KEMAKMURAN DAN KEMISKINAN DALAM PERJANJIAN LAMA
DEFINISI
Ada beberapa kata yang
digunakan dalam bahasa Ibrani yang menunjuk kepada kata miskin. Kata itu antara
lain: reys, ebyon, ani, anah dan dal. Kata-kata ini secara etimologis
berarti sebagai berikut: reys[1]
berarti kemiskinan. Berdasarkan akar katanya roosh, kata ini berarti menjadi
miskin, kekurangan atau ketiadaan. Kata
kedua yang muncul adalah ebyon[2]
yang berarti orang yang membutuhkan. Dari akar katanya berarti keinginan,
mengizinkan, dll. Kata ketiga dan yang paling banyak dipakai untuk menjelaskan
kemiskinan adalah ani[3]
yang muncul sebanyak 77 kali dalam PL dan berarti miskin, rendah hati,
menimpahi, dll. Kata keempat yang dipakai adalah dal[4]
yang berarti rendah, miskin, lemah, kurus, seseorang yang berada dalam posisi
yang rendah. Kemiskinan sebagaimana didefinisikan oleh Boerma adalah sebagai
berikut: Jika dihubungan dengan kata
“ani”, miskin berarti orang yang membungkuk, hidup dalam keadaan rendah.
Si miskin “ani” ini bukan berhadapan
dengan si kaya, tetapi berhadapan dengan si penindas, pemakai kekerasan, yang
menjerumuskan sesamanya ke dalam posisi yang rendah. “ani” berasal dari akar
katanya yaitu “anaw”. Kata ini
berkonotasi makna rohani. Si “anaw” adalah orang yang rendah hati, yang merasa
dirinya kecil (di hadapan Allah), dan lemah lembut. Kata yang digunakan untuk
menyebut kelemahan jasmani dan kemiskinan materi disebut “dal” artinya berada pada posisi yang kurang baik. Di samping itu
ada kata “ebyon” menunjuk orang yang berada pada posisi meminta (manusia selaku
pengemis). Kata-kata tersebut menunjuk pada keadaan-keadaan yang membutuhkan
perubahan cepat. Ada juga kata Rush yang
berarti menjadi miskin atau berada dalam keadaan miskin. Jadi miskin merupakan
keadaan dimana seseorang itu berada dalam kondisi kekurangan, tidak memiliki
apa-apa, membutuhkan, lemah, kurus, atau berada dalam posisi yang rendah.
Dalam Amos 2:6-7 kata-kata
tersebut di atas tampil dalam satu kalimat “karena mereka menjual orang benar
(tsadiq) untuk uang, dan orang miskin (ebyon) karena sepasang kasut, mereka
menginjak-injak kepala orang lemah (dallim) ke dalam debu dan membelokkan jalan orang
sengsara (anawim)”. Kalimat ini menunjukkan bagi Amos kemiskinan bukan suatu
hal yang netral, dia justru menempatkan si miskin sejajar dengan orang yang
adil, sejajar dengan menjadi orang benar[5].
Menurut Stott, ada 6 kata Ibrani yang
menerangkan tentang kemiskinan. Namun berdasarkan prinsip, bisa dibedakan tiga
macam kemiskinan, antara lain:
- Kemiskinan ditinjau dari segi ekonomi, yaitu kemiskinan yang ditinjau dari ketiadaan materi. Mereka ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling primer. Entah itu pangan, papan, sandang atau malah ketiganya. Kemiskinan ini bisa terjadi akibat dosa mereka sendiri, entah itu dosa kemalasan, pemborosan, kelahapan, dll. Kemalasan erat juga kaitannya dengan nafsu serakah seorang rakus dan peminum. Kemiskinan ini tidak hanya terjadi pada individual melainkan juga kemiskinan nasional akibat dari dosa. Namun demikian, dalam PL tetap diminta adanya empati bagi orang-orang miskin.
- Orang miskin yang tak berdaya yang tertindas secara politik dan sosial. Kemiskinan dalam PL bukanlah suatu gejala yang wajar dan timbul begitu saja karena dosa pribadi atau ketidaktaatan nasional. Ada juga kemiskian yang disebabkan oleh dosa orang lain. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan sosial yang menjurus kepada penyimpangan dan kepincangan, namun karena posisi sebagai rakyat kecil, mereka akhirnya tidak dapat melakukan apa-apa terhadap hal tersebut.
- Orang miskin yang rendah hati yaitu mereka yang lembut secara spiritual dan merasa dirinya memiliki ketergantungan total kepada Allah. Miskin di sini sinonim dengan saleh serta keadaan sosial yang melambangkan ketergantungan spiritual mereka. Mereka memiliki kesaksian tentang keselamatan yang akan didatangkan oleh Allah[6].
Jadi secara semantik,
seseorang dikatakan miskin ketika ia tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya,
atau mengalami ketertindasan secara politik dan sosial atau bisa juga muncul
dalam arti positif yaitu orang yang rendah hati.
Dalam PL Kemakmuran ( Kekayaan
), pemahaman kata ‘ Kekayaan ‘ dipergunakan
sebanyak 6 kali dalam Kejadian-Ulangan; 9 kali dalam buku Yosua dan
Hakim-hakim; 23 kali kitab “sejarah”( 1&2 Tawarikh, ezra, Nehemia ); 34
kali dalam kitab-kitab para nabi. Kekayaan berasal dari kata osher[7] yang secara etimologis berarti kaya. Kekayaan
itu terdiri dari kepemilikan namun kepemilikan itu bukan kepemilikan
pribadi. Biasanya merupakan kekayaan
suku atau kekayaan keluarga. Kekayaan ini didapat dari hasil rampasan perang,
hadiah kepintaran yang kesemuanya itu merupakan berkat Allah atau pemberian
Allah. Diberikan sebagai upah karena sudah mendengarkan suara Tuhan. Pada zaman
PL, kekayaan merupakan konsekuensi dari usaha menjalankan peraturan-peraturan
Allah atau konsekuensi yang dijamin dari ketaatan menjalankan aturan-aturan
perjanjian baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat. Jadi harta kekayaan
yang dimiliki oleh seseorang hanyalah berdasarkan berkat belaka. Pada masa
pengembaraan, tidak terlalu kentara pembedaan antara orang kaya dan orang
miskin. Kekayaan dan kemiskinan adalah milik bersama dalam suku atau kelompok[8].
UKURAN KEMISKINAN DAN KEMAKMURAN
Menurut Boerma, Baker, dan beberapa sumber lain
sebagaimana sudah dirangkum sebelumnya,
ada tiga ukuran kemiskinan dan kemakmuran, yaitu:
a. Ekonomi
Berdasarkan fakta sejarah
literatur Alkitab jelas bahwa bagi bangsa Israel kemiskinan berhubungan erat
dengan sistem ekonomi dan struktur masyarakat pada zaman itu. Karena itulah
dalam kitab Kejadian khususnya kata “miskin” tidak muncul tetapi istilah
“kelaparan” (Kej.12:10; 41:27,31). Sebab, pada zaman para bapa leluhur dipahami
harta kekayaan bukan suatu milik pribadi, tetapi kekayaan suku atau keluarga.
Hal itu juga dipahami sebagai hasil jerih payah ketaatannya menjalankan
peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah.
1) Rumah
Namun ketika hidup Israel beranjak dari pola hidup nomaden menjadi petani dan mereka bertempat tinggal tetap, hubungan-hubungan kepemilikan menjadi berubah. Dimana rumah tempat tinggal rakyat biasa ( miskin ) hanya mempunyai satu bilik saja. Sebagaian dari bilik itu berlantai tinggi dan berlantai bagian yang laiun dibuat lebih rendah. Orang –orang kaya mempunyai tempat tinggal yang lebih besar dengan banyak bilik yang dibuat mengelilingi pelataran dalam. Rumah-rumah itu rata atapnya dan tangga yang menuju ke atap itu dibuat disebelah luar rumah . Diatas kamar itu sering dibuat lagi sebuah kamar.[9]
Namun ketika hidup Israel beranjak dari pola hidup nomaden menjadi petani dan mereka bertempat tinggal tetap, hubungan-hubungan kepemilikan menjadi berubah. Dimana rumah tempat tinggal rakyat biasa ( miskin ) hanya mempunyai satu bilik saja. Sebagaian dari bilik itu berlantai tinggi dan berlantai bagian yang laiun dibuat lebih rendah. Orang –orang kaya mempunyai tempat tinggal yang lebih besar dengan banyak bilik yang dibuat mengelilingi pelataran dalam. Rumah-rumah itu rata atapnya dan tangga yang menuju ke atap itu dibuat disebelah luar rumah . Diatas kamar itu sering dibuat lagi sebuah kamar.[9]
2) Tanah
Kalau sebelumnya
perbedaan-perbedaan ekonomis dan kelas-kelas sosial tidak ada karena keluarga
satu kesatuan finansial, tetapi kini timbul kelas sosial dan kemiskinan menjadi
masalah sosial. Hal ini diakibatkan oleh pemukiman di Kanaan di mana bangsa
Israel beralih menjadi petani-petani kecil yang berdiri sendiri, mengelola,
mengusahai sebidang tanah untuk dijadikan miliknya sendiri. Masing-masing hidup
dari tanah yang diusahainya. Kalau tanah yang diusahainya tidak subur, panen
gagal, dia menjadi miskin dan menjual dirinya sendiri serta keluarganya sebagai
budak. Jadi persaingan hidup tidak lagi dalam rangka kebersamaan, tetapi
mempertahankan dan memperkaya diri sendiri. Corak hidup seperti ini menyebabkan
sendi masyarakat menjadi berubah. Si miskin (tidak memiliki tanah) berhadapan
dengan si kaya (pemilik tanah). Timbullah suatu kelompok aristokrasi yang
makmur, tetapi di pihak lain rakyat miskin semakin bertambah jumlahnya. Jurang
pemisah antara di kaya dan si miskin makin lebar.[10]
b. Sosial
Kemiskinan di dalam PL maupun
kekayaan sebenarnya dihubungkan dengan Allah secara erat. Kedua pengertian itu
dianggap korelatif. Pandangan akan hal itu lebih ditujukan pada segi ethisnya
(Ams 30:8-9* dan lain-lain) daripada segi ekonomisnya. Dari pandangan
kodratinya, kemiskinan adalah benar-benar suatu keburukan. Walaupun Allah
selalu menyebabkan segala sesuatu, namun manusia sendiri dapat dipersalahkan
sebagai penyebab keburukan itu (pengangguran:
Ams 6:9-11; 24:30-34; Pengk 10:8; nafsu bersenang-senang: Ams 21:17 dan
lain-lain).Pada umumnya PL bertindak membela orang-orang miskin (/TB Ayub 5:15;
Mazm 72:12-15).Para nabi melindungi
mereka.Hukum berusaha meringankan kekurangannya.[11] Kemiskinan dipandang sebagai si hina,
dan tidak termasuk hitungan lagi. Karena dia miskin , maka hak-khaknya menjadi
kurang daripada orang lain dan pikirannya juga dinilai kurang , contoh ;
sejarah nabal ( 1 Samuel 25: 10-11 ). Menjadi orang miskin sama dengan menjadi
orang yang tertindas, si miskin terperangkap dalam sebuah lingkaran setan yang
hanya dapat ditembus oleh perlakuan dan sikap si kaya, hal mana tidak pernah
terjadi. Si miskin menjadi samapah masyarakat , termasuk golongan yang lebih
rendah –orang yang tidak mendengarkannya. “ menjadi miskin “ dan “ diinjak “
menjadi ama. Ungkapan Standar “ menginjak orang miskin “ ( Am 4:1; Ams 14:31 ;
22:16 ; 28:3 ; Za 7:10 ; Mzm 72:4 ) mengatakan penyebab kemiskinan terletak
pada si kaya[12].
c. Rohani
Kitab –kitab Hikmat sebenarnya
telah mengakui pembagian masyarakat dalam berbagai tingkat sosial. Latar
belakang pembagian ini bukan ketidakadilan sebagaimana halanya dalam
kitab-kitab nabi, tetapi itu adalah karena nasib dan perbuatan ini terutama
telihat dalam kitab Amsal. Ayub mempersoalkan kaitan ini.Karenanya kita temukan
pada Ayub yang taat (saleh) di hadapan Tuhan (Ayb 1), kehilangan segala harta
miliknya, anak-anaknya, dan dia tidur beralaskan debu karena penyakit yang
dideritanya. Orang-orang pada zaman Ayub yakin akan adanya suatu hukum karma
yang ditetapkan Tuhan yang adil. Orang baik dan saleh, orang berhikmat, pasti
diganjar Tuhan. Mereka menjadi bahagia, makmur dan sejahtera serta berhasil
dalam hidupnya. Sengsara (miskin) dan kemalangan untuk sementara dapat menimpa
orang baik, tetapi itu hanya semacam ujian dan pencobaan. Pada akhirnya mereka
akan diberkati oleh Tuhan dan menjadi bahagia. Sebaliknya: orang bodoh, jahat
dan fasik pasti dihukum. Kalau pun mereka nampaknya bahagia dan sejahtera, namun
itu hanya untuk sementara waktu saja dan kebahagiaannya semu belaka. Pengalaman
Ayub menunjukkan bahwa tidak selamanya kemiskinan (kesengsaraan) sebagai
hukuman atau sebaliknya kekayaan secara materi sebagai bukti orang diberkati
Tuhan. Sebab, nyata-nyata ditunjukkan bahwa Ayub adalah orang saleh dan jujur,
takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Dengan demikian kategori diberkati
oleh Tuhan bukan kepada semua orang kaya. Orang kaya disebut diberkati Tuhan
sejauh kekayaannya itu bukan merupakan hasil pemerasan atau yang menyebabkan
orang lain menjadi korban. Kekayaannya bukan menjadi penghalang untuk masuk
sorga, sebab Alkitab tidak menolak manusia menikmati materi/barang-barang di
bumi dalam koridor kejujuran, jauh dari pemerasan, penindasan terhadap sesama
manusia. Pengertian berkat atau diberkati tidak sesederhana memberi secara
materi dan fisik. Kata berkat diterjemahkan dari kata “barakh” yang memiliki
arti hurufiah memelihara hubungan yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan
sesama. Jadi sekalipun seseorang tidak memiliki harta yang melimpah, atau
kesuksesan secara materi dalam hidupnya, jika seseorang tetap dalam relasi yang
mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama, orang tersebut juga disebut sebagai
orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, sekalipun bagi seseorang melimpah harta
dan kekayaan secara materi, tetapi semuanya diperoleh tanpa memperdulikan
relasinya dengan Tuhan dan psinsip keadilan, kejujuran, dan kasih, keadaan
tersebut bukanlah tanda hidup yang diberkati oleh Tuhan.
Jadi orang yang miskin dan makmur bisa dilihat
dari kuantitas ekonominya, kehidupan sosialnya, dan rohaninya.
MAKNA TEOLOGIS KEMISKIN-KEMAKMURAN
Semua
orang dikasihi sama oleh Tuhan, mereka juga diberikan berkat yang sama oleh
Tuhan. Namun mengapa ada yang makmur dan ada
yang miskin? Ini dikarenakan ketidakmampuan dalam mengelola berkat
Tuhan. Jadi kemakmuran diperoleh oleh mereka yang mampu mengelola berkat Tuhan
dengan baik.
Meaning: 1) poverty
Origin: from 07326; TWOT -
2138a,2138b; n m
Usage: AV - poverty 7; 7
7326 vWr ruwsh {roosh}
Meaning: 1) to be poor, be
in want, lack 1a) (Qal) 1a1) to be poor 1a2) to be in want or hunger 1a3) poor
man (subst) 1b) (Hithpolel) one impoverishing himself (participle)
Origin: a primitive root;
TWOT - 2138; v
Usage: AV - poor 19, poor
man 3, lack 1, needy 1; 24
Meaning: 1) in want, needy,
chiefly poor, needy person 2) subject to oppression and abuse 3) needing help,
deliverance from trouble, especially as delivered by God 4) general reference
to lowest class
Origin: from 014, in the
sense of want (especially in feeling); TWOT - 3a; m adj
Usage: AV - needy 35, poor
24, beggar 1, poor man 1; 61
0014 hba 'abah {aw-baw'}
Meaning: 1) to be willing,
consent 1a) (Qal) 1a1) to be willing 1a2) to consent, yield to, accept 1a3) to
desire
Origin: a primitive root;
TWOT - 3; v
Usage: AV - would 42, will
4, willing 4, consent 3, rest content 1; 54
Meaning: 1) poor, afflicted,
humble, wretched 1a) poor, needy 1b) poor and weak 1c) poor, weak, afflicted,
wretched 1d) humble, lowly
Origin: from 06031; TWOT -
1652d; adj
Usage: AV - poor 58,
afflicted 15, lowly 1, man 1, variant 3; 80
6031 hn'[' `anah {aw-naw'}
Meaning: 1) (Qal) to be
occupied, be busied with 2) to afflict, oppress, humble, be afflicted, be bowed
down 2a) (Qal) 2a1) to be put down, become low 2a2) to be depressed, be
downcast 2a3) to be afflicted 2a4) to stoop 2b) (Niphal) 2b1) to humble
oneself, bow down 2b2) to be afflicted, be humbled 2c) (Piel) 2c1) to humble,
mishandle, afflict 2c2) to humble, be humiliated 2c3) to afflict 2d4) to
humble, weaken oneself 2d) (Pual) 2d1) to be afflicted 2d2) to be humbled 2e)
(Hiphil) to afflict 2f) (Hithpael) 2f1) to humble oneself 2f2) to be afflicted
Origin: a primitive root
[possibly rather ident. with 06030 through the idea of looking down or
browbeating]; TWOT - 1651,1652; v
Usage: AV - afflict 50,
humble 11, force 5, exercised 2, sing 2, Leannoth 1, troubled 1, weakened 1,
misc 11; 84
Meaning: 1) low, poor, weak,
thin, one who is low
Origin: from 01809; TWOT -
433a; adj
Usage: AV - poor 43, needy
2, weaker 2, lean 1; 48
1809 ll;D' dalal {daw-lal'}
Meaning: 1) to hang,
languish, hang down, be low 1a) (Qal) 1a1) to hang low 1a2) to be low 1a3) of
distress (fig.) 1a4) to languish, look weakly (of eyes) 1b) (Niphal) to be
brought low, be laid low
Origin: a primitive root
(compare 01802); TWOT - 433; v
Usage: AV - brought low 3,
dried up 1, not equal 1, emptied 1, fail 1, impoverished 1, made thin 1; 9
Meaning: 1) wealth, riches
Origin: from 06238; TWOT -
1714a; n m
Usage: AV - riches 36, far
1; 37
6238 rv;[' `ashar
{aw-shar'}
Meaning: 1) to be or become
rich or wealthy, enrich, pretend to be rich 1a) (Qal) to be or become rich 1b)
(Hiphil) 1b1) to make rich 1b2) to gain riches 1c) (Hithpael) to enrich
oneself, pretend to be rich
Origin: a primitive root;
TWOT - 1714; v
Usage: AV - rich 14, enrich 3, richer 1; 17
[8] Conrad Boerma, Dapatkah Orang
Kaya Masuk Surga? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 11-19
[9] Bakker, . Sejarah
Kerajaan Allah 1: Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK, 2004) hal 385
Tidak ada komentar:
Posting Komentar