Minggu, 21 Mei 2017

Kemakmuran dan Kemiskinan dalam Perjanjian Lama



KEMAKMURAN  DAN KEMISKINAN DALAM PERJANJIAN LAMA

DEFINISI
Ada beberapa kata yang digunakan dalam bahasa Ibrani yang menunjuk kepada kata miskin. Kata itu antara lain: reys, ebyon, ani, anah dan dal. Kata-kata ini secara etimologis berarti sebagai berikut: reys[1] berarti kemiskinan. Berdasarkan akar katanya roosh, kata ini berarti menjadi miskin,  kekurangan atau ketiadaan. Kata kedua yang muncul adalah ebyon[2] yang berarti orang yang membutuhkan. Dari akar katanya berarti keinginan, mengizinkan, dll. Kata ketiga dan yang paling banyak dipakai untuk menjelaskan kemiskinan adalah ani[3] yang muncul sebanyak 77 kali dalam PL dan berarti miskin, rendah hati, menimpahi, dll. Kata keempat yang dipakai adalah dal[4] yang berarti rendah, miskin, lemah, kurus, seseorang yang berada dalam posisi yang rendah. Kemiskinan sebagaimana didefinisikan oleh Boerma adalah sebagai berikut: Jika dihubungan dengan kata  “ani”, miskin berarti orang yang membungkuk, hidup dalam keadaan rendah. Si miskin “ani” ini bukan berhadapan dengan si kaya, tetapi berhadapan dengan si penindas, pemakai kekerasan, yang menjerumuskan sesamanya ke dalam posisi yang rendah. “ani” berasal dari akar katanya yaitu “anaw”. Kata ini berkonotasi makna rohani. Si “anaw” adalah orang yang rendah hati, yang merasa dirinya kecil (di hadapan Allah), dan lemah lembut. Kata yang digunakan untuk menyebut kelemahan jasmani dan kemiskinan materi disebut “dal” artinya berada pada posisi yang kurang baik. Di samping itu ada kata “ebyon” menunjuk orang yang berada pada posisi meminta (manusia selaku pengemis). Kata-kata tersebut menunjuk pada keadaan-keadaan yang membutuhkan perubahan cepat. Ada juga kata Rush yang berarti menjadi miskin atau berada dalam keadaan miskin. Jadi miskin merupakan keadaan dimana seseorang itu berada dalam kondisi kekurangan, tidak memiliki apa-apa, membutuhkan, lemah, kurus, atau berada dalam posisi yang rendah.  
Dalam Amos 2:6-7 kata-kata tersebut di atas tampil dalam satu kalimat “karena mereka menjual orang benar (tsadiq) untuk uang, dan orang miskin (ebyon) karena sepasang kasut, mereka menginjak-injak kepala orang lemah (dallim)  ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara (anawim)”. Kalimat ini menunjukkan bagi Amos kemiskinan bukan suatu hal yang netral, dia justru menempatkan si miskin sejajar dengan orang yang adil, sejajar dengan menjadi orang benar[5]. Menurut Stott, ada 6 kata Ibrani  yang menerangkan tentang kemiskinan. Namun berdasarkan prinsip, bisa dibedakan tiga macam kemiskinan, antara lain:
  1. Kemiskinan ditinjau dari segi ekonomi, yaitu kemiskinan yang ditinjau dari ketiadaan materi. Mereka ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling primer. Entah itu pangan, papan, sandang atau malah ketiganya. Kemiskinan ini bisa terjadi akibat dosa mereka sendiri, entah itu dosa kemalasan, pemborosan, kelahapan, dll. Kemalasan erat juga kaitannya dengan nafsu serakah seorang rakus dan peminum. Kemiskinan ini tidak hanya terjadi pada individual melainkan juga kemiskinan nasional akibat dari dosa. Namun demikian, dalam PL tetap diminta adanya empati bagi orang-orang miskin.
  2. Orang miskin yang tak berdaya yang tertindas secara politik dan sosial. Kemiskinan dalam PL bukanlah suatu gejala yang wajar dan timbul begitu saja karena dosa pribadi atau ketidaktaatan nasional. Ada juga kemiskian yang disebabkan oleh dosa orang lain. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan sosial yang menjurus kepada penyimpangan dan kepincangan, namun karena posisi sebagai rakyat kecil, mereka akhirnya tidak dapat melakukan apa-apa terhadap hal tersebut.
  3. Orang miskin yang rendah hati yaitu mereka yang lembut secara spiritual dan merasa dirinya memiliki ketergantungan total kepada Allah. Miskin di sini sinonim dengan saleh serta keadaan sosial yang melambangkan ketergantungan spiritual mereka. Mereka memiliki kesaksian tentang keselamatan yang akan didatangkan oleh Allah[6].
Jadi secara semantik, seseorang dikatakan miskin ketika ia tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya, atau mengalami ketertindasan secara politik dan sosial atau bisa juga muncul dalam arti positif yaitu orang yang rendah hati.
Dalam PL Kemakmuran ( Kekayaan ), pemahaman kata ‘ Kekayaan ‘ dipergunakan  sebanyak 6 kali dalam Kejadian-Ulangan; 9 kali dalam buku Yosua dan Hakim-hakim; 23 kali kitab “sejarah”( 1&2 Tawarikh, ezra, Nehemia ); 34 kali dalam kitab-kitab para nabi. Kekayaan berasal dari kata osher[7]  yang secara etimologis berarti kaya. Kekayaan itu terdiri dari kepemilikan namun kepemilikan itu bukan kepemilikan pribadi.  Biasanya merupakan kekayaan suku atau kekayaan keluarga. Kekayaan ini didapat dari hasil rampasan perang, hadiah kepintaran yang kesemuanya itu merupakan berkat Allah atau pemberian Allah. Diberikan sebagai upah karena sudah mendengarkan suara Tuhan. Pada zaman PL, kekayaan merupakan konsekuensi dari usaha menjalankan peraturan-peraturan Allah atau konsekuensi yang dijamin dari ketaatan menjalankan aturan-aturan perjanjian baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat. Jadi harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang hanyalah berdasarkan berkat belaka. Pada masa pengembaraan, tidak terlalu kentara pembedaan antara orang kaya dan orang miskin. Kekayaan dan kemiskinan adalah milik bersama dalam suku atau kelompok[8].
        
UKURAN KEMISKINAN DAN KEMAKMURAN
            Menurut Boerma, Baker, dan beberapa sumber lain sebagaimana sudah dirangkum sebelumnya,  ada tiga ukuran kemiskinan dan kemakmuran, yaitu:
a.  Ekonomi
Berdasarkan fakta sejarah literatur Alkitab jelas bahwa bagi bangsa Israel kemiskinan berhubungan erat dengan sistem ekonomi dan struktur masyarakat pada zaman itu. Karena itulah dalam kitab Kejadian khususnya kata “miskin” tidak muncul tetapi istilah “kelaparan” (Kej.12:10; 41:27,31). Sebab, pada zaman para bapa leluhur dipahami harta kekayaan bukan suatu milik pribadi, tetapi kekayaan suku atau keluarga. Hal itu juga dipahami sebagai hasil jerih payah ketaatannya menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah.
1)      Rumah
Namun ketika hidup Israel beranjak dari pola hidup nomaden menjadi petani dan mereka bertempat tinggal tetap, hubungan-hubungan kepemilikan menjadi berubah. Dimana rumah tempat tinggal rakyat biasa ( miskin ) hanya mempunyai satu bilik saja. Sebagaian dari bilik itu berlantai tinggi dan berlantai bagian yang laiun dibuat lebih rendah. Orang –orang kaya mempunyai tempat tinggal yang lebih besar dengan banyak bilik yang dibuat mengelilingi pelataran dalam. Rumah-rumah itu rata atapnya dan tangga yang menuju ke atap itu dibuat disebelah luar rumah . Diatas kamar itu sering dibuat lagi sebuah kamar.[9]

2)      Tanah
Kalau sebelumnya perbedaan-perbedaan ekonomis dan kelas-kelas sosial tidak ada karena keluarga satu kesatuan finansial, tetapi kini timbul kelas sosial dan kemiskinan menjadi masalah sosial. Hal ini diakibatkan oleh pemukiman di Kanaan di mana bangsa Israel beralih menjadi petani-petani kecil yang berdiri sendiri, mengelola, mengusahai sebidang tanah untuk dijadikan miliknya sendiri. Masing-masing hidup dari tanah yang diusahainya. Kalau tanah yang diusahainya tidak subur, panen gagal, dia menjadi miskin dan menjual dirinya sendiri serta keluarganya sebagai budak. Jadi persaingan hidup tidak lagi dalam rangka kebersamaan, tetapi mempertahankan dan memperkaya diri sendiri. Corak hidup seperti ini menyebabkan sendi masyarakat menjadi berubah. Si miskin (tidak memiliki tanah) berhadapan dengan si kaya (pemilik tanah). Timbullah suatu kelompok aristokrasi yang makmur, tetapi di pihak lain rakyat miskin semakin bertambah jumlahnya. Jurang pemisah antara di kaya dan si miskin makin lebar.[10]

b.   Sosial
Kemiskinan di dalam PL maupun kekayaan sebenarnya dihubungkan dengan Allah secara erat. Kedua pengertian itu dianggap korelatif. Pandangan akan hal itu lebih ditujukan pada segi ethisnya (Ams 30:8-9* dan lain-lain) daripada segi ekonomisnya. Dari pandangan kodratinya, kemiskinan adalah benar-benar suatu keburukan. Walaupun Allah selalu menyebabkan segala sesuatu, namun manusia sendiri dapat dipersalahkan sebagai penyebab keburukan itu (pengangguran:  Ams 6:9-11; 24:30-34; Pengk 10:8; nafsu bersenang-senang: Ams 21:17 dan lain-lain).Pada umumnya PL bertindak membela orang-orang miskin (/TB Ayub 5:15; Mazm 72:12-15).Para nabi melindungi  mereka.Hukum berusaha meringankan kekurangannya.[11] Kemiskinan dipandang sebagai si hina, dan tidak termasuk hitungan lagi. Karena dia miskin , maka hak-khaknya menjadi kurang daripada orang lain dan pikirannya juga dinilai kurang , contoh ; sejarah nabal ( 1 Samuel 25: 10-11 ). Menjadi orang miskin sama dengan menjadi orang yang tertindas, si miskin terperangkap dalam sebuah lingkaran setan yang hanya dapat ditembus oleh perlakuan dan sikap si kaya, hal mana tidak pernah terjadi. Si miskin menjadi samapah masyarakat , termasuk golongan yang lebih rendah –orang yang tidak mendengarkannya. “ menjadi miskin “ dan “ diinjak “ menjadi ama. Ungkapan Standar “ menginjak orang miskin “ ( Am 4:1; Ams 14:31 ; 22:16 ; 28:3 ; Za 7:10 ; Mzm 72:4 ) mengatakan penyebab kemiskinan terletak pada si kaya[12].

c.   Rohani
Kitab –kitab Hikmat sebenarnya telah mengakui pembagian masyarakat dalam berbagai tingkat sosial. Latar belakang pembagian ini bukan ketidakadilan sebagaimana halanya dalam kitab-kitab nabi, tetapi itu adalah karena nasib dan perbuatan ini terutama telihat dalam kitab Amsal. Ayub mempersoalkan kaitan ini.Karenanya kita temukan pada Ayub yang taat (saleh) di hadapan Tuhan (Ayb 1), kehilangan segala harta miliknya, anak-anaknya, dan dia tidur beralaskan debu karena penyakit yang dideritanya. Orang-orang pada zaman Ayub yakin akan adanya suatu hukum karma yang ditetapkan Tuhan yang adil. Orang baik dan saleh, orang berhikmat, pasti diganjar Tuhan. Mereka menjadi bahagia, makmur dan sejahtera serta berhasil dalam hidupnya. Sengsara (miskin) dan kemalangan untuk sementara dapat menimpa orang baik, tetapi itu hanya semacam ujian dan pencobaan. Pada akhirnya mereka akan diberkati oleh Tuhan dan menjadi bahagia. Sebaliknya: orang bodoh, jahat dan fasik pasti dihukum. Kalau pun mereka nampaknya bahagia dan sejahtera, namun itu hanya untuk sementara waktu saja dan kebahagiaannya semu belaka. Pengalaman Ayub menunjukkan bahwa tidak selamanya kemiskinan (kesengsaraan) sebagai hukuman atau sebaliknya kekayaan secara materi sebagai bukti orang diberkati Tuhan. Sebab, nyata-nyata ditunjukkan bahwa Ayub adalah orang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Dengan demikian kategori diberkati oleh Tuhan bukan kepada semua orang kaya. Orang kaya disebut diberkati Tuhan sejauh kekayaannya itu bukan merupakan hasil pemerasan atau yang menyebabkan orang lain menjadi korban. Kekayaannya bukan menjadi penghalang untuk masuk sorga, sebab Alkitab tidak menolak manusia menikmati materi/barang-barang di bumi dalam koridor kejujuran, jauh dari pemerasan, penindasan terhadap sesama manusia. Pengertian berkat atau diberkati tidak sesederhana memberi secara materi dan fisik. Kata berkat diterjemahkan dari kata “barakh” yang memiliki arti hurufiah memelihara hubungan yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama. Jadi sekalipun seseorang tidak memiliki harta yang melimpah, atau kesuksesan secara materi dalam hidupnya, jika seseorang tetap dalam relasi yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama, orang tersebut juga disebut sebagai orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, sekalipun bagi seseorang melimpah harta dan kekayaan secara materi, tetapi semuanya diperoleh tanpa memperdulikan relasinya dengan Tuhan dan psinsip keadilan, kejujuran, dan kasih, keadaan tersebut bukanlah tanda hidup yang diberkati oleh Tuhan.
Jadi orang yang miskin dan makmur bisa dilihat dari kuantitas ekonominya, kehidupan sosialnya, dan rohaninya.

MAKNA TEOLOGIS KEMISKIN-KEMAKMURAN
            Semua orang dikasihi sama oleh Tuhan, mereka juga diberikan berkat yang sama oleh Tuhan. Namun mengapa ada yang makmur dan ada  yang miskin? Ini dikarenakan ketidakmampuan dalam mengelola berkat Tuhan. Jadi kemakmuran diperoleh oleh mereka yang mampu mengelola berkat Tuhan dengan baik.


[1] 7389 vyre reysh {raysh} or vare re'sh {raysh} or vyrI riysh {reesh}
Meaning:  1) poverty
Origin:  from 07326; TWOT - 2138a,2138b; n m
Usage:  AV - poverty 7; 7
7326 vWr ruwsh {roosh}
Meaning:  1) to be poor, be in want, lack 1a) (Qal) 1a1) to be poor 1a2) to be in want or hunger 1a3) poor man (subst) 1b) (Hithpolel) one impoverishing himself (participle)
Origin:  a primitive root; TWOT - 2138; v
Usage:  AV - poor 19, poor man 3, lack 1, needy 1; 24
[2] 0034 !Ayb.a, 'ebyown {eb-yone'}
Meaning:  1) in want, needy, chiefly poor, needy person 2) subject to oppression and abuse 3) needing help, deliverance from trouble, especially as delivered by God 4) general reference to lowest class
Origin:  from 014, in the sense of want (especially in feeling); TWOT - 3a; m adj
Usage:  AV - needy 35, poor 24, beggar 1, poor man 1; 61
0014 hba 'abah {aw-baw'}
Meaning:  1) to be willing, consent 1a) (Qal) 1a1) to be willing 1a2) to consent, yield to, accept 1a3) to desire
Origin:  a primitive root; TWOT - 3; v
Usage:  AV - would 42, will 4, willing 4, consent 3, rest content 1; 54
[3] 6041 ynI[' `aniy {aw-nee'}
Meaning:  1) poor, afflicted, humble, wretched 1a) poor, needy 1b) poor and weak 1c) poor, weak, afflicted, wretched 1d) humble, lowly
Origin:  from 06031; TWOT - 1652d; adj
Usage:  AV - poor 58, afflicted 15, lowly 1, man 1, variant 3; 80
6031 hn'[' `anah {aw-naw'}
Meaning:  1) (Qal) to be occupied, be busied with 2) to afflict, oppress, humble, be afflicted, be bowed down 2a) (Qal) 2a1) to be put down, become low 2a2) to be depressed, be downcast 2a3) to be afflicted 2a4) to stoop 2b) (Niphal) 2b1) to humble oneself, bow down 2b2) to be afflicted, be humbled 2c) (Piel) 2c1) to humble, mishandle, afflict 2c2) to humble, be humiliated 2c3) to afflict 2d4) to humble, weaken oneself 2d) (Pual) 2d1) to be afflicted 2d2) to be humbled 2e) (Hiphil) to afflict 2f) (Hithpael) 2f1) to humble oneself 2f2) to be afflicted
Origin:  a primitive root [possibly rather ident. with 06030 through the idea of looking down or browbeating]; TWOT - 1651,1652; v
Usage:  AV - afflict 50, humble 11, force 5, exercised 2, sing 2, Leannoth 1, troubled 1, weakened 1, misc 11; 84
[4] 1800 lD; dal {dal}
Meaning:  1) low, poor, weak, thin, one who is low
Origin:  from 01809; TWOT - 433a; adj
Usage:  AV - poor 43, needy 2, weaker 2, lean 1; 48
1809 ll;D' dalal {daw-lal'}
Meaning:  1) to hang, languish, hang down, be low 1a) (Qal) 1a1) to hang low 1a2) to be low 1a3) of distress (fig.) 1a4) to languish, look weakly (of eyes) 1b) (Niphal) to be brought low, be laid low
Origin:  a primitive root (compare 01802); TWOT - 433; v
Usage:  AV - brought low 3, dried up 1, not equal 1, emptied 1, fail 1, impoverished 1, made thin 1; 9
[5] Conrad Boerma, Dapatkah Orang Kaya Masuk Surga? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 13
[6] John Stott, Isu-isu Global Kekristenan, (Jakarta: YKBK OMF, 2005), 307-314
[7] 6239 rv,[o `osher {o'-sher}
Meaning:  1) wealth, riches
Origin:  from 06238; TWOT - 1714a; n m
Usage:  AV - riches 36, far 1; 37
6238 rv;[' `ashar {aw-shar'}
Meaning:  1) to be or become rich or wealthy, enrich, pretend to be rich 1a) (Qal) to be or become rich 1b) (Hiphil) 1b1) to make rich 1b2) to gain riches 1c) (Hithpael) to enrich oneself, pretend to be rich
Origin:  a primitive root; TWOT - 1714; v
Usage:  AV - rich 14, enrich 3, richer 1; 17

[8] Conrad Boerma, Dapatkah Orang Kaya Masuk Surga? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 11-19
[9] Bakker, . Sejarah Kerajaan Allah 1: Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK, 2004) hal 385
[10] Ibid, hal 385
[11] SABDA OLB 32
[12]  Conrad Boerma : Dapatkah orang kaya masuk sorga? ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 ) hal 27-29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar