hukum Taurat tidak begitu saja hilang dari kehidupan orang percaya. Ia tetap berlaku baik secara etis maupun teologis sebagai tanda dari relasi yang ada. Terdapat kesinambungan dan ketidaksinambungan antara Hukum Taurat dan penebusan yang dilakukan oleh Kristus. Namun keduanya dihubungkan secara tipologis, entahkah itu Hukum Taurat yang diberikan bagi bangsa Israel yang telah ditebus dari perbudakan atau bagi orang percaya yang telah ada dalam penebusan oleh darah Kristus, keduanya tetap merupakan rencana penebusan dari Allah yang satu. Dalam hal pelaksanaan hukum, terdapat perbedaan antara PL dengan masa kini. Dalam PL erat sekali kaitan hukum dengan upaya penegakan kebenaran dan keadilan. Ada kombinasi pelaksanaan keadilan yang bersifat kekeluargaan dan bersifat umum. Namun dalam pelaksanaannya, tidak semuanya berjalan sesuai dengan hukum yang ditentukan. Keadilan dan kebenaran sering kali ditawar oleh kepentingan beberapa golongan. Dengan demikian, masyarakat sebagai pelaku hukum tidak dapat dengan mutlak dimurnikan hanya dengan kekuatan hukum saja. Kebenaran dan keadilan mengalir justru karena pengenalan akan Allah. Hukum diberikan sebagai tanda kasih karunia dari Allah dan sebagai peneguhan bahwa Israel memang adalah umat-Nya. Oleh sebab itu dalam menjalankan hukum, kita juga perlu melakukannya berlandaskan kasih kepada Allah. Tanpa kasih kepada Allah, ketaatan pada hukum Allah sulit ditemukan. Kebenaran dan keadilan: Wrigth menyatakan bahwa sebenarnya dalam PL tidak ada gagasan paling hakiki daripada keyakinan bahwa Allah adalah benar dan adil. Keadilan dalam bahasa aslinya biasanya diwakili oleh dua kata asli, tsedeq dan misypat. Tsedeq lebih menunjuk kepada keadilan yang bersifat obyektif sementara misypat itu subyektif. Jadi misypat adalah tindakan yang perlu diambil agar sesuai dengan tsedeq. Kebenaran dan keadilan ini memiliki kaitan erat juga dengan kesetiaan, kekudusan dan damai sejahtera. Apapun bentuknya, kebenaran dan keadilan ini bukanlah konsep yang abstrak bagi orang Israel, ini merupakan realitas. Secara teologis, kebenaran dan keadilan menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia namun secara sosiologis merupakan gambaran hubungan manusia dengan sesamanya. Kebenaran dan keadilan merupakan sifat Allah sendiri, Allahlah tolak ukurnya. Menurut Birch, Dalam PL, keadilan merupakan atribut tertinggi dari semua aktifitas Allah di dalam dunia (h.155). Allah tidak bertindak di luar Hukum Legal yang telah ditetapkan. Allah adalah sumber kepedulian bagi kebenaran untuk setiap orang dan pemberi hukum yang mewujudkannya dalam struktur masyarakat yang setia. Namun keadilan tidak hanya berkaitan dengan komunitas Israel saja tetapi seluruh bangsa. Bagi orang Israel keadilan merupakan aspek fundamental dari tindakan Allah dari sejarah awal yang dapat dilihat dalam syair kuno, nyanyian Musa. Keadilan Allah berkaitan erat dengan kebenaran-Nya. Secara Teologis, Kebenaran dan keadilan ini terjadi dalam rangkaian pemeliharaan dan penebusan Allah. Tindakan-Nya di dalam dunia merupakan bentuk penyataan diri Allah dan ini Dia lakukan dalam kebenaran dan keadilan. Namun Wrigth mengingatkan bahwa tidak semua kebenaran dan keadilan yang Allah lakukan dalam peristiwa pemeliharaannya pada sejarah dunia masuk dalam rangkaian rencana penebusan-Nya. Satu atau dua kasus yang memperlihatkan sisi kebenaran dan keadilan dalam diri Allah belum tentu merupakan peristiwa penebusan tapi dapat dipastikan tindakan ini sebagai bentuk pemeliharaan Allah pada umat-Nya. Dalam hal ini Wrigth sepertinya ingin menjelaskan bahwa jangkauan pemeliharaan Allah lebih luas daripada penebusan. Kebenaran Allah memang menyelamatkan namun di balik hal ini, terdapat pula ancaman penghukuman yang adil atas umat Israel dan seluruh dunia jika tidak mampu mempertanggungjawabkan tindakan mereka terhadap sesamanya kepada Allah. Hukuman ini juga merupakan bentuk dari atribut Allah yang adil dan benar. Dalam konteks sosial Israel, keadilan dan kebenaran merupakan pemberian. Manusia memang diberikan kebebasan dan bertindak namun mereka harus meresponinya dengan turut serta memelihara keadilan ini dengan cara menaati hukum. Hal ini biasanya harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa Israel dengan cara melindungi kaum miskin yang tertindas. Di manapun di dunia ini ada orang miskin, dan kebanyakan mereka mendapat perhatian khusus dalam alasan apapun. Para nabi dipakai Allah dalam mewartakan keadilan dan kebenaran Allah serta ketidakberpihakan Allah entah kepada orang miskin atau orang kaya berdasarkan identifikasi yang benar tentang makna miskin itu sendiri, bukan sekedar fakta lahiriah. Pengalaman Ayub menjadi kritik tersendiri tentang keadilan dan kebenaran Allah dalam sudut pandang manusia. Kasus masa kini juga acap kali menimbulkan pertanyaan tentang keadilan Allah. Bagaimanapun juga jawaban yang masih terus paten namun tidak menjawab pertanyaan yang sesungguhnya dan membawa pada jalan buntu sebuah pertanyaan adalah pernyataan bahwa “Pikiran Allah berbeda dengan pikiran manusia”. Benar-benar seperti tungku panas membara yang disiram oleh seember besar air. Politik dan dunia bangsa-bangsa: Lebih dari itu, individu dalam masyarakat Israel juga hidup dalam kelompok yang lebih besar lagi yaitu dengan bangsa-bangsa di sekitarnya. Bangsa Israel tidak pernah hidup sendiri, terdapat perjumpaan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pertemuan dengan berbagai negara atau bangsa ini menandai juga perjumpaan dengan berbagai dimensi kehidupan seperti ras, budaya, bahasa, politik, ekonomi dan agama. Terdapat harmonisasi dalam perjumpaan ini yang merupakan bagian dari pertanggungjawaban manusia kepada Allah dan sesamanya. Kesemuanya ini merupakan hasil dari ciptaan Allah yang kreatif. Namun harmonisasi ini jelas-jelas menjadi rusak saat peristiwa kejatuhan manusia. Kejatuhan manusia ini juga berdampak buruk bagi dunia politik dan hubungan bangsa-bangsa. Peristiwa Babel serta Sodom dan Gomora merupakan fakta Alkitab tentang kekacaubalauan relasi sesama manusia ini. Efek negatif ini yang kemudian melahirkan keprihatinan dari pihak Allah berupa penebusan. Penebusan Allah ini bukan sekedar cerita mitos tetapi sejarah meskipun memang ada serangkaian pertemuan antara kuasa rohani Allah dan Iblis. Penebusan Allah pada sejarah bangsa Israel terjadi berdampingan dengan kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Rangkaian sejarah penebusan ini dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut: Allah memilih satu bangsa untuk ditebus, dijadikan suatu umat yang akan hidup di antara bangsa-bangsa untuk melaksanakan rencana-Nya. Alasan pemilihan bukanlah terletak pada ras atau keistimewaan tertentu tapi hanya karena anugerah. Allah memilih, merancang atau menciptakan suatu bangsa yang akan hidup di antara bangsa-bangsa lain untuk tujuan-Nya yaitu penebusan seluruh dunia. Serangkaian peristiwa lain menggambarkan perjalanan sejarah Israel sebelum mereka memasuki panggung politik dunia. Sebelum merdeka, Israel mengalami perbudakan terlebih dahulu di Mesir. Allah membebaskan Israel dari perbudakan ini dan membuat sebuah perjanjian baru dengan bangsa ini. Sebuah perjanjian formal layaknya perjanjian politik internasional dengan Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi selaku raja agung. Israel sendiri sebagai umat dari suatu bangsa yang baru dikenai berbagai macam tanggung jawab rohani kepada Allah dan politis, sosial, ekonomis kepada bangsa-bangsa tetangganya. Lebih dari itu, sebagai suatu bangsa secara politis dengan sistem pemerintahan Teokrasi, Israel sendiripun harus memiliki struktur politis, sosial, ekonomi jelas untuk memelihara kemerdekaan bangsa dari kejahatan yang akan menghancurkan masyarakat. Sistem politik Israel bergeser diganti dengan sistem kerajaan. Hal ini terjadi bukan karena kehendak Allah, ini semata-mata keinginan manusia, dan Allah mengizinkannya. Ada perbedaan yang perlu dicatat tentang perbedaan pandangan tentang raja di Israel dengan raja dari bangsa-bangsa lain. Umumnya raja dari kerajaan lain dipandang sebagai keturunan ilah, bersifat keramat dan dapat menjadi kultus. Namun raja Israel yang terpilih, murni manusiawi. Allah tetap terlibat dalam sistem pemerintahan ini selama sang raja juga berada dalam garis ketaatannya pada Allah. Wrigth menjelaskan bahwa ada ketegangan menarik antara cita-cita teokratis Allah dan sifat serta fungsi jabatan raja manusiawi. Teokratis mengurangi perbedaan-perbedaan sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat Israel dan monarki menjerat mereka dalam tingkatan sosial ekonomi yang tidak adil. Pengangkatan raja merupakan bentuk penolakan terhadap teokrasi namun juga menjadi titik fokus teokrasi mengingat sifat raja yang harus menjadi model Allah di dalam dunia. Raja dalam hal ini menjadi mitra kerja Allah di dalam dunia. Selain itu, sistem kerajaan manusiawi ini bersifat hanya sementara, memunculkan banyak dampak negatif seperti ketidakadilan di bidang ekonomi, penyembahan berhala, yang berpuncak pada peristiwa pembuangan dan ini bersumber dari tindakan kurang bijaksana kalangan raja-raja Israel. Pembuangan menghapus kedaulatan Israel sebagai suatu bangsa namun tidak berarti menghapus faktor kekudusan mereka sebagai umat Allah yang masih tetap berelasi dengan bangsa-bangsa di sekitarnya. Peran Israel terlihat dari beberapa hal; Israel bertindak sebagai imam di dunia. Hal ini mengingat tujuan penebusan Allah bagi seluruh dunia melalui Israel, maka Israel berperan sebagai perantara Allah dan bangsa-bangsa. Selain itu, Israel juga melayani secara politis di negara lain secara profesional tanpa kompromi dengan iman pribadi atau nasionalismenya. Alkitab sendiri mencatat beberapa nama penting yang terlibat aktif dalam sejarah politis bangsa-bangsa lain seperti Yusuf, Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Hidup mereka sebagai pelayan Tuhan sekaligus pelayan negara tidak sepenuhnya mudah, namun Allah memakai mereka bagi kemajuan bangsa-bangsa sekitarnya. Buku ini mirip dengan buku-buku PL pada umumnya. Bedanya, buku ini merupakan ulasan tentang hubungan antara Allah, manusia dan tanah tempat mereka tinggal. Wrigth mengemasnya dengan apik dalam bentuk segitiga sama sisi yang saling berhubungan. Allah menciptakan dunia dalam hal ini tanah sebagai salah satu komponen penting dan memberikannya kepada manusia untuk dipelihara atau dikelola. Respon manusia terhadap pemberian Allah ini yang dinamakan dengan etika. Namun kejatuhan manusia dalam dosa membuat Allah mengambil prakarsa kembali untuk mengadakan penebusan. Allah ingin membentuk satu umat yang akan menjadi satu model bagi seluruh dunia dan Ia memilih Israel. Sebagai model, Israel memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dengan bangsa lain. Melalui nenek moyangnya, Abraham, Allah mengadakan perjanjian untuk memberikan tanah. Tanah menjadi identitas hubungan mereka dengan Allah. Di atas tanah itu bangsa ini harus bertindak secara etis untuk bertanggung jawab terhadap pemberian Allah dengan mengurus tanah tersebut. Selain bertanggungjawab untuk mengurus tanah, Israel yang terpilih sebagai juga bertanggungjawab untuk memperhatikan sesamanya manusia baik secara individual, sosial masyarakat bahkan dunia. Inilah alasan mengapa ada tahun Yobel bagi tanah, perhatian khusus bagi para budak, orang asing, penebus kerabat, dll. Dari sinilah segitiga etis antara Allah, manusia dan tanah ini semakin terlihat. Sebagai tanda adanya hubungan antara Allah dan umat Israeel muncullah Undang-undang. Hal ini menegaskan kembali tanggungjawab yang tercipta antara Allah dan manusia. Peraturan atau Undang-undang ini tidak hanya harus diresponi secara etis dalam hal teologis, sosial namun juga ekonomis dengan adil dan benar. Tolak ukur kebenaran dan keadilan ini terletak pada Allah sendiri. Semua peraturan ini dibuat agar Israel sebagai umat Allah tetap hidup aman dan tentram di tanah yang memang Allah telah siapkan bagi mereka. Sempat terjadi insiden karena penolakan bangsa Israel terhadap kepemimpinan Allah dan berdampak buruk bagi hakikat Israel sebagai bangsa yang khusus. Namun segitiga hubungan itu tidak terputus begitu saja, Allah tetap menaruh hati-Nya bagi Israel. Puncaknya, raja yang seharusnya menjadi wakil Allah di dunia justru menjadi penyebab rusaknya hubungan Allah dengan umat Israel. Akibatnya segitiga ini sempat terputus sementara karena Israel kehilangan tanah mereka. Kembali lagi, kehilangan tanah berarti kehilangan identitas. Kedatangan Kristus memberi makna baru dalam etika hidup orang percaya sampai saat ini. Tanah bukan lagi merupakan identitas penting bagi orang percaya dan merupakan salah satu komponen dalam segitiga. Segitiga ini memiliki bentuk barunya melalui Yesus. Hubungan baru ini antara lain terjadi antara Allah, Yesus dan Jemaat. Penulis ingin mempertanyakan jika, seandainya mungkin, Wrigth menulis tentang Kehidupan Umat Allah pada masa kini secara etis, apakah ia juga akan menulis dengan format yang sama? Apakah urutan ini akan menjadi Allah, Umat dan Yesus? Atau Allah, umat dan Kerajaan Allah? Lalu bagaimana cara beliau meletakkan sudut ekonomis pada segitiga “baru”nya nanti? Seperti yang dituliskan oleh Karman bahwa tidak banyak Teolog yang memakai tanah sebagai pusat pembahasan mereka tentang PL (h. 76). Tapi,Wrigth pasti dapat mengemasnya kembali dan memberikan penyajian yang apik dalam karyanya. Ingin mengetahui dengan jelas gambaran segitiga hubungan antara Allah, manusia dan tanahnya, bacalah buku ini.



Acuan Pustaka Tambahan
Birch, Bruce C. 1992 Let Justice Roll Down: The Old Testament, Ethics, and Christian Life. Kentucky : Westminster. Dyrness, William. 1990 Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas. Karman,Yonky. 2012 Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar